Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Vision ~ 20

Hangatnya temperatur kamar, panasnya sentuhan, seakan meremukkan satu sama lain. Ruangan minim cahaya itu seakan berkilauan dengan gairah dan nyala api cinta yang membubung menutup malam. Zhang Qiling hanya bisa menghirup sedikit udara di sana. Tetapi mereka tidak menderita atau merasakan sensasi sakit apa pun, hanya tersisa kelelahan setelah sesi bercinta yang panas.

Secara bertahap Zhang Qiling kehilangan kesadaran dan jatuh tertidur di atas bantal lembut, dan secara bertahap pula, dia bisa mendengar suara-suara seakan dari jauh. Tampaknya ada ribuan rintik hujan menerpa atap dan jendela menghasilkan simfoni yang aneh.

"Wu Xie ..." ia membisikkan nama seseorang yang meringkuk tak bergerak di sampingnya. Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Dengan mata masih mengantuk, Zhang Qiling mencoba mengamati bagaimana ekspresi wajah Wu Xie saat dia tertidur. Raut wajah itu begitu manis dan polos, seakan terlalu lembut dan rapuh untuk dunia yang kejam ini.

"Sepertinya di luar hujan ..." gumam Zhang Qiling seolah tanpa sadar.

Ada beberapa suara lagi di kejauhan. Seperti suara binatang yang terkesiap, kaok gagak, bahkan gonggongan anjing menyayat kesunyian malam.

"Xiao ge ..."

Terjaga, Wu Xie menyebut namanya. Zhang Qiling seakan mendengar nyanyian paling lembut dan terindah saat ia membuka mata. Dan seperti yang sering dilakukan oleh efek suara yang menyentuh tepian kenangan, bahkan pecahan paling berharga di masa lalu, membawa kembali kebahagiaan murni pada masa kecil yang indah, tanpa kerumitan dan kesedihan hidup.

"Maaf, aku membangunkanmu ..." bisik Zhang Qiling, tangannya terulur mengelus lembut sisi wajah Wu Xie.

Menghirup nafas yang berat, Wu Xie memenuhi hidungnya dengan aroma sensual dan maskulin dari tubuh Zhang Qiling.

"Tak apa."

Satu kilauan bergoyang dalam kesuraman, itu terlihat sangat dekat. Zhang Qiling lalu menyadari bahwa ia menatap satu benda di leher Wu Xie. Kalung keperakan dengan liontin berbentuk klover. Pertama kali ia melihat benda itu menghiasi leher halus Wu Xie, dia mengaguminya. Saat ini pun dia masih mengaguminya. Tanpa terkendali, sentuhan jemari Zhang Qiling turun dari wajah dan menyentuh liontin itu berulangkali.

Benda ini selalu berada dekat di tubuh Wu Xie, nyaris melekat padanya, dan sangat berharga bagi pemuda itu. Alangkah bahagia jika dia pun seumpama kalung itu, selalu berada di dekat Wu Xie, dan memiliki kasih sayangnya. Berdehem, Wu Xie menggerakkan tangan tanpa membuka mata, meremas jemari Zhang Qiling.

"Kau melihat kalung ini lagi," ia bergumam tanpa minat.

"Maaf," sahut Zhang Qiling.

Wu Xie nyaris tertawa dalam kantuk. Kenapa pria pemberani ini selalu meminta maaf padanya, seolah sangat takut jika berbuat kesalahan.

"Aku hanya mengagumi bentuknya, serta nilainya di matamu."

"Jangan berlebihan," gumam Wu Xie dalam suara malas.

"Kalung ini ibarat tanda pengenal diriku. Jika kau melihat kalung semacam ini, aku ingin kau mengingat diriku."

Zhang Qiling mengeluarkan bunyi hmmm yang lembut.

"Tidurlah," bisik Wu Xie lagi.

"Malam masih panjang."

Zhang Qiling berkedip lambat tanpa suara. Setelah itu seribu doa terukir dalam benaknya, kata-kata dari himne yang pernah ia dengar di upacara keagamaan. Dan ketika ia berusaha tertidur kembali di sisa-sisa energi yang terkuras, ia menyadari dengan sangat lambat nyanyian hujan di luar sana makin deras dan menenggelamkan semua suara.

*******

Kabar kematian Touba menyebar dengan cepat di kawasan hiburan malam Jiangtan. Beberapa orang temannya berkumpul, membuat kelompok dan saling bicara tentang bagaimana Touba semasa hidup dan bagaimana cara dia mati.

"Seseorang seperti dia mengundang bahaya setiap saat. Resiko pekerjaan bisa membuatnya dimusuhi siapa saja," salah satu kenalan Touba berkata dengan wajah muram, entah tulus atau dibuat-buat.

"Tapi, benarkah dia dibunuh? Lalu mengapa polisi tidak berusaha menangkap pelakunya?" sahut yang lain.

Gumaman menyambut ucapannya, sebagian mencibir dan sisanya menggeleng bingung.

"Polisi?" Yang lain terkekeh.

"Seorang preman di dunia hiburan malam tewas dan kau ingin polisi membela kita? Yang benar saja. Mereka akan berkumpul seperti lalat di sekitar jasad Touba dan berpura-pura sibuk menyelidik. Siapa yang tahu mereka mungkin merasa terbantu dalam tugas mengamankan satu kawasan. Kematian Touba tidak akan menyita perhatian mereka, berbeda dengan kematian sosialita itu."

"Kedengarannya masuk akal. Mereka lebih tertarik menyelidiki nona muda mabuk yang tercebur ke sungai. Aku dengar bahkan Touba diidentifikasi tiga hari kemudian. Astaga ..."

"Tapi, apakah mungkin Touba sialan itu memiliki keterkaitan dengan nona yang tewas itu? Katanya polisi menemukan banyak uang dalam tas miliknya."

"Itu tidak aneh. Dasar pemeras!" Suara sumbang dari beberapa pihak mengomentari perbuatan Touba.

Mereka terdiam bersamaan untuk beberapa lama dengan wajah muram seakan mereka sungguh-sungguh prihatin dengan kematian Touba.

"Kupikir preman bisa menghindar dari kematian. Nyatanya, justru lebih mengenaskan. Di surat kabar jelas tertulis dia ditembak seseorang di tepi sungai, seratus meter dari lapangan tempat karnaval Baihe Hua." Yang bicara adalah pria berkulit gelap dengan wajah mengernyit dan berkerut.

Sebagian dari mereka yang belum mengetahui detailnya nampak terkejut dan bingung. "Tapi, apa yang dilakukan Touba di karnaval itu?"
Salah satu dari mereka bertanya pada yang lainnya. Tak ada yang bisa menjawab, tak ada seorang pun dari mereka mengetahui alasannya, kecuali seorang pria yang duduk terpisah dengan posisi memunggungi orang-orang, dan menutupi sebagian wajahnya dengan topi baseball hitam.

Dia Shun Zi.

Rokok di jemari yang tinggal setengah nyaris terjatuh ke tanah. Shun Zi diam-diam berada di sana untuk mencari informasi tentang Touba karena ia tidak bisa menghubungi nomor ponselnya. Dia dicekam kecemasan dan rasa takut. Mungkin di seluruh Jiangtan, hanya dirinya yang tahu untuk apa Touba ada di karnaval. Ingatannya kembali pada percakapan terakhir bersama Touba pada malam itu.

Aku akan menemui Jason di karnaval Baihe Hua. Dia akan menyerahkan sisa uang yang telah dijanjikan. Tunggu kabar selanjutnya dariku, dan menghilanglah diam-diam.

Shun Zi menghela nafas, masih menunduk. Dia menjatuhkan sisa rokok, menginjaknya hingga jadi debu. Sudah jelas, Touba pergi ke sana untuk menemui seseorang yang diperasnya. Menurut perkiraan Shun Zi, satu-satunya orang yang memiliki motif untuk membunuh Touba adalah pria itu. Jason.

Astaga, siapa yang menduga bahwa Touba memancing kemarahan seorang pria licik seperti Jason, dan preman itu menjemput kematiannya sendiri.

Shun Zi mundur dari kerumunan dengan wajah pucat. Kini tinggal dirinya sendiri bersama sepotong informasi berharga yang tidak diketahui siapa pun. Termasuk polisi.

Kini ia memikirkan bagaimana caranya ia bisa menggunakan informasi yang masih samar-samar ini untuk mendapatkan keuntungan. Siapa tahu, seperti halnya Touba yang mendapat uang jutaan hasil dari memeras Ning, dia pun bisa mendapatkan banyak uang dari pria yang diduga membunuh Touba. Bahaya yang sama mungkin mengintai, tapi Jason tidak mengenal dirinya, akan ia pastikan pria itu tidak bisa membunuhnya seperti ia menghabisi Touba.

Shun Zi mendongak sekilas dan melihat seekor burung hitam berkaok menakutkan jauh di atas langit Jiangtan. Pemuda itu menyeringai licik. Seperti burung itu, dia bisa terbang bebas meninggalkan tempat yang terkutuk ini.

*******

Di kamarnya, Zhang Qiling termenung. Lagi-lagi, Wu Xie bagaikan kelinci yang cerdik. Mampu mengelabui siapa pun dengan daya tariknya, melakukan apa pun yang dia mau untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Menggiring seseorang agar terlibat dalam mencapai tujuannya.

Tadi pagi dia bersikeras menyuruh dirinya pulang dan menolak saat Zhang Qiling menawarkan jasa menjemputnya saat berangkat kerja. Dengan senyum manis dan kata-kata persuasif yang lembut, Wu Xie bisa membuat Zhang Qiling mengalah dan meninggalkan rumahnya dengan hati masygul.

Pagi itu, saat ia menoleh kembali, ia melihat pemuda itu duduk di antara taman yang nyaris bisa disebut kurang terurus, terlihat bagaikan bunga liar itu sendiri. Pancaran keindahannya mungkin terabaikan. Namun mampu membuat suasana taman menjadi suram atau menjadi ceria dalam hitungan detik.

Yang lebih buruk lagi adalah perasaannya. Begitu rapuh dan mudah sekali dipengaruhi oleh sosok Wu Xie dan senyumannya. Di sisi lain ia merasa terintimidasi dengan misteri akan masa lalu dan asal usul keberadaannya.

Entahlah, Zhang Qiling belum bisa memikirkan apa pun. Yang ia tahu, satu takdir tak terduga membuat mereka berakhir dengan kebersamaan dalam hubungan cinta yang sulit dipahami.

Satu jam kemudian, matahari lebih cerah dan hangat. Namun begitu, kaca jendela kamarnya menyisakan tetesan embun dan uap tipis. Rimbunan dedaunan melindungi atap dan kacanya dari terpaan sinar matahari langsung. Zhang Qiling berpakaian lebih rapi dan sudah lebih segar. Merencanakan untuk mampir sebentar ke apartemen Ning siang nanti, dia akan bicara dengan orang tuanya terkait banyak hal.

Sewaktu dia tiba di lobi, paman Pan Ma dan satpam teman setianya sedang duduk di sofa dan mengobrol ditemani secangkir kopi. Zhang Qiling tersenyum canggung. Sudah lewat beberapa waktu sejak dia dan Pan Ma bicara dalam diskusi tegang di kedai mie.

"Pagi yang cerah, bukan? Kau sudah begitu rapi." Pan Ma membuka suara.

"Kopi?" dia menawarkan pada Zhang Qiling.

Tawaran ramahnya disambut dengan gelengan.

"Aku akan terlambat."

"Sebentar saja, dari raut wajahmu, aku tahu kau bahkan belum minum segelas air."

Zhang Qiling menelan liur. Pan Ma benar. Tenggorokannya terasa kering dan pahit.

"Kemarilah, duduk denganku sebentar. Dan kau, pesankan kopi untuknya di kedai sebelah." Pan Ma mengarahkan telunjuknya pada si satpam.

"Astaga, kenapa kau selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang tidak keren?" satpam menggerutu tanpa daya, meski begitu dia bangun dari duduknya. Sebelum berjalan ke luar, satpam itu menoleh pada Pan Ma.

"Jangan mulai lagi dengan omong kosong kemampuan konyolmu," nada suaranya setengah mengejek. Dia bergegas sebelum Pan Ma sempat mengomelinya dengan keras.

Hazelnut coffee tiba di meja lima menit kemudian. Wanginya sampai ke dalam indra penciuman mereka, kelihatannya cukup nikmat.

Pan Ma tersenyum ke arah Zhang Qiling.
"Kopi panas, di cuaca pagi yang sejuk seperti ini bukankah sangat pas?"

Zhang Qiling mengangguk. "Tentu. Terima kasih kopinya."

Mengangkat cangkir kopi, ia melirik dari tepi cangkir. Menyesap minuman sambil menatap wajah Pan Ma penuh curiga. Dia harus mengakui bahwa kopinya lezat dan moodnya lumayan membaik. Dia mendecakkan lidah begitu menaruh cangkir, kemudian dilihatnya Pan Ma terus menatap padanya beberapa lama.

"Ada apa?" tanya Zhang Qiling terheran-heran.

Pan Ma tersenyum kaku dan menggeleng.

"Kau baik-baik saja kan?" Pria tua itu mengawasi lingkar mata keabuan di wajah Zhang Qiling. Meski segar dan masih tetap tampan, wajahnya sedikit terlalu pucat.

"Ya." Zhang Qiling mengernyit. Menyentuhkan telunjuk ke wajahnya tanpa sadar.

"Ada yang aneh di wajahku?"

Pan Ma mengatupkan bibirnya. "Sedikit terlalu pucat." Tangannya terangkat menunjuk lingkar keabuan di bawah mata pria itu.

"Lingkar matamu terlalu mencolok. Ini merusak karya dewa yang indah. Kau harus banyak istirahat." Dia tersenyum kosong.

"Hmm ... aku akan mendapatkan kembali selera makan dan tidur lelap untuk hari-hari ke depan." Zhang Qiling meneguk kembali kopinya sedikit demi sedikit, diam-diam membayangkan wajah Wu Xie.

"Itu bagus. Aku melihat auramu semakin gelap dan redup. Sebenarnya, apa yang tengah kau selidiki?" tanya Pan Ma, ingin memastikan.

"Kau paranormal bukan?" sahut Zhang Qiling datar.
"Kupikir seharusnya kau sudah tahu ini tentang apa."

"Tidak sesederhana itu." Pan Ma cemberut atas sindiran Zhang Qiling padanya.

"Aku tahu kasusmu tidak ada hubungannya denganku. Tapi aku ingin sekali memperingatkanmu. Lebih berhati-hatilah, jangan percaya pada apa yang kau lihat, atau apa yang kau dengar."

Zhang Qiling tidak menjawab.

"Sebenarnya, aku sudah lama tidak menyapamu. Kau sudah melupakan percakapan kita malam itu, 'kan?"

Zhang Qiling mengangguk. "Aku memperingatkanmu untuk tidak lagi membahas aktivitas paranormal."

Pan Ma tersenyum miring, secara kebetulan, jika dipikirkan akhir-akhir ini, tidak ada lagi arwah Pan Zi yang mencoba berkomunikasi dengannya. Mungkin satu kali peringatan sudah cukup.

"Jika kau tidak percaya hal itu, percuma saja membicarakannya. Tapi untuk kali ini, aku cukup khawatir."

"Tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku," timpal Zhang Qiling. "Aku baik-baik saja."

"Yah, aku harap begitu."

Pan Ma tahu tidak ada gunanya berdebat dengan pria pendiam ini. Beberapa hal mungkin hanya cukup disimpan sendiri tanpa perlu ia sampaikan pada orang bersangkutan. Menghela nafas, Pan Ma meneguk sisa kopi. Keduanya hanya saling berdiam diri hingga matahari semakin naik dan Zhang Qiling pamit.

"Kau mulai lagi, 'kan?" Satpam itu mendekati Pan Ma ketika Zhang Qiling sudah pergi dengan mobilnya.

"Apa?" Pan Ma pura-pura tidak tahu.

"Bualanmu tentang penglihatan malam."

Satpam menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di samping Pan Ma.

"Tidak juga," tukas Pan Ma cemberut.

"Jadi, arwah sudah tidak lagi mendatangimu?" Satpam itu terkekeh geli.

"Ssttt, kali ini masalahnya bukan arwah," gumam Pan Ma, kasak kusuk.

"Apa lagi sekarang?" Satpam melayangkan tatapan curiga, tapi bercampur rasa ingin tahu.

"Masalahnya diri pemuda itu."

"Ada apa dengannya?"

"Aihhh ..." Pan Ma mendesah panjang.

"Aku masih belum yakin. Tapi jika sudah mendesak, aku harus memperingatkan dirinya lebih serius lagi."

"Kau selalu berteka-teki, menyebalkan!" geram satpam itu. Yang diomeli hanya menatap kosong ke luar pintu, di mana pucuk-pucuk magnolia bergoyang di bawah sinar matahari pagi.

*******

To be continued
Please vote 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro