Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Vision ~ 19

Dinner Dark Restaurant

Malam terasa lebih panjang bagi Xiao Hua saat ia menghabiskan waktunya mendengarkan omong kosong Hei Yanjing, pengalaman masa lalu maupun pekerjaannya. Semua terkemas bagaikan satu cerita horor bagi pemuda tampan yang berjuang menahan diri untuk tidak membentak dan menyuruhnya tutup mulut. Bagaimanapun, makanan di tempat ini lezat dan diam-diam Xiao Hua menilai bahwa selera kepala polisi payah ini cukup lumayan. Menunya makanan western, demikian pula anggurnya yang terbaik didatangkan dari Eropa.

"Malam ini akan menjadi malam istimewa bagi kau dan aku," selesai makan, Hei Yanjing mengoceh lagi.

"Apa kau sudah kenyang?" tanya Xiao Hua, berusaha tidak terdengar sinis.
"Kita bisa segera meninggalkan tempat ini."

"Mengapa terburu-buru?" Hei Yanjing cemberut. Tidak puas.

"Membosankan ..." Xiao Hua mendesah, menyandarkan punggung pada kursi. Menatap Hei Yanjing dengan putus asa. Sepertinya akan sulit baginya lepas dari pria ini.

"Aha, atau kau berencana mengunjungi tempatku malam ini?" Hei Yanjing menyeringai.

"Tutup mulutmu," desisan Xiao Hua cukup tegas diiringi lirikan tajam.

"Akan lebih baik jika kita pergi dan saling memisahkan diri sebelum aku memukulmu lagi dengan lebih keras."

Hei Yanjing mengendikkan bahu, pura-pura terkesiap. "Astaga, kau menakutkan."

"Katakan padaku, apa yang tim investigasi lakukan terkait kasus kecelakaan beberapa waktu lalu?" Tiba-tiba Xiao Hua membelokkan pembicaraan. Ada rasa penasaran menggigit, meski itu bukan kebiasaannya. Dia tidak berminat mengurusi urusan orang lain. Tapi masalah ini entah mengapa mengusik rasa ingin tahu.

"Aku tidak tahu," sahut Hei Yanjing. Sibuk menuangkan anggur.

Xiao Hua mendelik. "Tidak tahu?"

Pimpinan macam apa dia? Iisshh...

"Maksudku, aku tidak tahu mengapa Zhang Qiling begitu gigih menyelidiki kecelakaan itu. Ya, faktanya memang keluarga Ning sempat meminta investigasi menyeluruh. Tapi hasilnya nol. Tidak ada jejak mencurigakan. Itu murni kecelakaan tunggal dan Ning tidak akan hidup kembali." Dia mencibir tipis, gelengan kepalanya menjelaskan bahwa ia tidak suka bicara kasus di saat makan malam romantis.

Xiao Hua tidak peduli reaksi acuh tak acuh Hei Yanjing, meneruskan bertanya, "Apakah inspektur Zhang menyelidiki atas kemauan sendiri? Ataukah ada kepentingan pihak lain? Kupikir kalian para polisi tidak akan kekurangan kasus kriminal bukan?"

Nada sok tahu Xiao Hua mengundang kekehan ringan dari Yanjing.
"Apa ini hinaan? Kami kewalahan mengatasi semua laporan yang masuk. Kriminalitas terjadi setiap hari. Ada banyak berandal yang harus ditangkap. Terlebih di kawasan hiburan malam. Kau mungkin sudah tahu itu lebih dari kami."

"Yang benar saja." Xiao Hua cemberut, mengambil gelas anggur dan meneguk isinya.

"Aku hanya penasaran," dia melanjutkan.

Hei Yanjing mengangkat telunjuk, mengarahkan ke hidung si pemuda di depannya. "Aku juga penasaran. Siang itu aku dan dia menonton berita di televisi, di dalam ruanganku. Tiba-tiba saja dia memutuskan ingin mengambil kasus Ning dan melakukan investigasi menyeluruh. Padahal saat pagi hari dia tidak bersemangat dan berniat menyerahkan semuanya pada departemen lalu lintas. Aku belum bisa memahami kepribadiannya. Entah apa yang membuatnya berubah pikiran begitu cepat."

"Mungkinkah dia memahami dunia malam Jiangtan lebih baik darimu?" gumam Xiao Hua. "Mungkin ada seseorang menginginkan kematian sosialita itu. Dan Zhang Qiling menemukan satu petunjuk."

Hei Yanjing menggeleng. "Tidak mungkin. Dia baru empat bulan berada di Wuhan. Sesekali dia minum di bar tertentu. Itu kata para rekannya. Kudengar ayahmu dulu memiliki sebuah bar di kawasan Jiangtan. Apa kau datang kemari ingin mengambil alih?"

Xiao Hua termenung, mengetuk-ngetukan jari tengahnya ke sudut meja.

"Dan ya, bagaimana bisa kau mengenal preman jalanan bernama Touba? Sungguh tidak sesuai dengan penampilan berkelasmu," Hei Yanjing bersungut-sungut lagi.

"Aku mengenal beberapa orang di dunia hiburan malam. Touba salah satunya. Namanya tidak asing di dunia jalanan kejam dan berdebu itu. Aku juga memiliki seorang teman. Dia pelayan di Chloe's bar and Vins milik ayahku dulu."

"Apa aku mulai mendapat saingan?" goda Hei Yanjing.

Xiao Hua mendelik. "Tutup mulut kotormu. Dia hanya teman biasa. Seorang pemuda ramah dan baik. Aku belum sempat menemuinya."

Tiba-tiba dia teringat pemuda itu. Walau hanya berkenalan dan bicara sekilas sekitar dua atau tiga tahun lalu, dia masih teringat mata gelapnya yang bercahaya, senyum manis kekanak-kanakan dan caranya bicara maupun berteman bisa dikatakan cukup menyenangkan.

"Kau melamun. Apa mengingat teman lamamu itu?" Hei Yanjing digulung rasa curiga dan cemburu.

"Atau jangan-jangan kau memangsanya. Apa dia sangat tampan?"

Xiao Hua mengerling galak, sudah cukup semua kekonyolan malam ini. Gaya bicara Hei Yanjing yang menyebalkan dan menuduh dirinya memangsa pria tampan adalah penghinaan.

"Aku bosan dengan lelucon burukmu. Mari kita selesaikan makan malamnya!" Dia mencengkeram tepi meja terdorong rasa kesal.

Sekali lagi Hei Yanjing mengangkat bahu, menggigit tepi lidahnya, lantas berkata santai, "Oke. Selesaikan pembayaran. Kau yang traktir bukan?"

Ah, shitt!

Penghinaannya selesai. Xiao Hua menggeram, memanggil pelayan untuk meminta tagihan. Dia tidak akan pernah lagi mempermalukan dirinya karena duduk di meja yang sepi dengan seorang pria menjengkelkan, berusaha menghindari kontak mata dengannya, dan berusaha untuk tidak terlalu akrab. 

Bagaimanapun, dia akan segera menyelesaikan pekerjaannya, dan membatalkan sisa turnya di Wuhan. Lagipula dia tidak terlalu tertarik dengan ide untuk berlama-lama di sini. Beijing lebih cocok untuknya. Dia memiliki banyak kenangan indah di sana. 

Keduanya masih berdebat lagi selama perjalanan pulang. Hei Yanjing bersikeras untuk mengemudi dan hanya dia yang tahu ke mana mobil yang dikendarainya pergi. Xiao Hua duduk tegang dan cemberut, menatap langit malam yang semakin pekat tersaput awan hitam. Hujan rintik-rintik dan cara mengemudi Hei Yanjing yang selamban siput  membuatnya mengantuk dan dia tertidur di mobil dalam waktu yang lama.

*******

Setelah mengemudi kira-kira membentang dari titik dua kilometer ke tenggara, melewati  bangunan kolonial tua, Wu Xie menunjuk ke satu jalan yang menikung ke arah timur sebelum stasiun Metro Xunlimen di ujung barat.

Di jalan ini dapat ditemukan deretan kedai jajanan kaki lima. Zhang Qiling berpikir jalan ini lebih menarik daripada keramaian Jiangtan Nightlife itu sendiri. Kawasan ini lebih tenang dan sepi dengan segala kesederhanaannya.

Mereka memandang ke dalam kegelapan di mulut sebuah jalan kecil. Ada blok-blok rumah warga di satu sisi dan sisi lain adalah hamparan padang rumput diselingi pohon-pohon maple. Pucuk-pucuk oranye terbentang nyaris  menuju cakrawala hitam. Sekarang setelah bulan mulai bergeser ke titik puncak dalam warna pucat keabuan di balik awan, ada jeda waktu dari keramaian kehidupan kota  dengan sisi kawasan ini. Zhang Qiling merasakan kehangatan hari di musim semi berubah menjadi dingin yang samar tapi nyaman.

Ada barisan rumah bata bercat putih, atap merah atau hitam, ada flat tua di beberapa titik, tampak seperti sebuah bangunan tua yang menjelam hitam di bawah bulan sabit yang membatu.

"Rumahku berada di ujung jalan sana." Wu Xie menunjuk jalan kecil di hadapan mereka.

"Bukankah ini daerah Jiangshan," ujar Zhang Qiling, mengemudikan mobil ke jalan gelap. Ukurannya pas dengan satu kendaraan untuk masuk. Dia berdoa semoga tidak ada kendaraan lain dari arah depan.

"Kau sudah mengenali sebagian besar distrik ini dengan baik," Wu Xie menimpali sambil tersenyum santai.

Sepanjang jalan itu sepi tanpa penerangan lampu jalan. Ada beberapa lampion merah di ujung atap rumah warga memancarkan sinar merah kekuningan yang gelisah. Tidak terang benderang tetapi cukup untuk memberi tanda-tanda kehidupan.

"Rumahku berada paling ujung jalan ini. Komplek tua ini sebagian besar dihuni oleh warga senior, pensiunan yang kesepian, dan beberapa rumah bahkan kosong," Wu Xie menjelaskan. Tangannya menunjuk ke satu rumah tua berukuran sedang tetapi memiliki halaman yang luas. Pagar rumah terbuat dari kayu yang sama setinggi pinggang orang dewasa, membingkai satu taman kecil yang ditumbuhi semak bunga liar. Seperti kebanyakan rumah lain, rumah itu pun minim penerangan. Zhang Qiling menghentikan laju mobilnya, menatap ke bangunan di depan.

Wisteria merah muda meluncur turun bagai air terjun jatuh melintasi atap rumah. Mengayun lembut di bawah tembakan lampu jauh dari mobil yang dikendarai mereka.

Rumah tua itu cukup molek jika dirawat seperti seharusnya. Tetapi Wu Xie tampaknya tidak terlalu memiliki banyak waktu. Di sisi lain, pohon-pohon maple tumbuh tidak beraturan, guguran ribuan daun menutup jalan sehingga menciptakan suasana musim gugur di pertengahan musim semi. Daun-daunnya sebagian meranggas dan layu.

Memutar pandang, Zhang Qiling akhirnya terpaku pada kerlip lampion yang tergantung di teras rumah.  Suasana cukup hening di sini, hanya terdengar derum kendaraan di kejauhan dan nyanyian jangkrik.

"Selamat datang di rumahku," Wu Xie berkata ringan, gerakannya anggun saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Hembusan angin dingin menerbangkan serbuk sari dari bunga liar yang tumbuh di halaman rumah. Pemuda itu menoleh pada Zhang Qiling, membuka pagar kayu yang telah mengayun sebelumnya.

"Jika kau keberatan mampir, kita bisa duduk dan bicara di halaman."

Zhang Qiling bergegas menyusul langkah Wu Xie. Tatapannya langsung mengamati dengan teliti, seperti kebiasaannya menyelidiki satu lokasi peristiwa kriminal, dia menembakkan tatapan tajam dan penuh selidik.

Halaman itu ditumbuhi rerumputan liar dan semak-semak bunga. Keduanya berjalan menapaki jalan kecil di taman yang beralas kerikil, kemudian duduk di sebuah kursi rotan di teras.

"Kau terlihat cemas dan tegang sepanjang waktu." Wu Xie duduk di kursi rotan yang lainnya.

Mereka duduk berdampingan, memandangi pucuk-pucuk bunga liar yang berayun lembut, serta guguran wisteria merah muda yang tumbuh di pinggir rumah. Kelopak-kelopaknya beterbangan melintasi pagar.

"Aku memikirkan banyak hal." Zhang Qiling menunduk, menekuri batu kerikil yang bertebaran.

"Rumahku sangat tenang dan sepi. Tempat yang cocok untuk berpikir." Kalimat itu terdengar seperti ejekan halus yang tak bisa dibantah Zhang Qiling. Derik jangkrik menyayat keheningan, mengingatkan mereka pada satu suasana pedesaan yang jauh.

Memikirkan Wu Xie tinggal seorang diri di rumah sepi ini membuat Zhang Qiling merasa sedih. Pemuda ini harus bekerja sepanjang malam di bar, berbaur dengan keramaian, hanya untuk kembali ke kehidupan yang sunyi tanpa seorang pun di sisinya. Dia menunduk, menyembunyikan wajah muram penuh kepedihan yang tak beralasan.

"Mengapa kau terlihat begitu sedih?" tanya Wu Xie.

Meremas jemari, Zhang Qiling menyeringai tipis. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"Baiklah, kita tidak usah membicarakannya." Dia memandangi helaian kelopak melati yang mungil. Mencari pengalihan.

"Ayo kita membicarakan hal lain. Setelah kematian Touba, apa rencanamu selanjutnya?"

Zhang Qiling merasakan serangan ringan sakit kepala saat diingatkan akan kasus yang tengah ia tangani. Dia menggeleng lemah seraya mendecakkan lidah.

"Aku tidak tahu apa yang aku cari," desahnya. "Setiap petunjuk sepertinya mengarah ke jalan buntu. Aku merasa sepertinya jawaban yang dicari sedang menatap wajahku. Tapi aku tak bisa melihat mereka."

Aura muram dari sang inspektur menebar kemuraman juga pada sekitarnya. Wu Xie menunduk tanpa mengatakan apa-apa. Ekspresinya prihatin.

"Mungkin langkah selanjutnya, aku harus menemukan Shun Zi." Zhang Qiling menghela nafas panjang.

Wu Xie menanggapi dengan anggukan.

"Wu Xie, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanya Zhang Qiling ragu-ragu.

"Tentu." Wu Xie memungut satu kuntum melati, mendekatkan ke ujung hidungnya.

"Apakah Touba pernah memintamu untuk menemui Ning? Atau mungkin mengancammu melakukan sesuatu yang ilegal?"

"Ilegal?" Wu Xie mengerling.
"Apakah semacam transaksi narkoba? Atau prostitusi?"

"Jangan tersinggung," sergah Zhang Qiling, cemas.

"Itu penilaian banyak orang tentang para pekerja malam. Jangan khawatir Xiao ge, aku tidak akan tersinggung."

Tidak berani menatap lagi pada Wu Xie, dia menunduk merasa telah melontarkan pertanyaan yang salah.

"Jawabannya adalah tidak. Terakhir kali aku bertemu dengan Ning sekitar tiga bulan lalu. Dia bersama seorang teman prianya. Mereka mabuk dan nyaris tidak sanggup mengemudi. Touba memintaku mengemudikan mobil Ning. Setelah itu—selesai. Aku tidak pernah melihat mereka lagi."

Zhang Qiling menatap terkesiap. Rasa terkejut membayang tapi ada satu emosi lain memberontak dalam dirinya. Tidak rela membayangkan kalau ada sesuatu di antara Wu Xie dan dua orang yang mabuk berat.

"Mengapa kau tidak memberitahu hal ini padaku sebelumnya?"

"Benarkah? Kurasa aku sudah pernah mengatakannya." Wu Xie balas menatap.

Zhang Qiling menggeleng, tidak mampu mengingat. "Kawannya itu apakah namanya Jason?"

Wu Xie menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi aku bisa mengenalinya kalau aku melihatnya."

Menghela nafas sebanyak yang ia mampu, Zhang Qiling merasakan alirah darahnya tidak beraturan, dikuasai perasaan aneh dan rumit. Fakta mengambang yang baru saja ia dengar mengirimkan gelombang emosi yang menyesakkan.

Beragam pertanyaan timbul ke permukaan. Apakah mereka terlibat lebih jauh lagi dan mungkinkah sebenarnya Wu Xie terlibat dalam insiden kecelakaan Ning malam itu.

Mata bening Wu Xie menyimpan banyak kepingan misteri yang tak terjawab. Sekilas ada kesedihan dan kesunyian di sana, seolah pertanyaan Zhang Qiling memaksanya mengingat satu hal yang tidak menyenangkan.

"Aku masih tidak mengerti mengapa kau bersikeras memintaku menyelidiki kecelakaan Ning," ia bertanya dalam suaranya yang mendadak serak.

Tersenyum kosong, Wu Xie menjawab perlahan, "Aku sudah lama menunggumu untuk datang dan menyelamatkan aku."

"Jika kau ingin keluar dari dunia malam, aku bisa membantumu. Aku pernah mengatakan hal itu sebelumnya."

"Aku tahu. Tetapi belum saatnya. Ada hal yang harus aku lakukan, biarkan aku menyelesaikannya." Pandangannya beralih ke arah pohon-pohon maple.

"Wu Xie, rumah ini begitu sunyi, dan kau menjalani hidupmu sendirian. Sekali lagi kuyakinkan, tempatmu bukan di sini," lirih Zhang Qiling. Wu Xie menoleh sekilas dan tersenyum singkat.

Kebisuan malam melarutkan keduanya pada beragam pemikiran. Pria itu menunduk dalam-dalam sementara anak rambutnya menggeletar di pelipisnya. Dari samping, Wu Xie diam-diam mengamati wajah tampan sang inspektur beserta aura dingin dan kilasan kesedihan yang sesekali membayang di mata gelapnya. Senyumnya hambar, penuh keprihatinan yang tulus.

"Aku harus mengatakan, kau benar-benar berbeda dari petugas polisi lainnya. Kau bahkan bersedia peduli pada segelintir manusia sepertiku yang buat sebagian orang mungkin tak berharga. Percayalah, tempatmu juga bukan di sini ..."

"Benarkah?"  Zhang Qiling memaksakan satu senyuman.

"Ya, kau sungguh peduli dengan orang lain tanpa menginginkan imbalan apa pun. Tidak terlalu banyak orang seperti dirimu di sini."

Entah pujian itu nyata atau kosong, Zhang Qiling hanya menyeringai sekilas walaupun dalam benaknya ia mengakui bahwa pendapat Wu Xie tentang dirinya cukup berpengaruh pada suasana hati saat ini. Mendengar ungkapan dan tatapan kekaguman tanpa ragu, ia merasakan kecamuk emosi yang saling membelit. Dia bahagia dengan kejujuran Wu Xie dalam memujinya, satu sisi lain ia bimbang apakah dirinya memang sebaik dan sepeduli itu pada orang lain.

Jawabannya mungkin tidak. Dan hanya dia yang tahu tentang itu.

"Bisakah kau menceritakan seberapa jauh kau mengenal kehidupan malam di Jiangtan? Kukira tempat-tempat semacam itu tidak benar-benar aman." Sewaktu mengatakan itu, Zhang Qiling kembali teringat pada Touba. Preman licik yang bersedia melakukan pekerjaan ilegal apa saja.

"Tidak ada tempat yang benar-benar aman di dunia ini," gumam Wu Xie merenung.
"Manusia tidak akan pernah merasa aman dari gangguan, bahkan dari dirinya sendiri. Bahaya dan kematian bisa menjemput kapan saja dan di mana saja. Tempat itu cocok untuk bersenang-senang, tetapi bukan untuk bahagia. Dan tidak terlalu aman, tentu saja. Tetapi, asal selalu waspada, kukira hal buruk tidak akan terjadi."

Zhang Qiling setuju akan pendapat Wu Xie. Tetapi sekali lagi, kematian Ning yang masih jadi misteri kembali mengganggunya. Benarkah tidak ada seseorang yang menyebabkan kecelakaan itu dan mengincar kematiannya.

"Bagaimana dengan Chloe bars and Vins tempatmu bekerja?"

Butuh waktu lama bagi Wu Xie mengingat sebuah cerita. Di antara temaram pendar lampion yang gelisah, perlahan bayangan peristiwa menghampiri benaknya.

"Beberapa bulan yang lalu ada salah seorang pelayan pergi keluar bersama dua orang tamu, dia tidak pernah kembali. Tak ada yang mendengar kabarnya sejak itu. Tidak ada yang tahu apakah dia hidup atau mungkin sudah mati, dan tidak ada yang peduli," untaian kalimat Wu Xie diucapkan secara lambat dan penuh perenungan mendalam.

"Maksudku, pikirkanlah ... seorang manusia menghilang begitu saja, dan itu tidak ada bedanya bagi siapa pun."

Kejadian semacam itu rentan terjadi, terlebih di dunia hiburan malam. Disergap rasa khawatir, Zhang Qiling mengernyitkan kening dalam-dalam, "Sudahkah kau melaporkannya ke polisi?"

Wu Xie menatap terkesiap diiringi kilasan senyum ironis. "Aku tidak yakin. Pekerjaan di bisnis hiburan malam terkadang masih dipandang ilegal dan abu-abu. Banyak orang bertanya-tanya sebenarnya bisnis apa yang dilakukan para pekerja di sana. Apakah murni menjual minuman dan musik pada orang frustasi ataukah ada obat terlarang dan juga prostitusi. Bagi sebagian kalangan, orang-orang di kalangan bawah bahkan nyaris tidak pernah ada. Mereka menutup mata pada manusia yang bertahan hidup di lorong-lorong gelap, di bawah jembatan maupun di jalanan. Dunia sangat kejam bagi satu bagian, dan cukup ramah bagi sebagian lainnya. Bukan begitu, Xiao ge?"

Gemerisik dedaunan menyela pembicaraan mereka teriring nyanyian jangkrik berderik. Zhang Qiling mendesah perlahan dan hanya mampu menikmati kesunyian yang pedih.

"Apakah benar-benar sesuram itu?" gumamnya.

"Ya, aku bahkan bisa menghilang kapan saja ..." Wu Xie berkata dengan wajah muram.

"Tapi aku ingin kau tak pernah menghilang dari pandanganku, dari hidupku." Suaranya tidak terlalu keras dan tegas, tapi Zhang Qiling berharap itu cukup untuk meyakinkan Wu Xie.

"Aku juga tidak ingin menghilang." Wu Xie mengangkat tangan, menumpangkan telapak di atas punggung tangan Zhang Qiling. Pria itu terkesiap. Namun, segera memberikan tanggapan dengan meremas jemari halus Wu Xie. Dia menarik jemari itu ke bibirnya, menciumnya lembut. Tatapannya dalam dan aneh.

"Apa yang kau inginkan?" Wu Xie menghirup aroma melati yang mulai berbunga, merambati pagar kayu.
"Mengapa kau menatapku seperti itu?"

"Cinta," Zhang Qiling menjawab tanpa ragu, melempar senyum tipis.

"Cintamu ..."

Wu Xie balas tersenyum misterius. "Kau pandai memanfaatkan kesempatan."

"Aku tidak bermaksud—"

Jemari Wu Xie mendarat di bibir Zhang Qiling untuk mencegahnya terus bicara.

"Lupakan. Harus kuakui, aku tidak pernah melakukan satu hubungan semacam itu, kau tahu maksudku, kupikir aku akan melakukannya dengan gadis cantik bertubuh indah. Tapi malam ini aku berpikir mungkin—"

Wu Xie  menggantung kalimatnya membuat dada Zhang Qiling bergetar.

"Apakah kau ingin melakukannya denganku?" Dia meremas jemari Wu Xie semakin erat, perlahan bangkit berdiri, menarik lembut bahu Wu Xie untuk ikut berdiri juga.

"Haruskah kita masuk ke dalam rumah?" gumamnya, gugup.

Wu Xie tertawa kecil.

"Tentu saja. Itu pertanyaan konyol. Malam ini kau terlihat sangat naif, Xiao ge ..."

Dia berjalan menuju pintu, berharap ada sesuatu yang akan Zhang Qiling katakan. Tapi kata-kata lainnya nampak tidak berguna.

Ketika pintu terbuka dan tertutup di belakangnya, Wu Xie menempelkan dahinya ke dahi Zhang Qiling. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan, tidak punya kata-kata untuk itu. Dia mengharapkan momen ini. Perasaannya selalu datang dengan mudah, yang baik bahkan yang buruk sekalipun. Tapi rawa emosi yang bergejolak di dalam dirinya pada saat-saat romantis ini terasa baru, menegangkan, dan sedikit menakutkan.

Bagi keduanya yang seringkali memimpikan satu sama lain, momen ini terasa mirip mimpi yang kerap menghantui. Mereka kini bersama, berpelukan, dan ini adalah anugerah.

"Aku mencintaimu ..." Lengan Zhang Qiling menyelinap, melingkar di sekeliling pinggang Wu Xie. Aroma bunga gardenia menguar dari tubuh pemuda itu.

"Kau merasa gugup?" tanyanya.

Wu Xie tersenyum agak canggung, mengangguk dan menarik tubuh keduanya yang saling berpelukan untuk menuju satu pintu lain dalam rumah itu.

Pintu itu terbuka dan terlihatlah satu kamar molek tidak terlalu luas dengan dekorasi sederhana, tetapi memberikan kesan menenangkan.

Satu tempat tidur berukuran sedang dilapisi sprei satin putih melambaikan godaan tersendiri. Mereka mulai berciuman lembut, kemudian semakin panas, dan menjatuhkan diri ke tempat tidur untuk memulai perjalanan menyenangkan ke surga.

*****

Aiyaaaa....🏃🏃

To be continued
Please vote ah💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro