Vision ~ 17
Kedua pria yang berkelahi berada dalam jarak dua meter dari meja sewaktu Zhang Qiling dan Pangzhi melangkah masuk ke ruangan utama. Dia melihat Xiao Hua mencoba melayangkan pukulan dan Hei Yanjing menangkap tinjunya dengan kedua tangan, hanya setengah jengkal di depan perutnya. Salah satu kaki Xiao Hua mengayun, disambut gerakan kaki juga, dan tampak tidak ada kekuatan di sana sama sekali. Hanya pukulan yang tidak berbahaya di bagian paha.
Kemudian semua kekesalan yang tertahan coba dimasukkan Xiao Hua ke dalam setiap serangan digunakan melawan pimpinan polisi yang meladeni kemarahannya dengan santai. Xiao Hua kembali mengayunkan kaki menendang betis Hei Yanjing, membuat pria itu kehilangan keseimbangan.
"Berhenti bicara omong kosong!" dia berteriak pada Hei Yanjing.
"Memangnya apa yang kukatakan, kenapa kau tiba-tiba sangat marah?" Pria itu pura-pura terkesiap.
"Jangan mengelak!" dia berkata. "Kau pasti berniat busuk padaku."
Xiao Hua memberikan banyak ejekan dalam suaranya, seperti umumnya seseorang yang sangat jengkel karena merasa dilecehkan akan sesuatu.
"Aku, kan, hanya bercanda," Hei Yanjing berkata, kini posisinya terdesak dan ditekan ke satu pilar.
"Xiao ge, apa pemuda ini sudah gila?" Memperburuk suasana hati Xiao Hua, Hei Yanjing menyeringai dan bertanya pada Zhang Qiling.
Xiao Hua semakin geram dan kembali bergerak. Lengan dan kakinya mulai melakukan gerakan untuk mencengkeram leher. Terbatuk-batuk, Hei Yanjing memukul-mukul tidak karuan sebentar dan kemudian menarik lehernya menjauh dari cengkeraman Xiao Hua. Dia berhasil membebaskan diri dalam dua detik walaupun mulai tersedak karena tekanan di tenggorokannya.
Jika lawannya orang biasa, serangan dan pukulan Xiao Hua bisa membuat lawan ambruk, sakit pusing dan mual selama seminggu atau hampir tidak bisa berdiri. Tetapi Hei Yanjing adalah lawan yang tangguh. Sebenarnya, pria itu hanya tidak bersungguh-sungguh melayani kemarahan Xiao Hua dan membiarkan dirinya kalah. Dia sudah terbiasa berkelahi dan perdebatan kecil ini ibarat lelucon baginya, satu cara unik menggoda pemuda tampan pemarah yang baru saja ia kenal.
"Aiishh! Aku benar-benar sial!" Xiao Hua bergerak mundur, mengepalkan tinjunya, berusaha mengendalikan kekesalan.
"Seharusnya aku tidak bertindak bodoh dengan datang kesini bergabung bersama pria aneh sepertimu," ia mengumpat pada Hei Yanjing. Pria yang dibentak hanya terkekeh, menepuk-nepuk bahu dan lengannya yang terasa berdenyut akibat perkelahian tolol barusan.
"Sudahlah, jangan kekanak-kanakan. Kau sudah memakan semua hidangan bukan?" timpal Hei Yanjing santai.
"Kau!!" Xiao Hua menggeram, mengarahkan telunjuknya pada hidung sang pimpinan polisi.
"Jika kau sangat marah, aku tidak keberatan kau muntahkan kembali makanannya," Hei Yanjing masih bertekad menggoda pria itu.
"Sial.."
Tidak mampu menyangkal, Xiao Hua hanya menggertakan gigi.
"Kalian sudah selesai?" sela Pangzhi, menatap Xiao Hua dan Hei Yanjing bergantian.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Zhang Qiling, setengah tidak berminat.
"Boss kalian!" Xiao Hua menunjuk lagi wajah Hei Yanjing.
"Dia berusaha melecehkanku secara verbal."
"Apa?" Pangzhi meringis, wajahnya prihatin.
"Seharusnya aku menasehatimu sejak awal. Kau tidak perlu terlalu menanggapi pimpinan Hei. Dia memang suka bercanda."
"Omong kosong!" Xiao Hua cemberut.
"Jelas-jelas dia berpikiran kotor."
"Itu hanya perasaanmu saja," tukas Hei Yanjing, merapikan kerah kemejanya.
"Kau terlalu memasukkan ke dalam hati semua ucapanku. Jangan terlalu serius, aku khawatir kau kecewa."
Xiao Hua mendelik putus asa.
"Sudahlah," potong Zhang Qiling, kemudian dia melambaikan tangan pada pelayan.
"Jika makannya sudah selesai, kita bubar saja," ia menambahkan.
"Bagus sekali. Lagipula aku sudah tidak tahan!" Xiao Hua melirik galak.
Lagi-lagi, Hei Yanjing hanya menyeringai.
"Kita akan bertemu lagi."
Dia tertawa kecil, memamerkan barisan giginya.
What the f***
Melayangkan tatapan penuh kedengkian, Xiao Hua lebih dulu beranjak pergi meninggalkan petugas polisi yang berdiri, memasang ekspresi bingung secara bersamaan.
*****
Selalu ada momen tertentu dalam hidup seseorang saat kau merasa hidupmu terpecah. Siang itu, Xiao Hua mengalami fase kekacauan yang tak terduga saat dua orang petugas polisi menjemputnya ke apartemen miliknya membawa surat perintah penangkapan.
"Mau apa kalian kemari?" Kemarahan di wajahnya adalah khas pria yang diturunkan dari generasi di atasnya, penuh wibawa dan aura mengancam.
Opsir itu tidak berkata apa-apa, tetapi surat perintah yang ia tunjukkan menjawab semuanya.
"Jika Anda memiliki keluhan, Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi," opsir itu berkata. Dan itulah, lebih dari kemarahannya, rasa penasaran lebih mendominasi.
Dua orang polisi itu maju untuk memasang borgol di tangannya, dan bagi Xiao Hua, sentuhan yang tidak familiar sulit ditoleransi. Dia menepis tangan petugas, menepuk kemeja yang ia kenakan seolah sentuhan tangan mereka bisa membuatnya tidak suci lagi.
"Aku penasaran apa yang akan terjadi di sana," ia mendengus.
"Jangan bersikap kasar, Hua ye. Kalau tidak, kami bisa menambahkan dakwaan terhadapmu," saran si petugas.
"Dakwaan?!" Xiao Hua mendengking gusar, mendelik pada dua opsir berwajah poker di hadapannya.
"Sebenarnya atas kejahatan apa aku ditangkap?!"
"Anda menganiaya petugas polisi, dan itu melanggar hukum."
"Menganiaya??!" Xiao Hua menahan nafas. Apa-apaan?
"Ikut kami. Anda harus menghadap pimpinan untuk meminta maaf."
"Maaf??" Xiao Hua bengong sampai satu cahaya terang berkelip di belakang kepalanya.
Hei Yanjing?! Jangan-jangan!
Aarrghh...
Dengan wajah cemberut, ia membiarkan dirinya digiring turun dari unit apartemen untuk memasuki mobil polisi.
*****
Uap tipis masih naik perlahan dari kopi dalam cangkir. Beberapa waktu lalu seorang petugas menyajikannya di atas meja. Zhang Qiling melirik sekilas, terusik dengan aromanya dan menghirup beberapa tetes sebelum mengambil surat kabar HBC News di sudut meja.
Berita mengerikan terpampang di halaman depan tentang penemuan mayat gadis yang dilemparkan ke sungai dan mayatnya baru muncul ke permukaan setelah empat hari.
Astaga, entah berapa banyak kasus pembunuhan yang terjadi dalam satu hari di kota besar ini. Dia meletakkan kembali koran dan menyandarkan bahu tegangnya ke kursi.
Tapi berapa lama dia bisa tetap menyelam, cepat atau lambat dia harus muncul ke permukaan ...
Bisikan Wu Xie kembali mengusik benaknya.
Zhang Qiling termenung. Tidak bisa menemukan titik terang maupun jejak petunjuk yang mungkin diberikan Wu Xie lewat kata-katanya. Selain senyuman manis yang bisa membangunkan jiwanya dari jeratan mimpi buruk, tidak ada yang bisa ia pahami dari Wu Xie. Apa semua tindakannya hanya berupaya menggiring dirinya pada satu jejak misteri yang tak terpecahkan, menempatkan dirinya di tempat yang Wu Xie inginkan.
Dia kembali melirik koran, membaca beritanya dengan lebih teliti. Berita tentang penemuan mayat gadis korban pembunuhan itu jelas tidak ada hubungannya dengan kasus hilangnya Touba. Tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba terdengar seperti sebuah petunjuk.
Seperti tersengat listrik, Zhang Qiling melompat bangkit dari duduknya dan keluar ruangan mencari Pangzhi. Rekannya itu tengah berdiri di samping meja, berceloteh dengan petugas lain sambil memegang secangkir kopi.
"Pangzhi!"
"Ya Xiao ge!" Meletakkan cangkir di atas meja, Pangzhi terkesiap dan berdiri tegak.
"Kau punya foto Touba bukan?"
Pangzhi meringis. "Yah, kurasa salah satu petugas masih menyimpannya."
"Kirim foto dan deskripsi Touba ke semua rumah sakit dan kamar mayat secepatnya!"
"Siap!"
Pangzhi menuju kursinya dan mulai sibuk dengan laptop dan laporan serta menghubungi beberapa pihak rumah sakit yang tersebar di seluruh kota.
"Mungkin akan menghabiskan waktu seharian dan mungkin hasilnya bisa saja nol besar," ia berkata pada Zhang Qiling.
"Tetapi kita harus mencoba."
"Aku akan melaporkan secepatnya begitu ada hasil."
Kembali ke dalam ruangan, Zhang Qiling tiba-tiba sangat ingin menghubungi Wu Xie. Dia ingin mendiskusikan beberapa hal dengannya, termasuk asumsi brilian atas menghilangnya Touba yang mungkin berujung pada kasus kematian.
Astaga, kenapa ia tidak memberikan nomor ponselnya.???
Zhang Qiling mendesah putus asa, memijat pangkal alis kuat-kuat, sementara denyutan mulai menyerang belakang kepala dan sebagian lehernya.
Dia harus memberi hadiah ponsel pada Wu Xie dan memaksanya agar mau menerima. Dengan begitu mereka bisa lebih mudah berkomunikasi.
Saat ia baru saja menghela nafas panjang, melemaskan otot yang tegang, suara hingar bingar dan umpatan terdengar dari arah lobi. Apakah ada pencuri kelas teri yang baru saja ditangkap, ataukah komplotan wanita penjudi lagi.
Ahh, menyebalkan sekali..
ia membatin resah.
Mungkin saatnya ia minum obat.
*****
Pintu ruangannya terbuka dan Hei Yanjing melangkah masuk. Satu pemandangan tidak biasa menantinya dalam ruangan. Pria itu tersenyum, menyesuaikan letak kacamata hitamnya.
"Aku senang melihatmu di sini," ia berkata, menutup pintu di belakangnya dan mendekati kursi di mana Xiao Hua duduk dengan satu tangan diborgol, dihubungkan pada tepi kursi.
Menatap ekspresi cabul pria di depannya, Xiao Hua menggigil, seolah kedinginan. Rasanya seperti pecahan kaca ditusukkan ke perutnya. Melilit dan nyaris mual. Dia melirik galak. Sebagian dalam dirinya tahu bahwa dia harus mengatakan sesuatu yang menyayat atau mengancam, sejenis ungkapan kemarahan. Tetapi lidahnya kaku.
"Maaf membuatmu menunggu. Aku harus bicara dengan wakil dari kantor pusat. Oh ya? Kopi atau teh?" Hei Yanjing berdiri tidak jauh dari Xiao Hua, dengan pinggang bersandar pada meja kerja.
Tawaran yang tulus, diucapkan dengan senyuman. Namun, Xiao Hua semakin merasa jengkel. Dia berdecih dan melirik ganas.
"Ah, baiklah. Kopi hitam lebih cocok di saat tegang begini. Apa kau sudah makan siang? Bagaimana kalau kita makan bersama? Tetapi kau tidak boleh memukulku lagi, atau aku akan kembali menculikmu. Mungkin lain kali aku harus membawamu ke rumahku."
"Tutup mulutmu!" Xiao Hua mendelik.
Semakin pemuda itu kesal, Hei Yanjing semakin melebarkan senyumnya.
"Kau sangat pemberani. Bagi orang biasa, kantor polisi adalah tempat untuk menginspirasi rasa takut. Terlebih dalam ruangan tertutup bersama pimpinan. Itu memberikan perasaan seperti diinterogasi dan diancam."
Xiao Hua mendengus bosan. Dia tidak terpengaruh ocehan pria itu, juga tidak melakukan apa pun untuk mendinginkan suasana.
"Jadi, kau mau makan apa?" tanya Hei Yanjing, kini bergeser ke kursi putar tempat dia biasa duduk menghadapi setumpuk pekerjaan.
"Lepaskan aku, sialan!" Xiao Hua mendesis, berjuang meredam kemarahan dalam suaranya.
Kata-kata umpatan tidak berguna bagi Hei Yanjing, dia tersenyum lebar, menatap, menolak untuk menerima provokasi.
*****
Sore menjelang matahari terbenam, penyelidikan Pangzhi membuahkan hasil. Satu rumah sakit besar memberikan keterangan tentang adanya satu mayat yang sesuai dengan deskripsi Touba. Dia menyerbu ke meja Zhang Qiling, mendapati pria itu termangu membaca beberapa berkas. Tetapi fokusnya seolah tidak berada di sana.
"Aku menemukannya Xiao ge!"
"Ya?" Sama sekali tidak terkejut, Zhang Qiling mengangkat wajah dari berkas.
"Preman tengik itu."
"Informasi apa yang kau temukan?"
"Mereka mengatakan bahwa mayatnya baru ditemukan sehari yang lalu dalam kondisi mengapung di permukaan sungai tidak jauh dari lapangan tempat diadakannya karnaval Baihe Hua," Pangzhi melapor dengan gaya orang penting.
Zhang Qiling menatap dengan lingkar keabuan mulai nampak di sekeliling matanya. Dia terlihat sangat gelisah.
"Di rumah sakit mana tepatnya?"
"Red Cross Hospital."
"Baiklah kita kesana sekarang juga." Dia bangkit dari duduknya, mencoba menegakkan lutut yang lemas.
"Kau baik-baik saja, Xiao ge?" tanya Pangzhi.
"Ya. Apa ada sesuatu yang salah?" Sang inspektur melirik tanpa ekspresi.
"Kau terlihat lelah. Bagaimana jika kita mengecek ke rumah sakit besok saja. Kau bisa pulang dan beristirahat," saran Pangzhi penuh ketulusan.
Beristirahat? Zhang Qiling menyeringai samar.
Pikirannya dipenuhi banyak hal dan Wu Xie memiliki posisinya sendiri di hatinya. Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu tanpa alasan yang jelas. Dia mungkin tidak akan bisa beristirahat meskipun berbaring santai di tempat tidurnya yang nyaman dan menenggak Zolpidem dalam dosis besar.
Akan lebih beruntung jika dirinya jatuh pingsan
"Aku baik-baik saja. Ayo kita jalan!" Dia bergegas melintasi ruangan, melewati ambang pintu dan tampil keluar dengan pura-pura bersemangat.
Suara-suara itu masih terdengar dari balik pintu ruangan Hei Yanjing. Begitu mereka melewatinya, ada bunyi lain berupa pukulan pada meja dan benturan benda keras. Disusul gerutuan kesal melayang dari dalam, menumbuhkan kesalahpahaman dalam benak siapa pun.
"Sebenarnya apa yang dilakukan pimpinan Hei?" dengus Pangzhi.
"Pemuda itu sudah berada di dalam selama beberapa jam. Mungkinkah dia tidur di sana?"
Zhang Qiling hanya mengangkat bahu.
"Dia benar-benar terobsesi dengan pemuda tampan dan galak itu." Pangzhi menyelipkan kedua tangan ke dalam saku, berjalan melewati pintu pimpinan dan mengabaikan rasa penasaran yang mengganggunya.
"Katanya dia mengeluarkan surat perintah untuk menangkap Xiao Hua."
"Hmmm ..." Zhang Qiling bergumam. Mereka terus berjalan hingga mencapai pintu keluar. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, dan pelataran parkir mulai lengang.
"Sepertinya pimpinan Hei sedang jatuh cinta. Astaga, aku tak menyangka."
Tak henti menggelengkan kepala, Pangzhi membuka pintu mobil, menyamankan diri di balik kemudi. Dia menoleh pada Zhang Qiling yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bagaimana denganmu Xiao ge, apa kau sedang jatuh cinta juga? Jangan katakan bahwa kau juga mencintai sesama pria seperti pimpinan Hei," celetuk Pangzhi lagi.
Sedikit hembusan udara masam menerpa pipinya dari arah jendela. Zhang Qiling hanya menghela nafas sambil menutup pintu mobil. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, juga tidak punya cara untuk menjelaskan emosi apa pun yang mungkin sedang atau akan dia rasakan. Hati dan pikirannya menyimpan semua rahasia, dan saat ia mengingat Wu Xie tanpa bisa dicegah, uap hangat seakan menyentuh sisi lain wajahnya. Membuatnya merona samar.
"Entahlah ..." dia menunduk, bergumam perlahan. Menatap jalanan muram di ambang malam, semburat jingga di angkasa perlahan ditelan kegelapan.
*****
Red Cross Hospital
Zhang Qiling dan Pangzhi berjalan menyusuri lorong rumah sakit mengikuti langkah seorang dokter. Ini bagian tersuram dari bangunan rumah sakit, penerangan bahkan tidak sebaik di bagian lain. Mereka berhenti di jalur suram dan sepi, pintu paling ujung merupakan kamar mayat yang terlihat menakutkan bahkan dari luar. Dokter forensik yang memeriksa mayat teridentifikasi Touba menunjuk ke dalam.
"Di sini," ia berkata memecah ketegangan.
Seorang penjaga membantu membuka pintu, membiarkan tiga orang itu masuk. Dokter menuju satu brankar di antara barisan mayat-mayat tertutup kain putih. Suasana mencekam dalam keremangan di dalam disertai aroma menyengat dari beberapa jenis cairan kimia tertentu. Dokter menarik satu kain penutup mayat di mana mayat seorang pria terbujur kaku biru keabuan.
Pangzhi menahan nafas, tersentak melihat ekspresi mayat yang seolah diliputi teror dan rasa tidak percaya akan datangnya kematian yang tiba-tiba. Kedua petugas itu sama-sama mengeluarkan sapu tangan, menutup hidung mereka dari serangan bau tidak sedap yang membuat kepala pening.
"Kemarin malam sekitar pukul sembilan, mayat ini dibawa kemari."
Dokter menunjuk bagian dahi korban di mana ada satu lubang hitam kebiruan.
"Luka tembak di kepala. Forensik sudah memeriksa mayat ini. Dari kedalaman luka, kemungkinan bisa diketahui bahwa pembunuh berada si kejauhan dengan jarak hampir dua ratus meter. Selongsong peluru dan bekas luka membuktikan bahwa senapan kaliber 0.315 yang digunakan."
"Itu hanya mungkin dilakukan oleh seorang pembunuh yang bersembunyi dari jarak jauh," ujar Zhang Qiling.
Dokter itu menoleh pada penjaga dan berkata, "Staff kami menemukan kunci dari saku pakaian yang dikenakan korban. Itu kunci kamar sebuah motel di kawasan pinggiran bernama Xijiang."
"Apa kau meminta pihak lain memeriksa barang milik korban?" selidik Zhang Qiling.
"Sebenarnya tidak begitu. Kami hanya memberitahu pihak divisi patroli, dan mereka mengambil inisiatif untuk melacak identitas korban agar bisa mengirimkan informasi pada pihak keluarganya."
"Di mana kami bisa melihat barang milik korban?"
Dokter mengangguk pada si penjaga yang segera tanggap, penjaga itu menoleh pada Zhang Qiling dan mengangguk.
"Silakan ikut saya."
Barang milik Touba hanya berupa satu ransel berukuran sedang berwarna hitam, serta sebuah koper kecil yang terlihat kuat dan mahal. Petugas rumah sakit meletakkan ransel dan koper itu di satu ruangan mirip gudang penuh sesak dengan benda-benda lain.
"Kami memperoleh barang-barang ini dari kamarnya." Si petugas menekan saklar dan lampu menyala.
"Tetapi tidak menemukan kartu tanda pengenal."
Pangzhi berinisiatif membongkar isi ransel, mengeluarkan isinya yang terdiri dari beberapa lembar pakaian.
"Dia tidak memiliki apa-apa selain pakaiannya," ujar Pangzhi.
"Tidak ada satu pun untuk mengidentifikasi dirinya."
"Periksa kopernya juga," perintah Zhang Qiling.
Koper itu kosong setelah Pangzhi mengeluarkan semua pakaian. Kedua petugas itu saling berpandangan bingung. Kemudian Zhang Qiling memeriksa sendiri dan mencoba mengangkat koper, ada satu keanehan pada bobot benda itu.
"Kenapa berat sekali?" Ia mengernyit, jemarinya mengetuk-ngetuk dasar koper dan menemukan sesuatu tersembunyi di baliknya.
Pangzhi mengeluarkan sebuah belati kecil dari balik sabuk dan menyerahkannya pada Zhang Qiling. Dengan belati itu ia menyayat setiap sisi sehingga bagian dasar koper sobek dan terbuka.
Apa yang tersembunyi di situ membuat mereka serentak menahan nafas. Tumpukan uang kertas dalam pecahan seratus dollar padat mengisi tiap celah. Itu bisa dipastikan jumlahnya mencapai setengah juta dolar atau bahkan lebih.
Zhang Qiling dan Pangzhi kembali berpandangan. Kini jelas terbukti kasus pemerasan di balik kematian Ning. Touba dan Shun Zi adalah pelakunya. Kini Touba telah mati dan uangnya masih tersimpan rapi.
Pertanyaannya adalah siapa yang menembak Touba?
Mungkinkah Shun Zi? Atau orang lain?
*****
To be continued
Please vote 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro