Appointment 6
Memory
Shen Wei, 7 tahun
Dulu bukan hanya ada dirinya. Ada saat-saat di mana ayah dan ibu hadir dalam kehidupannya. Tapi itu dulu sekali, hingga rasanya mungkin di kehidupan yang sebelumnya.
Shen Wei merasa kesulitan mengingat beberapa hal, dan kesulitan melupakan beberapa sisanya.
Waktu itu musim gugur. Shen kecil ingat hari yang dingin itu karena dia merapatkan jaketnya. Hari sudah sore ketika ia pulang dari belajar kelompok dan masuk ke dalam rumah tua yang sepi di sebuah komplek kecil kota Wuhan.
Shen Wei menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan mental untuk mendengar teriakan ibu dan bunyi berisik gelas pecah.
Perlahan-lahan, ia membuka pintu rumah cukup lebar untuk melihat, tanpa didengar.
Adegan yang dimainkan oleh orang tuanya membuat Shen kecil mual. Ibu memegangi bagian bawah jaket ayah, berusaha keras mencegah pria itu pergi.
Wajah ibunya tampak merah dan basah oleh air mata sementara ia menangis meraung-raung. Ibunya terlihat seperti tidak punya harga diri.
Ayah menarik jaketnya hingga lepas dari genggaman ibu dan mendorong wanita menyedihkan itu dengan satu tangan.
"Semua sudah berakhir sejak lama! kau dan aku tahu itu!" ayahnya membentak.
"Tidak! Tidak...!" ibunya kembali meraung di sela air mata.
"Aku akan pergi. Katakan pada Shen Wei aku akan menemuinya sesekali."
"Tidak! Kau hanya ingin keluar malam bukan? Kau ingin berkumpul bersama teman-temanmu? Katakan kau akan kembali!"
"Semua sudah berakhir!"
"Kau seperti anak kecil! Kau pengecut! Aku benci padamu!" raungan ibunya berubah menjadi kemarahan dalam satu detik.
Tepat setelah itu ayah memutar tubuh sambil menyeret kopernya, dan seperti adegan di film-film drama, kedua orang dewasa itu bersitatap dengan sang putra yang berdiri kebingungan di ambang pintu.
Ayahnya menghampiri Shen kecil dan memeluknya dengan canggung, anak itu menegang ketika merasakan sentuhan sang ayah yang tiba-tiba menjadi asing.
Shen Wei tidak mengingat kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya. Yang dia ingat adalah adegan sang ayah masuk ke dalam mobil dan pergi dari kehidupannya untuk selama-lamanya.
Sekarang yang tertinggal adalah gaung tangisan sang ibu yang merana.
"Semua sudah berakhir!" ibunya menangis dengan keras. Pandangannya dingin dan marah, terhujam pada sang putra yang mengawasi dengan wajah lugunya.
Sementara ibunya bersandar lemas di dinding dan melanjutkan tangisan kemarahan dan kesedihan yang campur aduk. Shen kecil berpikir apakah mungkin dirinya adalah penyebab dari semua kekacauan ini?
Apakah karena dirinya tidak hebat?
Apakah karena dirinya terlalu banyak bicara jika dinasehati?
Sekeras apa pun Shen Wei memikirkan alasan kehancuran keluarganya, dia tidak bisa menemukan jawaban.
Dia hanya tahu satu hal, bahwa masa kecilnya yang indah, sama sekali tidak berkesan.
Hanya ada warna hitam dan abu-abu.
💜💜💜
Dikatakan bahwa orang yang sudah mati tidak akan mencari kematian lagi. Tetapi sebagian lainnya benar-benar tak berniat pergi meninggalkan dunia, seolah-olah di dalam hati mereka kehidupan itu tetap tinggal dan berulang kali memastikan 'aku masih hidup. Aku masih hidup'.
Zhao Yunlan memarkir mobilnya di pelataran sebuah taman. Saat itu menjelang sore dan matahari bersinar terkadang terang benderang terkadang meredup.
Dia turun dari mobilnya. Melirik jam tangan, menghitung berapa lama waktu yang telah ia buang dengan berkeliaran tanpa tujuan di jalanan. Dia melarikan diri dari kantor selepas makan siang dan tak berniat untuk kembali ke sana.
Zhao Yunlan menghampiri sebuah stand penjual minuman, memesan mocacinno dingin dan duduk di sebuah bangku taman di bawah keteduhan bayang-bayang pohon flamboyan.
Meneguk minuman dalam paper cup, dia melayangkan pandang ke sekitar, menyaksikan beberapa orang berlalu lalang.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Zhao Yunlan menoleh, lantas membelalakkan mata karena terkejut.
Seorang pria tua berdiri dekat bangku, tersenyum padanya. Zhao Yunlan nyaris menumpahkan minuman, seiring tangannya yang gemetar terangkat mengarahkan telunjuk pada pria itu.
"Kau.... kau...."
Zhao Yunlan nyaris tersedak. Tetapi dia menahan diri untuk tidak jatuh pingsan karena dia tak yakin pria tua itu akan membawanya ke rumah sakit jika dia tak sadarkan diri sekarang.
Bagaimana mungkin pria itu bisa ada di sini?
Bukankah dia pria yang sama yang ditemuinya di kafe Fresh Americano?
Jika informasi dari pelayan itu cukup akurat, berarti pria ini adalah paman Li.
Dan dia kabarnya sudah meninggal!
"Apa kabar?" Pria itu bersikap ramah seperti sebelumnya, duduk di bangku taman tepat di samping Zhao Yunlan.
Pemuda itu refleks menggeser posisi, masih memasang raut shock yang sulit diungkapkan. Dia memandang nanar pria di sampingnya. Dia ingin bangun dan berlari sembunyi di mobil tetapi tubuhnya seperti kaku dan hanya bisa terpaku pada pria yang masih tersenyum ramah padanya.
"Aku tahu kau bisa melihatku," pria itu kembali berkata.
"Kau---Paman Li?" Yunlan tergagap-gagap.
Pria tua itu tertawa pada dirinya sendiri dan menjawab, "Kau mencari informasi dengan cepat."
Yunlan menghirup nafas perlahan-lahan.
"Jangan khawatir, aku tidak mengganggu," lanjut pria itu.
"Pelayan di kafe itu mengatakan bahwa kau sudah meninggal beberapa hari yang lalu."
Paman Li mengangkat alis, ekspresinya tidak bisa dibaca. Entah berduka karena seseorang mengingatkannya bahwa dia sudah mati. Entah senang karena meski sudah mati, dia masih bisa bicara dan mengagetkan manusia.
"Begitulah."
Zhao Yunlan menelan liur, semakin gugup dan cemas. Tetapi anehnya, ada aura bersahabat menyelubungi pria tua itu sehingga perlahan dan tak bisa dipahami, dia bisa mengatasi rasa takut dan terkejutnya.
"Apa hanya aku yang bisa melihatmu?" tanya Zhao Yunlan.
"Mungkin. Sebagian orang bisa saja melihatku. Tetapi aku hanya bermaksud bicara padamu."
"Apa kau datang untuk meminta kembali saputanganmu?" Zhao Yunlan tidak bisa menemukan motif lain dari kemunculan paman Li yang tidak rasional.
Paman Li terkekeh, dia menggeleng perlahan.
"Aku sudah tidak membutuhkan benda-benda semacam itu. Simpan saja saputangan itu. Siapa tahu akan berguna suatu hari nanti."
Zhao Yunlan mengernyit sinis dan heran. Saputangan sederhana begitu, bisa buat apa.
"Lalu apa yang membuatmu menunjukkan diri padaku?" Zhao Yunlan bertanya lantang.
Paman Li menempelkan jari telunjuk di mulutnya.
"Jangan menarik perhatian orang-orang. Aku khawatir mereka akan menganggapmu gila."
Zhao Yunlan terkesiap. Seketika dia menoleh ke beberapa arah dan melihat satu dua orang menatap padanya penuh keheranan yang membara.
Pemuda itu tersenyum canggung, berpura-pura sibuk dengan paper cup di tangan sampai orang-orang itu berlalu pergi dan tak ada seorang pun yang memperhatikannya.
"Jangan bilang kau hanya mengisengiku," kali ini Zhao Yunlan setengah berbisik.
Paman Li tertawa lagi. Dia menatap lurus ke depan, pandangannya menerawang.
"Ada banyak kekhawatiran yang ditinggalkan seseorang saat dia meninggal. Salah satunya aku. Aku bisa melihat kehidupanmu tampaknya ditakdirkan untuk saling terkait denganku."
Zhao Yunlan membuang muka.
"Terkait dengan seorang laki-laki tua? Sungguh tidak menyenangkan. Kau berasal dari dunia yang berbeda dan aku tidak berminat berurusan denganmu. Saat pertama berjumpa di kafe, kau yang lebih dulu mengambil inisiatif memancing masalahku."
Paman Li diam beberapa saat sebelum tersenyum lagi.
"Tapi aku telah membuatmu berjumpa dengan dr. Shen. Kupikir dia cocok denganmu." Pria itu mengedipkan sebelah mata.
Zhao Yunlan bergidik.
"Jadi ini rencanamu?" tanyanya dengan mata kembali nyalang.
"Ah, itulah dia masalahnya. Aku tidak bisa pergi dengan tenang sebelum melihat dia hidup bahagia."
Paman Li mendesah beberapa kali sebelum termenung kembali.
"Apa hubunganmu dengan dr. Shen?"
Ketika itu Zhao Yunlan mendengar suara bersin yang kecil. Sontak dia menoleh ke satu arah dan melihat seorang bocah laki-laki berdiri memandanginya dengan bingung.
Seorang wanita muda menghampirinya dengan membawa dua mangkuk eksrim. Anak laki-laki itu menatap Zhao Yunlan tanpa berkedip dan bicara polos pada ibunya.
"Ibu, pria yang duduk di bangku itu bicara sendiri..." Bocah itu mengangkat telunjuk.
Sang ibu menoleh pada Zhao Yunlan dan pemuda itu tersenyum bingung, sedikit shock dan tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Saat tatapannya bertemu dengan ibu anak itu, senyumnya semakin melebar hingga tampak konyol.
Wanita muda yang merupakan ibu dari bocah itu bergidik, memeluk bahu anaknya dan mengajaknya pergi.
"Dia mungkin sakit," komentar sang ibu tanpa berpikir.
Zhao Yunlan terbengong-bengong.
"Sakit?" Si bocah masih menoleh sekali lagi pada Zhao Yunlan yang meringis-ringis.
"Ya. Sakit jiwa. Kupikir dia harus menemui psikiater."
"Tapi orang itu terlihat rapih." Suara bocah itu makin samar seiring jarak mereka makin menjauh.
"Jangan tertipu. Orang gila sekarang seringkali berpenampilan baik."
Astaga...
Zhao Yunlan memejamkan mata. Dia meremas paper cup yang nyaris kosong, dan menoleh kesal pada pria di sampingnya.
Tetapi pria itu sudah menghilang.
Butir keringat dingin bermunculan di punggung Zhao Yunlan. Meskipun sudah tahu bahwa pria itu adalah hantu, efek ketakutan menyerang beberapa lama kemudian.
Dia mengusap tengkuknya, merasa seluruh bulu kuduknya merinding. Setelah melempar paper cup ke bak sampah, Zhao Yunlan bergegas menuju mobilnya. Nafasnya terengah-engah seolah baru saja berolahraga.
"Astaga, benarkah? Benarkah aku melihat hantu?" Dia menepuk-nepuk pipinya sendiri. Lalu melihat wajahnya di kaca spion. Wajahnya pucat dan matanya diselimuti kecemasan akut.
"Tidak mungkin! Aku pasti berhalusinasi! Aku harus menemui dr. Shen. Gawat! Aku sudah memasuki tahap awal gangguan mental..."
Zhao Yunlan bergumam sendiri, lalu menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi tanpa tujuan.
💜💜💜
Klinik Kesehatan Jiwa Eternity
Dr. Shen berulangkali melirik jam dinding. Sudah pukul lima sore. Entah mengapa Zhao Yunlan belum juga muncul di kliniknya.
Klinik memang sempat tidak beroperasi selama satu pekan, beberapa pasien mungkin sempat mengalami kekacauan jadwal. Tapi seharusnya dia memberi kabar jika ingin membatalkan janji temu.
Dr. Shen melepas kacamata dan memijat-mijat batang hidungnya. Dia menatap telepon meja dan ponselnya tanpa berkedip, berharap salah satu dari kedua benda itu berbunyi.
Dr. Shen merasa darah di pelipisnya berdesir saat ponselnya menyala dan nama Zhao Yunlan tertera di layar. Dia mengangkatnya dengan sigap.
"Ya, hallo Yunlan?" suaranya terdengar akrab dan seketika dr. Shen merasa sedikit malu.
"Shen, aku ingin bertemu. Ini sangat penting!"
"Aku memang tengah menunggumu," dr. Shen refleks menjawab, lantas meralat kalimatnya dengan cepat.
"Ah, maksudku sore ini memang jadwalmu untuk konseling."
"Katakan saja bahwa kau peduli padaku. Kenapa kau pergi selama satu pekan tanpa kabar??"
Dr. Shen mendengar suara berisik yang berasal dari pintu masuk klinik.
Ponselnya masih menempel di telinga dan suara Zhao Yunlan yang menuntut masih bergaung.
"Maaf Tuan, Anda sudah membuat janji?" Itu suara Li Qian bicara pada seseorang.
"Shen, aku harus meyakinkan bahwa kau tidak akan menemui pasien mana pun lagi setelah aku, karena aku akan menyita waktumu cukup lama."
Pintu ruangannya yang memang sedikit terbuka kini terbentang lebar.
Sosok pemuda tinggi tampan dengan setelan elegan berdiri, dan bicara di ponselnya.
"Maaf, Dok, pasien ini menerobos masuk." Li Qian memunculkan kepalanya dengan malu. Sebelum akhirnya mundur kembali.
"Kau?" Dr. Shen bengong. Dia menatap bingung. Bagaimana mungkin pemuda yang tengah menghubunginya di telepon tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan.
Zhao Yunlan tersenyum lebar. Dia mengakhiri sambungan telepon. Lalu berjalan anggun menuju kursi di depan meja kerja dr. Shen.
"Pintu ruanganmu seperti pintu otomatis yang terbuka tanpa harus diketuk," komentar Yunlan.
"Seperti pintu hatiku," lanjutnya tanpa sungkan.
Dr. Shen terbatuk-batuk kering.
"Untuk apa menelepon jika sudah ada di depan klinikku?"
"Aku hanya ingin menelponmu, apa itu salah?"
"Ah, tidak begitu."
"Jadi bisakah kita mulai bicara sekarang?" desak Zhao Yunlan.
Dr. Shen mengkode Li Qian untuk keluar dari ruangan. Perawat itu hanya mengangkat bahu, lantas berbalik pergi.
Ada jeda sejenak dalam keheningan. Dr. Shen menyentuh bingkai kacamatanya dan berkata dengan profesional.
"Baiklah. Sekarang ajukan keluhan, apa yang membuatmu begitu terburu-buru?"
Zhao Yunlan masih berusaha tersenyum tenang, tetapi senyumnya segera menghilang saat dia mulai menatap dr. Shen dengan serius. Tatapannya begitu tajam dan melekat hingga dr. Shen mulai salah tingkah.
"Shen..." bisik Zhao Yunlan.
Dr. Shen mengamati wajah tegang pemuda di depannya.
"Aku---kupikir aku mulai gila."
"Maksudmu?" dr. Shen mengernyit.
"Aku melihat hantu," Zhao Yunlan mengatakan dengan khidmat.
"Hantu???"
Dr. Shen menatap tak percaya. Sepasang matanya melekat tajam. Mencermati, menganalisa.
Sayang sekali, jika pemuda setampan ini harus jadi gila...
To be continued
Weilan Family
Please vote 💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro