Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Appoinment 18

Zhao Yunlan mondar mandir gelisah di depan sebuah kedai burger tepi jalan.

Entah di mana ia berada, dan kali ke berapa. Setiap kali pikirannya tidak terfokus dia akan menyelinap keluar kantor dan merayap di jalanan asing.
Itu sudah kebiasaan buruknya sejak lama.

Malam ini, keinginannya untuk tersesat lebih kuat dari biasanya. Rasanya malah ingin menghilang.
Terdampar di salah satu jalanan besar kota Hangzhou, dia memilih satu kedai yang letaknya agak terpencil. Dia memesan segelas coke dalam paper cup dan bersandar lemas pada Aston Martin yang berkilauan.

Anak rambut di pelipisnya bergerak-gerak dihembus angin malam. Dari balik bulu mata panjang, ia menatap sayu pada langit hitam di atasnya.

Kerinduan yang sunyi, tertahan, rasanya sungguh menyiksa.

Dia ingin sekali mengajukan keluhan, tetapi ia ragu sang psikiater pujaan tidak lagi bersedia mendengarkan keluhannya.

Sekali lagi, angin semilir membelai wajahnya. Dia memejamkan mata, mencari bayangan lain dalam imajinasinya yang lebih menyenangkan.

Ketika dia membuka matanya, seseorang telah muncul tanpa diundang. Mungkin karena terlalu gelisah memikirkan hal lain, Yunlan sudah tidak takut lagi kala seseorang itu mendekat. Kesedihan akan perpisahan dengan dr.  Shen yang tak terhindarkan telah menumpulkan rasa takut akan hal lain. Termasuk hantu pria tua yang kini muncul lagi mengusik kesendiriannya.

"Kau lagi," Yunlan mendesis, rahangnya mengeras sementara iris hitamnya menatap tegas.

"Kenapa kau terus menghantuiku? Kenapa tidak sesekali datang pada putramu untuk memberikannya nasehat ?" Yunlan menuntut. Dia sudah tidak peduli jika ada orang lain memergokinya bicara sendiri, menganggapnya orang gila.

Pria itu menghela nafas kemudian mengembangkan senyum paling bijak. Yunlan melirik sebal sekilas sebelum merasakan kekesalannya perlahan surut melihat senyuman itu.

"Aku sudah menasehatinya," pria itu menyahut, dia berdiri di samping yunlan, menatap searah pandangan pemuda itu.

"Sayangnya, Shen selalu lambat dan hati-hati dalam mengambil keputusan. Siapa yang tahu saat ini dia juga sedang gelisah dan sedih sepertimu."

Yunlan mendecakkan lidah dan berkomentar datar," Benarkah?"

Udara terasa lebih lembab malam ini dan Hangzhou nampaknya akan disiram hujan. Bukan waktu yang tepat untuk menikmati keindahan malam, tetapi Yunlan tidak peduli.

"Sejak dia remaja, setiap kali ia merasa sedih atau merenungkan satu keputusan besar, dia selalu menyendiri di tempat sepi," pria itu berkata lagi tanpa memudarkan senyumnya.

"Jadi kau tahu di mana sekarang Shen berada?"

"Di tepi danau barat. Dia akan memandangi hamparan air gemerlapan, dia berkata bahwa pemandangan itu mencerminkan dua sisi. Jika dia tengah bahagia, dia akan melihat kilau keperakan dan kebahagiaan tidak pernah terlalu berlebihan. Jika dia mengalami kesedihan, kegelapan di dasar danau lebih dingin dan menakutkan, dan kesedihan pun tidak terlalu berlebihan. Begitulah Shen. Selalu penakut..." Kekehan ringan mengiringi kalimat panjangnya.

"Penakut?" Yunlan mengernyit.

"Takut jika terlalu bahagia takut terlalu bersedih. Dia memilih pasif dan membiarkan takdir memilihkan jalan untuknya. Seringkali seperti itu. Masa kecil yang tidak bahagia membuatnya terlalu waspada."

Zhao Yunlan mendengus dingin, "Setidaknya padaku dia harus membuat pengecualian," gumamnya kecewa.

"Tapi aku punya firasat yang melonjak dalam diriku, kali ini dia akan melakukan apa yang menjadi keinginannya tanpa merasa takut atau tidak nyaman terhadap orang lain."

"Jika benar begitu, aku sangat penasaran."

"Aku juga penasaran," pria itu mendesah perlahan.

"Menurutmu apakah Shen akan menemuiku untuk yang terakhir?" Yunlan meremas paper cup di tangan, sementara satu tangan di saku celananya. Namun begitu, Sikap santai tidak bisa menyamarkan kegelisahan dalam dirinya.

"Kita tunggu saja."

Jawabannya tidak mengungkapkan apapun.

Sekali lagi Zhao Yunlan menghela nafas penuh kecewa.

Ketika itu, ponsel yang ia selipkan di saku mantelnya bergetar.

Zhao Yunlan terlonjak. Lebih tercekat lagi saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Dr. Shen!

"Hallo Shen..." Suaranya agak gemetar. Seperti orang sakit demam.

Hening di seberang sambungan, sayup terdengar desauan angin.

"Shen, kau di mana? Kau berada di luar rumah?"

Ada tarikan nafas berat dan lambat.

"Ya. Aku sedang memandang langit malam."

Suaranya terdengar sedih, tanpa bisa dielakkan, Zhao Yunlan terhanyut dalam arus tak kasat mata yang juga menyeretnya pada kesedihan. Dia menggigit bibirnya.

"Kau juga berada di luar?" tanya dr. Shen.

"Ya."

"Pelanginya indah ya ... " dr. Shen bergumam aneh.

Zhao Yunlan menatap ke atas, langit kelam tanpa bintang. Tak ada warna lain yang bisa ia temukan.

"Tidak ada pelangi yang bisa dilihat saat langit kelam," sahut Yunlan, suaranya rendah.

Dr. Shen terdiam beberapa saat.

"Memang," dia mendesah.
"Agak sulit rasanya, saat ingin melihat sesuatu, tapi tidak bisa ..."

Zhao Yunlan merasa matanya memanas.

"Kau ingin bertemu denganku?" usiknya hati-hati.

Tak ada jawaban. Dr. Shen yang gentleman dan selalu misterius jarang sekali bicara blak-blakan. Tapi Yunlan tahu bahwa itu artinya 'iya'.

"Di mana kau sekarang? Apakah di tepi danau barat?"

"Bagaimana kau bisa tahu??"

"Aku akan tiba dalam setengah jam. Tidak! Kurang setengah jam. Aku punya Aston Martin."

Zhao Yunlan nyaris terengah.

"Tunggu aku. Kau boleh makan, minum, berenang, tidur di situ. Apa pun. Tapi tolong jangan pergi!"

Dia menutup telepon dengan tergesa.

Terlalu bersemangat membuatnya melupakan sejenak kehadiran si pria tua, dan untuk kesekian kali, pria itu menghilang sekejap mata.

Zhao Yunlan mengerjap-ngerjap. Mengatur debaran jantungnya.

Dia berkata perlahan pada kekosongan.

"Terima kasih."

Tanpa membuang waktu dia masuk ke belakang kemudi dan menderu secepat Aston Martin bisa berlari.

💜💜💜

D

r. Shen bersandar di pintu mobil. Menatap jauh ke kegelapan danau yang beriak memantulkan cahaya bulan.

"Shen!"

Setengah berlari, Zhao Yunlan menghampiri dr. Shen. Blazer panjangnya melambai menggeletar di hembus angin.

"Apa yang kau lakukan sendirian di sini?"

Dr. Shen tersenyum tipis.

"Merenung."

"Cuacanya dingin. Kau bisa masuk angin."

Yunlan melepas jas panjang yang ia kenakan dan meletakkan di atas bahu Shen.

"Cepat sekali kau datang." Dr. Shen melirik.

"Aku akan menggunakan sekecil apa pun kesempatan untuk mengejar hal terpenting dalam hidup kita," Yunlan berkata di sela desau angin, merapatkan bahu mereka, ia melanjutkan, "Dan kau adalah hal terpenting bagiku saat ini."

Memikirkan tentang kesempatan, dalam hatinya dr. Shen merasa teriris. Entah berapa kesempatan telah ia abaikan dalam hidup, baik itu tentang Yunlan maupun hal lainnya, hanya demi alasan yang tak benar-benar ia yakini.

Kali ini apakah kesempatan itu masih ada untuknya?

"Jika aku memiliki kesempatan yang sama denganmu. Aku juga akan gunakan untuk mengejar hal yang terpenting dalam hidup, sebelum kita mati," dr. Shen berkata dengan wajah muram.

"Apa maksudmu?" usik Yunlan.
"Apa kau pikir semua orang tidak memiliki kesempatan yang sama?"

"Beberapa hal diatur oleh manusia dan sebagian oleh takdir," sahur dr. Shen.
"Kupikir aku ingin melakukan sesuatu untuk pertama kalinya, demi diriku sendiri. Namun sayangnya, takdir tidak berpihak padaku."

"Jangan berteka teki." Yunlan selalu mengalami penurunan IQ jika dia sudah berhadapan dengan dr. Shen.

Dr. Shen menoleh sekilas padanya, tersenyum getir.
"Kapan kau pergi ke Seoul?"

Yunlan memutar bola matanya malas.
"Informasi pastinya harus menunggu dari pihak Yu'er."

"Bisa saja besok, kan?"

"Tidak. Kupikir aku bahkan tidak akan pergi, meski kau tak menerimaku, aku tetap tidak akan pergi."

"Hubungan kita dibatasi oleh statusmu yang masih terikat," dr. Shen berkata dalam desahan.

Zhao Yunlan tidak menjawab. Dia memfokuskan pandangan searah dengan tatapan dr. Shen, ke atas permukaan sungai yang beriak.

"Saat aku memulai praktek dan membuka klinik sendiri, aku memiliki pasien dengan gangguan psikis yang cukup parah akibat depresi yang dipicu oleh masalah keluarga," dr. Shen memulai cerita.
"Pasien itu akhirnya dikirim ke rumah sakit jiwa setelah mengalami rentetan tragedi. Bisa dikatakan, gadis itu seorang anak yang broken home saat masih kecil dan memiliki krisis kepercayaan diri saat memginjak dewasa. Dia tidak sanggup menerima perpisahan."

Angin malam bergemerisik menyapu permukaan danau.

"Entah mengapa, aku merasa bersalah. Diam-diam aku juga menyalahkan orang tua gadis itu yang telah memutuskan untuk bercerai dan menjadi titik awal semua masalah mentalnya."

"Setelah itu aku berjanji akan menyelamatkan pernikahan semua orang khususnya pasien yang berkonsultasi padaku tentang masalah itu. Aku merasa sudah melakukan hal yang benar selama ini, tapi kini..."

Kalimatnya terjeda dan merasakan hawa dingin menyelimuti hatinya. Terasa ada satu bagian yang perih. Bagian yang masih tetap utuh saat semuanya sudah hancur.

"Mana bisa aku tahu perasaan mereka sesungguhnya. Aku hanya bisa menenangkan mereka. Berusaha semampuku sesuai yang diajarkan padaku. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka."

Zhao Yunlan menundukkan pandangan, mendengarkan dengan sabar.

"Kadangkala kupikir, mungkin ada baiknya jika aku hanya perlu menangis bersama mereka dan tidak terlalu berjuang untuk memperbaiki hubungan yang telah hancur. Tapi aku malah terus mengatakan hal-hal muluk yang tidak bertanggung jawab."

Zhao Yunlan menepuk lengan Dr. Shen lembut.
"Itu sudah menjadi tugasmu," ia menghibur.

Dr. Shen tersenyum sangat tipis, dan mungkin itu hanya halusinasinya saja, Yunlan melihat mata indah itu berkaca-kaca.

"Aku mempelajari sesuatu dengan melihat banyaknya orang yang bersiap diri menghadapi perpisahan dan apa yang tersisa setelah perpisahan. Mungkin saja bagi para pasien itu sendiri, mereka akan menemukan alasan untuk tidak hancur. Hati mereka akan mencari tempat peristirahatan pada akhirnya."

Yunlan menggangguk tanpa suara.

"Denganmu, aku juga menemukan pelajaran yang sama. Aku--aku sangat ingin bertanya pada seseorang, bagaimana cara dia untuk bertahan setelah berpisah denganmu."

Dr. Shen meneruskan dengan nada canggung.

"Kau menemui Yu'er?" Zhao Yunlan terkesiap.

Dr. Shen mengangguk samar. Ekspresinya muram dan datar.

"Dia membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas buatku. Aku sadar bahwa selama ini aku berjuang menyelamatkan pernikahan bukan karena ingin mereka bahagia, tapi demi menenangkan diriku sendiri. Aku sangat egois dan serakah,"  ujar dr. Shen dengan mata sendu.

Zhao Yunlan menatap terkesima.

"Kini setelah bertemu denganmu, aku merasa semakin serakah. Untuk pertama kalinya aku ingin melanggar komitmen dalam diriku sendiri. Aku menahannya sekuat tenaga di balik profesionalisme."

"Kau serakah terhadap diriku?" tanya Zhao Yunlan dengan hati berdebar.

Dr. Shen tersenyum lagi diiringi sekilas lirikan.

"Yah. Bolehkah aku memintamu---" ia ragu-ragu sedetik.

"Untuk selalu mengingatku, merindukanku, dan berada di dekatku?"

Wajah Zhao Yunlan berbinar di bawah sinar bulan. Menatap takjub pada keindahan kalimat itu, dan keindahan wajah dr. Shen.

"Bolehkah aku memintamu---" dr. Shen kini melekatkan pandangan yang lembut pada Zhao Yunlan.
"Untuk bercerai?"

Ucapan itu seolah mengandung mistis yang membuat Zhao Yunlan terpaku dengan ekspresi tercengang yang kali ini tidak dibuat-buat.

Zhao Yunlan benar- benar merasa dalam mimpi. Dia menekan kukunya ke telapak tangan dan terasa perih. Ini bukam mimpi.

"Kau---sungguhan?"

Dia mengerjap-ngerjap. Wajah tampannya sekilas berubah menjadi seperti badut.

Dr. Shen merasa kacau sesaat, bagaikan riak air disapu angin kencang, lalu mengangguk lambat-lambat.

Zhao kembali melekatkan pandangannya ke wajah dr. Shen yang lembut dan intelek.

Sejurus kemudian dia menutup mata dan bersiap jika semua hanya ilusinya saja. Tapi saat dia kembali membuka mata, dr. Shen masih di sana. Menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Antara canggung, penuh harap dan juga kegalauan.

"Setelah itu apa?" bisik Yunlan.

"Bolehkah aku menciummu?"

"........."

Seberkas sinar yang memancar dari emosi terdalam melintas di permukaan mata jernihnya yang segera menghilang sebelum Zhao sempat mencernanya.

Apakah itu cinta?

Ataukah hanya halusinasinya saja?

Dr. Shen tersenyum padanya. Di bawah sinar bulan, wajah tampan itu nampak agung dan menyilaukan.

Zhao Yunlan merasa lututnya gemetar, tubuhnya nyaris meluncur ambruk ke atas kap Aston Martinnya.

"Kau baik-baik saja?" menatap penuh khawatir, seraya menahan lengan Zhao Yunlan dengan pegangan lembut namun kuat,  dr.  Shen mencegah pemuda itu dari reaksi berlebihan.

"Aku---rasanya ingin pingsan." Senyum adalah satu-satunya ekspresi yang bisa mewakili saat kata-kata tidak cukup untuk menjelaskan perasaan.

"Jangan pingsan di sini, tubuhmu berat," gumam dr.  Shen, menahan senyum.

Keduanya tenggelam dalam pelukan hangat yang menenangkan, menikmati  kebahagiaan yang menghampiri seiring desir angin  menyapu alam sekitar.

Seperti permintaan dr.  Shen, ciuman pertama mereka terjalin begitu hangat dan romantis.

Kini saatnya menyatukan apa yang terpisah, memperbaiki kembali apa yang pernah hancur.

Kini saatnya untuk hidup damai dan bahagia.

Saatnya memulai kisah cinta.

"Terima kasih karena telah mencintaiku," bisik Yunlan di telinga Shen. Nafas hangat beraroma mint mengaliri titik sensitif di wajahnya.

"Terima kasih juga karena telah berjalan bersamaku."

"Bagaimana kalau kita merayakan momen ini dengan secangkir kopi?"

Menjawab dengan senyuman, diiringi anggukan. Sepasang mata dr. Shen berbinar.

"Americano?"

Zhao Yunlan kembali  mendaratkan  ciuman lembut dan singkat di bibir sang dokter.

"Vanilla."

Satu ciuman singkat lagi.

"Baiklah."

Satu ciuman lagi, lebih lama dan panas.

Dr.  Shen mendorong bahu Yunlan perlahan.

"Bagaimana kalau disatukan? Rasanya pasti istimewa." Zhao Yunlan mengedipkan sebelah mata.

"Rasanya misterius. Seperti ciumanmu." Dr. Shen tertawa pelan, saking terlampau sopan, wajahnya memerah karena malu akibat ciuman itu.

Zhao Yunlan tertawa riang. Dia membukakan pintu Aston Martin kebanggaannya.

"Silakan masuk, Cinderella.."

Ucapan-ucapan keduanya penuh canda dan saling menggoda. Menggumam samar di antara desau angin malam. Aston Martin biru cemerlang itu melaju meninggalkan danau barat. Terus melaju kencang.

Tidak pernah kembali mundur,  tidak perlu melihat masa lalu.

Seperti Cinderella yang terus berlari meski sepatunya terlepas.

Jika malam itu Cinderella melihat ke belakang dan kembali untuk mengambil sepatunya, sang pangeran tidak akan datang.

Tidak akan ada sayembara.

Tidak akan ada perjumpaan keduanya, dan tidak akan ada kisah cinta yang bahagia.

💜💜💜

Bonus video Special for Weilan Family
Song  : Xiexie Ni Gei De Wenrou /Weilan Klip
Singer : Yang Shiwei

Hallo Weilan Family.
Thanks for reading and vote.  I think this story is almost end.

Actually it's end.

But there will be an extra.

See you next chapter 💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro