Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter XVII

A sensitive soul, a heart of wild
You grew up thinking you're a cursed child
Embrace your blessing, it's not a curse
Because you've been kissed by the universe

*****

Shelter

Xiao Hua tidak pernah tahu apa yang terjadi. Dia tidak bisa bangun dari keterpurukannya. Tidak bisa mengendalikan hisapan brutal taring tajamnya pada urat nadi pria hitam itu. Kerutan cukup dalam terukir di dahi Hei Yanjing saat ia membiarkan ratu vampir mengeluarkan darahnya secukupnya, kemudian dalam satu geraman keras, ia menyentakkan tangannya. Gigitan taring itu terlepas dari lukanya sehingga dia bisa terhindar dari kematian karena memuaskan hasrat gelap mahluk keji yang merasuki tubuh Xiao Hua.

Hei Yanjing mendesis keras sekali lagi, menahan sengatan rasa sakit yang hebat. Kakinya terhuyung selangkah ke belakang, walau tidak sampai goyah. Hal yang sama terjadi pada Xiao Hua. Lebih dari terhuyung-huyung, pemuda itu merasakan bumi tempatnya berpijak seakan berputar. Pasti telah terjadi gempa bumi, karena ia merasakan kakinya tidak seimbang. Matanya yang hitam, berkilat di bawah alisnya yang melengkung indah, terbakar oleh rasa darah yang baru saja mengaliri tubuhnya.

"Aku adalah korbanmu! Dewi!" Hei Yanjing menyeringai penuh siasat, menunjukkan tangannya yang masih menetes-neteskan darah tepat di depan wajah Xiao Hua.

"Kau boleh hisap darahku sepuasmu, tapi kekuatan gelapmu yang baru saja bangkit akan melemah."

Geraman parau lolos dari kerongkongan Xiao Hua. Tiba-tiba dia tidak bisa melihat apa pun dalam cahaya yang berkelap-kelip di balik kelopak matanya. Suara-suara di sekitarnya timbul tenggelam kecuali kata demi kata yang diucapkan Hei Yanjing, yang tak mampu ia dengar maupun pahami sepenuhnya.

Darah pria hitam itu telah mengalir ke dalam dirinya, mencapai jantungnya dan membanjiri bilik-biliknya, lalu mengirimkan hawa panas ke seluruh anggota tubuhnya yang dingin. Itu di luar ingatan, sensasi yang mulia ini, dan nafsu yang luar biasa, keinginan yang terputus secara paksa. Satu gelombang panas yang menyakitkan mengejutkannya, membuatnya terengah-engah. Dia merasakannya masuk ke otaknya. Dia buta, mengerang. Kemudian seketika, efek darah itu melumpuhkan kejernihan penglihatannya.

"Darahku tidak semurni leluhur." Ucapan Hei Yanjing bergema di sela angin. Datar, arogan, dingin.

"Namun tetap saja, itu bisa melemahkan energi gelapmu yang terkutuk."

Xiao Hua mengeluarkan geraman kesakitan, lantas disusul badai amarah dan dendam bergejolak dalam dirinya, berpusat di jantung dan berputar-putar, menyebar ke seluruh tubuh, melawan pengaruh darah perak dalam dirinya.

Dia menyerbu ke depan ke arah si pria hitam, sangat bernafsu untuk menghancurkan tulang rusuknya dengan tergesa-gesa, dan membenamkan kuku-kuku panjang dan tajam miliknya ke dalam dada pria itu, dan merenggut jantungnya yang berdenyut segar.

Namun kecepatannya tidak sehebat sebelumnya. Hei Yanjing masih bisa mengatasi serangannya. Semuanya terjadi dalam sekejap, seperti sambaran petir di tengah hujan. Ketika tubuh Xiao Hua mulai gemetar dan nyaris tumbang, sepasang lengan kuat Hei Yanjing memeluk bahunya, menahannya dari terhempas ke tanah.

"Xiao Hua, jadilah untukku pemuda yang manis seperti kamu dulu." Dia mengatakan ini tepat di telinganya, hingga Xiao Hua bisa merasakan hembusan napas Hei Yanjing di permukaan kulitnya.

Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak dapat ia dengar jelas, tentang kemurnian dan kebaikan yang dihancurkan. Dia dapat melihat bahwa pria hitam ini tidak jahat, seperti yang dipikirkan roh jahat yang menguasainya. Akan tetapi, bahkan dalam keadaan kejernihan, beban masa lalu yang mengerikan menimpanya dengan kekuatan penuh; dan saat ini, di ambang kejatuhan, yang dia lawan dengan sekuat tenaga, tidak dapat berbuat apa-apa untuk meringankan beban dendam itu.

Hei Yanjing membalas tatapan nanar sepasang mata merah yang kecemerlangannya perlahan meredup, lantas membungkuk di dekatnya sekarang, membisikkan namanya, bisikan lembut.

"Xiao Hua ... "

Pemuda dalam pelukannya perlahan-lahan menggelosor jatuh. Tapi dia memegang lengannya erat-erat, menjadikannya harapan hidup, seolah-olah dia ditarik ke bawah oleh gelombang laut yang gelap dan hanya Hei Yanjing sendiri yang bisa menyelamatkannya.

*****

Ketika Xiao Hua perlahan-lahan membuka mata, apa yang pertama kali dilihatnya adalah tumpukan batu bata dan tanaman merambat tak berbentuk, dilapisi dengan bunga wisteria yang berbunga lebat seperti di musim semi, mawar liar, lumut berkilauan di daun jendela kusam yang setengah terbuka, dan sarang laba-laba berputar di lengkungan batu.

Aroma tempat itu tumpang tindih antara bau debu dan tanah lembab serta rumput basah segar, dedaunan dan bunga. Angin semilir berhembus sejuk dari jendela, dan lebih banyak kesejukan dari satu sisi dinding yang nyaris runtuh dan menampilkan pemandangan di luar sana. Ada kilasan warna merah keemasan di langit, menunjukkan bahwa fajar telah tiba. Xiao Hua mengerjap-ngerjapkan mata, kali ini dengan panca indera manusia biasa. Butuh waktu beberapa lama hingga ia menyadari di mana ia berada. Ruangan ini tidak terlalu luas, nampak seperti rumah kosong terbengkalai dan nyaris runtuh di bagian depan. Ada banyak rumput, bebatuan, dan suasananya sangat hening. Dia terbaring di lantai retak-retak. Rerumputan tumbuh di sela retakannya. Ketika Xiao Hua berjuang untuk duduk, dia bisa bergerak cukup leluasa namun ia melihat bahwa tangan dan kakinya diikat. Kali ini bukan rantai. Mungkin siapa pun yang mengikatnya tidak bisa menemukan alat yang lebih kuat selain akar pohon yang panjang dan alot. Meski begitu, dengan kekuatan manusia biasa, akan sulit memutuskan akar lentur pohon ini tanpa bantuan senjata tajam. Tangan dan kakinya diikat secara terpisah kemudian ujung tali dipakukan ke dinding kanan kirinya. Jadi, meski dia bisa berubah posisi, dia tidak bisa melangkah lebih dari dua meter. Paling tidak ini bukan rantai berat yang menekan pergelangannya secara menyakitkan.

Lapisan kabut bergerak perlahan, memudar bersama angin. Xiao Hua menyipitkan mata ke daun jendela, menebak-nebak lingkungan sekitarnya. Sepertinya ini di tepi hutan. Kemudian tatapannya berhenti pada satu sosok pria hitam yang duduk bersila di seberang ruangan. Nampak tenang, tidak terusik. Ekspresinya dingin, terlihat sulit didekati. Untuk sesaat Xiao Hua merasa hatinya menciut. Aura pria itu tampak asing dan bukan seperti yang ia kenal sebelumnya.

"Hei Ye ... " Ragu-ragu dia memanggil, tidak yakin tenggorokannya bisa bekerja dengan baik dan mengeluarkan suara. Nampaknya Hei Yanjing tengah tenggelam dalam meditasi. Kacamata hitam membuat siapa pun tidak mengetahui apakah dia tidur atau terjaga. Wajahnya nampak lebih pucat dari biasanya. Dan garis bibirnya yang tipis menegang di bagian sudut. Mungkinkah dia tengah merasa kesakitan.

Xiao Hua berkedip lagi, lambat. Tidak yakin akan upayanya. Mungkin Hei Yanjing tidak mendengar karena suaranya terlalu pelan. Mungkin juga dia memang tengah tidak sadar. Namun dorongan kuat untuk mengetahui apakah dia baik-baik saja atau tidak membuat Xiao Hua mengumpulkan suaranya sekali lagi dan memanggil namanya.

"Hei Ye ... "

Suara gemerisik dedaunan tertiup angin menjawab panggilannya. Xiao Hua tidak mengalihkan tatapan dari sosok hitam itu, menunggu dengan hati berdebar. Akhirnya ia melihat wajahnya bergerak. Nampak seperti reaksi terkejut samar dari seseorang yang tidurnya terganggu. Kepalanya menoleh pada Xiao Hua, lantas mengernyit sekilas.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Xiao Hua cemas, di saat kondisinya sendiri lebih layak untuk dicemaskan.

Hei Yanjing tidak segera menjawab. Hanya memberikannya seulas senyuman tipis, mencairkan aura beku dan asing yang terpancar dari dirinya sejak tadi. Senyuman yang menghangatkan hati Xiao Hua di pagi hari yang dingin.

Perlahan, Hei Yanjing mengangkat tubuhnya untuk berdiri, dan satu lengan memegang pinggang tuanya. Senyumnya dengan cepat memudar dan berganti ringisan.
"Aaah, astaga ... tulangku," ia bergumam dengan ekspresi kakek tua menderita sakit gigi. Kemudian berjalan terseok-seok mendekati Xiao Hua.

"Semalaman aku tidak tidur dan baru terlelap sejam yang lalu. Dan sekarang kau mengganggu tidurku. Malang sekali ... " ia mendesah, menatap Xiao Hua yang duduk lemas di lantai dengan punggung bersandar pada dinding berlumut.

Tidur? Xiao Hua terbengong-bengong. Rasanya terlalu heroik saat dia menduga pria itu tengah bermeditasi. Namun tak urung rasa lega membanjiiri dadanya.

Hei Yanjing berjongkok dengan satu lutut menyentuh lantai dan satu tangan di atas pahanya. Sementara tangan yang lain menyentuh dahi Xiao Hua, merapikan anak rambutnya yang berantakan dan lengket di pelipisnya.
"Tapi aku senang melihatmu sudah sadar," ia berkata, kembali tersenyum. Kali ini senyumnya bertahan lama.

"Maafkan aku," ujar Xiao Hua, dipenuhi rasa bersalah.

"Untuk apa?"

"Karena mengganggu tidurmu."

Hei Yanjing mendesah bosan.
"Kupikir kau ingin meminta maaf karena ini." Dia mengangkat tangannya yang terluka. Nampak di urat nadinya dua titik merah bekas hujaman taring tajam. Xiao Hua menatapnya dengan mata nanar.

"Aku melukaimu?" suaranya bergetar.

"Ekspresi yang membosankan sekali." Kini tangan itu bergerak kembali ke kepala Xiao Hua dan mengusap rambutnya sekilas.

Xiao Hua memejamkan mata, menyelam kembali dalam samudera ingatannya yang gelap. Apa yang bisa dia lihat hanyalah sosok dirinya yang menggapai-gapai saat ia kian tenggelam dalam lubang hitam. Suara-suara tumpang tindih, hingar bingar, dan banyak jeritan serta kilatan cahaya. Kemudian ada suara yang memanggil namanya. Membuatnya ingin sadar dan bangkit, tapi jiwanya terlalu lemah untuk itu. Dengan lembut, kepalanya menggeleng-geleng, menyerah pada ingatan yang tercerai-berai.

Saat dia membuka matanya kembali, Hei Yanjing masih menatap lekat padanya, dan segera memalingkan wajah begitu ia membalas tatapannya.
"Aku tidak tahu apa yang kulakukan." Suara Xiao Hua lemas dan penuh rasa frustasi.

"Jangan dipikirkan," tukas Hei Yanjing. "Tubuhmu lelah dan terluka. Kau harus memulihkannya."

Xiao Hua mengamati dirinya sendiri. Benar yang dikatakan Hei Yanjing. Seluruh persendiannya sakit dan ngilu. Penampilan yang sangat berantakan dan menyedihkan. Nampak jejak perkelahian di mana-mana. Pakaiannya dipenuhi noda tanah.

"Kau membawaku kemari?"

Hei Yanjing mengangguk. "Aku tidak bisa menemukan tempat yang lebih baik untuk bersembunyi sementara dari Lao Wei. Jika aku membawamu kembali ke gereja tua di atas bukit Batulage, aku khawatir mereka akan menghabisimu saat itu juga."

"Mengapa kau tidak membiarkan mereka melakukannya?"

"Omong kosong!" Hei Yanjing kini mencoba berdiri, lagi-lagi memegangi pinggangnya. Perkelahian brutal semalam membuat beberapa bagian tubuhnya berdenyut sakit.
Tubuhnya menjulang di dekat jendela, membelakangi Xiao Hua. Selarik sinar matahari pagi menyelinap di antara pepohonan dan jatuh di wajahnya.
"Aku sudah memikirkan cara melenyapkan Rose Queen tanpa membunuhmu," ia berkata setelah terdiam lama.

"Kau yakin?"

"Kita harus mencobanya."

"Lalu bagaimana dengan anggota pemburu lainnya? Aku tahu diam-diam mereka menentangmu."

Hei Yanjing menghela napas panjang.
"Mereka akan mengerti. Tugas kami melenyapkan roh jahat itu, bukan membunuh manusia tidak bersalah."

Xiao Hua menyeringai miris. "Kau yakin aku tidak bersalah? Jika kau tidak mencemaskan Lao Wei dan kemarahannya, mengapa kau harus menyembunyikan aku di reruntuhan ini?"

Adegan mengerikan di saat dua anggota pemburu terbakar hingga mati menyergap ingatan Hei Yanjing. Kematian mereka pasti memicu dendam pada anggota lainnya. Bahkan ia pun merasa bimbang atas kejadian tak terduga itu. Namun, hatinya tidak melemah. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan Xiao Hua dihukum atas perbuatan yang bukan kesalahannya.
"Jika masih ada cara lain, aku akan melakukannya. Sekarang, kau harus pulihkan dulu kondisimu. Setidaknya pada saat siang hari di mana Rose Queen tidak mampu sepenuh menguasaimu."

"Kau yakin Lao Wei tidak akan menemukan kita?"

"Mereka memiliki kompas ajaib. Dalam jarak tertentu, dan menjelang malam, energimu bisa dideteksi. Tapi tidak untuk saat ini. Jangan khawatir."

"Aku sudah berhenti mengkhawatirkan diriku sendiri." Xiao Hua menghentikan kalimatnya, seolah ada sesuatu yang menggantung dan tidak bisa diungkapkan. Namun sinar matanya menyorot khawatir pada Hei Yanjing.

Si pria hitam menolehkan wajahnya, merasakan kecemasa yang tulus dari lawam bicara. Dia berkali-kali menggelengkan kepala seraya mendesah.
"Sudahlah. Aku harus pergi mencari makanan untuk kita. Kau harus makan makanan manusia. Tubuhmu kurus sekali."
Dia berbalik dan kembali mendekati Xiao Hua, lagi-lagi berjongkok di hadapannya. Wajah mereka terpaut dua jengkal, dengan gaya orang tua yang khawatir terhadap kesehatan anaknya, Hei Yanjing menyusuri pipi pemuda itu dengan jemarinya.

"Semalam aku menggendongmu hingga kemari. Tubuhmu ringan sekali. Meskipun punggungku pada akhirnya lumayan pegal," Hei Yanjing menjeda, meringis sekilas sebelum meneruskan, "Kau harus makan banyak. Darah manusia tidak menggemukan." Diiringi seringai mengejek.

Xiao Hua tersenyum miring, merasa aneh mendengar nada sarkatis dalam suaranya.
"Aku tersinggung," ia mendesis.

"Yah, tidak heran. Perbuatan keji tidak cocok dengan wajah manismu. Karena itu kita harus menghentikannya."

Kali ini ujung ibu jarinya menyusuri sudut bibir Xiao Hua. Dia telah melihat bahwa bibirnya memiliki tekstur yang berbeda dari kulit vampir, bahwa bibir itu halus dan lembut seperti bibir siapa pun, hanya pucat dan sekilas nampak mematikan, dan dia telah melihat semalam gigi taringnya yang mengerikan. Kali ini, kembali menjadi manusia yang memiliki pengendalian diri, wajah Xiao Hua masih memiliki jejak pucat yang dingin. Hanya saja, dia memiliki cara tersenyum sedemikian rupa sehingga tidak sepenuhnya terlihat menakutkan, bahkan sinar matanya yang berubah-ubah seakan menyimpan banyak emosi manusia yang tak terungkap. Setidaknya, untuk beberapa waktu yang mungkin akan cepat sekali berlalu, pemuda ini akan menjadi sosok yang sangat ingin ia lihat, seperti apa yang dia ingat.

"Bagaimana caranya?" Tatapan Xiao Hua sangat serius, nyaris menusuk, setengah mengancam. Namun ia membiarkan perlakuan tangan Hei Yanjing padanya.

"Akan kupikirkan, dan kurencanakan. Baiklah, sekarang aku harus pergi. Tunggulah di sini."

Pria hitam bangkit berdiri dan mulai melangkah.

"Tunggu! Apa kita tidak bisa pergi bersama? Mengapa harus mengikatku seperti binatang liar?"

Bibir Hei Yanjing menahan senyum.
"Yang benar saja. Kau tahu aku melindungimu dengan cara ini. Tidak baik bagimu berkeliaran bersamaku saat Lao Wei dan anggotanya berambisi untuk melenyapkanmu."

"Baiklah. Aku akan diam dan tinggal di tempat ini. Tapi lepaskan ikatannya. Ini sangat merepotkan. Akar pohon ini cukup kasar."

"Ayolah Xiao Hua, setidaknya aku tidak mengikatmu dengan rantai."

"Ini tidak jauh berbeda dengan rantai," protes Xiao Hua.

Hei Yanjing memasang ekspresi terheran-heran. "Lantas dengan apa aku harus mengikatmu? Dengan cincin?"

Dia tertawa singkat sebelum berbalik pergi diiringi kibasan tangan.
Setelah sempat terbengong-bengong sejenak mendengar lelucon buruk Hei Yanjing, tiba-tiba Xiao Hua diingatkan akan sesuatu, "Hei Ye!"
Dia mencoba menahannya sebelum sosok hitam itu lenyap di luar.
Dilihatnya Hei Yanjing menoleh dengan rahang mengeras, berpura-pura lelah dan bosan.

"Apa lagi?"

"Aku ingin pergi ke tebing Gris Gris."

"Gris Gris?" Hei Yanjing mengernyitkan keningnya cukup dalam.

Xiao Hua mengangguk, matanya berkilau oleh harapan.
"Aku melihat sebuah visi. Deburan ombak, tebing batu, dan kepakan sayap bangau putih."

Hei Yanjing menyentuh tepi kacamatanya, kini menyimak ucapan Xiao Hua dengan sikap waspada.
"Visi?"

Xiao Hua mengangguk yakin.
"Kupikir aku ingat sekarang di mana kalung perisai pemberianmu terjatuh dan menghilang."

Kata-katanya menggantung di udara, bahkan laba-laba yang menempel di sarangnya berhenti bergerak.

"Roche Qui Pleure. Tebing menangis di pantai Gris Gris."

Ekspresi Hei Yanjing kembali mengeras, dan menatapnya lagi. Entah apa yang berkecamuk di pikirannya. Namun sedetik berikutnya, dia menghela napas lega. Kemudian mengangkat tangan kanannya, membentuk satu simbol dengan telunjuk dan ibu jari. Menyerupai bentuk hati.

Xiao Hua membalasnya dengan senyuman.

[Tbc]

***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro