Chapter XIX
Life is suffering. It's hard.
The world is cursed. But still, you find reasons to keep living.
(Hayao Miyazaki)
Jump Down
Hei Yanjing terombang-ambing antara teror dan ekspektasi aneh, meragukan kewarasan dan ketajamannya sendiri. Rasanya seperti ada yang mengejarnya dari arah belakang. Dia melirik spion lagi dan lagi sementara ia merasakan dekapan erat Xiao Hua di pinggangnya.
"Kau akan membawaku terbang," pemuda di boncengannya berseru di antara deru angin.
"Kecepatanmu kian bertambah!"
Hei Yanjing menaikkan sudut bibirnya, tidak berniat mengatakan apa pun tentang alasan mengapa ia mengendarai motor seperti kesetanan.
"Kau menyukainya?" ia harus berteriak agar Xiao Hua bisa mendengar.
"Harus kuakui, aku menikmati ini," kata Xiao Hua dengan antusiasme yang luar biasa dan senyum lebar.
"Biasanya perjalananku membosankan."
"Oke, nikmatilah selagi sempat. Kita harus lebih cepat!"
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu melarikan motor secepat ini," nada suaranya sedikit memprotes, tapi Xiao Hua masih mempertahankan senyum gembira.
Hei Yanjing tidak menjawab. Konsentrasinya terfokus pada tangan yang mengendalikan gas. Jalanan di depan meliuk-liuk ketika mulai memasuki kawasan pedesaan. Medan yang ditempuh lumayan berbahaya jika tanpa keahlian berkendara. Xiao Hua merasa sedikit ngeri tapi memilih mengandalkan intuisi dan kegesitan pria hitam di depannya saat ini. Meski pada awalnya berkesan tidak curiga, lambat laun kecemasan Hei Yanjing menular pada Xiao Hua.
"Hei Ye, apa salah satu dari mereka melihat kita?" serunya.
Angin menampar wajahnya dari arah depan hingga Xiao Hua merasa perlu menyipitkan mata.
"Kukira tidak! Jangan khawatir!" balas Hei Yanjing seraya mengerutkan kening.
"Aku bisa merasakan kecemasanmu. Mungkinkah Lao Wei ... " nama itu meledak dalam dirinya dan bahkan saat Xiao Hua menggelengkan kepala menyangkal, ia merasakan kebenaran itu jauh di dalam dirinya.
Tak ada gunanya lagi berpura-pura tenang. Hei Yanjing memutuskan untuk menghindari dua pengejar yang dia tangkap melalui sudut spion. Meskipun kecurigaannya belum seratus persen benar, tapi ia tidak mau mengambil resiko dengan kehilangan Xiao Hua lagi di tangan timnya.
"Aku akan mengambil jalur lain, mungkin sedikit sulit!" ia memperingatkan, kemudian menderu lagi sejauh satu kilometer sebelum berbelok tajam ke kanan mengambil jalur yang lebih sempit dengan pohon-pohon kelapa berbaris di sepanjang tepian. Kali ini Xiao Hua tidak gembira lagi. Perasaannya mulai tegang dari menit ke menit. Dia tidak ingin konfrontasi lagi dengan siapa pun. Hanya ingin menyelesaikan perjalanan ini dan mencari kalung perisai pemberian Hei Yanjing. Namun beberapa hal terkadang sulit dihindari. Dia harus menghadapinya. Ditambah lagi, ia lebih suka mengambil risiko daripada dikurung di ruang bawah tanah yang menyeramkan.
Memasuki kawasan yang lebih sepi, lambat laun penguntit pun menampakkan diri. Dengan kening yang semakin berkerut, Hei Yanjing memutuskan memasuki jalan-jalan kecil berkelok-kelok dia antara rumah dan bangunan di kawasan pedesaan.
"Sepertinya mereka sudah mencium jejak kita sejak beberapa waktu lalu," ujarnya pada Xiao Hua.
"Nah, bagaimana sekarang?"
"Kita akan menyesatkan mereka dalam labirin."
"Kau hapal seluk beluk desa itu?"
Jawaban santai Hei Yanjing cukup mengejutkan. "Tidak."
"Heh?? Bagaimana kita akan membingungkan mereka?"
Sepeda motor melesat masuk ke sebuah gang.
"Kita tersesat bersama!"
Astaga!
Xiao Hua menepuk keningnya.
Si pengejar berjumlah dua motor untuk saat ini, mungkin bisa saja lebih. Hei Yanjing sibuk mengendalikan kendaraan, meliuk-liuk di antara jalan-jalan sempit di antara dinding-dinding lapuk dan mengelupas. Ini kawasan desa yang sebagian besar dihuni warga menengah ke bawah, melihat debu dan jalanan retak serta dinding yang dipenuhi grafiti. Derum mesin menyentak, menggeram, memekakan telinga. Itu pun saling bersahutan. Kemudian Hei Yanjing tiba di jalan besar lain yang merupakan jalur alternatif tersembunyi, dan di ujung sana ia melihat sebuah terowongan.
"Mari kita berpura-pura celaka," teriak Hei Yanjing.
"Apa maksudmu?"
"Lompat!"
"Apa?!" Xiao Hua nyaris memekik ngeri.
Tanpa mengulangi dua kali, si pria hitam menerobos semak belukar dan berakhir dengan membentur pohon. Namun sebelum kuda besi itu menggelepar di bawah tubuhnya dan menyeretnya jauh, dia melompat dan bergulingan ke samping, demikian pula yang dilakukan Xiao Hua.
Ugh!
Xiao Hua nyaris tersedak saat tubuh keduanya terus berguling di atas tanah sementara sepeda motor itu melaju dan berhenti kala membentur pohon.
"Kita sembunyi di balik dinding itu!" dia menunjuk satu dinding runtuh di ujung terowongan.
"Aargh, tolong bantu aku berdiri!" erang Xiao Hua. Bahunya menegang, dan napasnya bergemuruh. Gerakan Hei Yanjing segesit macan saat meraih tubuh ramping Xiao Hua dan membawanya bersembunyi di balik dinding rusak. Selang beberapa menit, mereka mendengar dengan sangat jelas dan dekat, derum mesin sepeda motor. Awalnya meraung kemudian lebih pelan dan konstan.
"Mereka lenyap di titik ini!" sebuah suara lantang memecah di udara.
"Seharusnya mereka mengalami insiden, atau dia hanya ingin menyesatkan kita." Yang lain menimpali.
Terlalu tegang dan waspada, Xiao Hua tidak menyadari bahwa tubuhnya masih berada dalam pelukan Hei Yanjing. Begitu dekat, hingga gemuruh dadanya bisa saja dirasakan pihak lain. Wajahnya memerah karena malu saat ia menarik dirinya keluar dari lengan si pria hitam, menyeka mulutnya dan terengah-engah. Lao Wei sedang berdiri di terowongan hanya beberapa meter dari mereka. Tatapannya tajam dan waspada tapi wajahnya terpelintir putus asa. "Ugh, di mana mereka?" desisnya, melangkah lambat di sepanjang terowongan.
Kedua pria yang bersembunyi berhenti bergerak dan menahan napas, berusaha mengendalikan diri.
"Lao Wei, kami tidak melihat Ketua," ada suara pria lain dari arah berbeda.
"Aku yakin telah melihatnya. Tidak mungkin keliru. Bahkan aku bisa mengenali bayangannya," tukas Lao Wei, masih dengan sikap siaga, bahu tegang dan mata yang mengawasi sekitarnya.
"Kau akan terus mencari?"
"Ya, tentu saja. Ketua harus menjelaskan alasan semua tindakan konyolnya sejauh ini."
Konyol? Sialan! Hei Yanjing menyeringai jahat mendengar umpatan kekesalan Lao Wei.
"Sepertinya kita harus menyebar. Ada anggota yang masih terluka, kupikir kita akan membagi dua tim."
"Kembalilah ke gereja Batulage bersama dua orang lagi, sisanya bergabung denganku. Kita akan cari tahu bagaimana ini bisa terjadi."
"Kau tidak berencana untuk berduel dengan Ketua, bukan?" suara yang lain terdengar khawatir.
"Kau tidak akan percaya hal-hal mengerikan yang terlintas dalam pikiranku. Aku bisa membunuhnya tanpa berpikir dua kali. Tapi baiklah, aku tidak akan mencelakai Ketua. Aku janji. Yang penting Xiao Hua bisa kita lenyapkan."
Lao Wei mulai menggelengkan kepalanya saat berbicara tentang pemuda yang selalu dilindungi sang Ketua. Sungguh tak bisa dipahami.
"Aku yakin telah melihat Ketua, dan aku tidak bisa kembali ke gereja tua menghadapi rekan kita yang terluka dan yang telah tiada, tanpa membawa pemuda sialan itu."
"Tak ada jejak yang bisa kita temukan. Ketua tidak akan membiarkan dirinya ditemukan dengan begitu mudah."
Di balik persembunyian, Hei Yanjing menyeringai. Sepertinya anggota tim pemburu masih bisa berpikir cerdas.
"Kita akan menyebar ke beberapa arah. Ayo! Kita mulai lagi pencarian. Senja tidak lama lagi. Paling tidak, waktu malam akan memudahkan kita melacak jejak pemuda itu."
"Baiklah!"
Suasana hening untuk beberapa lama.
"Hei Ye, tidakkah ini terlalu mudah?" gumam Xiao Hua.
"Mereka tidak akan menyerah." Hei Yanjing mendecakkan lidah, lantas melirik kuda besi yang terkapar.
"Mereka hanya ingin mengetahui tujuan kita selanjutnya. Kukira kita sudah tidak bisa menggunakan sepeda motor itu lagi."
"Lantas dengan apa kita akan menuju pantai?"
"Akan ada tumpangan di jalan desa. Truk pengangkut pasir, mungkin."
Dengan gaya bajingan tengik, Hei Yanjing berjalan keluar persembunyian dengan penuh percaya diri.
"Kau yakin mereka tidak akan menemukan kita?"
"Ya dan tidak. Bagaimanapun, mereka anak buahku dan cukup hebat. Tetapi menemukan kalung itu jauh lebih penting sekarang," serunya acuh tak acuh sambil melambai.
"Hei Ye! Tunggu!"
Keduanya bergegas menyusuri jalan pedesaan yang membentang sunyi.
*****
Selalu ada ketakutan yang tersisa bahwa, tidak peduli seberapa jauh mereka pergi, tidak peduli berapa banyak cara maupun pelindung yang ditempatkan Hei Yanjing di antara mereka, suatu hari para pemburu akan muncul seperti penampakan. Xiao Hua membayangkannya dalam berbagai cara. Mungkin ia akan melangkah keluar dalam perjalanan ke tempat kerja suatu pagi, dan di sana pemburu akan berdiri menunggu untuk menembaknya dengan peluru perak suci mereka yang agung.
Berjalan cepat di sepanjang pantai Gris Gris yang mulai sepi menjelang matahari terbenam, Xiao Hua serasa tidak menapakkan kaki. Sebenarnya ia lumayan lelah dengan semua situasi ini. Hei Yanjing menjulang di sampingnya dengan senyum tipis yang terukir hambar, nyaris tanpa emosi. Melemparkan lengan kurusnya di bahu Xiao Hua dan menepuknya seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Deburan ombak memecah di udara, bergemuruh dalam ritme sama, nyaris seperti refrein lagu yang bergema dan terus bergema tanpa bisa dihentikan. Dan pekikan camar di atas tebing, terdengar lebih mirip tangisan yang menyayat hati di telinga Xiao Hua yang dilanda khawatir.
"Kita harus berlari, Hei Ye!" ujarnya, menatap panik pada matahari terbenam di balik lautan. Cahaya merah darah menciptakan garis lurus yang kian lama kian melebar di permukaan lautan.
"Bulan akan menggantikan matahari!" lanjutnya, mulai berlari menuju tebing, menabrak hembusan angin yang menderu dari arah depan.
Hei Yanjing mengatupkan bibir tipisnya dan melesat lebih dulu melewati kecepatan lari Xiao Hua.
"Kau payah jika dalam bentuk manusia biasa." Gema tawanya lewat di telinga Xiao Hua, kosong, tanpa keinginan untuk tertawa dari hati. Jelas dia pun memiliki kecemasannya sendiri, hanya saja ia tidak akan menunjukkannya.
Mereka tiba saat hari hampir gelap. Dalam keremangan cahaya merah jingga lembayung senja yang masih tersisa, Xiao Hua mulai memindai situasi.
"Nah, bagaimana sekarang?" dua langkah di sampingnya, Hei Yanjing berdiri dengan posisi lumayan santai dan dua tangan di pinggang.
"Seharusnya kalung itu jatuh di sekitar sini," desis Xiao Hua.
"Itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Bagaimana kalau seseorang menemukannya?" Hei Yanjing mendesaknya ke ujung rasa bersalah karena telah lalai dalam menjaga benda itu.
"Menurutmu berapa banyak orang yang sengaja datang ke tempat ini untuk melihat debur ombak yang mengerikan di bawah sana?" Masih mencoba mengingat di mana terakhir kali ia berdiri, Xiao Hua menepis rasa frustasi dengan sedikit fakta tentang sedikit orang yang sengaja datang ke tebing ini.
"Tidak banyak, kurasa." Hei Yanjing mengangkat bahu, lantas tangannya terulur menepuk lembut bahu pemuda gelisah di sampingnya.
"Kita tidak akan menemukannya dengan cara menatap seperti orang kebingungan. Ayo, mungkin kita harus mengobrak-abrik bebatuan di tempat ini," ia menyarankan dengan gaya sederhana.
Xiao Hua memalingkan wajah padanya, mendapati ekspresi si pria hitam terlihat optimis. Seharusnya dengan adanya dia di sisinya, ia tidak perlu sekhawatir ini. Sebagai reaksi atas gagasan cemerlang itu, Xiao Hua hanya menyeringai tipis. Mereka mulai bergerak di bawah terpaan angin laut yang menderu kencang dan pekikan bangau, burung camar, serta desis dedaunan di pepohonan.
Pada kenyataannya, butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Kalung sekecil itu bisa tersangkut di mana saja, tergelincir ke bagian paling tersembunyi di bawah bebatuan, dan lebih buruknya lagi, seseorang menemukan benda itu dan mengambilnya tanpa mengetahui nilainya. Tangan-tangan mereka sudah lecet dan berdarah karena menyingkirkan banyak bebatuan, memeriksa dalam suasana redup. Hei Yanjing tidak memiliki masalah dengan itu. Kemampuan penglihatannya yang luar biasa dalam gelap menjadikannya lebih tajam dan teliti di malam hari. Apa yang dia khawatirkan saat ini adalah bagaimana kekuatan Xiao Hua tiba-tiba meningkat.
"Seharusnya di sini. Ya, seharusnya itu di sini," ia menceracau dengan wajah berantakan. Rambutnya tidak beraturan dipermainkan angin, beberapa helai nampak lengket di pelipisnya oleh butiran keringat. Tidak semata-mata lelah, ia meneteskan keringat dingin karena panik. Namun apa yang membuat Hei Yanjing mengernyit adalah kilau kemerahan di matanya yang indah, dan ia tahu, bulan sebentar lagi akan terbit dan Rose Queen akan bangkit.
"Ah, ini menjengkelkan ... " desis Hei Yanjing, mengerutkan keningnya kian dalam. Seperti orang kesetanan, dia menekan lutut ke tanah, mulai menggali lagi, terus mencari, bahkan menyapu debu dan kerikil.
Kemudian, kala harapan kian menipis, ketajaman matanya yang nyaris mirip keajaiban menangkap kerlip merah dari liontin kristal yang tersaput debu dan serpihan batu.
Ini dia!
Hei Yanjing menahan napas. Tangannya yang mulai kesakitan meraih benda itu, dan benar dugaannya. Itu adalah kalung perisai warisan leluhur yang dia serahkan pada Xiao Hua untuk menekan kekuatan jahat sang ratu vampir.
Uh, sembrono sekali, batinnya mendesah, menggelengkan kepala lambat-lambat. Dia harus menghukum pemuda cantik itu atas kelalaian serius ini.
"Xiao Hua!" panggilnya.
Dengan takzim, ia mengangkat kalung berdebu itu di depan mata.
"Leluhur membantu kita," lanjutnya, menyeringai.
Hembusan napas Xiao Hua terdengar keras diselimuti kelegaan dan rasa takjub. Sebagai reflek dari kelelahannya, ia terduduk di atas bebatuan, balas menyeringai pada si pria hitam.
"Aku tahu semua akan baik-baik saja selama ada dirimu," desahnya, mendongak menatap langit yang mulai diselimuti warna indigo gelap. Bercak merah telah tenggelam sepenuhnya, dan kegelapan menelan semua cahaya. Saat itu Xiao Hua merasakan sensasi familiar yang mendesak dari dalam dirinya. Gelombang panas yang meledak-ledak, membakar jantung, rusuk dan limfa, mendidihkan darahnya. Dan seperti mahluk melata yang terlempar ke dahsyatnya gelombang, ia merasakan dirinya mulai ditarik ke dasar kegelapan oleh tangan-tangan gaib yang terkutuk.
"Ti-dak ... " ia mengerang, berharap yang keluar dari tenggorokannya masih suara miliknya, bukan geraman binatang buas.
"Hei Ye!"
Seringai licik di wajah Hei Yanjing memudar, seketika melompat ke arah Xiao Hua, berjongkok dengan satu lutut bertumpu di tanah, dan menekan bahu pemuda itu.
"Bertahan, Xiao Hua! Aku akan memasang kalung ini."
Bibirnya terkatup rapat dan rahangnya mengeras sewaktu Hei Yanjing mulai memasang kalung perisai warisan leluhurnya. Sialnya, dalam gelap, benda itu terlalu kecil untuk dipasang dengan baik dan cepat.
"Uh, maafkan aku, leluhur. Tapi kalung sialan ini cukup menyulitkan. Tidak bisakah kau membuat yang lebih besar," geramnya di sela siulan angin.
Akhirnya, setelah kesadaran Xiao Hua nyaris hilang, ia bisa memasang kalung itu dengan sempurna. Seharusnya itu tidak terlambat.
"Kau baik-baik saja?" bisiknya di telinga pemuda yang tengah bergulat dengan energi gelap dalam jiwa dan raganya.
"Xiao Hua ... "
"Xiao Hua ... "
Suara itu lagi. Lembut dan hangat. Berenang dalam lautan yang dingin dan gelap di antah berantah, jiwa Xiao Hua menemukan pegangannya kembali. Seberkas cahaya, dan panggilan selembut angin semilir di musim semi. Perlahan dia membuka mata dan mengatur napas, sementara ledakan energi panas belum mereda dalam dirinya, akan tetapi tidak melonjak lebih kuat. Seharusnya itu akan bisa dikendalikan perlahan-lahan. Meskipun tak akan hilang.
"Aku ... " napasnya terengah, tersendat, tetapi mencoba untuk menjawab, "baik-baik saja."
Senyuman Hei Yanjing terkembang.
"Bagus sekali. Kau pemuda yang hebat!" tepukannya mendarat di pipi kanan Xiao Hua.
"Aku bangga padamu."
Xiao Hua hanya menanggapi dengan seringai sinisnya yang khas.
"Aku tidak tahu dengan apa kau harus membayar jasaku yang tak terhitung lagi," Hei Yanjing mulai mengoceh, kemudian bangkit berdiri dan membantu Xiao Hua untuk tegak di atas kakinya yang lelah.
"Sepertinya kau akan memasang bunga tinggi," sahut Xiao Hua, ekspresinya pahit.
"Dua puluh empat persen, batas bunga maksimum tahun ini. Bagaimana?"
"Ishh, sialan .... "
Kelegaan itu hanya bersifat sementara. Hanya beberapa detik kemudian Hei Yanjing merasakan firasat buruk.
"Romantis sekali," satu suara yang tidak asing menyayat kesunyian.
Kedunya sontak menolehkan kepala dengan cepat ke arah di mana jalan terjal menuju tebing tampak gelap kosong dan misterius. Detik berikutnya sosok-sosok hitam melompat dan berdiri di sana dalam formasi acak, menatap ke arah keduanya dengan tatapan membunuh.
"Kau telah melakukan pelanggaran berat dengan melindunginya, Ketua!" kata salah seorang dari mereka.
"Dengar-" Hei Yanjing memulai.
"Cukup!" teriak Lao Wei.
"Kami terpaksa harus melakukan ini. Jangan halangi kami dalam menjalankan tugas."
"Tinggalkan kami!" perintah Hei Yanjing.
Lao Wei tertawa singkat, tidak ingin kehilangan momen berharga ini untuk kesekian kali. Tatapan tajamnya terpaku pada Xiao Hua, menduga bahwa pemuda itu kini telah bertransformasi menjadi Ratu vampir. Secara tidak langsung, tindakannya akan menyelamatkan Ketua mereka, baik Hei Yanjing menyangkalnya atau tidak.
Tembakan pistol magisnya begitu cepat dan tanpa ampun. Peluru perak mendesing, berkilau dalam gelap.
"Awas!"
Xiao Hua kehilangan fokus selama beberapa detik, bahkan nyaris tidak menyadari saat Hei Yanjing merangkul tubuhnya untuk kemudian melompat mundur ke tepi tebing.
"Aahh, ini tidak baik, Ketua," desis Lao Wei, menatap ke cakrawala selama dua detik.
"Tembak!" serunya pada pemburu lain.
Butuh beberapa detik bagi yang lain untuk mengumpulkan keberanian untuk mengangkat senjata dan menembak Ketua mereka sendiri. Suara letusan beberapa pistol menggema di antara deburan ombak ganas di bawah sana.
"Hei Ye! Menyingkir! Biarkan mereka menangkapku!" Xiao Hua mendengkus, mulai marah atas situasi buruk yang tak terkendali. Akan tetapi kecepatan gerakan mereka tidak lebih cepat dari sambaran peluru, dan seperti kilatan halilintar yang mengerjap lewat di kala badai, satu gerakan berputar dari Hei Yanjing berhasil menghindari tiga peluru. Dua yang datang menyusul tanpa bisa dihindari menembak lurus, menyelinap menuju sasaran. Dengan bahunya yang lebar, Hei Yanjing melindungi sang korban kemarahan para pemburu dan tembakan terakhir bersarang di pinggangnya.
Tak ada jalan lain. Mereka terdesak di tepi tebing curang. Hei Yanjing menyadari kegentingan ini. Mati di tangan Lao Wei dan kawan-kawan yang nyaris sehebat dirinya, atau berjuang melawan keganasan ombak.
"Ketua!!!" Para pemburu meraung, hampir tak percaya sosok yang mereka hormati selama ini mampu membahayakan dirinya sendiri demi seorang mahluk terkutuk.
Rasanya nyaris tidak nyata. Kala lengannya yang kuat memeluk tubuh Xiao Hua, dan membawanya melompat ke lautan yang gelap dan mengerikan.
Wuuuusssshhh!!!
Badai angin menyambut dua tubuh itu dalam rengkuhan yang ganas dan berbahaya.
Dalam momen menakutkan itu, satu-satunya yang bisa dilihat Xiao Hua dalam pikirannya adalah senyuman si pria hitam dan kata-kata acuh tak acuh yang menyiratkan godaan.
Xiao Hua, mau melompat ke laut bersamaku?
[Tbc]
***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro