Chapter XIII
Flashback
Peristiwa itu terjadi dua bulan sebelum kepindahannya ke Phoenix City. Penawaran sebuah artefak kuno berupa patung giok berbentuk naga bersayap telah membawanya ke sebuah kastil kuno di pinggiran utara perbukitan Transylvania yang dingin. Xiao Hua tiba di sana pada siang hari, melakukan check ini di sebuah hotel kecil berjarak setengah jam perjalanan dari lokasi yang akan dia kunjungi. Bepergian seorang diri membuatnya lebih mudah bergerak dan memutuskan beberapa hal secara cepat dan praktis. Dia telah mengatur sebuah mobil sewaan beserta sopirnya untuk membantunya bepergian ke tempat-tempat tertentu.
Xiao Hua membuat janji temu dengan seorang arkeolog bernama Louis dan seorang rekannya di sebuah lokasi tempat mereka menyimpan artefak giok naga. Setelah melalui medan perbukitan naik turun dan gugusan cemara di lereng pegunungan yang berkabut, dia tiba di pelataran sebuah bangunan tua yang kokoh dan misterius. Dia telah menyiapkan mantel tebal untuk menghadapi cuaca dingin di perbukitan. Sejenak ia membersihkan lensa kacamata bening sebelum mengenakannya, kemudian melangkah keluar dari mobil, untuk beberapa waktu berdiri di depan bangunan tinggi itu. Beberapa ekor burung hitam bertengger di kubahnya, meluncur satu per satu saat angin kencang berhembus menggerakkan ranting dan dedaunan pohon-pohon besar di depan dan samping bangunan.
Apakah ini semacam kastil? Xiao Hua menyadari bahwa dia pernah melihat bangunan ini sebelumnya. Di kartu pos di suatu tempat, atau mungkin lembaran di literatur kuno. Menurut dugaannya, bangunan ini semacam museum, atau biara. Entahlah. Sepertinya begitu. Arsitekturnya kuno dan khas Eropa. Jelas sekali usianya sudah ratusan tahun.
Keheningan mengelilinginya. Xiao Hua masih berdiri di sana, menatap dengan cermat, berharap dia akan mendapatkan barang yang diinginkan dan berharap artefak itu akan seindah saat pertama kali dia melihatnya. Untuk beberapa saat, sendirian di antah berantah, Xiao Hua merasa tersesat. Dia menarik napas panjang dan melonggarkan dasinya. Angin bulan February masih sangat dingin dan wajahnya agak mati rasa.
"Tuan Xie!" teriak sebuah suara, dan ia berbalik.
Dua orang pria berpakaian serba hitam berjalan menghampirinya.
"Kami sudah menantikan kedatangan Anda," kata pria yang lebih dewasa, sangat serius. Dia Louis, seorang peneliti arkeologi berdarah campuran China Amerika.
"Aku sangat bersemangat untuk transaksi ini," sahut Xiao Hua, membungkuk ringan.
"Ya, tentu. Kenalkan, ini kawanku, Richard. Dia bekerja di sini," katanya, menoleh kepada pemuda di sampingnya, yang perlahan mengangguk sopan pada Xiao Hua.
Xiao Hua balas mengangguk.
"Baiklah," kata Louis, berbalik dengan tiba-tiba dan memimpin jalan. "Mari kita masuk."
Xiao Hua mengikuti, dan petugas itu berjalan di sampingnya, tidak yakin harus berbuat apa selain mengawasi gerak gerik dua orang ini.
Louis membuka pintu abad pertengahan yang besar, meraihnya dengan cincin kuningan bundarnya.
Dia kemudian melangkah ke samping, memberi isyarat agar Xiao Hua masuk. Richard berdiri di ambang pintu, berdiri tegak.
"Apakah ini sebuah kastil drakula?" canda Xiao Hua, meredakan ketegangan yang lahir dari aura bangunan yang mereka masuki.
"Kau keliru, kawan. Dahulu ini sebuah biara," timpal Louis, tersenyum sekilas.
"Biara? Kau menyimpan artefak di biara?"
"Ini sudah berubah fungsi menjadi museum sejak puluhan tahun lalu."
Xiao Hua melintasi ruangan luas beratap tinggi dengan pilar-pilar batu, suasananya mengingatkan dia pada gambaran kehidupan abad pertengahan, dia merasa seolah-olah memasuki dunia lain.
"Oh, begitu rupanya. Sepertinya kita tidak perlu membayar tiket masuk," kata Xiao Hua kepada Louis sambil tersenyum.
Dia melihat ke arahnya, berkedip.
Butuh sedetik baginya untuk menyadari bahwa itu adalah lelucon. Akhirnya, Louis balas tersenyum.
"Aku khawatir akan ada harga yang jauh lebih tinggi untuk masuk," katanya.
"Ya, transaksinya jelas mahal." Xiao Hua mengacu pada artefaknya.
"Lebih dari itu, kita harus berhati-hati di tempat ini," Richard memperingatkan.
"Ada bahaya apakah? Atau semacam ancaman?" tanya Xiao Hua, tiba-tiba merasa bingung.
"Museum indentik dengan benda kuno yang memiliki sejarah berbeda. Sebagian di antaranya cukup kelam. Itu sudah cukup merupakan bahaya," timpal Louis, menoleh sekilas pada Xiao Hua.
"Masuk akal. Tetapi bagiku, bahaya itu adalah jika pertemuan ini tidak berjalan seperti yang aku harapkan." Dia menutup kalimatnya dengan senyuman, hingga Louis menatapnya sedikit curiga sekaligus terpana.
"Kau memiliki senyum yang indah, Tuan Xie," pujinya tulus. "Tetapi hati-hati dengan rasa percaya dirimu."
Pria ini menjadi terlalu serius, batin Xiao Hua, membetulkan letak kacamatanya. Setelah menanggapi pujian kosong itu sekilas, ia mulai mengamati ke arah mana mereka menuju.
Louis membimbingnya melewati ambang pintu lebar dengan lengkung batu di atasnya dan masuk ke sebuah ruangan besar. Simetris sempurna, dikelilingi di empat sisi oleh kolom dan lengkungan. Ruangan ini diterangi lampu kristal raksasa yang sangat indah. Xiao Hua tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berada di zaman modern. Mereka bisa saja berada di pedesaan Eropa abad pertengahan. Ada banyak artefak kuno yang dipajang dalam jarak tertentu. Sebagian disimpan di balik kotak kaca tebal dilengkapi sejumlah keterangan di sampingnya. Benda-benda ini pasti tak ternilai, demikian Xiao Hua membatin sementara matanya berbinar-binar mengamati benda-benda itu.
Mereka berjalan melintasi ruangan dan menyusuri lorong yang panjang, suara langkah kaki mereka bergema seakan mereka dibuntuti oleh beberapa orang lagi. Setelah berjalan menyusuri koridor dan melewati pintu abad pertengahan lainnya.
Mereka tiba di ruangan lain dan kemudian Louis berhenti.
"Patung giok naganya berada di sini," ia mengumumkan dengan takzim.
Xiao Hua berjalan mendekat, merasakan hawa dingin menjalari punggungnya saat ia melihat Louis mengulurkan tangan pada sebuah peti kayu coklat kehitaman yang nampak berat dilengkapi gembok besar. Dengan sangat hati-hati, dia membuka kunci dan mengangkat penutup peti, mengungkap apa yang ada di dalamnya.
Cahaya putih kehijauan yang lembut memancar dari dalam, berasal dari sebuah patung giok berbentuk naga yang memiliki sayap. Di mata Xiao Hua, benda itu terlihat sangat agung dan indah hingga ia menahan napas. Ukurannya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Nampak anggun jika dijadikan pajangan di atas lemari. Gairah dan obsesi Xiao Hua pada artefak kuno membuatnya rela melakukannya transaksi besar demi koleksi indah ini.
"Aku terkejut," bisiknya, masih diliputi kekaguman.
"Kudengar benda ini milik kaisar Mongolia di masa sebelum keruntuhan dinasti mereka. Bagaimana bisa terdampar di pedesaan Eropa."
"Sejarahnya panjang," sahut Louis datar.
"Bagaimana, apakah ini sesuai harapan?"
Xiao Hua mengangguk, rona kepuasan membayang di wajahnya.
Mereka membicarakan beberapa kesepakatan lagi sambil melihat-lihat koleksi lain. Pada satu waktu, Louis menerima panggilan telepon yang serius hingga harus menjauh darinya sementara. Xiao Hua sendirian dalam keasyikannya berada di tengah benda-benda yang selalu sangat ia cintai, dia melirik Richard dan pemuda itu nampak sibuk dengan peti berisi patung giok naga.
Xiao Hua terus menyusuri bagian demi bagian ruangan hingga menemukan satu lorong yang berujung pada satu pintu abad pertengahan lainnya. Ada satu lempengan logam ditempel di pintu besar itu. Ada tulisan di atas lempengan dalam bahasa Romawi kuno. Ini aneh. Xiao Hua mempelajari bidang ini sejak lama dan mulai mengerti artinya setelah mengamati serta membaca berulangkali dengan kening berkerut.
Manusia berakhir di sini. Demikian tulisan yang ia lihat di lempeng logam. Dia sama sekali tidak mengerti. Seperti ada keberanian dan rasa penasaran yang mendesak, menggerakkan tangannya untuk mendorong pintu berat itu. Sepertinya agak sulit, ada palang besi besar dan ada tombol aneh dengan ukiran fleur de liez di atasnya. Tanpa maksud apa apa, Xiao Hua membelai tombol itu, sepertinya bisa diputar dan ditekan. Dan ia melakukannya. Tidak ada yang terjadi untuk detik-detik pertama, tapi kemudian sebaris tulisan kuno perlahan-lahan muncul dari dalam lempengan logam, sebentuk cahaya berpendar yang kemudian berubah menjadi sebaris tulisan kuno yang berbeda.
Apa itu? Apakah semacam mantera?
Sesaat ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam situasi ganjil seperti sekarang, menjadi terlalu pintar terkadang bisa merepotkan. Dia pernah mempelajari tulisan kuno itu dan membacanya terbata-bata. Saat ia selesai, tiba-tiba saja, pintu itu bergetar dan terbuka perlahan-lahan.
Hmmmm, sepertinya ada koleksi yang lebih unik lagi di dalam sana.
Bahkan pintu besar ini terbuka dengan bacaan mantera. Demikian pikirannya membenarkan semua tindakan sembrono yang dia lakukan.
Ada beberapa anak tangga. Lampu kecil ditanam di dinding memancarkan sinar kekuningan yang lemah, nyaris gelap di sini, dan pengap. Tangga berbelok ke sudut, membawanya ke sebuah ruangan besar, dan dia terpesona oleh keindahannya. Sungguh luar biasa, seperti turun ke kastil abad pertengahan yang sebenarnya.
Langit-langit yang menjulang tinggi menutupi kamar-kamar yang diukir dari batu abad pertengahan. Di sebelah kanannya ada sebuah sarkofagus. Sosok abad pertengahan yang rumit diukir di tutupnya.
Mumi. Ini pasti tempat penyimpanan mumi. Mungkin inilah hal yang dikhawatirkan oleh Richard seperti yang tadi sempat dia katakan. Suasananya hening, seperti di perut bumi. Tidak heran, ruangan ini bisa dikatakan adalah ruang bawah tanah. Xiao Hua berjalan mendekati sarkofagus, menelusuri permukaannya dengan ujung jemari. Matanya menatap takjub. Dia sangat penasaran untuk mengetahui apa isinya, tapi sepanjang pengalamannya, sarkofagus tidak bisa sembarangan dibuka.
Pencahayaan dalam ruangan itu sangat minim. Dengan menajamkan penglihatannya, Xiao Hua mengamati ruangan, sesaat mengalihkan fokusnya dari sarkofagus. Matanya tertumbuk pada sebuah kotak lain yang lebih kecil, tampak sama kunonya dengan sarkofagus, dan sama menariknya baginya. Dia menuju kotak itu, mengamati ukirannya, dan hawa dingin yang ia rasakan saat menyentuhnya. Ada kuncian berbentuk wajik terbuat dari batu yang bisa diputar untuk membuka tutup kotak dan tangan lancangnya membukanya. Ada sebuah gulungan kulit di dalamnya. Mungkinkah itu seperti peta atau semacamnya. Lagi-lagi, dia mengambil gulungan dan membukanya.
Beberapa baris tulisan kuno tertulis di situ. Tulisannya hampir memudar. Mungkin ditulis dengan tinta terbaik di zamannya namun jejak waktu membuatnya pudar. Kemudian sebuah botol kaca kecil berisi cairan merah diletakkan di samping gulungan, dan seikat rambut berwarna kemerahan. Pada saat ia tertegun menatap benda-benda aneh di dalam kotak itu, sebuah suara berbisik di dalam kepalanya. Asing, bisikan yang mendesis dan membuatnya merinding.
Datanglah ...
Xiao Hua menjauhkan diri dari kotak itu, menutupnya dengan cepat. Terhuyung-huyung selangkah ke belakang, ia tanpa sengaja membentur tepian sarkofagus dan merasakan campuran hawa panas dan dingin mengaliri tubuhnya. Napasnya terengah -engah, kemudian ia merasakan tatapannya mengabur. Entah itu halusinasinya atau nyata, selarik asap tipis hitam kemerahan melayang mengitarinya. Melesat cepat masuk ke dalam mulutnya, terhisap cepat. Xiao Hua tersentak, lantas terbatuk-batuk hebat. Tidak yakin akan apa yang telah terjadi padanya.
Apa itu tadi??
"Tuan Xie!" Teriakan panik Richard menggema dari balik pintu.
"Tuan Xie! Anda di dalam?"
"Ya!" Xiao Hua menjawab sambil menyentuh tenggorokannya yang sesak dan terasa membeku sesaat.
"Demi Tuhan," Richard mengintip ngeri dari balik pintu.
"Tidak ada yang bisa membuka pintu ini selain penjaga yang terpilih. Bagaimana Anda??" Wajahnya memucat dan tegang.
"Maaf," Xiao Hua merasa tidak nyaman. Dia berjalan menuju pintu. "Aku tidak bermaksud lancang. Awalnya hanya melihat-lihat koleksi berharga lainnya."
"Anda tidak apa-apa?" tanya Richard.
Mereka mundur dari pintu dan menjauhinya dengan cepat. Pintu itu menutup kembali dengan keras.
"Sarkofagus itu sangat indah. Aku yakin apa pun yang berada di dalamnya sangat berharga dan dihormati."
Richard terbatuk singkat, aura terkejutnya masih nampak jelas, membuat Xiao Hua merasa bersalah.
"Itu sarkofagus pendeta Marius yang dimuliakan," sahut Richard. Langkahnya tergesa-gesa menyusuri lorong untuk kembali ke ruangan semula.
"Oh, jiwa yang diberkati. Aku yakin ada alasan mengapa kalian menempatkannya di sana."
"Para pendahulu mengatakan bahwa sarkofagus pendeta Marius memang dilengkapi dengan banyak mantera perlindungan dan juga penangkal roh jahat. Aku hanya penjaga yang diwariskan sedikit pengetahuan tentang itu. Dikatakan bahwa ... " Richard menahan ucapannya, lantas menghela napas.
"Apa yang ingin kau jelaskan?" desak Xiao Hua penasaran.
"Tidak. Tidak ada apa-apa." Richard memutuskan untuk diam.
*****
Present
Ada bunyi kepak sayap burung di belakang telinganya. Tidak besar, tidak kecil. Di antara deru gemuruh ombak menerjang karang, pekikannya terdengar samar.
Xiao Hua menyentakkan kepalanya ke belakang kala visi itu tiba-tiba tergambar jelas. Sekilas momen yang sederhana dan terlupakan, tiba-tiba muncul ke permukaan lautan ingatannya yang bergelombang.
Burung bangau, tebing Gris Gris.
Itu dia! Ya! Dia berada di sana.
Xiao Hua tidak yakin apakah itu efek samping dari peristiwa mengejutkan ini dan situasi canggung yang mengepungnya saat berjumpa dan bicara dengan Hei Yanjing, tetapi hidupnya sebelum hari ini terasa lebih seperti mimpi kabur yang mungkin atau mungkin tidak benar-benar terjadi. Lalu kenapa ia memikirkan tebing Gris Gris? Bahkan saat ia nyaris tak sadarkan diri.
Ketika ia membuka mata perlahan-lahan, suasana yang sama menyambutnya. Nyala api obor masih berkerlip memancarkan sedikit cahaya. Dia kehilangan orientasi waktu. Entah berapa lama sejak Hei Yanjing menemuinya dan memberikan seteguk air yang sejuk. Xiao Hua menjatuhkan pandangan ke lantai batu hitam, masih terikat seperti hewan hasil buruan.
Dalam mimpinya yang baru saja sirna, ia masih merasakan hembusan angin laut menyapu wajah dan rambutnya, kepakan sayap bangau di atas kepala dengan kaki-kaki panjang mereka, dan senyuman Hei Yanjing yang berdiri di tebing Gris Gris.
Tunggu!
Dia mengedip-ngedipkan mata dengan cepat.
Apakah ia melewatkan sesuatu dari visi ini?
*****
Bangunan yang mereka gunakan saat ini adalah gereja tua di sisi utara pelabuhan kuno desa Savanne. Tempat di mana terakhir kali timnya mengadakan pertemuan untuk membicarakan rencana penyergapan terhadap entitas ratu vampir yang bersarang dalam tubuh seorang manusia. Hei Yanjing berdiri di luar bangunan, menatap pohon rindang dengan dahan dan ranting mereka yang menjuntai seperti kaki laba-laba yang terurai. Hari menjelang senja saat dia mendongak menatap langit kemerahan dengan tangan menjepit sebatang rokok yang mengepulkan asap.
Banyak hal rumit berkecamuk dalam pikirannya. Tersembunyi di balik auranya yang tenang dan hening, serta kegelapan yang menyelimuti. Orang bahkan sulit menangkap emosi apa pun di matanya.
"Ketua," suara seseorang memanggilnya. Sosok hitam yang lain berjalan menghampiri, terlihat tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.
"Ini sudah lebih dari satu hari. Apakah tidak sebaiknya kita menghabisi pemuda itu?"
Ekspresi Hei Yanjing masih datar, tapi tarikan sudut mulutnya nampak penuh tekad. Kepalanya menggeleng perlahan tanpa menoleh pada siapa yang bicara. Dia tahu bahwa Lao Wei terlalu bersemangat untuk menuntaskan tugas mereka.
"Pemburu vampir tidak membunuh manusia," ia berkata, lantas menghisap rokok, menghembuskan asapnya dari hidung dan mulut.
"Dia sudah bukan manusia lagi," tukas Lao Wei, tidak setuju dengan penundaan yang diputuskan oleh sang ketua.
"Dia masih manusia."
"Kekuatan Rose Queen sudah hampir bangkit seluruhnya. Jika kita menunda lagi, aku khawatir itu sudah terlambat untuk menghabisinya."
"Rose Queen tidak musnah bahkan sewaktu leluhurku yang memiliki perisai darah perak mencoba melakukannya. Tubuhnya memang musnah, tapi tidak jiwanya. Mereka hanya bisa menyegelnya."
"Itulah yang akan kita lakukan. Langkah pertama, kita harus melenyapkan inangnya. Kita telah melakukannya terhadap manusia lain yang telah berubah menjadi vampir."
Sekilas wajah Hei Yanjing terlihat memucat. Ada begitu banyak penolakan dalam dirinya atas gagasan heroik yang dilontarkan Lao Wei.
"Mereka yang telah kita bunuh sudah sepenuhnya menjelma menjadi mahluk keji itu. Pemuda ini berbeda. Jiwanya yang murni masih berjuang melakukan perlawanan." Dia mencoba memberikan argumen yang sedetik kemudian terasa sangat lemah dan tidak cerdas.
"Pertama kalinya kau bersikap lunak dan kehilangan ketegasanmu," selidik Lao Wei sedikit curiga.
"Ragu-ragu bukanlah gayamu, Ketua."
Hei Yanjing membuka mulut untuk bicara tetapi yang dia lakukan lagi-lagi hanya menghisap rokoknya.
"Kau menemuinya tadi siang, bukan?" tanya Lao Wei.
Hei Yanjing bergeming.
"Apakah dia memelas meminta darah?" Lao Wei tahu itu adalah pertanyaan tidak penting saat dia menanyakannya dan merasakan keraguan sang ketua berubah menjadi sesuatu yang lebih serius kala ia melihat bahunya menegang akibat pertanyaan itu.
"Tidak. Dia masih manusia pada siang hari, dan juga pada malam hari. Hanya sesekali saat energi gelap itu terlalu kuat, ia akan kerasukan total."
Suaranya dingin saat menjelaskan hal yang dia yakini sudah diketahui Lao Wei dengan baik.
"Aku merasa kau mengasihani pemuda itu," komentar Lao Wei, tidak melunakan sifat keras kepalanya.
Hei Yanjing akhirnya memutar tubuh, menatap anak buahnya. Tatapannya seperti menembus jiwa, garis kaku wajahnya seolah bercerita bahwa ia sedang memperdebatkan banyak hal.
"Aku sedang memikirkan cara untuk memusnahkan Rose Queen tanpa membunuh pemuda itu."
"Apakah itu mungkin? Semua mahluk yang dihinggapi entitas gelap yang tiba-tiba berkeliaran seperti lebah keluar dari sarang itu, tidak bisa kembali menjadi manusia normal. Kau tahu itu lebih baik daripada kami semua, Ketua."
Hei Yanjing terdiam, keheningan dan kebuntuan pikiran terasa seperti sebuah keabadian.
"Kau yakin bisa menemukan caranya? Jika kita terus mengulur waktu, energinya akan segera bangkit. Kita mungkin tidak bisa mengatasinya lagi."
Lao Wei mendongak ke langit senja, saat bayangan bulan mulai mengintip samar di langit timur. Bentuknya tidak lagi sempurna. Namun sapuan kabut merah tipis di permukaannya terlihat menakutkan.
"Rembulan masih memerah. Aku yakin energinya masih akan bangkit dengan beringas, dan akan mencapai puncaknya purnama mendatang. Harap kau berpikir lebih bijak tentang situasi ini. Masalahnya sangat serius."
"Jangan khawatir," desah Hei Yanjing, mengangguk pada Lao Wei. Namun jelas, ekspresi dan keteguhannya tidak terpengaruh walaupun ia bisa melihat ketidaksetujuan di mata anak buahnya.
"Aku akan memikirkan cara lain. Namun jika cara itu buntu dan tak ada pilihan lain, aku sendiri yang akan menembakkan peluru pelebur jiwa pada Xiao Hua."
Suaranya penuh tekad, diiringi keheningan panjang yang menegangkan.
[Tbc]
***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro