Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter VII

Kulit pucatmu yang halus, bibir tipis merahmu, adalah daya tarik yang tidak wajar yang membuat hatiku berputar-putar dan membuatku damai di dunia yang penuh bahaya.

*****

The Beach

Satu pekan kemudian, di pagi musim gugur yang cukup hangat, Xiao Hua merasa keadaan di luar kendalinya sewaktu ia akhirnya mengikuti ajakan Hei Yanjing untuk liburan akhir pekan. Dia tidak ingin kegiatan apa pun mengganggu pekerjaannya, jadi Xiao Hua tidak ingin pergi terlalu jauh. Sementara dirinya mengemudikan Mercedes hitamnya membelah jalur jalan raya yang masih lengang di bawah siraman matahari pagi yang lembut, Hei Yanjing setengah mati memikirkan kegiatan apa yang harus didahulukan.

"Kita sudah sepakat untuk pergi ke Savanne," Hei Yanjing berkata, garis mulut yang ditarik menjadikan ekspresinya serius, seperti seseorang yang tengah merencanakan sesuatu yang hebat.

"Hmmm," gumam Xiao Hua, menyipitkan mata.

"Aku tidak sabar ingin berselancar di Gris Gris. Tetapi kita tidak boleh melewatkan beberapa tempat yang indah. Itu akan menjadi pelanggaran serius."

Xiao Hua memutar bola mata di balik lensa kacamata beningnya yang elegan.

"Kau sudah mengingatkan aku berulangkali. Desa Souillac akan menjadi tujuan pertama."

"Ya. Lupakan tentang berdiet untuk akhir pekan ini, oke? Kita akan menikmati waktu santai." Xiao Hua tahu persis bahwa Hei Yanjing terlihat lebih santai dibanding dirinya. Lantas, apa istimewanya bersantai di akhir pekan?

"Mengapa kau sangat ingin ke sana?" ia bertanya pertanyaan yang sama sejak kemarin, karena Hei Yanjing tidak pernah menjawab dengan benar. Kali ini pun, Xiao Hua menyesali pertanyaan tolol itu saat Hei Yanjing lagi-lagi mengatakan hal yang menyebalkan.
"Souillac sangat indah dan tenang, tempat yang cocok untuk memulai hubungan baru. Banyak pasangan datang ke sana untuk---"

"Aku sudah tahu," desah Xiao Hua, menginjak pedal gas lebih dalam saat mobil meluncur mulus di atas aspal melawan hembusan angin.

"Maksudku, apa kau memiliki misi lain?"

Tampaknya Hei Yanjing senang melihat ekspresi bosan di wajah tampan pemuda itu hingga ia hanya menanggapi dengan tawa santai.

"Tidak ada. Aku hanya ingin berdua saja denganmu di tempat sepi."

"Kau bohong," Xiao Hua menukas sembari benaknya membayangkan waktu yang akan berjalan sangat lambat bersama dengan seorang kawan yang nyaris kurang ajar dan selalu ingin mengendalikan hidupnya.

"Kau selalu bersikap misterius. Aku merasa kau menyembunyikan rahasia selama ini."

"Ah, jadi kau ingin melihat bagian dariku yang rahasia dan tersembunyi?"

"Apa maksudmu!?" Xiao Hua tersentak oleh bagaimana nakalnya cara bicara pria hitam itu.

"Masih pura-pura tidak paham?" Hei Yanjing terbahak.

"Hei Ye, aku serius!"

"Aku juga serius padamu."

Ya Tuhan ...

Xiao Hua mencengkeram kemudi. Dia melirik malas pada pria di sampingnya. Saat bersamaan, Hei Yanjing juga tengah menatapnya dengan ekspresi licik dan sulit ditebak. Xiao Hua merasa diteror. Dia memutuskan untuk tidak bicara apa pun lagi sehingga tak ada kesempatan bagi Hei Yanjing untuk mengoceh. Namun pria hitam itu tak mau berhenti, dia kembali bertanya padanya.

"Kau belum mengatakan padaku bagaimana penilaianmu tentang hadiah persahabatan dariku."

Diingatkan kembali akan kalung perak dan liontin bulan sabit, Xiao Hua seolah kembali merasakan demam. Anehnya saat ia bangun di pagi hari berikutnya, demam itu sudah hilang. Mungkin karena itulah ia tidak membahas hadiah itu lagi pada Hei Yanjing.

"Hadiah yang bagus, unik, dan terlihat mahal," jawabnya jujur.

"Kau menyukainya?"

Xiao Hua terdiam. Bisa ia rasakan sapuan hangat dari tatapan Hei Yanjing padanya. Kemudian ia mendesah enggan.

"Ya."

Hei Yanjing tersenyum lega. Di balik lensa kacamata hitamnya, ia memejamkan mata.

"Kuharap kau ingat pesanku untuk tidak melepaskannya," ia bergumam sebelum akhirnya berhenti bicara hingga mereka mencapai tempat tujuan.

Souillac terletak di bagian paling selatan Mauritius. Itu dipisahkan di sebelah barat dari desa Suriname oleh sungai Savanne dan di sebelah timur dari desa l'Union oleh sungai Bain des Négresses. Jalan utama mengular melalui desa dari timur laut ke barat, dari jembatan Bain des Négresses ke jembatan Souillac.

Mereka singgah terlebih dulu di Taman Telfair. Taman Telfair adalah tempat yang bagus di dekat pantai di mana penduduknya sering pergi piknik. Taman ini dihiasi oleh pohon beringin dan almond yang besar. Sebuah jalan setapak mengitari area taman.

Saat itu sudah lewat tengah hari. Mereka singgah di sebuah kedai kopi, duduk di sana selama hampir setengah jam kemudian berjalan-jalan di sekitar taman yang luas itu. Xiao Hua sebenarnya menyukai kehidupan semacam ini di mana ia bisa menghirup udara segar di tempat asing dan ia bisa bergerak bebas tanpa ada seorang pun mengenali dirinya. Karena alasan itu, matanya terlihat berbinar-binar saat memindai suasana.

"Kau terlihat bahagia jalan bersamaku," komentar Hei Yanjing, berjalan santai di sisi Xiao Hua. Sepatu boot hitamnya menginjak dedaunan kering yang berguguran dari pohonnya.

"Kukira suasananya yang membuatku merasa santai. Itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu."

Hei Yanjing terkekeh. Cara bicara pemuda itu yang datar dan terkadang penuh pergolakan di matanya, membuat si pria hitam kadangkala merasa lucu.

"Rupanya kau menyukai taman Telfair. Tetapi sayangnya kita tidak bisa menghabiskan banyak waktu di sini. Aku ingin berenang dan berselancar di pantai," ujar Hei Yanjing.

Xiao Hua hanya mengangkat alis. Sementara Hei Yanjing menjelaskan rencananya yang cemerlang, "Kita akan menyewa sebuah hotel di sana. Baru-baru ini, sebuah kawasan baru telah dibuat, yang dikenal sebagai Morcellement Gris-Gris. Rumah-rumah juga telah dibangun di sepanjang Laby Barkly Street, ke arah desa di timur laut."

"Gris Gris? Tidakkah itu terlalu berbahaya?"

"Yah, ombaknya memang besar tapi kau tidak perlu khawatir. Aku perenang handal."

"Hmmm."

"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan ke sana setengah jam lagi?"

"Uh, rupanya kau sangat tidak sabar."

Hei Yanjing terkekeh lagi.

Pada saat mereka meluncur melintasi teluk, matahari sudah hampir tenggelam dan mulai berubah menjadi merah keunguan, berkilauan di permukaan air.

Gris-Gris terkenal dengan tebing lautnya. Bagian pulau ini tidak dikelilingi terumbu karang. Ombak besar menerjang langsung ke tebing. Bagian yang paling spektakuler dari Gris-gris adalah "Roche Qui Pleure" di mana ombak yang terus-menerus pecah di sisi tebing memberi kesan bahwa tebing itu seolah menangis.

"Kita telah tiba di salah satu keajaiban alam," komentar Hei Yanjing dengan seringai puas.

"Keajaiban yang hampir menakutkan kurasa," cetus Xiao Hua ketika mendengar deburan ombak yang menderu-deru.

"Apa kita akan menikmati matahari tenggelam dengan berjalan di pantai?" Dia melirik Hei Yanjing yang masih mengulum senyum.

"Ide yang romantis!" Pria berkacamata menjentikkan jari penuh semangat.

Seketika sadar bahwa ocehan isengnya adalah kekeliruan besar. Xiao Hua hanya memutar bola matanya bosan. Keduanya memarkir kendaraan cukup jauh dari kawasan pantai dan berbaur bersama beberapa pengunjung lain. Pemandangan menjelang matahari terbenam sungguh menakjubkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Xiao Hua terpesona oleh bias merah jingga keemasan, dan bagaimana bola api raksasa perlahan-lahan ditelan lautan. Mereka berjalan perlahan-lahan dalam kebisuan satu sama lain. Hanya pandangan mereka yang searah menatap hamparan laut.

"Nah, jika kita terus berjalan melalui tanaman hijau subur itu akan membawa kita ke ujung tanjung di mana kau akan dapat menyaksikan apa yang disebut ilusi dari batu menangis." Hei Yanjing menunjuk ke satu arah. Dari sana, gempuran ombak menghantam tebing karang terdengar kian jelas dan mendebarkan. Xiao Hua menahan nafas. Gris gris memang menawan, dengan ombaknya yang megah, air di Pantai Selatan Mauritius ini menabrak tebing, memberi kesan bahwa bebatuan benar-benar robek dan menciptakan suasana mistis yang membuat orang bertanya-tanya bagaimana keajaiban alam bisa begitu spektakuler.

"Aku yakin kau tidak akan mudah melupakan kesan hari ini," ujar Hei Yanjing sambil terus berjalan sepanjang tepian pantai.

"Hmmm..."

"Kau jarang berwisata ke pantai?"

Xiao Hua menggeleng.

"Jangan terlalu kaku dan serius. Tinggalkan kota-kota sepi tak bernyawa dan jelajahi alam liar sesekali untuk menyaksikan keajaiban alam yang dramatis ini."

"Yah, kata yang tepat. Dramatis. Kau lihat tebing batu menangis itu? Kupikir itu tempat yang cocok untuk meratap." Pandangan Xiao Hua tertuju pada tebing karang di kejauhan dengan hempasan ombak bergulung-gulung, nampak angker dan mengerikan.

"Jangan khawatir, asal bersamaku, kau bisa berjalan-jalan di sekitar tebing tanpa khawatir akan terjatuh."

"Untuk apa aku mencari bahaya di sana, hidupku masih panjang. Masih ada banyak hal yang belum kulakukan." Xiao Hua menendang-nendang pasir lembut dengan ujung sepatunya. Cahaya kemerahan membias di wajah tampannya yang pucat sewaktu dia kembali menikmati sisa-sisa matahari terbenam.

"Aku tidak meragukan itu. Kau pemuda yang penuh gairah. Jadi aku yakin besok kau akan menemaniku bermain selancar. Sekarang, mari kita ke penginapan untuk beristirahat. Malam sebentar lagi akan membuat lautan menjadi kian gelap dan menakutkan." Hei Yanjing mengulurkan tangan untuk meraih jemari Xiao Hua. Pemuda itu terkesima hingga tak sempat menunjukkan reaksi penolakan dan hanya membiarkan langkah mereka beriringan dengan bergandengan tangan, bergerak mundur menjauhi bibir pantai.

Aurelio's lodge adalah pilihan Hei Yanjing untuk menginap malam ini. Alih-alih sebuah hotel besar dan nyaman, itu merupakan sebuah penginapan bergaya klasik dengan balkon berlantai dan berpagar kayu yang dihiasi banyak pot tanaman bunga. Pria itu menyewa satu kamar dan bersikeras tidak ingin terpisah. Hal ini membuat Xiao Hua menggelengkan kepala. Beruntung kamar luas itu memiliki dua tempat tidur, jika tidak, ia akan pastikan pria hitam itu tidur di sofa atau di lantai.

"Kita akan beristirahat semalam, memandang bulan dan hamparan laut dari jendela. Esok pagi adalah petualangan yang sesungguhnya," Hei Yanjing berkata sambil membuka jendela kamar dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Memilih posisi kamar di lantai dua memudahkan mereka menikmati pemandangan.

"Petualangan? Aku pikir cukup hanya dengan berjalan-jalan dan sedikit berenang." Xiao Hua berbaring malas di tempat tidur yang ia pilih untuknya. Lumayan nyaman, dia meluruskan kaki dan memejamkan mata.

Hei Yanjing tertawa. "Tidak ada yang pergi ke pantai Gris Gris untuk bersantai di kursi berjemur.
Orang-orang pergi untuk merasakan energi hijau yang agung dari tempat ini."

Angin berhembus masuk melalui jendela yang terbuka diiringi suara ombak yang menerjang tebing di kejauhan, samar dan berulang, nyaris menghipnotis. Tanpa menghiraukan ucapan Hei Yanjing, Xiao Hua perlahan mulai memejamkan mata.

"Hai, ini masih sore."

Hei Yanjing berusaha mencegah Xiao Hua untuk tertidur. Menikmati suasana malam di pesisir pantai seorang diri sungguh tidak seru. Apalagi mereka belum makan malam.

"Xiao Hua, jika kau tidur sekarang, aku terpaksa membangunkanmu dengan ciuman."

Ancaman itu lebih mengerikan dibanding todongan senjata api. Detik itu juga, Xiao Hua membuka matanya lebar-lebar, nyalang, disambut kekehan Hei Yanjing yang membuatnya merinding.

*****

Lao Wei mendongak dengan tatapan mata tertuju pada bayang-bayang hitam dan bisu. Dia ingat pernah mendengar tentang tempat ini dan sekilas dongeng pengantar tidur tentang vampir dan serigala yang bersembunyi di balik kegelapan.

Tapi itu tidak ada. Atau mungkin kompas ajaib di tangannya kehilangan fungsinya.

"Jarumnya sungguh menunjukkan arah ini. Sepertinya kita harus menunggu."

"Masih tidak terdeteksi aromanya?" yang lain bertanya.

Senyum jahat tersungging di bibir Lao Wei sambil menegakkan punggungnya.

"Oh, beberapa tidak mengeluarkan aroma," katanya. "Tetapi kita tidak akan kembali dengan tangan kosong. Kita pesta berburu malam ini."

Vampir itu muncul tepat setelah tengah malam. Seperti yang biasa mereka lakukan.

Di bawah cahaya bulan yang redup, Lao Wei dan beberapa orang anggotanya dapat dengan jelas melihat menara gereja di atas bukit kecil di sisi utara Batelage, pelabuhan kuno di Souillac.

Mereka juga bisa melihat pohon besar yang menjulang dari tengah kuburan, pohon yang begitu tua sehingga hampir tampak terbuat dari batu yang sama dengan gereja.

Saat Lao Wei memperhatikan, dari sela dahan-dahan pohon yang paling atas, satu bayangan menjelma menjadi wajah pucat dan mengerikan, berkilauan menjadi mulut dan hidung dan bahkan mata, mengintip ke arahnya. Sepasang mata merah menyala muncul dari balik cabang-cabang yang saling melilit.

"Kena kau!" Lao Wei mengarahkan pistolnya pada sosok vampir itu.

Ada suara geraman, setengah mengerang, hingga sosok itu bergerak menghindar, meluncur turun dan sepasang kaki panjang menjejak tanah.

Vampir itu berhenti sejenak, kemudian dengan raungan dia memukulkan sepasang cakarnya ke leher lawan.

Lao Wei melakukan salto dengan tubuh melengkung. Serangan ganas itu mengenai dinding bangunan gereja tua dan di bawah hantaman kuat itu, retakan besar muncul di dinding. Debu menyembur, udara bergemuruh dengan tiupan marah vampir itu.

"Berteriak semaumu." Lao Wei menapakkan kaki, mengangkat bahu, nyaris tidak meninggikan suaranya. "Aku pernah melihat yang lebih buruk."

Vampir itu meraung lebih keras dan menghantamkan lengannya ke sembarang arah, menghancurkan kaca, kayu, dan batu bata. Sebuah tangan besar, bengkok, dengan cakar tajam mencengkeram salah satu anggota tim dan mengangkatnya dari tanah. Anggota itu berteriak panik sebelum tubuhnya melayang cepat dan menabrak pintu gereja hingga terhempas dan mengayun terbuka.

Si vampir menerjang anggota yang lain, jari-jarinya mengepal begitu keras di tulang rusuk sehingga korbannya hampir tidak bisa bernapas. Anggota yang cukup sial itu bisa melihat gigi-gigi taring panjang mengkilat di mulut vampir yang terbuka, dan dia merasakan napas dingin mengalir ke arahnya.

"Lepaskan dia!" Lao Wei menyerang, menembakkan peluru sambil melempar tubuhnya di udara. Peluru melesat, lewat satu inci di sisi kepala sasarannya.

"Sial!" Lao Wei menyadari bahwa lawan yang satu ini lebih cepat, liar dan ganas.

Setelah bersalto lagi, Lao Wei mendarat di tanah kemudian berbalik cepat menembakkan lagi pistolnya. Sosok vampir melesat lebih cepat dari perkiraan, menghambur ke arah dirinya, mendorongnya sekuat tenaga. Dua tubuh itu menderu melewati pintu gereja. Hembusan angin yang tercipta dari pergerakan mereka sanggup menerbangkan dedaunan.

"Arrgghh!" Lao Wei memekik saat tubuhnya membentur meja kayu dan terhempas ke lantai.

Kini vampir itu menguasai keadaan. Mendesis seperti ular, dia membungkuk di atas tubuh Lao Wei dan siap menancapkan kuku-kukunya yang mengerikan.

Tiba-tiba vampir itu berhenti.

Satu bayangan hitam melesat dari arah pintu gedung tua, secepat kedipan mata, dan raungan vampir mengiringi berkelebatnya selarik cahaya tipis keperakan. Itu seperti bilah pisau panjang. Sosok hitam itu berputar cepat, lantas berhenti, menjulang di depan vampir sial yang sekarat. Menggeliat, menggelepar, sebelum akhirnya menciut dan mengeluarkan kepulan asap hitam kemerahan berbau busuk.

"Rose Queen akan bangkit kembali ... "

Adalah erangan terakhir di sela geram dan raungan kesakitan. Detik berikutnya, vampir itu berubah menjadi onggokan hitam kisut dan menjijikkan.

Lao Wei menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan lebih rileks dan terbahak.

"Nyaris saja aku kehilangan nyawaku yang cuma selembar," desahnya, meniup udara ke atas.

"Kau datang tepat waktu, Ketua."

*****

[Tbc]

***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro