Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter III

Ikatan antara jiwa kita adalah hubungan yang kuno. Itu menghubungkan masa depan yang samar dengan masa lalu yang kelam.

Hunter

Ketika keduanya melangkah masuk ke dalam unit apartemen Xiao Hua, aroma menenangkan dari bunga mawar menyambut mereka. Aroma ini memang cocok dijadikan sebagai pengharum ruangan tapi Hei Yanjing tidak mengira bahwa pilihan Xiao Hua bisa semanis ini.

"Wow, rumah yang menyenangkan," dia berkomentar saat mengedarkan tatapan ke seluruh ruangan duduk.

"Kau tinggal sendirian di unit sebesar ini?" tanyanya pada Xiao Hua.

Sang tuan rumah mengangguk sambil membuka jasnya, lantas meletakkannya di sofa. Dengan isyarat tangan, ia mempersilakan Hei Yanjing untuk duduk.

"Kalau aku tahu ada seorang pemuda tinggal sendiri di samping unit apartemen yang aku sewa, mungkin aku akan memikirkan untuk tinggal berdua denganmu," ujar Hei Yanjing tanpa sungkan.

Xiao Hua tertawa hambar. Dia duduk di sisi lain meja kaca, menghadap ke arah sang tamu. Dia mencoba bersikap santai dan duduk menumpangkan kaki.

"Omong kosong. Kita tidak saling kenal sama sekali," sahut Xiao Hua, menertawakan pemikiran konyol Hei Yanjing. "Bagaimana bisa tiba-tiba kau meminta untuk tinggal bersamaku?"

"Yah, tapi kita sudah saling kenal sekarang." Hei Yanjing mengeluarkan paper cup dan meletakkan satu di depan Xiao Hua dan satu untuk dirinya sendiri.

"Ini kopimu. Aku tidak tahu apa seleramu. Jadi, aku membeli kopi Vienna, pelayannya bilang ini menu terlaris bulan ini," katanya.

Xiao Hua menatap paper cup di atas meja, tapi sebenarnya pikirannya melayang ke tempat lain. Kotak misterius itu masih menghantuinya.

"Tuan Xie, kau terlihat lebih pucat dibanding saat kau berangkat tadi pagi," Hei Yanjing berkomentar, meneliti wajahnya.

Mengapa pria aneh ini cerewet sekali, batin Xiao Hua tidak paham.

"Benarkah?"

"Ya. Kau pasti sangat lelah."

Xiao Hua mengangkat alis, menatap Hei Yanjing. Dalam hati ia menilai bahwa pria ini seorang teman yang ramah, tampaknya pria sejati, dalam setelan hitam membosankan dengan rantai emas terpasang di saku jeansnya. Di mana ia melihat pria seperti Hei Yanjing akhir-akhir ini? Seorang pria dengan bentuk mulut dan hidung yang tajam, dan mata misterius yang tersembunyi di balik lensa hitam. Dia tidak lebih muda darinya, mungkin lebih tua beberapa tahun, dan saat ia memperhatikan lebih lama, aura maskulin dan tangguh dari pria hitam ini terpancar kuat. Untuk beberapa alasan yang sulit dijelaskan, Xiao Hua merasa bahwa ia sepertinya bisa berteman dengan Hei Yanjing. Dia tampak cukup bisa diandalkan.

"Ya. Pekerjaanku seringkali mengharuskan aku mengalami hal-hal ganjil," Xiao Hua bersuara.

"Kau berurusan dengan artefak berusia ratusan tahun?"

"Hmmm."

Hei Yanjing meneguk kopinya lalu meneruskan bertanya, "Seperti penggalian artefak kuno di Asiri? Penggali menemukan batu berukir gambar mahluk yang mengerikan. Aku pernah dengar tentang itu. Kabarnya ukiran mahluk itu adalah Pazuzu, simbol paganisme yang melambangkan setan, dan akhirnya si penggali mengalami kerasukan."

"Tidak seekstrim itu," sahut Xiao Hua, membungkuk sedikit untuk meraih gelas kopinya. "Aku tidak pernah kerasukan."

"Oh, bagus kalau begitu. Apa bekerja di museum dengan dikelilingi benda-benda kuno adalah impianmu?" Hei Yanjing menutup pertanyaan dengan senyum tipis dan geli, seakan hal itu adalah lelucon. Di depannya, Xiao Hua nyaris tersinggung, mengingat bahwa dia memang memiliki minat yang besar terhadap segala jenis artefak kuno, dan melakukan bisnis terkait hal semacam itu. Untungnya, dia tidak memiliki energi untuk merasa kesal atau marah.

"Ya. Bisa dikatakan begitu. Aku menyukai situs kuno dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat hanya untuk menelusuri satu penemuan artefak yang tak ternilai harganya."

"Kau berasal dari dataran China?" selidik Hei Yanjing.

"Tepatnya kota Hangzhou." Xiao Hua meneguk kopinya sedikit, mengecapkan lidah sekilas.

"Apa maksud dan tujuanmu datang ke Mauritius?"

Xiao Hua melirik curiga. "Kau terdengar seperti seorang jaksa yang menginterogasi terdakwa," ia menyuarakan isi kepalanya.

"Ah, tidak begitu. Maaf, gayaku memang semenyebalkan ini. Tapi, aku hanya penasaran," kekeh Hei Yanjing.

"Penasaran tentang tujuanku?"

"Bukan. Lebih tepatnya, aku penasaran setelah melihat senyummu yang sinis itu."

Xiao Hua memutar bola mata.
Apa-apaan pria hitam ini? Bicaranya melantur, cocok dengan tampangnya.

"Awalnya aku tertarik saat museum antropologi membutuhkan kurator. Aku pikir mengapa tidak mencobanya dan ternyata memang di sinilah persinggahanku yang selanjutnya, sementara ini, dan aku merasa cocok dengan kota Phoenix. Satu hal menyenangkan lagi, pantai-pantai di Mauritius sangat indah."

"Kau menyukai laut?"

"Ya."

"Hmm, mau melompat ke laut bersamaku?"

Xiao Hua memaksakan tawa kering, lalu ditatapnya pria itu dengan terheran-heran.

"Yang benar saja," desahnya.

Hei Yanjing ikut tertawa. Keduanya sama-sama bersikap acuh dan menjauh, tapi diam-diam saling waspada dan memperhatikan satu sama lain.

"Bagaimana denganmu?" tanya Xiao Hua, menatap buih kopi di tepi cangkir, sesekali ia melirik Hei Yanjing.
"Apa tujuanmu datang kemari, dan memaksa berteman denganku?"

Ada nada rasa ingin tahu yang kuat dalam suara si tuan rumah. Untuk sesaat, Hei Yanjing menatapnya lekat-lekat, merasa bebas karena pemuda tampan di hadapannya tidak akan benar-benar jelas melihat bola matanya, dan untuk sesaat Hei Yanjing tergoda oleh keindahan paras pemuda itu.

Ada jeda sejenak, dan dalam waktu sesingkat itu Hei Yanjing bisa menyimpulkan bahwa ia menyukai pemuda ini, langsung merasakan kepedulian padanya. Setidaknya, ia bisa menemukan satu wajah yang mempesona dan mata yang bersinar oleh inteligensi. Satu penghiburan di pusat kota Phoenix yang suram itu, kota tua yang menyedihkan yang penuh dengan rahasia di tengah hempasan gelombang dan hembusan angin samudera yang tiada henti. Tapi tentu saja Hei Yanjing tidak bisa mengatakan hal-hal remeh semacam perasaan dan emosi.

"Sama sepertimu," akhirnya ia menemukan jawaban yang dirasa tepat.
"Aku bekerja sebagai agen rahasia. Jadi pergerakanku bebas."

"Agen rahasia?" Xiao Hua menautkan pangkal alisnya. "Badan Intelijen Negara? Apa yang kau selidiki? Kartel narkoba? Perdagangan manusia?"

Melihat reaksi Xiao Hua yang tidak yakin, Hei Yanjing hanya tertawa. Dia mengibaskan tangan untuk menegaskan bahwa profesinya tidak penting, dan ia memang tidak berminat untuk menceritakan banyak detail informasi. "Tidak perlu membahas pekerjaanku. Tapi ngomong-ngomong, aku juga memiliki pengetahuan tentang artefak kuno. Kupikir kita bisa sering berdiskusi tentang itu."

Sering berdiskusi. Xiao Hua menafsirkan banyak prasangka buruk dari kalimat itu. Namun ia hanya menatap tertegun, lantas ia memikirkan sebuah gagasan. "Kalau begitu, kupikir kau bisa menjelaskan beberapa cerita hantu dengan benar. Nah, apakah kau pernah melihat benda ini?"

Dia meletakkan papercup dan meraih tas kerjanya untuk mengambil ponsel.

"Aku mengambil fotonya." Dia menunjukkan satu foto di galeri ponselnya. Hei Yanjing mencondongkan tubuhnya sedikit untuk meneliti dengan jelas foto yang ditunjukkan padanya.

"Itu sebuah kotak kuno yang disebut Dybbuk," gumam Hei Yanjing, menyentuh bingkai kacamatanya perlahan.

"Ya. Itu dia. Aku meneliti dari berbagai sumber, jauh sebelum aku melihat kotak ini secara langsung. Kotak ini warisan dari seorang Rabbi yang meninggal sepekan lalu dan merupakan Rabbi terakhir di pulau ini. Kotak semacam ini berasal dari abad ke-16, digunakan dalam ritual Yahudi untuk menyegel arwah," Xiao Hua menjelaskan.

"Kau sudah tahu. Jadi, apa masalahnya?" tanya Hei Yanjing.

"Masalahnya adalah kotak tua itu mendorongku hingga terhempas ke lantai." Dia mengatakannya sedikit ragu, merasa terlalu banyak bicara pada orang asing. Dorongan untuk menjalin pertemanan tumbuh begitu saja sehingga ia cukup nyaman untuk berbagi hal ganjil, untuk pertama kalinya, pada seseorang yang baru dia kenal. Ah, apakah dirinya segelisah ini?

"Aku tebak, ada energi yang kuat di dalamnya," komentar Hei Yanjing.
"Yah, sebenarnya itu bukan hal baru di dunia artefak kuno dan barang antik. Siapa yang tahu kalau benda-benda tertentu bisa mendatangkan kutukan."

Xiao Hua terdiam dengan ekspresi bingung, kemudian berubah tidak senang, cenderung pahit dan rumit. Dia menoleh dan menatap ke arah jendela besar. Di luar sana, bayangan gedung dan menara mulai berubah gelap saat malam menjejak. Awan kelabu menyelimuti matahari terbenam, dan pucuk pepohonan berkilauan dalam pantulan merah senja yang lesu.

"Oh, jadi ini alasannya wajahmu terlihat sangat pucat dan lelah. Apa kau merasa sakit?" tanya Hei Yanjing penuh perhatian. "Apakah kau ingin aku memeriksa tubuhmu? Mungkin efek dari energi itu meninggalkan jejak di tubuhmu."

Xiao Hua melirik malas. "Tidak. Sebenarnya, mungkin aku tidak perlu terlalu khawatir. Tidak ada kurator yang begitu bodoh dengan mengusik benda kuno yang diselimuti energi mistis." Dia bangkit dari duduknya, berjalan ke satu dinding untuk menyalakan lampu. Dalam sekejap, cahaya membanjiri ruangan, melahirkan suasana yang lebih hangat. Dengan wajah penuh tanya, Xiao Hua menoleh pada tamunya.
"Hari sudah gelap. Mengapa kau tidak melepas kacamata hitammu? Kupikir agak janggal mengenakannya pada malam hari."

Hei Yanjing tersenyum, memutar leher untuk melihat lebih jelas wajah tampan pemuda itu. "Aku tidak bisa melepasnya."

"Ada masalah dengan matamu?"

Hei Yanjing menggeleng. "Hanya tidak bisa melepas identitasku. Selain itu, aku senang dengan fakta bahwa aku bisa menatap matamu sementara kau tidak bisa menilai diriku dari sorot mata. Kau tidak bisa membaca ekspresiku. Itu terdengar licik, tapi terasa lebih nyaman."

Hmmm, pria ini cukup pintar bersilat lidah, dan lumayan curang. Xiao Hua menatapnya tajam. Benar apa yang dikatakan Hei Yanjing. Dia tidak bisa memandang langsung pada mata di balik lensa itu, namun ada perasaan kuat bahwa pria hitam itu mengarahkan tatapannya secara intens pada dirinya. Sapuan hangat menyentuh wajah Xiao Hua, tiba-tiba ia merasa kikuk oleh kehadiran pria ini.

"Kau bilang identitasmu? Maksudnya?"

"Ya. Kacamata hitam. Kau bisa memanggilku Tuan Hitam."

"Oh." Xiao Hua memiringkan bibirnya, lantas kembali duduk.

"Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu? Apakah Tuan Xie terdengar akrab?"

Xiao Hua menyipitkan mata pada pria itu untuk waktu yang lama sebelum memutuskan membuka pintu pertemanan yang lebih akrab.

"Panggil saja aku Xiao Hua," jawabnya datar.

"Xiao Hua. Nama yang cantik." Hei Yanjing tersenyum miring, memandangi pemuda itu lagi. Dia menerima satu lirikan garang, tapi terlihat manis di matanya. Wajahnya memang cantik untuk ukuran seorang pria. Xiao Hua kembali memandang ke luar, beranjak menuju pintu kaca, kali ini mencari pemandangan lain yang lebih menyejukkan mata. Dia membuka pintu menuju balkon dan menumpukan siku di balustrade besi. Angin senja meniup anak rambutnya. Dari arah ruangan utama, Hei Yanjing muncul dan bergabung di balkon, mereka menikmati suasana dalam keheningan.

Jauh di arah timur, mereka melihat gugusan wisteria ungu yang halus, menggigil ditiup angin, jalinan ranting dan dedaunan yang menggeliat, dan di atas semuanya, bulan mulai terbit di langit Phoenix.

"Ini sore yang indah, bukan? Ah, angin sepoi-sepoi di sini, harum sekali," gumam Hei Yanjing. Aroma mawar tercium samar dari arah belakang, lembut dan mistis. Namun, mereka menyukainya.

*****

Henrietta

Kawasan ini dikatakan sebagai 'bagian akhir' Phoenix karena di luarnya hanya ada hutan. Meski begitu, masih ada denyut kehidupan di sini. Henrietta terdiri dari populasi dari tingkat sosial yang berbeda. Saat ini memiliki barisan perumahan kecil dan toko-toko. Sebagian besar daerah ini terdiri dari perkebunan namun memiliki terminal bus yang memberikan akses ke jalur rute menuju kota besar.

Hutan di daerah itu gelap gulita saat malam datang mendekap dan rembulan mengintip dari balik awan kelabu. Rimbunnya pepohonan tidak memungkinkan sinar bulan untuk menembus. Angin berhembus kencang menggetarkan ranting dan dedaunan. Sesekali kepak sayap kelelawar melayang di atas pucuk pepohonan dengan sepasang mata merah menyala.

Pria berjubah hitam itu lari, dan para pemburu kembali, dan mereka mengejarnya di gang. Jalan buntu terbentang di hadapannya, tembok besar, tapi dia tetap berlari, nyaris terbang. Saat dia berlari, dia menambah kecepatan, kecepatan yang mustahil, dan rumah-rumah dan pepohonan terbang dengan kabur. Dia bisa merasakan angin menerpa rambutnya.

Saat pemburu semakin dekat, dia melompat, dan dalam satu lompatan dia berada di puncak tembok setinggi dua puluh meter. Satu lompatan lagi, dan dia terbang di udara, tiga puluh meter, dua puluh meter, mendarat di atap tanpa kehilangan satu langkah pun, masih berlari. Dia cukup kuat, tak terkalahkan. Kecepatannya semakin meningkat, dan dia seperti terbang.

Dia melihat ke bawah dan di depan matanya perkebunan berubah menjadi rumput hijau yang tinggi dan bergoyang. Dia berlari melewati padang rumput, melintas di bawah sinar bulan. Di kejauhan, dia melihat sebuah bangunan tua tegak menjulang.

Tiba-tiba, pria berjubah hitam berhenti.

Sebuah pintu abad pertengahan yang besar terbuka, dan dia memasuki sebuah gereja. Dia berjalan menyusuri lorong yang remang-remang, obor menyala di kedua sisinya. Di depan mimbar, seorang pria berdiri membelakangi dia, berlutut. Saat dia semakin dekat, dia berdiri dan berbalik.

Itu adalah seorang pendeta. Dia menatapnya, dan wajahnya dipenuhi ketakutan. Dia merasakan darah mengalir kencang melalui pembuluh darahnya. Sosok keji itu tidak dapat menahan diri. Pendeta mengangkat salib ke wajahnya, putus asa.

Sayangnya, itu tidak berpengaruh. Pria berjubah hitam datang menerkam. Dia merasakan giginya tumbuh panjang, terlalu panjang, dan memperhatikan saat gigi itu menusuk leher pendeta.

Dia berteriak, tapi si vampir tidak peduli, dan merasakan darahnya mengalir melalui giginya lantas masuk ke pembuluh darahnya, dan itu adalah perasaan terbesar dalam hidupnya.

"Terkutuk!" Satu umpatan keras bergema dari belakangnya seiring para pemburu berderap masuk hanya untuk mendapati kenyataan bahwa mereka terlambat.

Pria berjubah hitam berbalik-sang vampir-meraung keras. Darah menetes dari taring tajam di sudut mulutnya. Kemudian, salah satu yang paling tua dari tim pemburu melompat ke depan. Kecepatan tangannya menarik pelatuk pistol yang menembakkan peluru perak berkilauan tidak bisa dihindari oleh vampir keji yang baru saja membunuh mangsa.

Peluru itu memiliki kecepatan serupa cahaya. Menembus titik di antara dua pangkal alis. Vampir itu mengeluarkan raungan mengerikan, nyaris mengguncang bangunan gereja tua. Menggelepar untuk beberapa lama, akhirnya mahluk keji itu tumbang dan tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan, tubuhnya kisut serupa onggokan kulit hitam berbau hangus dan memualkan.

"Hebat sekali, Lao Wei!" salah satu dari kelompok pemburu yang berjumlah lima orang itu berseru mengapresiasi ketepatan tembakan seniornya.

Pria yang dipanggil Lao Wei meniup ujung laras pistol. Itu adalah Pistol Pelebur Iblis, senjata magis yang hanya dimiliki tim khusus pemburu vampir. Tim rahasia yang dibentuk dan bergerak dalam gelap yang bertugas memburu mahluk-mahluk buas penghisap darah yang disinyalir masih berkeliaran dan hidup di beberapa tempat setelah dua ratus tahun pemusnahan besar-besaran di kastil terkutuk Transylvania yang kelam dan berkabut.

Sementara anggota lain menangani jenazah pendeta yang malang, Lao Wei berjalan ke luar gereja. Menyelipkan senjatanya di balik mantel hitam, dia mendongak menatap bulan lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Kami menemukan satu di Henrietta," ia berkata dengan nada tegas dan terpatah-patah.

"Dia membunuh seorang warga. Tapi jangan khawatir, kami sudah memusnahkannya!"

[Tbc]

***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro