Chapter I
Ada malam ketika serigala diam dan hanya bulan yang melolong
(George Carlin)
*****
Heihua Fanfiction
By Shenshen_88
Disclaimer :
Dao Mu Bi Ji belong to Kennedy Xu
Penulis tidak mengambil keuntungan apa pun dari karya ini.
Nama tempat dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiksi.
Mauritian Moonrise
Night Walker
Hujan mengguyur sisi kota yang gelap di Pellegrin, kawasan pinggiran Phoenix. Li Jiao melangkah dengan mudah melewati satu gang yang tenggelam dalam kegelapan. Hanya karena ia adalah seorang warga senior, maka ia hafal peta jalan di kawasan itu. Bahkan dalam kabut paling tebal dia bisa menemukan jalan pulang dari sini dan tidak takut tersesat. Tidak ada kabut malam ini, tapi kegelapan dan gempuran hujan cukup menipu.
Ada gerakan di sepanjang batas pandangan Li Jiao, dan dia menolehkan kepalanya ke kiri. Sepintas apa yang tampak seperti malaikat besar yang berada di atas atap bangunan di dekatnya yang menjulang tinggi.
Itu bukan bayangan pohon atau binatang, melainkan seorang laki-laki. Tubuhnya yang tinggi dibalut pakaian hitam, sepintas tak ada bedanya dengan orang kebanyakan. Ia melompat turun dari puncak bangunan, ujung rambut hitamnya meneteskan air hujan. Itu meluncur ke bawah wajahnya, yang tak bisa terlihat jelas karena kurangnya cahaya.
Kaki dan tangan Li Jiao dirayapi hawa dingin yang ganjil. Tubuhnya menegang. "Siapa di sana?"
Sosok tinggi hitam itu berdiri di ujung gang, beberapa meter jaraknya dari Li Jiao. Pria setengah baya yang terjebak itu hanya bisa mundur selangkah demi selangkah saat sosok hitam maju perlahan. Alarm peringatan berdering keras dalam diri Li Jiao. Astaga! Mungkin ia dalam bahaya!
Nafasnya kasar di bawah guyuran hujan. Menarik tudung jas hujannya, dia berbalik lantas berjalan cepat-cepat, terhuyung dalam gelap, meninggalkan gang dan kembali ke jalan utama yang lebih besar. Di sana pun lengang tanpa satu jiwa yang berpapasan. Namun setidaknya, ada penerangan lemah lampu jalan.
Mulut laki-laki misterius itu mengisyaratkan senyuman. Dia berjalan di belakang Li Jiao, seperti seorang penguntit sialan. Tiba-tiba ia tampak melakukan gerakan mencengangkan. Sama seperti cara dia datang dengan satu gerakan meluncur turun dari atap, sosok hitam itu melesat ke atas, berjalan di udara kemudian mendarat di hadapan Li Jiao.
Sosok laki-laki itu lebih muda dari dugaan Li Jiao. Tersentak mundur oleh penampakan yang lagi-lagi menghadang di depan, Li Jiao mendesis, "Siapa kau?"
"Salah satu keturunan iblis," jawabnya, terkekeh serak.
Li Jiao merasakan rasa takut memuntir usus-usus di perutnya. "Kau orang gila yang mengoceh," lagi, ia mendesis melalui giginya, terlalu takut dan cemas membuatnya seolah-olah marah.
"Minggir dari jalanku!"
Sosok hitam itu bergeming. Semburan emas dan merah muncul di matanya. Itu terlihat seperti sepasang mata iblis yang membara. Li Jiao semakin mundur, kepanikan menghantam, mencengkeram dengan kuku-kuku yang menggiling sisa keberaniannya. Dia menatap laki-laki itu melalui tirai hujan yang mulai menipis, berkedip dan terengah-engah, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pikirannya terhuyung-huyung seperti itu bukan lagi di bawah kendalinya.
Sosok itu mendekat, kian dekat, mempertemukan pandangan mereka. Mata merah ganasnya memberikan pengaruh hipnotis yang kuat. "Dengar ... " suaranya rendah dan serak. "Aku butuh sesuatu darimu. Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkannya. Apa kau mengerti?"
Li Jiao menggertakkan gigi, menggelengkan kepalanya untuk menyatakan perlawanan dan ketidakpercayaannya. Dia sudah bertahun-tahun melewati jalan ini di malam hari dan tak pernah ada bandit atau preman jalanan yang mengganggu pejalan kaki. Dia mencoba meludahi sosok itu, tetapi itu menetes ke dagunya, lidahnya menolak untuk mematuhinya.
Laki-laki itu menggenggam tangan Li Jiao. Dingin kulitnya seakan membekukan. Dan pria malang itu kian terpaku.
"Apa yang kau inginkan?"
Li Jiao memerintahkan tenggorokannya untuk mengeluarkan nada ancaman dan pembangkangan, tetapi tenggorokannya tercekat dan dia tersedak suaranya. Lutut kanannya lemas seperti habis dipukul berulangkali, meskipun sosok hitam itu tidak melakukannya. Dia terhuyung ke depan ke dalam bayang-bayang maut.
"Darah ... " bisik laki-laki itu di telinganya.
Sedetik kemudian, panas menyiram leher Li Jiao. Butuh seluruh energinya untuk mengepalkan tangannya menjadi dua kepalan yang lemah. Dia menertawakan dirinya sendiri, tetapi tidak ada humor. Dia tidak tahu bagaimana caranya, tapi laki-laki itu menyebabkan mual dan kelemahan di dalam dirinya. Itu tidak akan terangkat sampai dia mati. Dia tidak sanggup menolak saat darahnya dihisap, tetapi dia bersumpah dalam hatinya dia akan menghancurkan laki-laki itu karena penghinaan ini.
"Darahmu tidak terlalu manis," kata sosok itu dengan nada berbisa.
Seluruh tubuh Li Jiao bergetar karena beban amarah dan penderitaan.
"Kau ... mahluk terkutuk! "
"Aku sudah bilang bukan?" kata laki-laki itu sambil tersenyum, menyeka darah dari sudut bibirnya.
Li Jiao memiliki banyak umpatan yang tidak senonoh di ujung lidahnya, tetapi dia menelannya. Kata-katanya selanjutnya diucapkan dengan racun dingin. "Vampir sialan!"
Mata gelap laki-laki itu terangkat, bertemu dengan mata Li Jiao. Dia menyeringai keji. Sepasang taring yang muncul di dua sisi mulutnya berkilau menakutkan, dengan kejam kembali menghisap darah pria malang yang jadi korban. Li Jiao meronta dan menjerit, merasakan taring tajam dan dingin itu menembus tenggorokannya. Rasa sakitnya sangat mengerikan.
Perlahan-lahan, dia mati rasa, tidak bisa menggerakkan kakinya untuk menahan beban tubuhnya. Sosok itu kemudian melepaskannya, hingga tubuh kering Li Jiao terjatuh ke tanah, matanya berkedip terakhir kali menembus hujan, menatap langit malam, dengan bekas luka gigitan taring di lehernya.
Vampir, iblis, malaikat, siapa pun dia berbalik dan melesat secepat cahaya, tidak menoleh kembali. Udara beresonansi dengan tawa rendah laki-laki itu. Detik berikutnya, kilat mengerjap, dan petir kembali menyambar. Hujan yang telah menipis berubah deras dalam sekejap, menyelimuti kota dengan hawa dingin dan kesuraman yang mencekam.
Xiao Hua terbangun dengan kaget. Duduk tegak di tempat tidur dan terengah-engah. Dia mencengkeram selimutnya, dan merasakan kengerian menghantam dirinya tanpa alasan yang jelas. Untuk sesaat, pikirannya berkabut. Kacau dan tersesat antara mimpi dan kenyataan. Dia mencari-cari dalam ruangan kamar sosok hitam menakutkan yang sempat ia lihat di mimpinya. Tetapi tidak ada siapa pun selain dirinya. Dia menyentuh lehernya, tidak ada luka, hanya ada butiran keringat dingin. Jantungnya masih berdebar kencang. Dia menyeka wajah dan sisi pelipisnya, dan bisa merasakan rambutnya yang dingin dan basah.
Pemuda tampan itu turun dari tempat tidur, berjalan menghampiri jendela kamar yang melengkung pada bagian atas, membuka tirai hingga ia bisa melihat langit malam yang mulai menghentikan tangisannya. Entah sudah berapa lama hujan berhenti, yang pasti, udara pasti sangat dingin di luar sana karena ia bisa melihat lapisan kabut asap tebal menyelimuti puncak-puncak gedung dan menara.
Phoenix. Mauritius. Kota tua. Jejak kebebasan, dan pusat seni dan budaya kuno. Xiao Hua datang ke kota ini enam bulan lalu, mengikuti hasrat dan gairah akan benda-benda seni kuno dan artefak, yang telah menjadi denyut nadi dan gairah bisnis keluarganya secara turun temurun. Sebuah negeri yang jauh di ujung barat daya Samudera Hindia, asing, namun menyimpan banyak daya tarik misterius baginya. Awalnya, Xiao Hua merasa dunianya menjauh, dan ia bertanya-tanya mengapa harus datang dan menetap di Phoenix. Namun ketika ia mengunjungi museum antropologi dan benda seni antik terbesar di kota ini dan melakukan wawancara untuk menempati posisi sebagai kurator, dia merasakan panggilan jiwanya telah terpenuhi. Tempat tinggalnya saat ini adalah salah satu apartemen terbaik di kota. Rose Hill, memiliki dua puluh lantai, salah satu bangunan peninggalan Prancis yang berusia ratusan tahun dan telah mengalami banyak renovasi dan perubahan meskipun tidak sepenuhnya menghapus jejak masa lalu. Xiao Hua senang menikmati pemandangan dari ketinggian, maka ia memilih lantai sembilan, tidak terlalu rendah, tidak terlalu tinggi, di mana ia bisa menatap kehidupan yang beringsut malas jauh di bawah.
Malam menjelang dini hari, dan kehidupan di jalanan bawah sana lengang. Cuaca buruk membuat orang-orang terbaring lemas kedinginan di rumah masing-masing. Beberapa kendaraan yang masih merayap mungkin sisa dari gaung kehidupan malam yang nyaris berakhir kala fajar mulai menghampiri. Xiao Hua tidak yakin dia bisa tidur lagi. Untuk sesaat, tubuhnya menggigil tak karuan oleh rasa dingin yang menyergap dan kegelisahan yang kian mendekap.
Beberapa jam kemudian matahari mengintip dari balik awan-awan yang memencar. Sinarnya masih hangat dan lembut pada pagi menjelang pukul delapan. Xiao Hua merapikan dasinya dan menatap cakrawala melalui jendela, lantas menarik nafas dalam-dalam. Setelah mengosongkan satu cangkir kopi, kini waktunya pergi bekerja. Bayangan wajahnya di cermin nampak lebih pucat dari hari kemarin. Kemeja peach dan setelan warna putih kian menguatkan aura pucatnya. Tidak bisa dielakkan, dia merasa dihantam gelombang kelelahan, kurang tidur, dan pola makan yang tidak teratur. Namun dia harus selalu siap untuk menjalani rutinitas.
Ponsel dan benda-benda pribadi serta dokumen penting sudah dirapikan ke dalam tas kerjanya. Xiao Hua menenteng tas, membuka pintu unit apartemennya. Dia tidak memiliki teman dekat di hunian ini, atau hanya sekedar seorang tetangga yang berbasa-basi. Dia ingin, tapi tidak memiliki kesempatan dan waktu luang untuk menjalin persahabatan. Jadi, kawan-kawan yang dia miliki hanyalah di tempat kerja. Dia baru saja akan melangkah saat tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka di belakangnya.
Xiao Hua langsung merasakan bahwa dia tidak lagi sendirian. Dia perlahan berbalik, pada saat yang sama, seseorang menatapnya penuh perhatian dan mengukir senyum tipis di wajahnya yang tampan.
Itu adalah orang asing. Xiao Hua mengerutkan kening. Pria itu muncul dari pintu di ujung lorong, dari unit nomor 97, berdampingan dengan unitnya. Dengan kata lain, pria yang baru menunjukkan diri itu adalah tetangganya. Xiao Hua tidak pernah meneliti seperti apa penghuni unit lain dan kali ini pun ia tidak terlalu peduli. Menampilkan sikap datar dan acuh tak acuh yang menjadi ciri khasnya, Xiao Hua hanya mengangguk samar, tanpa senyuman apalagi sapaan, lantas kembali memutar tubuh dan berjalan.
"Pergi bekerja?" Suara itu tegas, berat dan memiliki aura yang tidak tergoyahkan.
Oke, jadi si tetangga itu mulai menyapa dirinya. Xiao Hua kembali menoleh, kali ini hanya separuh tubuhnya.
"Hmmm."
"Kerja di mana?"
Mau tak mau, Xiao Hua benar-benar mengamati pria itu. Dia seorang pria tampan, tubuh tinggi tegap, dengan warna hitam melekat pada dirinya. Rambut hitam yang terbelah alami di samping dan jatuh secara anggun membingkai wajahnya. Jeans hitam, kemeja dan jaket hitam, serta kacamata hitam. Bibirnya tipis, tersenyum samar padanya. Secara naluriah, Xiao Hua membalas senyumannya.
"Museum antropologi. Kurator," jawabnya singkat.
"Oh, cukup keren."
"Terima kasih." Xiao Hua tidak terkesan.
Pria itu berjalan ke arahnya, tampak seperti tidak memiliki tujuan lain. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang akan pergi bekerja.
"Aku tetangga barumu. Uhm, sebenarnya sudah satu pekan aku menyewa unit 97. Tetapi baru hari ini aku bisa pindah kemari." Dia mulai berkata-kata, mengawasi Xiao Hua dari balik lensa kacamata hitamnya.
"Oh, begitu rupanya."
Dengan santai, pria itu mengulurkan tangan.
"Aku Hei Yanjing." Ia memperkenalkan diri.
Xiao Hua menyambut uluran tangannya dan berjabatan. Percaya diri, tanpa kelembutan, dan senyumannya lumayan kaku. Tetapi, sama seperti pria hitam itu mengamati dirinya, Xiao Hua pun melakukan hal sama melalui sorot matanya yang dingin.
"Xie Yuchen," jawabnya.
Ketika jabatan tangan mereka terlepas, dia mengangguk sekali lagi pada si tetangga baru, berbalik dan meneruskan langkahnya dengan keanggunan seorang pria tampan hasil karya para dewa yang artistik.
"Jadi," pria bernama Hei Yanjing bersuara lagi, "kita berteman sekarang?"
Xiao Hua tidak menjawab. Hampir terlalu malas untuk berteman atau bertetangga. Tapi dalam sekilas pandang dan kesan pertama yang sulit ditolak, dia mengakui pria hitam itu memiliki aura yang berbeda, dan cukup misterius. Demi kesopanan, Xiao Hua menoleh dan menatap pria itu sekali lagi.
"Sampai bertemu nanti sore," kata Hei Yanjing lembut, senyum mencurigakan tersungging di wajahnya. Dan dengan beberapa kata serta ekspresi santai namun mematikan, Xiao Hua merasa seolah-olah sepasang tangan meremas hatinya. Tak ingin terganggu lagi oleh siapa pun dan basa basi apa pun, dia mempercepat langkah, memasuki lift untuk mencapai lantai dasar tempat para penghuni memarkir kendaraan mereka. Tidak sampai sepuluh menit sewaktu sedan Mercedes hitam yang dia kemudikan meluncur turun ke jalan raya yang mulai ramai. Dari balik kaca mobil, Xiao Hua menatap awan. Putih kekuningan disepuh sinar matahari, dan langit biru cerah melengkung di atasnya. Pagi ini terlalu indah untuk berdebar-debar, pikirnya sewaktu ingatannya melayang pada si tetangga baru.
[Tbc]
***Mauritian Moonrise***
By Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro