33. Akhir Laksana Muslihat (Tamat)
"Tak perlu meminta tolong, semua orang telah pergi dari sini," seru Marsih.
Sesaat sebelum ia membuatkan Adriaan segelas sirup. Ia telah meyakinkan semua pembantu untuk pergi dari sini, susah memang pada awalnya meyakinkan mereka, tapi pada akhirnya mereka menurut saja. Begitu juga dengan Darmi, Marsih telah mengirimnya menuju tempat yang aman. Setidaknya aman dari jangkauan baik dari Adriaan maupun pihak Jepang.
Marsih memajukan diri, mendekatkan paras ayu miliknya pada wajah Adriaan. Hembusan nafas pasrah pelan lelaki itu telah menjadi alasan mengapa kini Marsih mengembangkan satu senyuman panjang di bibir tipisnya. Desiran darah yang menggebu-gebu mulai bergejolak dalam tubuh Marsih. Mengalirkan darah ke seluruh anggota badannya dengan penuh semangat. Semangat pembalasan dendam.
Wanita dengan kebaya kuning ini menjauhkan kembali kepalanya. Ia melipat kedua tangan puas di dada, senyum yang tak lagi dapat ia kuasai perlahan berubah menjadi kekehan kecil, lalu berubah lagi jadi gelak tawa kencang. Sebuah tawa tulus melengking yang keluar dari pita suara Marsih, tawa penuh rasa kebahagiaan yang entah kenapa malah terdengar sedikit mengerikan. Inilah saat yang dirinya tunggu-tunggu, membuat Adriaan yang dingin, kasar, dan kejam ini tak berdaya di kuasanya dalam pengaruh obat yang tadi ia masukkan ke dalam segelas sirup.
Tawa manis itu terhenti. Raut wajah Marsih berubah cepat, senyumannya telah hilang sepenuhnya, ia mendekati Adriaan lagi, berjalan dengan sangat lambat yang membuat setiap derap langkahnya terlihat begitu mencekam. Marsih sampai tepat di depan Adriaan, perempuan Jawa ini mengangkat tangan kanannya tinggi, lalu secara cepat telapak tangannya bergerak kencang menampar wajah Adriaan yang membatu tak bisa bergerak atau bahkan membuat ekspresi wajah. Satu tamparan telah melayang di muka dingin pria ini, tamparan yang sedikit melepaskan beban yang Marsih pikul. Berkas kemerahan mulai terlihat menjalari kulit putih bersih pada wajah Adriaan.
"Itu untuk tamparan yang kau berikan pada malam itu. Malam ketika kau renggut paksa keperawananku," kata Marsih datar.
Tangannya kembali terangkat, tamparan kedua ia layangkan kencang. Tak kalah kuat, kali ini ayunan tangannya mendarat pada pipi kiri Adriaan. Rasa panas mulai dirasakan Adriaan merayap perlahan-lahan, obat yang Marsih beri ini memang dapat membuat seseorang kaku tak berdaya, tapi mereka akan tetap merasakan rasa sakit. Hal ini dimanfaatkan Marsih sebaik mungkin, menyiksa batin Adriaan perlahan hingga akhirnya pria itu menyerah nantinya.
"Itu untuk rakyat yang kau lukai dan hidup penuh tekanan akibat ancaman pembakaran pasar yang kau buat."
Lalu tak butuh waktu lama tangan gadis ini kembali teracung. Dan tamparan ketiga pun tak dapat dihindari. Sasarannya kali ini kembali di pipi kanan Adriaan.
"Itu untuk ... Mbok Kalinem yang telah kau bunuh. Kau merasa sangat berkuasa hari itu. Apa kau merasa berkuasa juga sekarang?" ejeknya sambil mendengus.
Ketiga tamparan yang ia layangkan telah sukses membuat wajah pria ini yang semula putih bersih menjadi memiliki berkas kemerah-merahan. Marsih telah berhasil melukai harga diri Adriaan, ditandai dengan tatapan membunuh pria ini yang seakan ingin menusuk tajam menuju jiwa Marsih. Tapi memang hal inilah yang dirinya inginkan, membuat Adriaan merasa malu dan terinjak-injak oleh gundik yang dirinya sendiri culik. Merasakan penderitaan batin yang selama ini Marsih rasakan saat tinggal bersama lelaki ini.
Mata Marsih sedikit berkaca-kaca mengingat kematian Mbok Kalinem, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air mata dan menangis dihari pembalasannya, tak akan ada air mata yang jatuh dihari membahagiakan ini. Tangan Marsih membuka nakas lemari kayu jati berukiran naga di sebelah bangku yang Adriaan duduki. Dengan perlahan jemari lentik tangannya mengeluarkan sebilah pisau runcing berukuran sedang dengan gagang kayu bewarna coklat tua. Tampak seperti pisau baru karena memantulkan cahaya berkilat, seperti pisau yang baru saja diasah.
Tangan Marsih yang satunya mulai menyentuh ujung pisau itu yang tajam. Lirikan mata Adriaan mengikuti jari telunjuk Marsih yang bermain-main dengan ujung pisau yang berkilat runcing itu. Tanpa takut Marsih mulai menusukkan jari telunjuknya itu pada ujung pisau. Darah segar mulai menetes bebas saat ia melakukannya, bagai balon berisi air yang tertusuk jarum, mengalir pelan dan lambat jatuh ke permukaan pisau, melumurinya dengan merahnya darah Marsih bagai pelumas. Ia sengaja melakukan hal ini, sebagai pembuktian kalau dirinya sudah tidak takut pada Adriaan, dan sekaligus sebagai pertanda kalau ia serius dalan semua perbuatan ini walau nantinya dirinya sendiri bisa saja terluka.
Marsih mengangkat jari telunjuknya, ia mengusapkan jarinya yang tadi berdarah itu pada kain jarik yang tengah ia gunakan, mengoperkan telunjuknya yang terluka disana. Sebuah senyuman kembali terukir di wajah ayu Marsih, senyuman yang teduh. Lagi-lagi merasa puas telah berhasil mengintimidasi Adriaan, walau ia harus melukai jari telunjuknya sendiri.
"Ah, aku tadi tertusuk!" ucap Marsih berpura-pura kesakitan, berakting palsu namun dengan wajah penuh keceriaan saat ia mengatakan hal itu.
Tangan kanannya mulai mengayunkan pisau, memutar-mutarnya di udara atau sesekali membuat pola seperti akan menikam seseorang. Ia mulai berjalan-jalan kecil mengelilingi ruangan dengan sebilah pisau yang terdapat bercak darahnya sendiri sembari sesekali tersenyum melihat mata Adriaan yang terus memperhatikan gerak-geriknya. Marsih menoleh, lalu berjalan kembali mendekati pria ini, terus dengan tangan yang menayunkan pisau. Perlahan namun pasti, langkahnya ia jalankan selambat mungkin. Berusaha membuat Adriaan sesak kembali oleh udara yang semakin intens menekan keduanya.
Tanpa aba-aba Marsih menghujamkan pisau cepat itu pada pegangan kursi. Pisau runcing itu kini telah menancap berdiri tegak tepat di sebelah tangan kiri Adriaan. Hanya berjarak tiga senti dari jari kelingkingnya untuk pisau melukainya. Tatapan panik sejenak mata Adriaan tampak sedikit lega ketika mengetahui kalau tangannya masih utuh dan tak terluka, tapi tatapan itu tak berlangsung lama dan mulai berganti dengan tatapan amarah. Tentu saja Marsih dengan sengaja melakukan itu, menusukkan pisau pada pegangan kursi dan bukan pada Adriaan, seakan membuat ancaman pada lelaki itu kalau kini ialah yang memegang kendali.
"Maaf ... pisaunya terlepas, tanganku licin," desis Marsih dengan nada bicara yang ia buat seperti memelas, berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang berbinar-binar.
Senyuman kembali tercipta di wajahnya. Tangan kanannya mengambil kembali pisau yang tadi menancap. Ia mengacungkan pisau itu tepat dihadapan dirinya dan Adriaan, mengamati sebilah besi tipis itu dari dekat, menyentuhnya pelan penuh rasa hati-hati. Bola mata Adriaan juga sama mengamati pisau itu dengan seksama, menelisik dan mencoba menebak apa yang akan Marsih lakukan selanjutnya.
"Oh, apakah aku membuatmu takut, Meneer? Tenanglah, Tuan. Aku tak akan menyakitimu," ujar Marsih pelan bahkan hampir berbisik.
Kepalanya menggeleng, seakan membuat janji kalau ia tak akan menyakiti Adriaan menggunakan sebilah pisau yang ia kini genggam erat. Jemari lentiknya mulai menyentuh wajah Adriaan pelan. Mengusap peluh yang terjatuh di kening pria itu dengan tangannnya yang lembut, sembari matanya menatap dalam pada mata biru Adriaan yang dapat menenggelamkannya.
Marsih bangkit. "Lagi pula, siapa yang berani menyakiti seorang Adriaan Van Hoëvell? Tentu aku tidak berani melakukan itu." Marsih menatap lelaki itu dengan tatapan matanya yang teduh. "Tapi ... aku dengar ada tentara Jepang kejam yang sedang menjarah rumah para meneer-meneer Belanda, katanya mereka sangat kejam. Kabar terakhir yang aku dengar, mereka akan menuju ke daerah ini," pekik Marsih semangat.
Wanita ini berjalan mendekati nakas dan mengambil sebuah tas yang sebelumnya telah ia siapkan. Dengan cepat Marsih memasukkan pisau itu ke dalam tas miliknya. Tas lusuh coklat berbahan karung goni yang dijahit sedemikian rupa hingga membentuk seperti tas selempang sederhana, walau lusuh tas itu berisi semua perhiasan yang pernah Adriaan beri padanya, tak lupa beberapa keping uang koin dan uang kertas hasil tabungannya yang akan ia butuhkan nanti. Marsih, kini sedang merencanakan pelarian diri.
"Mungkin, orang-orang itu yang akan berani menyakitimu ...," gumam Marsih tanpa melirik ke arah Adriaan.
Marsih adalah gadis yang pintar. Pendidikan layak mungkin tak pernah ia kecam selama hidupnya, namun kecerdasan insting serta pintarnya menyusun strategi tak perlu susah-susah ia dapatkan dengan pergi ke sekolah, karena dirinya sudah memiliki bakat ini sedari lama. Marsih tak perlu mengotori tangannya hanya untuk membalas dendam, ia bermain cerdik dengan mempertemukan kedua musuhnya bersama, sedangkan dirinya cukup melihat pihak manakah yang akan kalah terlebih dahulu.
Kepalanya menoleh, menatap Adriaan yang masih kaku tak dapat bergerak. Peluh keringat mengalir deras sekali lagi pada dahi Adriaan. Marsih tahu, lelaki itu tengah emosi padanya sekaligus merasa sedikit takut akan ancaman yang dirinya lancarkan barusan, apalagi setelah melihat kalau Marsih yang sudah siaga akan melarikan diri, meninggalkannya sendirian.
Satu senyuman terbentuk. Senyuman sebagai salam perpisahan. Tangan Marsih terulur membelai pelan rambut keemasan Adriaan, menepuk-nepuknya kecil. Andai saja pria ini tak membunub Mbok Kalinem, bisa jadi Marsih tak melakukan ini dan akan memaafkan semua perbuatan kejam Adriaan padanya. Walau begitu, tak ada rasa penyesalan dalam hatinya, yang sudah terjadi, biarlah terjadi, kini hanya terdapat sebuah rasa hampa namun lega telah dapat membalas semua ini.
Marsih mulai berjalan mendekati pintu. Langkahnya berjalan cukup pelan, tangan kanannya kini telah menggengam kenop pintu dengan erat. Sesaat sebelum ia membuka pintu kayu besar itu, Marsih mematung. Berdiri terdiam di depan pintu. Namun tak lama kemudian, ia mulai menggerakkan kenop itu dan keluar dari ruangan kerja terkutuk itu, tanpa bahkan menengok ke belakang.
.oo0oo.
Suara derap kaki para serdadu Jepang mulai terdengar sayup-sayup memasuki rumah Adriaan. Bunyi sepatu boots karet yang menerpa lantai marmer menggema di setiap bagian rumah. Dari suaranya saja dapat diketahui kalau terdapat setidaknya dua lusin tentara, atau bahkan lebih, yang kini meringsek memaksa masuk ke dalam.
Semua berlalu cepat layaknya alunan irama lagu. Masa seakan mengiringi jalannya permainan waktu. Langkah kakinya berderap pelan keluar melewati pagar gapura belakang yang tinggi. Sungguh anggun bak seorang ratu kerajaan yang bahagia ketika rajanya menang perang, namun bedanya kali ini tak ada seorang raja, tak ada sosok lelaki gagah berani yang menyelamatkannya dari mara bahaya, hanya ada dirinya sendiri. Ia tak butuh seorang pria untuk menyelamatkannya. Marsih, sudah memenangkan perangnya sendiri.
Kaki yang tak beralas menyeret kain jarik batik panjangnya yang bebas menyapu tanah, seakan memberi lambaian tangan selamat tinggal pada pekarangan rumah mewah ini. Dari pelupuk mata, Marsih dapat melihat kalau pedati pesanannya telah menunggu kehadiran dirinya sedari tadi. Pedati milik lelaki tua yang tak bisa berbicara, pria tua yang membawanya kembali ke rumah ini pada malam ia menguburkan jasad ibunya, malam dimana dirinya memutuskan kalau ia akan membalaskan dendamnya pada Adriaan. Dan kali ini, pedati usang yang kerap membawa pakan ternak inilah yang juga akan membawanya pergi.
Kemarau tak lama lagi akan datang. Sebuah kebetulan apik bagi Marsih, ia tak perlu lagi bernaung menghindari hujan di kediaman megah milik lelaki angkuh itu. Walau ia tidak akan lagi menggunakan kebaya beludru glamor, kain jarik larang, selendang sutra, atau bahkan rangkaian perhiasan emas dan perak yang menghiasi seluruh tubuhnya. Marsih tak butuh benda-benda fana tersebut, meskipun tak dapat ia pungkiri ia mengambil beberapa perhiasan untuknya bertahan hidup nanti. Namun menurutnya, semua kemewahan ini tak ada nilainya jika kau sandingkan dengan kebebasan.
Marsih mengangkat jariknya sebetis, membuka jalan supaya kakinya dapat menapaki pijakan menuju pedati. Mengistirahatkan tubuhnya menghadap ke bagian luar pedati, mengarahkan pandangannya pada rumah putih besar ini, duduk membelakangi si pria tua.
"Jalan, Kang," lirih Marsih sembari memukulkan tangannya beberapa kali pada pegangan pedati, memberi sinyal untuk pergi.
Roda pedati perlahan berputar, melindas beberapa kerikil tanah yang mengeras akibat terik matahari. Tubuh Marsih sedikit bergoyang tatkala itu terjadi, sorotan mata gadis ini tidak sudah-sudahnya menatap ke arah rumah mewah itu, menerka-nerka apa yang terjadi, membayangkan jika yang berada disana adalah dirinya. Akankah dia disiksa secara perlahan-lahan? Apakah akan dipaksa menjadi babu lalu kemudian dibuang? Atau... Jemputan ajal yang malah datang dengan cepatnya? Tak ada yang tahu. Namun, pria itu memang pantas mendapatkannya.
Seberkas senyum tergambar dibibir Marsih, senyuman penyambutan akan kebebasan yang sudah lama ia tidak hirup. Matanya mulai beralih menatap ceruk langit, memandang sang penerang bumi yang berdiri di atasnya, memamerkan sinar panasnya dengan angkuh. Desiran angin menyapu wajahnya, juga tak sengaja menerbangkan beberapa helai rambut hitamnya dengan kencang. Ini yang Marsih inginkan, kebebasan.
Bagaimana kisah ini akan berakhir? Entahlah, Marsih sendiri tidak tahu pasti. Bagi Marsih, rakyatnya belum dalam keadaan yang aman, Jepang juga bukanlah pihak yang dapat dipercaya. Para pribumi hanya akan keluar dari sarang buaya, lalu masuk ke dalam mulut singa. Cuma beralih dari tawanan menjadi tahanan. Kebebasan yang ia miliki juga belum tentu akan bertahan lama. Namun, satu hal yang pasti, Marsih yakin kalau rakyatnya akan terus mempertahankan diri, dan suatu saat nanti akan terbebas dari belenggu penjajahan. Begitu juga dengan dirinya, sebelum maut memisahkan roh ini dari tubuhnya, Marsih tak akan berhenti berjuang, memperjuangkan kebebasannya.
-Selesai-
Celotehan penulis :
Akhirnya! Yosh kelar juga ini cerita setelah dua tahun wkwk (sempet terbengkalai lama karena UN dan pra-SMA) tapi alhamdulilah selesai juga, semoga suka dan dapat diterima dengan ending yang udah ditentukan sejak dua tahun lalu ini wkwk. Karena memang sudah sejak awal cerita ini dibuat sebagai cerita yang mengapresiasi wanita-wanita hebat dan kuat. Makanya aku buat tokoh Marsih berjuang secara anggun dengan posisinya sebagai seorang Nyai. Kalo kalian nanya tentang inspirasi cerita, aku terinspirasi dari novel "Rara Mendut" karya Y.B. Mangunwijaya, silahkan dibaca jika berkenan.
Mau ngucapin buat para pembaca setia yang masih nungguin cerita ini up atau buat pembaca baru yang belum lama ini menemukan cerita Marsih, terimakasih banyak-banyak! Saya mengapresiasi setiap interaksi yang kalian lakukan, baik itu vote, komentar kritik saran, dimasukkan ke daftar bacaan, atau yang paling membuat senang, ya notifikasi pengikut baru wkwk... Sekali lagi terimakasih dan maafkan diri yang masih banyak salah ini! Selamat tinggal dan see you guys on my next story!
Love,
-Rachel ♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro