32. Penebusan Untuk Si Pendosa
Marsih tak bergeming, tetap dengan posisinya yang membatu dengan sebuah pistol yang menempel di kepala bagian belakang. Itu adalah pistol yang sama yang Adriaan gunakan untuk mengeksekusi Mbok Kalinem. Ketegangan diantara keduanya meningkat dengan Marsih yang dapat melihat jelas aura siratan kemarahan pada rahang lelaki ini yang terkatup kencang. Tatapan mata pria itu juga nampak begitu tajam memperhatikan Marsih dengan seksama, layaknya seekor singa yang siap akan menerkam mangsanya.
Apakah ini akhir dari hidupnya? Mati mengenaskan dengan cara yang sama dengan Mbok Kalinem. Tak berdaya oleh satu timah panas, namun lain tidak seperti wanita tua itu yang tertembak di jantung, pelurunya ini akan langsung menembus kepala Marsih cepat. Marsih membayangkan seperti apa bentuk jenazahnya nanti. Tergeletak layaknya sebuah manekin dengan kepala yang berlubang dan bersimbah darah. Mengerikan.
Selama ini ia berani melawan dan mengkonfrontasikan kekesalannya pada Adriaan karena gadis ini tahu, kalau Adriaan tak akan pernah menyakitinya, apapun yang terjadi. Tapi tampaknya siang ini semua pikiran Marsih terbantahkan, garis wajah pria itu terlihat begitu serius dan bisa saja menembaknya entah kapan, perkiraan Marsih tentang pria ini tentu salah total. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya, Adriaan melepaskannya, atau Adriaan melepaskan jarinya pada pelatuk itu.
Tapi setiba saja lengan Adriaan menurun, pistol itu juga perlahan menjauhi kepalanya. Tampaknya pria ini mengurungkan niatnya untuk membunuh wanita ini. Marsih menelan ludahnya yang terasa berat, bersyukur karena Tuhan telah menyamatmannya dari maut.
"Maaf, Nyai. Aku kira kau salah satu dari pihak Jepang, maaf aku tak tahu," desis Adriaan.
Dusta. Marsih tahu itu adalah sebuah kebohongan belaka. Adriaan memang sesaat lalu memiliki keinginan untuk membunuh Marsih, tapi ia segera membatalkan niat itu. Perkataan Adriaan bisa saja membohonginya, namun tatapan penuh amarah lelaki itu yang dia berikan tadi tidak. Entah apa yang menghentikannya untuk tidak menembak kepala Marsih. Hanya Adriaan dan Tuhan yang tahu.
"Kau menakutiku, Tuan. Tak lihatkah aku hampir saja menjatuhkan nampan ini," sahut Marsih merutuki lelaki di depannya ini.
Adriaan menyunggingkan senyumnya. "Sekali lagi aku meminta maaf padamu, Nyai. Tak seharusnya aku mengacungimu dengan senjata."
"Baiklah, aku maafkan. Tapi berjanjilah padaku jangan pernah lakukan hal itu lagi," rajuk Marsih dengan bibir yang ia majukan.
Lelaki itu terkekeh pelan, menunjukkan deretan gigi putihnya yang tertata rapih. Tak lupa senyuman manis yang pria itu layangkan. Jarang sekali Marsih melihat Adriaan tersenyum. Jika sedang tidak bersamanya, pria itu selalu terlihat menekuk rautnya serius. Wajah Adriaan kini tampak begitu tampan dengan rambut pirang keemasan yang berkilau-kilau menawan terkena sinar matahari yang masuk.
"Aku berjanji." Adriaan menaruh tangan kanan pada dada kirinya, membuat seakan janji silang yang tidak akan dia langgar.
Kali ini giliran Marsih yang tersenyum. Berusaha sebaik mungkin untuk tetap terlihat normal padahal beberapa saat lalu dirinya hampir saja bertemu Tuhan. Gadis ini dengan perlahan mulai menaruh nampan berisi dua gelas sirup mahal itu di nakas meja.
"Aku membuatkanmu sirup ini, Tuan. Sirup pemberian teman kerjamu padaku. Aku baru sempat membuatkannya hari ini."
"Kenapa kau sungguh rendah hati, Nyai?" tanya Adriaan serius mengabaikan Marsih dan sirup yang ia bawa.
"Apa maksudmu aku yang rendah hati? Bukankah ini adalah hal yang normal aku lakukan setiap harinya?" Marsih malah bertanya kembali.
"Tidak, bukan itu yang aku maksud." Marsih segera menatap Adriaan dengan penuh tanda tanya setelah pria itu mengatakan hal ini. "Kau baru saja aku acungkan sebuah pistol dan hanya ini reaksimu?" tanya Adriaan dengan tatapan penuh arti.
Marsih tersenyum, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Memangnya reaksi apa yang kau harapkan, Tuan?"
"Entahlah, menangis? Meminta maaf atas kesalahanmu? Mengelak akan suatu hal? Kau bisa melakukan lebih dari membatu tak bersuara," cela Adriaan.
Gelak tawa Marsih pecah mendengar itu. "Kau mengharapkanku menangis dan melakukan semua itu? Kau tahu betul sifatku seperti apa, Meneer."
"Tahu akan begini harusnya aku lepaskan saja pelatuknya tadi," gumam Adriaan.
Marsih tergelak, langkahnya tertahan sekali lagi setelah mendengar gumaman Adriaan. Bulu kuduknya merinding sempurna. Lelaki ini memang sudah berkeinginan untuk membunuhnya sejak awal. Tapi Marsih juga tidak yakin dengan hal itu dan mengapa juga dia menghentikan aksinya untuk tidak menembak Marsih. Pikiran Adriaan jauh lebih rumit dibandingkan labirin yang tiada ujung, hanya akan membuatmu berputar-putar dalam lorong yang sama tanpa akhir.
"Lalu, mengapa tak kau lepaskan saja pelatuknya tadi?" Marsih tersenyum, mencoba memprovokasi pria ini untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Wanita muda ini mengambil satu gelas sirup dan berjalan mendekati Adriaan. Ia tahu kalau sekarang emosi pria ini sedang tidak stabil, untuk itu ia mencoba mendinginkan kepala Adriaan dengan segelas sirup dingin ini padanya. Berharap agar setidaknya ia dapat menenangkan diri.
"Aku juga tak mengerti, disatu sisi aku ingin sekali menghabisimu, Nyai. Namun satu sisi lain aku tak ingin menyia-yiakanmu hanya untuk dibunuh. Menurutmu kenapa?"
Marsih mengendikkan bahunya pelan, tanda kalau ia juga tak mengerti dengan bagaimana cara otak Adriaan bekerja. Lelaki itu menyambar gelas yang sedari tadi Marsih tawarkan. Ia menenggaknya cepat hingga hanya tersisa setengah gelas sirup da es batu.
"Menurutku, kau hanya sedang dalam emosi yang tengah melonjak tinggi. Katakan padaku, apa yang mengganggu pikiranmu, Tuan?"
Adriaan kembali meminum sirup pemberian Marsih ini. Sirup dingin rasa markisa yang sangat cocok diminum kala terik siang hari.
"Kau tak akan percaya. Para bajingan bermata sipit itu berusaha menginvasi kami," hina Adriaan ketus, wajahnya yang tadi sempat menenang kembali dijejahi oleh amarah saat membicarakan hal ini. "Jepang datang dan menjarah rumah-rumah para pejabat, mengambil semua hak milik dan harta yang mereka miliki, dasar pencuri!" gerutunya lagi.
Hati Marsih tertawa sangat kencang saat ini. Reaksi Adriaan yang sangat marah ketika mengatakan kalau para tentara Jepang menjarah harta pejabat-pejabat Belanda itu, bahkan sampai mengatai mereka pencuri, yang tentu saja membuat Marsih hampir melepaskan tawanya. Adriaan yang malang, dirinya baru mengalami penjarahan harta saja ia sudah marah dan ketakutan seperti ini. Tak sadarkah kalau kaumnya sendiri menjajah negeri orang lain? Tak tahu diri.
"Aku sudah dengar kalau para penjaga kabur dari sini. Ah sial! Kenapa mereka malah pergi saat aku bisa saja membutuhkan mereka?!" hardik Adriaan kencang.
Marsih tak menjawab semua gerutuan lelaki itu, ia hanya terdiam membisu seribu kata dan cuma dapat mendengarkan segala celoteh kekhawatiran Adriaan terhadap tentara Jepang yang bisa saja datang ke rumah ini kapan pun yang mereka mau. Dan tanpa penjagaan dari para penjaga, rumah ini sudah seperti benteng tinggi namun dengan lubang sangat besar di tengahnya, yang tentu saja akan memudahkan para musuh untuk masuk tak perlu harus bersusah payah.
Adriaan berjalan mendekati kursi kerjanya, lalu menjatuhkan tubuh jangkungnya disana dengan tujuan untuk mengistirahatkan badannya yang lelah. Pikirannya berkecamuk hebat penuh dengan argumen-argumen dan rencana-rencana yang ia harus jalankan. Termasuk dengan rencana melarikan diri kembali ke Netherland dan meninggalkan Marsih sendirian disini.
"Ah iya, kebetulan sekali kau ada disini, Nyai. Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan padamu," tukas Adriaan.
Marsih mulai berjalan menghampiri lelaki ini yang terduduk gusar di kursi kerjanya. "Membicarakan tentang hal apa? Apakah penting?"
"Aku, akan kembali ke Netherland. Tapi aku tak bisa membawamu," ucapnya singkat.
Marsih mengeryitkan dahinya. "Jadi kau akan pergi meninggalkanku?" tanya Marsih serius, wajahnya sengaja ia buat terlihat bingung namun ada sedikit raut kesedihan tergambar disana.
Kepala Adriaan perlahan memberat, ia tak dapat melihat dengan jelas karena pandangannya menjadi sedikit kabur. Godam besar seperti tengah memukul-mukul keningnya saat ini. Kepalanya mulai berkunang-kunang, semakin membuat pria itu tak dapat mengendalikan tubuhnya dengan benar. Lelaki ini mulai menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba mengambil alih tubuhnya yang terus oleng ke kanan dan ke kiri.
"Sebelum itu, bisakah kau ambilkan aku obat? Sepertinya aku sedikit sakit," pinta Adriaan tak menjawab pertanyaan Marsih.
"Kau baik-baik saja, Tuan? Apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit?" tanya Marsih dengan pertanyaannya yang beruntun. Lain dengan perkataannya yang terdengar khawatir, tubuh Marsih malah mematung di depannya, tak bergerak seakan tidak mau menuruti perintah yang tadi Adriaan berikan.
"Kepalaku, Nyai. Terasa berat aku--" ucapan Adriaan tertahan.
Setiba saja tubuh lelaki itu mendadak tak dapat digerakkan. Ototnya kaku disertai beberapa kedutan pada betis kedua kakinya. Tubuhnya lambat laun seakan mati rasa tak dapat merasakan apapun, bahkan angin yang mendesir pelan juga tak terasa di permukaan kulit Adriaan. Setelah beberapa detik ototnya menegang kencang, badannya seketika menjadi lemas tak berdaya. Ia sudah sepenuhnya kehilangan kendali pada wajahnya, begitu juga rasa paralisis atau kelumpuhan yang mulai menjalar perlahan-lahan ke seleuruh tubuhnya. Hanya tersisa otot matanya yang masih dapat digerakkan dengan sempurna.
"Meninggalkanku? Tapi tampaknya aku yang akan meninggalkanmu terlebih dahulu, Meneer."
Marsih menyilangkan kedua tangannya di dada. Tatapannya lurus tajam memandangi keadaan Adriaan yang tengah lumpuh seluruh badan.
"Bagaimana rasanya sirup mahal yang kolegamu berikan? Ah lupa, sirup yang aku tambahi sedikit bumbu rahasia, apakah menyegarkan?" ejek Marsih, tak lupa sebuah senyuman manis ia sunggingkan penuh kesombongan.
.oo0oo.
Double update soalnya lagi mood aja wkwk.
Next chapter akan jadi episode terakhir perjumpaan kalian dengan Marsih... Huaaaa 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro