Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Temaram Angin Malam

Happy 40k! 🎉✨
Jangan lupa vote ya!

....


Satu hembusan angin menerpa tengkuk Marsih. Membuat gadis itu bergidig kecil dengan tangan kanan yang segera mencoba meredam rasa geli itu. Derikkan jangrik di kesunyian malam, secangkir teh hangat beruap, dan sebuah lampu petromaks benderang kuning inilah teman Marsih sekarang. Hening terduduk pada kursi rotan anyaman, diam tanpa suara di serambi depan rumah megah dengan sebuah buku di tangan.

Pemadaman listrik terjadi beberapa saat yang lalu, lebih tepatnya dua jam sudah berlalu. Membuat seisi rumah sedikit kalang kabut karenanya. Mulai dari para pembantu yang ribut karena kesulitan menyiapkan bahan makanan untuk esok hari, tukang-tukang yang kehilangan beberapa lampu petromaks yang tentu tidak cukup jika dinyalakan di seluruh rumah, dan para penjaga gerbang rumah yang tidak ingin bekerja sebelum lampu kembali menyala, mereka mengeluhkan munculnya sosok hantu perempuan yang katanya kerap datang ketika gelapnya malam.

Hal itu cukup membuat Marsih tergelak penuh tawa. Bagaimana tidak? Penampilan para penjaga tampak sangat garang. Tubuh penuh otot, tinggi besar, kulit hitam legam, dengan kumis dan jambang yang tumbuh bebas, serta tak lupa sabit yang selalu tergenggam manis di tangan mereka. Dan anehnya, mereka takut dengan sesosok hantu wanita jahat? Satu-satunya wanita yang memiliki pikiran jahat di rumah ini mungkin adalah Marsih, seharusnya Marsih lah yang mereka harus khawatirkan.

Keributan kecil itu rupanya sedikit membuat Marsih jengah, malam harinya kala itu tidak dapat ia nikmati seperti biasa. Dengan santai ia mengambil satu lampu petromaks, membuat secangkir teh, dan membawa sebuah buku berjudul 'Serat Riyanta' karya R. B Soelardi. Menenteng buku tersebut menuju teras depan. Dan disinilah ia berada sekarang, duduk sendiri di keheningan malam, terlarut dalam buku sastra berbahasa Jawa itu.

Kenop berbunyi, menarik pintu kayu putih itu ke dalam. Terbuka secara lambat, lalu tak lama tampaklah sosok Adriaan yang berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak bingung, namun sesaat setelah menemukan sosok Marsih, dia terlihat sedikit lega dengan satu hembusan nafas berat. Langkah pria itu menapaki lantai, berjalan menuju Marsih dan duduk di kursi yang berada di sebelah gadis itu.

"Aku mencarimu, Nyai," sahutnya pelan sembari menyandarkan punggungnya pada senderan anyaman.

"Aku tahu kau pasti mencariku. Tenanglah, aku tak akan pergi kemana-mana," balas Marsih. "Tidak untuk saat ini," lanjut wanita itu dalam hati.

"Mereka bising sekali, tak khayal kau melarikan diri kemari." Adriaan melirik Marsih dan buku besar yang berada di pangkuan gadis itu.

Sekarang Marsih tengah menggunakan menggunakan sebuah kebaya biru tua bercorak bunga yang ia tak kancingkan karena gerah hingga menampakkan jelas kemben hitam dan sedikit belahan dada ranum miliknya. Ia juga mengenakan jarik yang pendek hanya sebatas lutut yang menampilkan betis indah jenjangnya mulus. Rambut yang Marsih gelung asal tinggi dengan beberapa anak rambut yang mencuat, memamerkan lehernya yang halus tanpa satu tonjolan urat. Entah disengaja atau tidak, penampakan Marsih malam ini terlihat begitu menggoda dengan cahaya kuning lampu petromaks yang mengenai tubuh gadis itu.

"Kau benar, Tuan, mereka sedikit berisik. Aku hanya ingin mencari sebuah ketenangan malam ini," ucap Marsih dengan senyuman.

"Bersabarlah, Nyai. Listrik akan kembali menyala, mereka hanya akan mematikannya untuk beberapa jam saja."

"Tapi kenapa listrik harus dipadamkan malam ini?" tanya Marsih.

Adriaan menatap mata Marsih dalam, "Pemberontakan kemarin sedikit merusak aliran listrik, mereka membutuhkan beberapa waktu untuk mengembalikannya seperti semula." pria itu mengendikkan bahunya pelan. "Bisa jadi juga ... karena Jepang telah datang," lanjutnya.

Marsih menutup bukunya, merasa tertarik dengan pembicaraan mereka malam itu. Ia tidak tahu seperti apa pihak Jepang yang selalu rakyat pribumi tengah agung-agungkan. Keraguan dalam hatinya merebak, pikirannya berkecamuk, tidak ada yang tahu apakah mereka akan benar-benar menyelamatkan rakyatnya dari pengangan Belanda atau tidak. Benaknya tertekan dengan perkataan orang-orang di sekitarnya yang percaya akan Jepang adalah penyelamat, namun hati kecil gadis ini memberontak, ada yang aneh tentang hal ini. Dan dia harus mencari tahu apa itu.

"Memangnya, apa yang terjadi?" tanya Marsih perlahan-lahan menarik Adriaan kembali ke pembicaraan mereka.

"Kami telah sepakat tidak akan membakar pasar. Setelah apa yang terjadi dan melihat orang-orang Asia sialan itu telah sampai, kami memutuskan untuk menahan pasar. Lagi pula, pasar merupakan aset yang penting."

Marsih menghembuskan nafas pelan, lega satu rencananya telah berhasil secara tidak disangka-sangka. Membutuhkan banyak tenaga Marsih, Mbok Kalinem, Sugeng, dan nyawa 9 pejabat korup untuk Adriaan hingga dirinya menyadari kalau membakar pasar bukanlah tujuan atau musuhnya saat ini. Aset besar tidak mungkin ia sia-siakan hanya karena rakyat menolak membayar pajak.

"Akhirnya kau tidak melakukan itu, Tuan."

Adriaan mendengus, "Apa kau senang sekarang?" tanya pria itu.

"Tentu saja." sebuah senyum manis dikembangkan pada wajah ayu gadis ini.

Keheningan menyapa mereka. Dingin angin malam membuat secangkir teh yang belum disentuh milik Marsih telah tidak berasap lagi. Marsih menunduk pelan, ia memindahkan buku besar dari pangkuannya ke sebuah meja di sebelah kirinya. Adriaan melirik ke arah buku tersebut, memandanginya pelan sebelum membuang muka.

"Alysia pernah membaca buku itu juga."

Kedua alis Marsih terangkat, "Dia bisa berbahasa Jawa juga?"

"Belanda, Melayu, Jawa, dan mungkin sedikit bahasa Prancis. Aku sendiri tidak mengeri bahasa Jawa, terlalu rumit," jelas Adriaan.

Marsih mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Alysia pasti sangatlah pintar, itu sudah terlihat sejak pertemuan pertama mereka. Gadis itu pada awalnya berpura-pura menyukai Marsih, namun pada akhirnya Alysia bersikap dengan sikap ia yang sebenarnya, sikap benci terhadap Marsih. Namun daripada itu, Marsih mengakui seberapa cerdasnya gadis berambut pirang itu. Memang pendidikan resmi itu berpengaruh telak oleh pengetahuan seseorang. Tapi walau tak dapat bersekolah dan mendapatkan pendidikan formal, Marsih tetap bersyukur dirinya bisa membaca dan melakukan hitungan sederhana.

"Kurasa kau sebenarnya dapat akrab dengan Alysia, Nyai." Adriaan menatap Marsih. "Kalian sama-sama keras kepala, teguh, kuat, dan ... cantik," puji Adriaan.

Marsih tersenyum kecil mendengar itu, "Iya, dia memang sangat cantik."

"Wajahnya mengingatkanku pada ibuku, mirip sekali bagai kembaran," lirih Adriaan.

"Kau pasti merindukan Alysia, bukan?"

"Tentu saja, namun sayang ... sudah sebulan lebih ia tak menjawab suratku, mungkin ia sudah bahagia dengan kehidupan barunya, mungkin juga suratku bahkan tidak sampai dan terboikot oleh pihak Jepang."

Gadis ini tak menjawab, ia hanya dapat menunduk dalam, merasa canggung dengan keadaan mereka berdua saat ini. Adriaan jelas tengah merindukan adik semata wayangnya itu, kesedihan tergambar jelas di wajahnya, itu membuat jarak antara keduanya kini jauh semakin canggung.

Satu gelombang besar angin malam kembali menggelitiki leher Marsih yang tak terhalang apa pun, membuat gadis itu meremang sesaat. Tangan kanannya bergerak hendak menutup kancing kebaya yang terbuka bebas. Adriaan bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan menghampiri Marsih yanh berada di sebelah kanannya.

Pria itu segera menghentikan tangan Marsih yang ingin mengancingkan kebayanya. Adriaan kini berdiri tepat di depan Marsih, tangan besar lelaki itu menyentuh leher jenjangnya, memainkan perlahan jemarinya yang hangat pada leher dingin Marsih, perlahan alunan tangan itu menjalar menangkup dagu Marsih, mengarahkan pandangan Marsih pelan sehingga kini kepala wanita itu mengadah ke atas, menatap birunya mata Adriaan.

"Jangan ditutup," bisiknya pelan dengan suara parau.

Lelaki itu menunduk cepat, mencium pelan bibir Marsih, memanggutnya perlahan sehingga tak menyakiti bibir Marsih. Sebuah cumbuan dalam namun halus, tidak seperti saat pertama kali mereka melakukannya. Tangan lelaki itu perlahan turun dari dagu Marsih menuju kedua buah dada gadis itu yang masih terbalut kemben. Meremas kedua gundukan daging itu pelan hingga membuat Marsih melenguh pasrah dalam pagutan bibir mereka.

Marsih menahan tangan Adriaan, membuat pria itu mengentikan aksinya dan segera melepaskan cumbuan dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Jangan, para pembantu bisa melihat kita," desis Marsih dengan bibir yang masih basah hasil pertukaran saliva keduanya.

"Kenapa?" tanya Adriaan menyentuh bibir Marsih dan menyekanya lembut dengan ibu jari miliknya.

"Apa maksudmu kenapa? Itu ... memalukan, saru," balas Marsih hampir emosi mendengar pertanyaan Adriaan.

"Malu?" lelaki itu tersenyum. "Biarkan mereka melihat, melihat seberapa aku tergila-gila hingga tak dapat menahan nafsuku padamu, Nyai," lanjut Adriaan.

Wajah Marsih memerah sempurna mendengar itu, memerah karena malu. Kata-kata yang sedikit cabul Adriaan barusan membuat darah Marsih panas, hingga membuat pipinya merona seketika.

Adriaan tersenyum melihat wanitanya memerah dan kembali memanggut bibir Marsih dalam. Melanjutkan aksinya yang sempat tertunda sebentar. Tepat saat Adriaan sukses melepaskan kebaya dari tubuh Marsih, listrik kembali menyala. Lampu pada teras itu juga benderang seperti semula. Membuat kegiatan keduanya akan terlihat jelas oleh siapa pun yang akan melintas di hadapan mereka. Namun tampaknya malam ini Adriaan tidak memperdulikan semua itu, ia hanya menginginkan satu hal. Marsih.

.oo0oo.

Abis ini cuci mata ya, udah tercemar gara-gara Meneer Adriaan 😭

Btw, lagi-lagi update tengah malem wkwk... Ada idenya suka di jam-jam segini sih...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro