Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Gamang

Satu minggu telah berlalu cepat, tak terasa bagaikan angin lalu. Tidak banyak hal yang terjadi, rakyat masih dalam tahap pemulihan pasca pemberontakan kedua yang terjadi tempo hari. Korban jiwa yang telah Marsih renggut dengan bantuan tangan kanannya Karso berjumlah 9 orang, semuanya lelaki korup kejam tidak tahu diri. Beruntunglah Karso mengikuti saran Marsih untuk tidak melukai perempuan dan anak kecil. Sayangnya, para penjahat itu tetap dapat beristirahat dipenguburan yang layak dan mewah pada tanah yang telah mereka jajah.

Tentu Marsih belum merasa puas dengan ini semua, dendam yang mengembara bebas di hatinya bahkan belum seperempatnya terbalas. Namun kini ia harus bekerja hanya berdua dengan Sugeng, karena Karso menghilang tepat setelah kejadian pemberontakan kedua itu. Tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sekarang, tidak bahkan kabar kalau ia masih hidup ataukah sudah mati. Lelaki itu hilang tanpa jejak, tak bersisa sama sekali, seperti lelaki itu tidak pernah ada sebelumnya.

Subuh dini hari, Kota Surabaya belum sepenuhnya terbangun. Embun pagi menetes mengalir membasahi dedaunan. Kabut putih tipis menyelimuti seluruh permukaan bumi yang remang-remang. Berkas cahaya jingga matahari pagi bahkan belum menampakkan sosoknya kala itu, namun Marsih telah terbangun sempurna. Wanita berparas ayu itu merasa tubuhnya terasa ringan setelah beberapa hari dihantui oleh rasa penyesalan yang tiada ujung, dan akhirnya ia dapat memaafkan dirinya sendiri. Beban itu bagai terangkat begitu saja saat mengingat wejangan yanh diberikan mendiang Mbok Kalinem. Jangan berjuang untuk orang mati, berjuanglah untuk mereka yang hidup. Hal itu akan terus terngiang di kepalanya mulai sekarang.

Marsih berjalan perlahan menuju serambi dapur pagi itu, sembari kedua tangannya yang mencoba menggelung asal rambut hitam panjangnya yang semula tergerai, membuatnya menjadi satu buah sanggulan rambut tinggi yang tampak sedikit berantakan. Langkahnya pelan, menapaki lantai marmer yang dingin tanpa alas kaki. Beberapa hari ini dirinya memang sengaja tidak mengenakan alas kaki saat berjalan di dalam rumah, walau Adriaan kerap memarahinya saat dia menangkap basah dirinya bertelanjang kaki di rumah ini. Tapi Marsih tak anggap pusing, menurutnya sendal atau selop hanya akan digunakan saat ia keluar rumah, tidak di dalam rumah. Eman-eman, pikirnya. (Sayang sekali)

Tangannya menyentuh permukaan pintu kayu jati besar ini, perlahan ia mulai mendorong pintu itu ke dalam. Setelah Marsih membuka pintu, tampaklah dapur subuh hari yang selalu sibuk dengan beberapa orang berlalu-lalang mengantar bahan makanan, para pembantu yang memasak menyiapkan sarapan, dan pembantu lain yang mempersiapkan bahan makanan supaya siap pakai. Keadaan riuh kala subuh memang normal dalam rumah ini, berbanding terbalik dengan orang lain yang kemungkinan masih terlelap.

Marsih memang tidak berkewajiban membantu proses memasak. Adriaan beberapa kali mengentikannya untuk berhenti membantu para pembantu memasak dan biarkan mereka menyelesaikan tugasnya. Namun Marsih memang sepertinya perempuan pembangkang, ia tak bisa merasakan masakan orang lain yang dibuat oleh sesama pribumi, merasa segan. Tak enak hati ia dilayani oleh para pembantu pribumi yang menunduk hormat pada Marsih, hanya karena dirinya seorang nyai milik meneer Belanda, padahal dirinya jauh lebih muda dari para pembantu itu. Maka sebagai perempuan yang masih tahu tata krama, Marsih tak bisa tinggal diam dan akan ikut membantu, tak peduli apapun perkataan Adriaan.

Mata Marsih menelisik ke seluruh penjuru ruangan, mencari dimanakah celah ia dapat membantu. Ujung matanya menangkap beberapa wanita muda yang tengah menyiangi sayuran, ia memutuskan untuk membantu mereka. Setelah mengambil sebuah pisau dan satu baskom, Marsih duduk di sebelah seorang gadis bernama Yuli, di depan Yuli terdapat dua orang pembantu lain bernama Tinah dan Wati. Belum lama ini Marsih bergaul dengan mereka, tampak seperti ketiganya seumuran dengan dirinya, membuat mereka berempat segera akrab dalam waktu dekat.

"Eh, Nyai, sudah datang," ucap Tinah menyambut Marsih.

"Iya, maaf ya, sedikit terlambat dari biasanya," balas Marsih.

"Ndak apa, Nyai. Lagi pula kau kan tidak harus kemari dan repot-repot membantu kami," timpal Yuli.

"Aku yo ndak enak hati, Yul. Masa orang tua macam Mbok Sar melayaniku yang jauh lebih muda ini," elak Marsih menunjuk satu orang di ujung ruangan yang bernama Mbok Sar itu.

"Kan memang kau disini untuk dilayani, nyai. Tapi setelah kau 'melayani'," gurau Wati dengan candaan dewasa miliknya.

Gelak tawa Wati dan Yuli bergantian bersahut-sahutan pagi itu, sementara Marsih hanya mendengus kecil dan tersenyum lebar mendengarnya, sama sekali tak merasa tersinggung karena memang ini hanya sebuah gurauan.

"Melayani, apa?" tanya Tinah dengan polos. Berbeda dengan Wati dan Yuli, Tinah memang sangatlah polos jika dibandingkan dengan keduanya.

"Nanti, kalau kau sudah melakukannya dengan pacarmu Galih juga akan paham," balas Yuli yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Tinah dan malah menimpalinya dengan pertanyaan baru dalam benak gadis itu.

"Oh iya, Nyai! Aku baru teringat, kemarin, lebih tepatnya beberapa hari lalu saat aku pergi ke pasar, ada banyak sekali kabar dan hal-hal yang terjadi!" kata Yuli seketika teringat akan sesuatu.

"Ah, tentang pemberontakan kedua kemarin, kah? Kalau itu aku sudah tahu, bahkan dari Tuan Adriaan sendiri."

"Bukan, Nyai! Ini ... kabar yang menggembirakan." Yuli menepis perkataan Marsih.

"Kabar menggembirakan? Tentang apa?" tanya Marsih penasaran.

Yuli menyipitkan mata melirik sekelilingnya, menengok kanan dan kiri sebelum ia perlahan mendekati mulai Marsih yang sudah bergelimang rasa penasaran. "Jadi, Nyai ... aku tak tahu pasti tentang kebenaran kabar ini, tapi ... mereka mengatakan kalau penyelamat telah tiba!" bisik Yuli penuh rasa semangat.

"Oalah, tentang tentara Dai Nippon yo, Yul? Aku juga sudah tahu itu dari simbokku," celetuk Tinah cepat.

"Tentara Dai Nippon?" Marsih mengeryitkan dahinya.

"Iya, Nyai. Tentara Jepang. Katanya mereka datang untuk membantu kita keluar dari penjajahan ini! Mereka akan membantu kita melawan para londoe!" ucap Yuli dengan semangat yang membara.

"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Marsih.

"Seseorang di pasar yang menyiarkan kabar itu," sahut Wati.

"Dan ... kalian percaya begitu saja?" tanya Marsih lagi.

"Yo jelas percaya! Aku yakin penderitaan ini dapat berakhir dengan bantuan pihak tentara Jepang, mereka juga mengakui kalau mereka saudara Asia, Nyai. Memangnya, Nyai tidak percaya?"

"Entahlah, aku ... hanya memiliki beberapa firasat aneh tentang peryataan mereka yang ingin membantu," balas Marsih sembari mengendikkan bahunya.

Suasana beberapa saat hening, tak ada percakapan balasan dari ketiga pembantu muda ini. Sedangkan Marsih tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, memikirkan Jepang yang katanya sudah mendarat di sini dan akan membantu rakyat pribumi. Hatinya memang tak menyangkal kalau ada siratan-siratan buruk yang dirinya rasakan saat mendengar kabar itu.

Marsih tidak bodoh untuk tahu kalau dunia saat ini tengah dalam perang besar. Berkat buku yang sering ia baca hampir setiap hari, dan radio yang ia putar diam-diam tanpa sepengetahuan Adriaan, dirinya dapat tahu kalau dunia di luar sana tengah terdapat sebuah perang besar. Marsih juga mengetahui kalau Jepang terlibat, itu jelas membuatnya khawatir dengan peryataan mereka yang berkata kalau Jepang telah sampai kemari. Semoga saja semua pikiran buruk Marsih hanya terdapat dalam kepalanya, namun ia harus tetap berhati-hati, selalu waspada akan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi.

Lamunan Marsih dibuyarkan oleh beberapa pengantar daging yang membuka pintu kencang. Tiga orang pria masuk membawa satu gelondong besar daging yang terlapisi plastik putih. Mata Marsih menangkap satu sosok yang familiar di matanya. Seseorang yang ia pernah temui, namun dirinya tak yakin serta tak tahu pasti siapakah pria itu. Lelaki itu memakai kaus putih bercelana hitam, rambutnya cepak, garis wajahnya tegas dengan jambang dan kumis tebal yang menyelimuti, di dahi pria itu tampak terdapat sebuah luka horizontal yang memanjang.

Marsih mengamati dengan seksama pria itu, mengabaikan ketiga pembantu yang mulai mengajaknya berbicara kembali. Marsih mengangkat telapak tangannya, memberi sinyal untuk mereka supaya diam sebentar agar dirinya dapat berfikir lebih dalam.

Setelah beberapa detik berfikir, Marsih baru menyadari siapa sosok lelaki itu. Akhirnya otak miliknya dapat bekerja sama dalam mengenali wajah, itu adalah Kang Diman, salah satu preman pasar anak buah Sugeng. Lelaki itu juga termasuk dari salah satu orang yang membantunya dalam menguburkan jenazah ibunya. Tapi, apa yang Kang Diman lakukan disini?

Marsih bangkit, tak sengaja melempar sebilah pisau yang tadi ia gunakan ke tanah, kemudian dengan cepat menghampiri lelaki paruh baya itu. Berusaha mengorek informasi seputar Sugeng atau Karso. Langkahnya ia buat secepat mungkin setengah berlari, mencoba menghentikan Kang Diman supaya tidak pergi sebelum ia dapat menginterogasi dirinya.

"Kang Diman! Tunggu, Kang!" pekik Marsih kencang.

Lelaki bernama Kang Diman itu berbalik, wajahnya nampak tak percaya melihat Marsih. Ditandai dengan matanya yang melebar serta kerutan dahi miliknya yang seakan kaget melihat dirinya.

"Nyai Marsih? Sedang apa kau disini?"

Marsih menarik tangan Kang Diman dan membawanya ke sudut ruangan. Mencoba berbicara pembicaraan yang dirinya tak ingin orang lain dengar.

"Ini adalah rumah Meneer Adriaan yang aku pernah bilang. Dan harusnya aku yang bertanya padamu, kang. Sedang apa kau disini?" tanya Marsih berterus terang.

"Tak lihat? Tentu saja aku bekerja," balas Kang Diman.

"Kah tahu betul bukan itu maksud pertanyaanku. Katakan, apa yang ... terjadi di pasar waktu itu?" tanyanya lagi, kali ini nada bicara Marsih memelan.

Kang Diman menunduk. "Kekacauan dimana-mana, Nyai. Orang-orang bahkan sudah tak peduli siapa yang mereka lawan, entah serdadu Belanda, atau temannya sendiri. Semuanya habis," lirih pria paruh baya itu.

"Apa yang terjadi dengan Karso? Ada kabar tentang dirinya?"

"Tak ada, dia hilang bagai angin. Sejak rencanamu di lakukan sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan pria itu kemana, mungkin mati? Tapi entahlah aku tidak tahu."

"Lalu, apa yang terjadi dengan Kang Sugeng?" tanya Marsih.

Kang Diman menggeleng lemah, sorotan matanya kosong menatap Marsih. "Dia ... tak selamat. Sugeng telah mati. Dirinya kehilangan banyak darah pasca tangannya kena arit," ucap Kang Diman lirih.

Marsih tertegun, dirinya tahu kalau Kang Diman adalah salah satu orang yang sangat dekat dengan Sugeng. Walau Sugeng lebih muda beberapa tahun dari Kang Diman, dirinya tak keberatan untuk menjadi pengikut atau bawahan Sugeng. Mereka sepertinya telah mengalami banyak hal bersama, dan tentu saja ini pasti menjadi sebuah pukulan besar dalam hidup Kang Diman.

"Maafkan aku, Kang. Aku ... tak tahu hal itu," pinta Marsih merasa tak enak hati.

"Sudahlah, lagi pula dia mungkin sudah tenang dapat meminum arak sepuasnya di alam sana." Kang Diman tersenyum, tapi Marsih tahu itu bukanlah senyuman penuh rasa bahagia, sebuah senyuman kecut lebih tepatnya.

"Jadi, alasanmu bekerja di toko daging karena Kang Sugeng telah mati? Apakah kau tidak ingin terus berjuang, Kang?"

"Alasanku telah jelas, aku harus bertahan hidup. Dan tentu saja aku mau terus berjuang, walau tidak dalam naungan dirimu lagi, aku akan bekerja sendiri. Lagi pula, aku dengar kabar kalau Jepang sudah sampai. Mereka pasti akan membantu kita, aku yakin itu!"

Marsih membuang tatapannya cepat. Lagi-lagi Jepang. Entah ini hanya Marsih yang menjadi paranoid atau memang orang-orang disekitarnya sangat pasrah hingga mereka mau saja dan percaya sepenuh hati kalau pihak Jepang akan membantu mereka. Apakah dirinya hanya satu-satunya orang yang meragukan hal itu? Coba saja Karso disini, lelaki itu pasti akan memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya.

Satu tepukan pada bahu Kang Diman adalah tanda kalau ia harus segera pergi dan kembali bekerja. Tak ada percakapan lagi diantara mereka, Kang Diman hanya menepuk pundak Marsih pelan lalu meninggalkannya pergi. Bola mata Marsih menatap lurus ke arah pintu belakang dapur tempat Kang Diman tadi beranjak. Pandangannha kosong membayangkan tentang kekhawatirannya pada nasib kaum pribumi.

Benaknya penuh, banyak sekali hal yang mengganggunya saat ini. Mulai dari Karso yang menghilang tiada kabar, Sugeng yang telah mati, dan tak lupa kedatangan Jepang. Ia harus benar-benar berjuang sendiri mulai saat ini. Tak dapat dipungkiri kalau Marsih sekarang tengah takut, dirinya merasa gamang. Bukan realita kalau ia bekerja sendirilah yang menakutinya. Tapi dirinya takut akan fakta kalau para rakyat bisa saja dimanipulasi dan hanya lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

.oo0oo.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro