Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Ranah Kejujuran Dua Insan

Ada kabar buruk dan baik! Kabar buruk yaitu, Marsih akan segera tamat sebentar lagi huhuhu.... 😭

Kabar baiknya, aku ngebuat cerita baru setipe cerita ini, genre romance-comedy-drama. Kisah manis antara gadis pribumi polos dan meneer Belanda (Bedasarkan kisah nyata salah satu pembaca lho!).  Judulnya "Surat Untuk Kahiyang" silahkan di cek! Jika menyukai cerita fiksi sejarah monggo atuh mampir yuk!

Makasi banyak! 😭

.....

Tubuh Marsih menegang sempurna, tangannya terhenti dari kegiatan yang tadi sempat ia lakukan. Matanya membelak terkejut dengan kabar burung yang tersebar di antara para pembantu di dapur petang itu. Sebuah gosip yang beredar dengan cepat oleh seorang petani beras yang datang untuk mengantarkan beberapa karung beras ke rumah ini. Telinga Marsih tak dapat mempercayai apa yang barusan ia dengar.

Pemberontakan kedua terjadi di Pasar Kodi. Semua itu dipicu oleh seorang pria misterius yang meracuni pejabat-pejabat penting yang berada di Hotel Simpang, tak jauh dari pasar. Para tentara Belanda yang membawa senjata berbondong-bondong menyisir seluruh bagian pasar untuk mencari pria itu, kekacauan mulai terjadi saat tentara-tentara itu mengobrak-abrik habis pasar, membuat emosi rakyat tersulut sempurna dan terjadilah peristiwa itu.

Karso. Lelaki yang tadi siang ia temui itu, menjalankan rencana meracuni yabg tadi mereka bahas terlalu cepat. Marsih tak akan menyangka kalau Karso akan segera melakukan hal itu sesegera mungkin, bahkan hanya berselang beberapa jam sejak pertemuan terakhir mereka. Entah apa yang berada di pikiran Karso saat itu, tapi yang Marsih ketahui pasti, nyawa pria itu terancam, berada diujung tanduk.

Marsih bangkit dari posisi duduknya. Ia membanting pisau yang beberapa menit lalu ia gunakan untuk memisahkan bayam dari tangkainya. Ia mengelapkan kedua tangannya di jarik batik yang ia kenakan, mencoba memeperkan getah bayam disana. Dengan cepat Marsih melangkahkan kakinya, ia akan menuju kamar pembantu dan menghampiri Darmi untuk memberitahu apa yang terjadi pada Karso. Sebelumnya Marsih memang sudah berterus terang pada wanita berkepang itu tentang semua rencana yang ia akan lakukan. Menurutnya, Darmi berhak tahu akan apapun yang terjadi.

Setengah berlari Marsih mencoba secepat mungkin melangkahkan kakinya menuju kamar pembantu. Pikirannya terbayang oleh Karso yang kini berada dalam situasi antara hidup dan mati. Saat berada di persimpangan lorong, Marsih dikejutkan dengan pintu utama yang terbuka cepat seakan pintu itu habis terbanting oleh sesuatu.

Alis Marsih menyatu, apakah itu Adriaan yang sudah pulang? Dengan perlahan langkahnya berbalik arah penasaran dan mulai berjalan menuju asal suara kencang tersebut. Tubuhnya terhenti saat melihat siapa yang berada disana, dugaannya benar. Adriaan telah kembali.

Perawakan pria itu berantakan. Jas hitam beludru yang tadi pagi ia pakai rapih telah menghilang, tersisa sebuah kemeja putih dengan beberapa kancing yang telah terbuka dan ujung kemeja yang keluar terurai tak beraturan. Rambut pirangnya yang sedikit panjang menutupi kedua alis dan sebagian matanya, entah kemana perginya rambut yang tersisir rapih tadi. Di tangan pria itu juga terdapat sebuah botol yang Marsih tahu itu adalah sebotol alkohol.

Siratan matanya tajam meradang, kedua alisnya tertekuk bersungut-sungut, sudah jelas kalau lelaki itu tengah berada dalam emosi yang Marsih tidak mengerti. Tapi Adriaan tersenyum kala melihat Marsih dari kejauan, wajahnya memerah sempurna. Rona itu seakan menutupi kulit putihnya.

"Nyai! Aku merindukanmu!" tukas lelaki itu semangat.

Langkah Adriaan sedikit yang lunglai namun tetap kokoh mulai mendekati Marsih perlahan. Senyuman tak henti-hentinya ia kembangkan sembari tatapan pupil matanya terarah ke Marsih yang berdiri mematung, menunggu Adriaan hingga ia berada tepat di depannya.

"Apa kau akan selalu pulang mabuk, Tuan?" tanya Marsih pelan.

"Tidak ... tentu tidak. Kenapa kau bertanya hal itu?"

"Entahlah, rasanya aku belum membiasakan diri untuk ini."

Adriaan tersenyum simpul, "Kau juga harus membiasakan dirimu untuk hal ini." pria itu menangkup wajah Marsih dan tanpa aba-aba langsung melumat bibirnya.

Aroma alkohol yang terlalu menyengat membuat Marsih sedikit mengernyit mual. Dengan cepat ia melepaskan panggutan bibir mereka dan mendorong Adriaan pelan supaya ia mendapatkan ruang yang cukup untuk dirinya bernafas.

Tanpa ia duga, Adriaan mencengkram pinggul Marsih dan mendekatkan kedua badan mereka cepat. Raut wajahnya yang semula penuh senyuman, berubah menjadi tajam kembali. Seperti ada amarah yang terbakar di dalam sana.

"Jangan menolakku!" Adriaan mengatakan hal itu dengan nada yang penuh penekanan.

Marsih paham betul lelaki ini memang sebenarnya sudah marah sedari tadi sejak ia pulang kerja. Untuk beberapa menit sempat teralihkan sesaat ia melihat Marsih, tapi amarah itu kembali terpicu ketika dirinya mencoba melepaskan diri dari cumbuannya.

Gadis ini menghela nafas pelan, "Tuan, bukankah sedikit tidak sopan jika kita melakukan hal itu disini? Di depan para pembantu yang bisa saja berlalu-lalang." Marsih mencoba membuat alibi.

"Ah sudahlah!" pria itu mendorong Marsih lumayan kencang hingga tubuhnya oleng dan hampir saja terjatuh.

Dugaan Marsih salah, perkataannya barusan malah membuat pria itu semakin emosi dan segera meninggalkannya sendiri. Adriaan menapaki kakinya menuju tangga, sepertinya ia akan kembali ke kamar. Kedua alis Marsih kembali menyatu, apa yang sebenarnya membuat lelaki itu begitu emosi malam ini? Apakah ada hubungannya dengan pemberontakan kedua yang terjadi sore tadi? Marsih harus mencari tahu akan hal itu pada Adriaan. Dan hanya satu cara yang terlintas di otaknya saat ini.

.oo0oo.

Suasana ruang tidur mereka penuh peluh keringat, rintih dan desahan kecil terus keluar tanpa henti dari mulut Marsih yang tengah berada dalam pangkuan Adriaan. Tak beberapa lama kemudian tangan Adriaan yang mencengkram kencang pinggul Marsih yang berada di atas tubuhnya, menekan agar badan Marsih tetap melekat pada dirinya kala dia sampai di puncak, tubuh pria itu menegang beberapa detik sebelum akhirnya dapat normal kembali. Lelaki itu masih menikmati sisa-sisa kepuasan, sementara Marsih bangkit dari pangkuan tubuh Adriaan cepat.

Ia berjalan mendekati nakas meja, berusaha mengambil satu botol wine yang berada di laci sana. Bukan tanpa alasan Marsih langsung melepaskan diri dari tubuh Adriaan, ia sengaja melakukan ini supaya benih-benih sperma lelaki itu tidak dapat merambat lebih dalam dan membuahinya. Maka ia beralasan dengan berpura-pura ingin mengambil sebotol wine serta tak lupa dua gelas bening yang kini sudah berada di tangan Marsih.

Tangan Marsih menyodorkan Adriaan satu gelas berkaki itu, sodoran Marsih segera diterima baik oleh Adriaan, pria pirang tersebut mengambil gelas bening itu. Marsih menuangkan minuman beralkohol itu pada gelas Adriaan. Tak lupa gadis ini juga menuangkan cairan merah keunguan pekat ini pada gelasnya sendiri.

Marsih mendudukkan badanya tepat di sebelah Adriaan. Keduanya masing-masing bersenderan pada dipan kasur mengistirahatkan tubuh mereka yang sama-sama lelah dan polos. Keheningan sempat membuat mereka tak bergeming sembari sesekali menyesapi alkohol yang berada di tangan mereka.

Alkohol dan keresahan. Teman abadi bagi manusia-manusia yang tengah dilanda oleh pikiran berat serta beban hidup. Keduanya berlarut dalam pikiran yang membuat masing-masing dari mereka bungkam, membiarkan alkohol membawa akal sehat terbang tinggi sedangkan tubuh mereka pasrah menerima zat itu, berharap cairan berwarna pekat ini dapat sekaligus membawa pula semua beban hidup yang mereka punya.

Marsih melirik Adriaan, pria itu nampak lebih terkendali sekarang dibanding sebelumnya yang penuh emosi. Wanita ini menaruh gelas berisi wine miliknya dan memeluk Adriaan pelan. Menindih tubuh pria itu dengan tubuhnya.

"Apa yang terjadi hari ini? Kenapa dirimu sangat marah? Apa yang menyulut emosimu, Tuan?" tanya Marsih akhirnya memutuskan untuk membuka suara demi semua tanda tanya dalam benaknya dapat terlepas.

"Pemberontakan kedua terjadi, Nyai. Kali ini, semua pejabat yang berpengaruh penting terkena racun. Lelaki bernama Karso, si sialan itu! Dia selama ini adalah salah satu pribumi yang memiliki kekuatan disana."

"Benarkah? Mengerikan sekali, lalu apa yang terjadi pada mereka semua?" Marsih bertanya dengan berlagak polos, walau dalam hati wanita itu tertawa lepas.

"Beberapa mati dan sisa sebagian kecil yang selamat, racun yang mereka temukan bedasarkan ciri-cirinya dapat diketahui kalau ... itu adalah arsenik."

"Arsenik, seperti salah satu obat yang aku temukan di toko Koh Liu," balas Marsih datar tanpa rasa takut.

Adriaan menunduk, melihat wajah Marsih yang berada dalam pelukannya. "Katakan padaku, Nyai. Apa yang ingin kau cari tau di toko obat itu?"

"Sebuah fakta."

"Fakta? Ah ... fakta tentang apakah aku membunuh pamanku sendiri?" Adriaan mendengus. "Apa kau masih ingin tau kebenaran itu?"

"Tidak, aku tidak--"

"Iya. Aku yang meracuninya." suara berat pengakuan Adriaan membuat seluruh tubuh Marsih bergidik.

"Tapi kenapa? Bukankah dia pamanmu sendiri?"

"Kenapa tidak? Lagi pula, dia sudah tua dan ajalnya sudah dekat. Aku hanya mempercepat hal itu terjadi."

Marsih tertegun, tak dapat menjawab apa yang Adriaan barusan katakan. Pria itu mengakui kalau dirinya yang membunuh Patrick. Lelaki tanpa belas kasih ini tega melakukan itu pada keluarganya sendiri.

"Kita selalu membicarakan tentang diriku. Bagaimana denganmu, Nyai? Mari kita bicarakan tentang dirimu saja."

"Apa yang tuan ingin tahu dariku?"

"Entahlah, orangtua? Kau pernah mengatakan di hari pertamamu disini kalau kau memiliki seorang ibu yang sakit."

"Oh itu, aku berdusta. Ibuku telah lama mati. Aku hanya ingin kau melepaskanku saat itu, jadi aku memilih berbohong."

"Bagaimana dengan ayahmu?"

"Aku tak pernah punya sosok seorang ayah dalam hidupku, Tuan. Dan aku juga tak pernah bertanya tentang hal itu pada mendiang ibuku."

"Kurasa nasib kita berdua sama. Tanpa orang tua, dibesarkan oleh kejamnya kehidupan."

Sama? Bagaimana bisa sama? Adriaan tumbuh besar di rumah mewah milik pamannya, berkecukupan bergelimang harta, sedangkan Marsih? Ia hanya seorang gadis miskin anak penjual onde-onde yang penyakitan. Tidak ada satu hal pun yang sama antara kehidupan mereka berdua.

Tak lama kemudian, suasana menjadi hening. Hanya suara jarum jam yang bergerak setiap detiknya yang mengisi kosongnya ruangan ini. Keduanya nampak membisu sesaat. Percakapan ini harus Marsih alihkan secepat mungkin, ia harus mengorek informasi tentang Karso, yang entah kenapa percakapan mereka beralih menjadi tentang kehidupan Marsih.

"Lalu ... bagaimana Kang Karso sekarang? Aku tak sangka dia dapat menyakiti banyak orang," tanya Marsih menahan satu buah senyuman yang hampir ia sunggingkan mengingat dirinyalah yang mempersenjatai Kasro dengan racun.

"Dia menghilang, entah kemana tidak terlacak. Kau mengenal dia rupanya ... kalau diingat-ingat memang dirimu pernah bekerja disana bukan? Di Hotel Simpang, bersamanya."

"Iya, sebelum kau membawaku kemari, Tuan."

"Aku masih ingat pertemuan pertama kita ... saat kau membuka pintu ruang rapat siang itu."

Rupanya Adriaan adalah salah satu dari sekian banyak lelaki berkulit putih yang berada di ruangan itu. Kejadian yang membuat Marsih mengalami semua ini. Mala petaka yang tak pernah disangka-sangka. Buah hasil dari kecerobohan seorang Marsih.

"Wajahmu yang cantik tampak ... begitu bingung, takut, dan tentu saja kau dengan cepat menutup pintu itu kembali ... sepertinya aku jatuh hati padamu sejak kejadian hari itu."

Marsih mendangak, ia beranjak dari pelukan Adriaan dan menatap mata lelaki itu dalam. "Mengapa? Mengapa tuan bisa jatuh hati padaku? Setidaknya beri aku alasan. "

"Aku juga tak tahu mengapa aku bisa jatuh padamu, Nyai... "

"Kalau begitu aku ingin mengganti pertanyaanku. Mengapa? Mengapa kau ... membunuh Mbok Kalinem?" tanya Marsih dengan berat hati. Entah keberanian dari mana ia dapat menanyakan pertanyaan itu secara gamblang. 

Adriaan menatap Marsih yang berada di pangkuannya saat ini, wajah mereka begitu dekat, hanya berjarak satu jengkal. Lama lelaki itu menatap mata Marsih, diam seakan tak ingin memberitahu apa alasannya membunuh wanita tua itu. Tatapan dingin aneh yang Marsih tak dapat mengerti, pikiran Adriaan itu sangatlah rumit, bagai labirin tanpa ujung. Membawa Marsih berputar-putar dalam jalan yang sama, tanpa tau arah.

"Karena aku mencintaimu," jawab Adriaan menggantung.

Jawaban aneh tak masuk akal dari Adriaan barusan membuat Marsih merasa tak puas. Apa maksudnya dengan cinta? Sungguh demi Gusti Pangeran Marsih tak dapat memahami apa yang pria ini katakan. Setidaknya jika Adriaan tak mau memberitahunya alasan mengapa ia membunuh Mbok Kalinem, berilah Marsih sebuah permintaan maaf. Hanya satu kata maaf yang ia inginkan.

"Aku tak mengerti ... bukankah cinta saling menyayangi? Bukankah cinta yang membuatmu merasa aman dan harus mengorbankan sesuatu jika perlu demi mereka? Cinta? Apa itu cinta?!" ucap Marsih sedikit berteriak.

"Nyai, aku melakukan ini untuk dirimu ... untuk melindungimu dari pengaruh buruk wanita tua itu!" Adriaan nampak mulai sedikit tersulut emosi.

Mata Marsih berkaca-kaca, berkilat karena pantulan cahaya yang mengenai air matanya yang belum jatuh. Pengaruh buruk macam apa? Apakah memperjuangkan kebebasan termasuk pengaruh buruk?

Marsih menggeleng pelan, "Kau tak seharusnya membunuh wanita tak bersalah seperti dia ...."

"Seperti yang kau katakan tadi, Nyai. Cinta butuh pengorbanan, dan kukorbankan Si Tua Kalinem untukmu."

Air mata yang sempat tertahan kini terjatuh. Pelupuk matanya seakan tidak sanggup lagi menahan bendungan air ketika Adriaan mengatakan hal-hal tak masuk akal.

"Kalau itu cinta yang kau maksud, Tuan. Aku tidak tertarik sama sekali dengan 'cinta' yang kau beri."

Marsih bangkit dari pangkuan Adriaan. Ia menggulingkan tubuhnya di sisi kiri kasur. Membalik badannya agar membelakangi Adriaan, menangis sendiri tersedu-sedu. Sementara lelaki itu dengan wajah datarnya meminum segelas wine yang tadi ia tuangkan. Tanpa merasa berdosa, pria itu hanya menatap punggung Marsih yang terisak, sembari sesekali menyesapi minuman beralkohol ini.

.oo0oo.

Ditunggu yuk mampir ke cerita "Surat Untuk Kahiyang"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro