Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Deklarasi Perang

Itu di mulmed Si Karso ya.... Btw part ini panjang kali gais, semoga gak bosen dan... Selamat membaca! 😃💅

....

Jemari lentik Marsih menyibakkan tirai abu-abu yang menutupi jendela kamar. Membuka jalan untuk cahaya matahari pagi masuk ke dalam. Membiarkan berkas-berkas cahaya kekuningan mengisi ruangan tidur ia dan Adriaan. Tak lupa Marsih juga membuka sedikit jendela dan menahannya dengan sanggaan besi supaya tak kembali tertutup. Dingin udara pagi semerbak masuk cepat ke dalam sana, membuat Marsih sedikit bergidig ketika semilir angin menyapa leher jenjangnya.

Sudah empat hari berlalu semenjak kematian Mbok Kalinem. Sudah empat hari pula Adriaan mengurung Marsih dalam kamar. Tidak memperbolehkannya keluar bahkan barang satu menit pun, membuat Marsih tidak dapat melakukan banyak hal karena tempat yang terbatas, ia hanya dapat membaca buku lalu terkadang menangis jika mengingat kedua orang tercintanya telah mati. Pembantu akan datang di jam-jam tertentu untuk membawa makanan dan kemudian pintu dikunci kembali dari luar. Namun hari ini, hari kelima, Adriaan membuka kunci pintu kamar, lelaki itu sudah memperbolehkannya keluar kamar, tapi tentu saja tidak keluar rumah.

Rasanya bagai menghirup sedikit udara kebebasan ketika kakinya menapak di lantai luar kamar, walau ia tak sepenuhnya bebas. Marsih dapat akui dirinya bagai burung dalam sangkar emas, ah, mungkin lebih dari sangkar emas. Rumah megah ini yang bisa jadi rumah terbesar di Kota Surabaya.  Ini adalah tempat ia terbelenggu, ia bagai burung dalam sangkar penuh kemewahan. Namun, akan menjadi bodoh rasanya jika ada seseorang yang mau tinggal disini bersama iblis seperti Adriaan. Kemewahan yang pria itu beri, dibayar dengan seberapa menderita batinmu disini.

Tubuh Marsih terasa berat, pundaknya pegal, dan seluruh tubuhnya sakit, layaknya ada yang menggelayuti di belakang, sepertinya Marsih tahu apa yang menggelayutinya. Penyesalan. Semua ini adalah ulah rasa sesal yang menyesakkan. Untuk beberapa hari pertama Marsih tidak dapat tertidur karena selalu memikirkan Mbok Kalinem. Memikirkan betapa bersalahnya ia akan kematian wanita tua baik hati itu. Lalu hari-hari berikutnya ia habiskan di dalam kamar penuh kesedihan, ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri yang bisa jadi membuat Mbok Kalinem terbunuh. Yang paling membuat sesak dada Marsih ialah, dirinya tidak tahu dimana dan bagaimana Mbok Kalinem dikuburkan. Apakah wanita itu dapat beristirahat dengan tenang?

Kaki jenjang Marsih berjalan, ia berniat mengunjungi Darmi, yang kata para pembantu lain dia tidak mau menyentuh makanan jika tidak dipaksa, dan sama sekali belum memakan sesuatu yang benar-benar ia telan. Tentu Marsih merasa khawatir pada Darmi, wanita muda itu pasti mengalami duka yang lebih mendalam dibanding dirinya karea Mbok Kalinem sudah ia anggap sebagai panutan dan ibunya sendiri.

Dulu Mbok Kalinem pernah bercerita, kalau Darmi tidak memiliki ayah mau pun ibu, dirinya hidup luntang-lantung sebatang kara sejak kecil. Kemudian secara tak sengaja ia dipertemukan dengan keluarga Adriaan, dan ia sudah bekerja kepada keluarga Adriaan sejak beberapa tahun lalu. Mbok Kalinem merupakan orang yang berperan penting dalam hidupnya, wanita itu membimbingnya penuh kasih sayang, sekaligus satu-satunya sosok terdekat Darmi yang dirinya dapat anggap sebagai ibu.

Menyedihkan memang kehilangan seseorang yang dicintai, Marsih paham sekali dengan itu. Kehampaan yang membuat dirimu mati rasa, namun dalam waktu yang sama, terasa sesuatu yang menyesakkan dalam dada. Ketidak mampuan dirimu menerima fakta menjadi hal yang aneh dengan otak yang mulai membayangkan bagaimana jika orang terkasih tidak mati? Fase itu berlanjut melalui tahap penyesalan, ditandai dengan seribu tanda tanya. Hingga pada akhirnya, kau akan menyentuh fase terakhir, yaitu mengikhlaskan. Tahap tersulit dari semuanya. Mbok Kalinem mengajarkan Marsih untuk ikhlas akan ibunya, tapi kini ia harus mengikhlaskan pula kepergian wanita itu.

Tangan Marsih mengetuk pelan pintu kamar pembantu, matanya melirik ke seorang pembantu muda yang ia tak kenal tengah memegang kunci kamar. Pembantu itu menyodorkannya kunci kamar jikalau Darmi tak membukakkan pintu. Marsih mengambil kunci itu, ia menatap dan melamun kecil membayangkan hal yang sama terjadi padanya beberapa bulan lalu.  Ia yang terpuruk akibat kehilangan keperawanan, dibantu oleh Mbok Kalinem dan Darmi yang memaksa masuk.

Tak ada jawaban, Marsih memutuskan untuk memaksa masuk dengan membuka kunci pintu. Tangannya mulai membuka kenop dengan perlahan, mendorong pintu kayu ini dengan lambat. Pandangannya tertuju ke ujung ruangan, disana terlihat sosok Darmi yang sedikit mengenaskan. Tubuhnya tampak sangat lemas, kantung matanya membengkak, tatapan mata juga kosong, Marsih sungguh prihatin dengan duka yang menyelimuti gadis ini.

"Dar, ini aku, Marsih," ucapnya lirih, langkahnya perlahan mendekati Darmi.

Darmi tak membalas perkataan Marsih, pandangannya entah terarah kemana. Marsih mengikutinya dengan duduk di sebelah Darmi, mengistirahatkan tubuhnya pada tikar anyaman bambu sederhana ini. Tangannya menyentuh pundak Darmi perlahan, tak lama ia mulai mengusap rambut hingga ke punggung Darmi, mencoba menenangkan gadis itu, sama seperti yang ibunya Jinem suka lakukan ketika ia sedih dahulu.

"Yang lain berkata padaku kalau kau tidak mau makan dengan benar. Mengapa? Kau harus makan makanan yang sehat supaya badanmu sehat juga."

"Kenapa Nyai kemari?"

"Apa maksudmu kenapa? Salahkah aku menemuimu?"

"Tidak, tapi ...," ucapan Darmi terputus, ia mulai menangis. "Rasanya aku mau mati saja Nyai," lanjutnya penuh isakkan.

"Hush! Jangan pernah membawa nama kematian," ujar Marsih mengingatkan.

"Kenapa? Kenapa dia tega melakukan hal keji ini pada Mbok Kalinem yang tidak bersalah?"

Marsih terdiam, mereka berdua tau apa jawaban dari pertanyaan Darmi. Keheningan menyapa keduanya, hanya tangisan kecil Darmi yang memenuhi ruangan sesak kamar pembantu ini.

"Sudah sudah ... jangan terlalu berlarut dalam kesedihan."

"Apa kau bilang, Nyai? Jangan berlarut-larut? Dirimu mungkin dapat dengan mudah melupakan kematian Mbok Kalinem, tapi aku tidak!" Darmi mulai meninggikan suaranya.

"Darmi, bukan begitu maksudku ...."

"Pasti kau senang bukan? Merasa jumawa akibat Tuan Adriaan tidak membunuhmu, tapi dia malah membunuh Mbok Kalinem yang tidak berdaya!"

Marsih menggeleng kencang, "Tidak, itu tak seperti yang kau bayangkan! Demi Tuhan aku tidak pernah terbayang akan hal itu barang sedetik pun!"

"Dusta! Kau tak tahu apapun tentang Mbok Kalinem yang aku sudah anggap seperti ibuku. Kau tak tahu apapun tentang kasih sayang ibu dan anak, Nyai?!"

Perkataan Darmi barusan membuat Marsih terdiam kaku. Apa yang wanita berkepang itu bilang membuatnya merasa tersinggung, namun dalam waktu yang sama membuatnya merasa sedih. Ia tertegun dalam, dengan pandangan tak percaya bahwa Darmi berkata demikian padanya. Ia paham betul keadaan Darmi, duka terkadang membuatmu menyalahkan seseorang atau bahkan dirimu sendiri sebagai mekanisme dalam penanggulangan rasa sedih.

Ruangan ini kembali hening, tak ada percakapan dan hanya isakkan tangis. Darmi menangis semakin dalam, sepertinya kedatangan Marsih membuatnya semakin sedih akan kehilangan Mbok Kalinem.

"Maafkan aku, Dar. Maafkan diriku yang sepertinya tidak bisa memahamimu. Kau sebelumnya selalu bertanya bukan, kenapa aku tidak memperbolehkanmu mengikuti setiap rencana yang akan aku dan Mbok Kalinem lakukan? Semua itu adalah ideku."

Darmi perlahan melirik ke arah Marsih, menandakan kalau dirinya tertarik akan apa yang Marsih katakan. "Tapi kenapa, Nyai?"

"Ada alasan mengapa aku melakukan ini, aku hanya tak ingin kau terlibat dalam kejadian-kejadian yang membahayakan dirimu nanti. Tentu saja Mbok Kalinem setuju dengan ideku yang tak mengizinkanmu ikut serta. Jiwa keibuan beliau melonjak tinggi jika itu sudah berhubungan dengan dirimu."

Wanita berkepang di samping Marsih ini sudah berhenti menangis.

"Kau tahu apa yang Mbok Kalinem sering bilang tentangmu? Dia berkata kalau dirimu itu, lugu, polos, dan ceroboh. Mendekati gampang terbodohi malah."

Darmi mulai tersenyum kecil, dirinya mengingat kalau Mbok Kalinem pernah mengatakan hal yang sama padanya.

"Kau boleh menyalahkanku, Dar. Kau juga boleh memaki diriku sampai kau puas. Tapi, jangan pernah mengatakan aku tak mengerti tentang rasa duka... Aku juga pernah kehilangan sosok ibu," lanjut Marsih serius, ia menoleh untuk menatap mata Darmi dalam.

Terkadang keheningan dapat jauh lebih berisik dibanding suara apapun. Kesunyian antara mereka, dua gadis muda yang sama-sama patah hati akibat kehilangan orang yang mereka sayangi. Tatapan keduanya menyiratkan rasa sakit mendalam yang tak dapat terlihat. Dua buah pupil mata hitam saling berbagi duka serta pilu.

Darmi memeluk tubuh Marsih cepat, yang langsung disambut baik oleh kedua uluran tangan Marsih. Darmi tak lagi menangis, walau ia masih sedikit terisak kecil pasca menangis tadi. Pelukan mereka sedikit melonggar, Darmi menatap mata Marsih.

"Maafkan aku, Nyai ...."

"Tak apa, jika aku jadi dirimu, aku juga akan menyalahkan seseorang yang sekiranya menyebabkan semua ini."

Darmi menunduk, merasa bersalah telah menuduh Marsih atas sesuatu yang dia tak lakukan. Kebodohan kadang datang pertama jika suatu masalah menyangkut tentang orang yang kau sayang.

"Biarkan aku membantumu, Nyai, aku saja yang akan menggantikan Mbok Kalinem pergi ke pasar setiap hari!" ucap Darmu dengan semangat.

"Tidak! Tidak untuk pergi ke pasar, terlalu berbahaya. Aku memang membutuhkan bantuanmu namun bantuan lain."

"Bantuan apa, Nyai?"

"Aku ingin kau menjadi diriku. Berpura-pura menjadi diriku."

"M-maksudmu, Nyai ... aku ...."

"Iya, kita akan bertukar tempat."

"Tapi bagaimana? Itu tampak mustahil untuk aku lakukan."

"Ada dua orang pembantu yang menjadi saksi kalau aku memasuki ruangan ini. Kita akan bertukar pakaian dan gaya rambut. Pakai selendang ini untuk menutupi wajahmu. Ketika sudah bertukar, kau dapat keluar dan langsung pergilah ke kamarku," jelas Marsih panjang.

"Aku takut, Nyai ...."

"Tenanglah, Adriaan tidak akan pulang hingga malam, aku sudah hafal jadwal kesibukan pria itu. Kau hanya berdiam diri saja di kamar dan jangan biarkan siapapun melihat wajahmu."

.oo0oo.

Marsih menyusuri gang kecil yang mengarah ke rumahnya dengan cepat. Langkahnya ia buat sesegera mungkin supaya ia dapat sampai secepat mungkin, tak ingin membuang waktu. Gubuk itu telah berada tepat di depan matanya. Pintu gubuk itu terbuka lebar, memang sebelumnya ia tidak mengunci gubuk ini, membiarkan gubuk lamanya menjadi tempat perkumpulan dan tempat rapat kecil-kecilan mereka.

Saat Marsih memasuki ruangan, ia dapat melihat Sugeng yang terduduk di ujung ruangan. Lelaki paruh baya itu tengah menyesapi sebatang rokok yang mengebul sembari duduk di sebuah kursi kayu. Tak jauh darinya juga terdapat Karso yang duduk lesehan, mengistirahatkan tubuhnya pada tikar bambu lusuh di tanah. Pria itu tengah mengasah sebuah golok berukuran sedang.

Pandangan keduanya sama-sama kini teralih pada Marsih yang berdiri tegap di kusen pintu. Pemandangan Marsih sedikit berbeda hari ini, ia tak menyanggul atau menyisir rambutnya, kini ia mengepang dua rambut panjang itu. Ia juga tak mengenakan kebaya mewah khas para nyai, ia hanya menggunakan kebaya lusuh dengan corak bunga yang sudah memudar. Perlahan Marsih melangkah dan mendekati kedua lelaki itu. Marsih dapat lihat bahwa hubungan mereka berdua tidak dekat, itu semua ditandai dengan jarak yang sedikit jauh dan rasa canggung saat tatapan mereka tak sengaja bertemu. Membuat Marsih seketika paham dan mengerti, kalau mereka tidak akrab, bisa saja saling membenci bahkan.

"Kenapa kau mencariku? Preman ini mengatakan kalau kau mencariku, ada apa, Mar?" tanya Karso sarkas dengan penekanan pada kata 'preman' yang ia ucapkan.

"Hati-hati dengan ucapanmu, dasar pemuda anarkis." Sugeng merasa tersinggung dengan itu dan menyindir balik ke arah Karso.

"Rupanya kalian saling tidak menyukai, ya?" gurau Marsih dengan satu senyum simpul melihat keduanya saling menyindir.

"Jika saja dia tak memulai, aku tak akan membalas."

Karso menutup senjatanya dengan sarung golok. "Entahlah, cepat katakan apa maksudmu memanggilku?"

"Aku butuh bantuanmu, Kang."

"Bantuan apa? Jika kau butuh uang, kau datang ke orang yang salah, Marsih."

Marsih mendengus pelan, "Tentu saja bukan uang. Ini ... aku membutuhkan bantuan, yang cuma kau yang dapat membantuku."

Sugeng melirik Marsih, dia sedikit memajukan tubuhnya tanda bahwa ia penasaran dengan bantuan macam apa yang Marsih inginkan dari Karso. Kepulan asap masih Sugeng hembuskan ketika keheningan menyapa ketiganya. Marsih seakan sengaja menggantung perkataannya. Membuat dua lelaki di hadapannya tenggelam dalam teluk rasa penasaran. Karso mulai menyilangkan tangan di depan dada, matanya menatap tajam Marsih.

"Aku ingin kau meracuni semua pejabat penting londoe yang menginap  atau tinggal di Hotel Simpang," ucap Marsih penuh rasa percaya diri.

Karso membulatkan matanya, mulutnya setengah ternganga karena tak percaya, tangan yang tadi berada di dada sudah turun lemas, tak percaya dengan apa yang Marsih minta barusan. Keadaan Sugeng juga tak jauh berbeda dari Karso, lelaki bertubuh besar berkumis itu terbelak tak percaya menatap Marsih dengan rokok yang hampir saja terjatuh dari selipan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Kau gila?!" tanya Karso sedikit emosi, urat-urat di kepalanya keluar saat dia mengatakan itu.

"Iya, aku memang sudah gila," balasnya dengan wajah datar.

Marsih membuka satu kancing teratas kebaya lusuhnya. Ia memasukkan tangan kanan ke dalam kemben yang tengah ia kenakan. Tak lama dari belahan buah dadanya, ia mengeluarkan satu botol berukuran kurang lebih sebesar ibu jari pria dewasa. Marsih melemparkan botol asing itu ke arah Karso, yang langsung ditangkap dengan cermat oleh lelaki itu.

Karso memandangi botol di tangannya, ia yakin inilah racun yang Marsih ingin ia gunakan pada hotel nanti.

"Tapi kenapa?" tanya Sugeng penasaran, apa alasan Marsih ingin meracuni para londoe itu?

"Kenapa tidak, Kang? Mereka menghancurkan hidupku, ini saatnya pembalasan. Mereka akan menderita sebelum kematian datang merenggut jiwa penuh dosa itu." Marsih menatap keduanya dengan tatapan tajam. "Oh iya, Kang. Taruh ini ke dalam bir atau wine yang ada disana. Dan ingat! Jauhkan dari jangkauan wanita dan anak-anak."

Karso mendengus tak percaya. Marsih kini benar-benar sudah mengeluarkan iblis dalam tubuhnya. Membiarkan iblis itu membalaskan dendam yang sempat tertunda. Wanita itu mungkin sudah kehilangan rasa empati pada kaum kulit putih, tak dapat merasakan apapun lagi karena rasa sakit yang terlalu mendalam.

.oo0oo.

"Tampaknya itu sakit." Marsih menunjuk sebuah perban luka di lengan Karso dengan lirikan matanya.

Dari perban yang sepertinya baru itu. Dapat Marsih duga kalau luka yang terbalut dibawah perban itu merupakan luka bekas kerusuhan pemberontakan kemarin, sepertinya lelaki ini turun tangan sendiri dalam pemberontakan itu.

Kini mereka tengah berjalan santai menuju dokar pribadi yang Marsih sewa secara diam-diam, Karso menemaninya berjalan pagi itu, sedangkan Sugeng telah pergi dengan urusannya sendiri. Setelah perdebatan dan rundingan alot antara ia, Sugeng, dan Karso, akhirnya mereka menyerah dan berjanji akan mengikuti rencana yang Marsih inginkan. Yaitu meracuni semua pejabat Belanda kaya yang suka mengadakan rapat penting di Hotel Simpang.

"Tidak juga, jauh lebih menyakitkan dirimu, yang kehilangan orang yang kau percaya."

Marsih memberhentikan langkahnya, bagaimana pria ini dapat tahu?  Apa ia mengetahui tentang kematian Mbok Kalinem juga?

"Apa maksudmu?"

"Kau tau apa maksudku, Mar. Aku merasa kasihan atas wanita tua itu."

"Katakan padaku, Kang. Sejauh apa yang kau tau tentang dia?" Marsih menyilangkan kedua tangannya di dada seraya menatap Karso.

"Tak banyak, aku tak melihat keberadaan perempuan tua itu disampingmu seperti kemarin. Sugeng bilang wanita tua itu yang menghubunginya tempo lalu, yang dimana dari situ aku dapat tau kalau dia adalah orang kepercayaanmu."

"Lalu?"

"Lalu, hari ini kau datang dengan perawakan yang suram, matamu membengkak, wajahmu nampak sayu. Ah, jangan lupakan kepangan rambut yang berantakan seperti terburu-buru. Dari sini dapat disimpulkan, kalau wanita tua itu mungkin tertangkap oleh majikanmu, jika tidak tertangkap, dia pasti pergi mengkhianatimu," canda Karso Mencoba menganalisis keadaan lewat penampilan Marsih saat ini.

Marsih mendengus sembari memutar bola matanya kesal, merasa tersinggung. "Pertama, aku akui penampakanku mengerikan hari ini. Kedua, tidak ada yang namanya majikan, Adriaan tak memiliku, kau lebih baik berhati-hati dengan ucapanmu. Ketiga, wanita tua yang kau bilang itu tidak akan mungkin mengkhianatiku." Marsih berjalan santai melenggok melewati tubuh Karso.

Alis kanan Karso naik perlahan, "Kau tersinggung rupanya, aku meminta maaf kalau begitu."

Langkah Marsih terhenti lagi, ia berpaling, "Oh iya, wanita tua yang kau sebut-sebut itu punya nama, namanya Kalinem, Mbok Kalinem. Dan dia ... sudah mati."

Karso tertegun, ia sepertinya sudah kelewatan dalam berbicara. Dirinya sebenarnya hanya ingin bergurau sembari menganalisis Marsih dan pembantu tuanya yang ia lihat tempo hari di pasar. Namun ia tidak tahu kalau pembantu yang sedari tadi mereka bahas, ternyata sudah meninggal. Rasa bersalah meliputi Karso saat ini, dia bukan hanya telah menyinggung Marsih, tapi juga menyakiti perasaannya.

Lelaki ini berusaha mengejar Marsih, tangannya terulur menyentuh tangan Marsih, mencoba menghentikan langkahnya.

"Sungguh Marsih, maafkan diriku yang kelewatan ini ... aku, tak tau tentang hal itu."

"Sudahlah, tak apa, ucapan maafmu tak akan membuat Mbok Kalinem bangkit dari kematian," ucap Marsih singkat.

Karso menatap Marsih, "Apakah lelaki itu yang melakukannya?"

"Siapa lagi menurutmu yang dapat menyakiti seseorang tanpa belas kasih selain dia?"

"Entahlah, sedari awal saat dia membawamu pergi dari hotel, firasatku padanya sudah tidak enak."

"Lalu mengapa kau tidak menghentikan dia saat itu?" tanya Marsih kesal pada Karso yang tidak menolongnya tempo hari.

"Dan membuatnya murka? Aku tidak bodoh, Marsih. Dari tatapannya saja semua orang dapat tau kalau dia terobsesi denganmu, kalau pun aku menghentikannya saat itu, dia punya sejuta cara untuk mengklaim dirimu. Lagi pula, aku tidak bekerja secara terang-terangan, dan para londoe lain yang ada disana pasti akan mencurigai diriku kalau aku menolongmu," jelas Karso berterus terang panjang.

Marsih mengangguk pelan, Karso jauh lebih cerdas dari yang dia bayangkan. Lelaki ini lebih memilih bermain pintar dengan melepaskan dirinya sebagai seorang nyai dibanding menolongnya lalu akan membongkar semua penyamarannya di hotel sana. Tapi kalau dipikir-pikir, jika dirinya tidak menjadi seorang nyai, Marsih tidak akan dapat menghentikan pembakaran pasar dan berjuang demi rakyatnya, demi kaumnya sendiri.

"Semua yang kau katakan benar, Kang. Lelaki itu tergila-gila padaku. Saking gilanya dia nekat membunuh orang terdekatku tepat di hadapanku," ucap Marsih lirih, ia menunduk dalam, rasa bersalah akan kematian Mbok Kalinem masih menggelayutinya.

"Kau menyalahkan dirimu sendiri, iya bukan? Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi disana, namun ... ini semua bukan salahmu, pria itu yang seharusnya merasa bersalah atas kematian Mbok Kalinem, bukan dirimu."

"Benar sekali, aku seharusnya lebih memikirkan hal itu. Aku harus memikirkan bagaimana untuk dapat bertahan dan membalas semua ini sebelum dia dapat membunuhku."

"Aku tak pernah berjanji sesuatu pada seseorang, tapi, aku berjanji padamu akan membantu apapun yang kau butuhkan demi kelancaran balas dendam, sekaligus mempertahankan pasar."

Marsih tertawa kecil, "Kini kau berlagak layaknya seorang pahlawan, Kang."

"Aku tak pernah mengakui diriku pahlawan," elak Karso cepat.

"Iya, aku tahu itu, tapi orang pasar lah yang memberimu gelar itu, bukan? Mereka tampak begitu percaya padamu, Kang."

"Hati-hati dalam mempercayai seseorang, Marsih. Banyak orang sinting di luar sana."

"Tentu, karena itu aku mempercayaimu. Sama seperti rakyat yang berada di pasar, aku juga mempercayaimu."

"Tapi kenapa? Kenapa kau mau mempercayaiku? Percaya pada orang yang bahkan tak menolongmu saat kau dibawa pergi oleh pria itu," tanya Karso berterus terang.

Tak menjawab, Marsih berjalan santai meninggalkan Karso dibelakangnya. Dokar sewaannya sudah berada tepat di pelupuk mata. Tangan Marsih menyentuh kenop pintu dokar, sesaat sebelum benar-benar masuk, ia berbalik. Memandang ke arah Karso yang kini telah berjarak beberapa meter darinya.

"Karena sepertinya hanya dirimu yang tetap menyebut namaku tanpa embel-embel 'nyai', itu hanya ... mengingatkanku kalau aku tetaplah Marsih yang sama seperti dulu. Mengingatkanku atas jati diri yang sebenarnya."

Dirinya meringsek masuk ke dalam dokar. Tanpa melihat ke belakang Marsih menutup pintu dan meminta kusir untuk menjalankan kereta kuda itu, meninggalkan Karso yang berdiri mematung memandangi dokar berisi Marsih yang berjalan pulang.

.oo0oo.

Sorry buat typo ya... Ngantuk wkwk :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro