25. Obrolan Dua Gelas Sirup
Kota Surabaya siang itu begitu terik, matahari dengan jumawa memamerkan sinarnya yang agung di permukaan bumi. Musim hujan yang kini tengah berlangsung menjadi sesuatu yang membingungkan dengan pancaran sinar panas matahari, mereka masih terbiasa dengan siang yang sedikit teduh dan temaram. Tapi kini orang-orang mau tak mau harus beradaptasi dengan musim peralihan ini. Karena musim kemarau akan datang.
Adriaan mengusap peluh yang hampir menetes dari dahinya, ruang kerja miliknya menghangat hingga membuat siapa pun yang berada di sana berekringat, tak khayal pula ia mengeluarkan peluh saat ini. Lelaki Belanda ini benci panas, terik, dan cahaya hangat yang di pancarkan oleh matahari. Jauh berbeda dengan diri Marsih yang membenci hujan, dua jiwa yang bertolak belakang.
Sedari tadi raut wajah pria itu begitu serius, membaca secarik kertas surat di tangannya dengan wajah yang penuh emosi. Entah apa yang tertulis disana, namun sudah pasti itu adalah hal yang sukses membuat amarah pria itu memuncak.
Suara ketukan pintu kecil membuyarkan konsentrasi Adriaan yang tengah membaca sebuah surat. Pandangan pria ini teralihkan dengan pintu yang mulai terbuka perlahan-lahan, lalu tampaklah Marsih berkebaya biru corak bunga dengan sebuah nampan berukuran sedang di tangannya. Di nampan itu terdapat dua gelas sirup dingin lengkap dengan es batu, minuman yang sempurna kala teriknya matahari.
"Aku membuatkanmu sirup ini, Tuan," ujar gadis itu dengan berhati-hati memindahkan satu gelas persatu gelas berisi sirup itu ke atas meja.
Adriaan tersenyum simpul, "Kau tak perlu repot-repot melakukan ini, Nyai."
"Melakukan apa? Menyediakanmu minuman? Ah sudahlah, ini sudah kewajibanku."
"Bagaimana kau tahu aku menginginkan minuman dingin? Seakan dapat membaca pikiranku saja."
"Entahlah, Tuan. Hanya tebakan naluri seorang wanita yang ternyata benar, lagi pula ... minuman dingin di siang yang panas begini, bukankah sempurna?"
"Tentu saja, kau begitu memahamiku, Nyai. " Adriaan sedikit meremas secarik surat yang ia genggam saat itu.
Keduanya pun mulai meminum es sirup yang bewarna kemerahan dengan beberapa potongan buah melon segar di dalamnya, benar-benar minuman yang cocok ditenggak sebagai pendingin suhu tubuh akibat panas matahari.
Mata Marsih sesekali menelisik ke arah meja kerja Adriaan yang ternyata kosong tak ada apapun. Bukan tanpa alasan ia membuatkan lelaki ini es sirup, minuman itu hanya sebagai alibi untuk Marsih supaya dirinya dapat menyelidiki ruang kerja lelaki ini.
Beberapa purnama telah berjalan begitu saja semenjak terakhir kali gadis ini masuk dan mencari tahu apa yang Adriaan tengah lakukan dalam ruang kerjanya. Namun itu semua berubah ketika suatu hari kunci duplikat yang gadis ini miliki menghilang. Tak sampai disitu, pintu ruang kerja Adriaan juga sudah ditambah dengan satu buah kunci baru yang membuat Marsih tidak mungkin dapat masuk lagi ke dalam ruangan, kecuali ketika saat Adriaan juga berada di dalam.
Apakah pria ini mencurigainya? Tapi mungkinkah? Setau Marsih ia selalu bermain pintar dengan tidak meninggalkan satu jejak pun yang dapat membuatnya ketahuan, lantas kenapa pria ini bersikap sedikit aneh dari biasanya?
"Aku dengar, Alysia telah sampai ke Netherland, apakah benar?" tanya Marsih membuka percakapan santai mereka siang itu.
Kabar burung tentang sampainya Alysia dan keluarga Dylan telah terdengar hingga ke telinga para pembantu, entah dari mana tepatnya mereka dapat tahu hal itu. Sekembalinya Alysia sebenarnya tidak dianggap pusing oleh Marsih, toh wanita itu tidak ada hubungannya dengan rencana dirinya menghentikan Adriaan membakar pasar. Dirinya melakukan hal ini semata-mata untuk berbasa-basi pada lelaki ini sebelum akhirnya ia mengorek informasi.
"Kau sudah mendengar kabar itu rupanya. Puji Tuhan, mereka sampai dengan selamat."
"Iya, untunglah mereka dapat selamat sampai tujuan," tukas Marsih menyesap satu tenggak sirup di tangannya, "Tapi Tuan, kalau boleh tahu ... mengapa kau mengirim Alysia dan keluarga Dylan pergi kembali?"
"Kenapa tidak? Alysia sepertinya merindukan tanah kelahirannya, dan siapa tahu keluarga Vermehr juga begitu. Lagipula mereka bisa mengacaukan rencanaku jika mereka tetap disini."
Marsih tertegun, Adriaan rupanya ingin menyingkirkan keluarga Vermehr dengan mengirim mereka pulang, "Bukankah keluarga Vermehr adalah keluarga yang terpandang? Bagaimana kau bisa meyakinkan mereka untuk pulang?"
"Apakah ada hal yang tidak bisa aku lakukan?" Adriaan tersenyum licik, surat yang tadi ia genggam jatuh ke lantai.
Marsih terdiam, tak membalas pertanyaan pria itu yang menyombongkan dirinya. Gadis ini mulai mengikuti alur permainan Adriaan, sungguh lelaki licik, Marsih harus mengetahui apa rencana lelaki ini memulangkan keluarga Vermehr, suasana memanas dengan Marsih yang tak lama kemudian ikut tersenyum menyunggingkan bibirnya.
"Katakan padaku, Meneer ... apa yang telah kau perbuat pada mereka?"
Marsih menghampiri Adriaan, ia mendekati lelaki berjas hitam itu yang tengah duduk manis di kursi kerjanya. Dengan berani Marsih mengangkat jarik miliknya hingga setinggi paha, urat malu wanita itu seakan sudah putus hilang entah kemana demi kelancaran aksinya. Satu detik kemudian Marsih sudah mendudukan tubuh rampingnya dipangkuan Adriaan, masih dengan segelas sirup yang tergenggam manis di tangan kanannya.
"Rupanya, Nyai-ku adalah wanita yang penasaran. Berhati-hati, rasa penasaran yang besar dapat membunuhmu."
"Tentu aku tahu itu, jadi ... bagaimana kau bisa meyakinkan mereka?" Marsih menenggak habis sirup itu perlahan, tatapan matanya menatap lurus ke pupil mata Adriaan, memberikan lelaki ini pemandangan yang sensual.
"Tidak sulit, aku hanya memanfaatkan kebodohan Dylan yang dibutakan oleh cintanya pada Alysia."
"Dylan?"
"Iya, pria bodoh itu mau saja aku suruh menjual aset ayahnya sendiri padaku sebagai mahar untuk pembuktian cinta. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menguasai semua kepemilikan mereka. Setelah itu terjadi ... boom! Semua ini sudah jatuh ditanganku."
Marsih mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda kalau ia sudah mengerti.
"Kasihan Tyson, pria tua malang itu tak tahu menahu kalau anak lelaki bodohnya menjual semua aset keluarganya padaku, ah lebih tepatnya memberikannya secara cuma-cuma padaku, sebagai upaya menikahi Alysia. Tyson pun pasrah saat aku mengatakan kalau aku akan mengirim mereka semua pergi kembali ke Netherland," kata Adriaan diselingi dengusan nafas yang seakan merendahkan.
"Bagaimana dengan Alysia?"
"Betapa beruntung diriku, Alysia ternyata juga mencintai si bodoh Dylan. Jadi bukan masalah serius untukku menikahkan mereka berdua."
"Kau sangat cerdik, Tuan ...," desis Marsih, tak lama wanita itu mengecup bibir Adriaan pelan.
Adriaan segera menahan kepala Marsih yang ingin melepaskan ciuman mereka. Dengan nafsu lelaki itu menggigit kecil bibir bagian bawah Marsih, melumat serta mengecupnya penuh emosi. Marsih akhirnya dapat melepaskan ciuman mereka sebelum dirinya kehabisan nafas.
Deru nafas terengah-engah keduanya menjadi pengisi suara di ruangan kerja yang hening ini.
"Manis ... bibirmu manis, Nyai." seutas senyum lelaki itu kembangkan setelah mengatakan hal itu.
Ibu jari Adriaan terulur menyentuh bibir tipis ranum Marsih, mengusapnya perlahan penuh kasih sayang. Matanya hanya terfokus pada betapa indahnya bibir Marsih.
"Sepertinya aku harus kembali ke dapur, aku sudah terlalu lama menemanimu disini. Lagi pula sirup kita berdua sudah habis," elak Marsih berusaha mengundurkan diri dari permainan lebih lanjut yang bisa saja mereka berdua lakukan.
Tangan Adriaan menahan tangan Marsih, menggenggamnya kuat, "Untuk sementara ... kau tidak akan aku perbolehkan ke pasar, Nyai."
"Memangnya kenapa?" tanya Marsih, kedua alisnya bertaut.
"Ikuti saja dan jangan membantah, tidak adalah tidak." Adriaan menatap dalam mata Marsih.
Marsih tidak bodoh, ia tau apa yang dikatakan pria itu barusan adalah sebuah ancaman. Dengan segera Marsih turun dari pangkuan Adriaan setelah pria itu melepaskan tangannta. Ia merapihkan jariknya yang sedikit kusut akibat terlipat saat menaiki tubuh lelaki itu tadi. Gadis itu mengambil nampan yang tadi sempat ia bawa, tangannya cekatan mengunpulkan dua buah gelas dan meletakkannya di atas nampan.
Marsih berjalan menjauhi Adriaan setelah tersenyum kecil sebagai tanda pamit. Wanita itu membuka pintu dengan tangan kirinya yang kosong dan pergi meninggalkan ruangan ini.
Adriaan menatap kepergiaan Marsih dalam diam. Pria itu menghembuskan nafas berat, dua lengannya ia lipat ke depan dada. Lirikan matanya terarah ke bawah lantai ruang kerjanya yang beralaskan karpet beludru hitam. Disana terdapat satu lembar surat yang tadi sempat ia jatuhkan dengan sengaja.
Secarik surat singkat dari toko obat Cina di Pasar Kodi. Surat bertuliskan tulisan tangan Koh Liu, pria tua penjaga toko itu. Disana terulis jelas bahwa Marsih dan seorang pembantu tua memasuki tokonya beberapa bulan lalu dan menanyakan tentang obat yang Adriaan pernah pesan. Koh Liu disana juga mengatakan kalau dirinya mencurigai Marsih serta pembantunya itu.
Sekali lagi Adriaan menghembuskan nafas berat, pikirannya melayang jauh, membayangkan sesuatu. Lebih tepatnya membayangkan dengan apa dirinya harus menghukum Marsih.
.oo0oo.
Marsih menutup pintu ruang kerja Adriaan dengan perlahan. Setelah pintu tertutup sempurna, ia segera menyerahkan nampan berisi gelas itu pada Mbok Kalinem yang sedari tadi berada tepat di depan ruangan itu, menunggu Marsih dan tentunga menguping pembicaraan keduanya.
Langkah Marsih berjalan cepat menelusuri lorong, pikirannya terbawa tentang percakapannya dengan Adriaan tadi. Bagaimana bisa lelaki itu melakukan hal keji ini pada keluarga Vermehr hanya demi kekuasaan? Lagi pula, secara tidak langsung Adriaan menjual Alysia pada keluarga Vermehr sebagai ganti atas kekuasaan dan harta yang ia miliki sekarang, setega itu ia menjual adik kandungnya sendiri.
Sungguh perkataan Tuan Tyson Vermehr tempo lalu di pesta pernikahan benar. Adriaan bukanlah laki-laki biasa, ia adalah pria licik yang haus akan kekayaan dan jabatan. Dan kini sepertinya lelaki itu tengah mencurigai salah satu aksi yang pernah ia perbuat dengan melarangnya pergi ke pasar. Marsih harus berhati-hati pada Adriaan, ekstra berhati-hati.
.oo0oo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro