24. Tangisan Tengah Malam
"Apa kau sudah minum jamu yang aku berikan tadi?" tanya Mbok Kalinem serius pada Marsih.
"Sudah, sudah kuhabiskan juga," jawab Marsih.
"Baguslah, jamu itu akan menjaga tubuhmu agar tidak hamil. Aku akan memberikanmu jamu itu setiap hari."
Marsih mengangguk untuk membalas permintaan Mbok Kalinem yang menyuruhnya untuk meminum jamu racikan khusus setiap hari. Entah jamu itu akan bekerja atau tidak, yang pasti setelah berhubungan dengan Adriaan, saat pagi dirinya segera mencuci daerah kewanitannya dengan air berkali-kali, sembari berharap tidak ada satu buah sperma pun yang akan membuahi rahimnya.
"Aku masih tak percaya meneer memperbolehkanmu pergi ke pasar, Nyai," ujar Darmi.
"Dia memang tidak memperbolehkanku tadinya, dia berkata aku harus beristirahat setelah semalam. Tapi aku memaksa dan dia menyerah," jelas Marsih panjang.
Mereka kini tengah berada di pedati, kali ini bukan untuk berbelanja. Tapi Marsih pergi kesana untuk menemui Sugeng. Preman pasar itu pasti dapat membantunya untuk menemukan Karso, Marsih membutuhkan bantuan pria itu sekarang. Lalu disinilah ia bersama kedua pembantunya, berbohong pada Adriaan dengan alasan untuk membeli beberapa kain jarik baru yang Marsih butuhkan.
"Um ... apakah sakit?"
"Apanya?"
"S-saat pertama kau melakukannya dengan meneer, apakah sakit?" tanya Darmi polos yang ingin tahu yang besar.
Marsih menengok dan segera menyentil dahi Darmi dengan gemas, mencoba menghilangkan pikiran kotor dalam otak pembantu muda itu dengan satu buah sentilan. Darmi segera memegangi dahi kepalanya yang sedikit sakit akibat sentilan kecil Marsih.
"Kau tidak seharusnya membicarakan itu di umurmu yang segini," balas Marsih dengan senyum jahil, padahal jarak usia mereka hanya dua tahun lamanya.
"Aku kan hanya ingin tahu," desis Darmi, ia mengerucutkan bibirnya kesal seraya masih memegang dahinya.
Marsih tertawa kecil mendengar cibiran gadis berkepang itu, "Nanti kau akan tau jika sudah bersuami. Tunggu saja sampai saat itu ya?" canda Marsih.
"Sakit, tapi hanya sebentar, itu adalah proses pendewasaan diri," celetuk Mbok Kalinem menjawab rasa penasaran Darmi.
"Kalau begitu aku tak mau jadi dewasa, pasti akan sakit." Darmi menggelengkan kepalanya kuat, menolak untuk menjadi orang dewasa.
"Kita ini wanita, kita harus kuat. Laki-laki mungkin akan mudah mengalami pendewasaan, mereka hanya mendapat mimpi basah lalu selesai. Sedangkan wanita? Menstruasi pertama menyakitkan, kehilangan keperawanan menyakitkan, apalagi saat nanti kamu melahirkan, sakitnya itu luar biasa," ucap Mbok Kalinem pelan, namun hal itu terdengar seperti mimpi buruk ditelinga Darmi.
"Jadi wanita itu sungguh melelahkan," desah Darmi mengeluh, tak terima jika perempuan mendapatkan rasa sakit lebih banyak dibanding laki-laki, tapi laki-laki masih suka menganggap dan memperlakukan perempuan lebih lemah dari mereka.
"Itu adalah harga dari sebuah kehidupan. Semua itu akan terbayar saat kau pertama kali melihat wajah anakmu nanti. Maka dari itu, seperti yang aku katakan tadi, jadi wanita haruslah kuat. Jangan mudah tertindas oleh lelaki hanya karena mereka merasa lebih berkuasa," ujar Mbok Kalinem memberikan nasihat panjang.
Marsih hanya diam membisu menatap ke arah jendela luar pedati, sembari telinganya menangkap semua percakapan penuh makna antara kedua pembantunya ini. Pedati mulai berjalan melambat, mereka kini telah sampai di Pasar Kodi, pasar yang memiliki jutaan kenangan bagi Marsih. Seperti biasa Mbok Kalinem keluar pertama dari pedati dan diikuti dengan Marsih lalu Darmi.
Tiba-tiba tangan Darmi ditarik oleh Marsih, wanita itu menaruh cukup banyak uang di genggaman Darmi. Wanita berkepang ini mengerutkan dahinya pelan, apa maksud Marsih memberikan ia uang sebanyak ini?
"Kau carilah kain jarik, aku tak peduli dengan model atau bahan, semuanya sama saja, jadi tak usah repot memilihkanku sesuatu. Aku dan Mbok Kalinem akan pergi ke suatu tempat berdua, lebih baik kau tidak ikut dan pergi berbelanja saja," jelas Marsih panjang menyuruh Darmi agar tidak ikut urusannya karena kemungkinan dapat berbahaya untuk gadis itu.
"T-tapi Nyai, biarkan aku ikut dengan kalian," pinta Darmi.
Marsih menggeleng kuat, "Tidak, tidak aman jika kau ikut bersama kami. Bantu aku dengan membeli jarik, itu sudah cukup. Oh iya, belikanlah dirimu sesuatu juga, ya!" tolak Marsih tegas, ia tak mau membuat Darmi berada dalam posisi sulit, mengingat yang mereka akan temui adalah Sugeng, pemimpin preman pasar.
Darmi mendecih kesal diam-diam, Marsih selalu saja seperti ini. Wanita yang ia sudah anggap kakak perempuannya sendiri ini selalu membuatnya merasa seperti anak bawang.
.oo0oo.
Marsih berjalan lambat menyusuri gang kecil di area dekat gubuk lamanya, dibelakangnya diikuti oleh Mbok Kalinem. Keduanya membisu, tak ada satu patah kata pun yang terucap, mereka berdua seakan sama-sama mengerti kalau ini bukanlah saat yang tepat untuk berbicara.
Pikiran Marsih terbawa saat ia mengenang kenangan menyenangkan ia dan ibunya saat menyusuri gang ini. Sebuah jalan sempit yang kerap becek oleh hujan inilah saksi kebersamaan masa kecilnya dan Jinem, ibu yang sangat ia cintai. Marsih kecil akan berlari riang bermain air yang tergenang lalu dibelakangnya berjalan Jinem yang memegang bakul berisi onde-onde tersenyum melihat anak gadisnya. Dada Marsih sesak, seperti ada yang memaksa keluar, pilu rasanya mengingat kenangan yang menyedihkan ini, sungguh ia rindu dengan keberadaan sang ibunda.
Tangan Marsih membuka grendel pintu gubuk lamanya dan terbukalah pintu itu perlahan. Terpampanglah satu petak ruangan sempit tempat ia dulu tinggal bersama Jinem. Semua masih sama, berada di tempat yang sama sejak terakhir kali Marsih datang kemari. Langkahnya masuk dengan gusar, kakinya yang lemas jatuh terduduk di hadapan kasur. Tangannya dengan lambat menyentuh seprai putih ranjang itu, alas yang terakhir kali ibunya tiduri saat meninggal.
Marsih ingin sekali menangis saat ini, namun anehnya tak ada air mata yang menetes, ia tak bisa mengeluarkan air mata. Dirinya hanya terdiam mematung memandangi jemari tangan kanannya meraba-raba seprai putih ini. Dada Marsih semakin sesak, seakan ada benda yang semakin hari semakin ingin meringsek keluar. Ia menarik seprai putih lusuh itu dan memeluknya erat, mendekapnya di dada, berhalusinasi membayangkan itu adalah sang ibu yang tengah berpelukan hangat dengannya. Wajah Marsih datar tanpa ekspresi sedikit pun, namun hatinya berkecamuk saat ini, air mata masih tidak dapat turun, seperti sudah habis terkuras malam itu. Mbok Kalinem tak berani mengambil tindakan, ia paham betul duka yang tengah gadis ini rasakan dan memutuskan hanya diam menatap Marsih memeluk seprai itu.
Satu ketukan pintu menyadarkan Marsih kembali, bagai orang yang baru saja sadar dari tidurnya, tubuh Marsih tersentak kecil. Ia segera bangkit dari posisi duduk, kepalanya menoleh ke belakang, terpampanglah lelaki tinggi besar yang berada tepat di depan pintu, itu Sugeng, rupanya pria itu yang tadi mengetuk pintu. Mbok Kalinem sebelumnya telah meminta Sugeng untuk menemui Marsih hari ini di gubuk lamanya, dan disinilah ia sekarang.
"Maaf aku tak berniat menganggu," ucap Sugeng pertama kali, dia sedikit merasa bersalah telah menganggu kekhusyukan Marsih memeluk sebuah seprai.
"Tak apa, lagipula aku tak seharusnya melamun, kita tidak punya waktu banyak."
Sugeng mengangguk pelan mengiyakan perkataan Marsih. Lelaki besar berkumis tebal itu sedikit berubah, sifatnya yang dulu mesum dan kerap menjahili Marsih telah sepenuhnya pergi, kini hanya tersisa lelaki tinggi besar yang akan siap ia jadikan bawahan. Entah apa yang telah terjadi pada Sugeng sehingga ia berubah sedemikian rupa, namun yang Marsih tahu, semenjak malam kematian ibunya, saat Sugeng dan beberapa kawannya membantu Marsih menguburkan jasad, sikap lelaki itu semakin aneh, seakan segan dan takut padanya.
"Apa yang kau inginkan, Marsih?" tanya Sugeng tak lama kemudian.
"Aku membutuhkan bantuanmu, Kang." Marsih menatap mata Sugeng dalam, terdapat amarah tertentu yang tidak dapat dijelaskan di dalam mata hitamnya itu. "Aku mencari seseorang," lanjutnya.
"Siapa?"
"Karso, namanya Karso."
Wajah Sugeng tampak sedikit terkejut akan hal itu, satu alisnya terangkat ke atas saat ia mengetahui kalau Marsih mencari lelaki itu.
"Kenapa kau mencarinya?" tanya Sugeng penasaran.
"Sepertinya kau mengenal lelaki itu," balas Marsih tak menjawab pertanyaan Sugeng.
"Yah, aku tak tau banyak tentang lelaki bernama Karso itu. Tapi orang-orang, seperti para pedagang pasar memujanya, menganggap pria itu pahlawan," ucap Sugeng sembari mengendikkan bahunya pelan.
"Maksudmu pahlawan?"
"Lelaki itu kerap membantu mereka para pedagang dari jarahan tentara Belanda yang suka mengusik pasar semena-mena. Si Karso itu, dia yang pertama kali berani melawan, sejak saat itu tentara Belanda tak ada lagi yang iseng menjarah pasar seenaknya."
Marsih tertegun, ia tidak tahu Karso yang ia kenal memiliki reputasi yang cukup baik dikalangan rakyat pribumi. Ia juga tidak mengetahui kalau Karso dapat seberani itu menghadapi tentara-tentara nakal.
"Tampaknya dia orang yang sangat penting. Aku ingin kau mencarinya."
"Tapi kenapa?" tanya Sugeng sekali lagi menanyakan apa tujuan Marsih sebenarnya.
"Kau akan tahu nanti, Kang." Marsih segera menyodorkan satu kantung berisi beberapa gulden yang akan membuat pria itu berhenti untuk bertanya lebih jauh.
Setelah memberikan uang, Marsih segera melenggok pergi meninggalkan Sugeng yang terdiam dengan seribu tanda tanya di kepalanya serta sekantung uang ditangan.
.oo0oo.
Sudah lebih dari satu jam lamanya Marsih tak dapat tertidur, ia hanya menggulingkan tubuhnya kesana kemari dengan risau, seperti ada perasaan mengganjal di hatinya yang harus ia keluarkan. Marsih memutuskan untuk duduk dari posisi terbaring sebelumnya, ia melirik ke arah Adriaan yang tertidur pulas memunggungi dirinya.
Marsih memijat keningnya pelan, kepalanya terasa berat dan pusing entah karena apa. Tangan kanannya terulur mengambil sebuah kain jarik dan mulai menutupi seluruh tubuhnya yang polos dengan kain itu. Marsih mengambil satu buah kain lagi untuk menutupi pundaknya yang terbuka supaya menghalau angin malam yang dapat membuatnya sakit.
Langkah kakinya pelan-pelan mulai beranjak meninggalkan kamar, setelah memastikan kalau Adriaan tidak akan terbangun. Marsih berjalan di lorong yang gelap ini dengan sebuah lampu petromaks di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannnya menggengam satu buah buku tentang Legenda Candi Prambanan.
Ia kini tengah mencari sosok Mbok Kalinem, dan ia tau betul dimana wanita tua itu berada saat ini. Punggung tangan Marsih mendorong pintu dapur dengan perlahan, satu senyuman ia sunggingkan saat melihat punggung Mbok Kalinem, wanita itu tengah duduk membelakanginya sembari mengupas kacang tanah.
"Mbok?" panggil Marsih pelan.
"Kenapa kau kemari, Nyai?" tanya Mbok Kalinem menanyakan apa yang Marsih inginkan di dapur tengah malan buta.
"Aku tak bisa tidur, tubuhku lelah, tapi tampaknya pelupuk mataku tidak."
Marsih mendudukkan tubuhnya di samping Mbok Kalinem. Ia menaruh lampu petromaks serta buku yang ia bawa di depannya. Tangan Marsih cekatan mencoba membantu Mbok Kalinem mengupas kacang. Tapi tangan Marsih tertahan oleh tangan Mbok Kalinem yang melarangnya.
"Ndak usah, Nyai, biar aku saja," tolaknya halus.
"Tidak, Mbok aku--"
"Ndak usah, Nyai ... aku tau kenapa kau tak dapat tertidur," ucapnya menggantung, Mbok Kalinem menatap mata Marsih dalam. "Kau memikirkan simbokmu kan?" sambungnya pelan.
Marsih terdiam seketika, mata sayunya menatap mata tegas Mbok Kalinem. Tanpa sadar mata marsih mulai berkaca-kaca, bagai air tertahan tanggul dan dapat turun kapan saja. Gadis ini tertunduk cepat, air mata mulai mengalir, awalnya hanya satu bulir, lalu turun bulir lainnya, dan kemudian disusul isakkan tangis serta air mata yang semakin banyak.
Mbok Kalinem menyingkirkan bakul kacang, ia mengusap-usap punggung Marsih halus, berusaha menenangkan gadis muda ini.
"Aku tahu banyak sekali kenangan yang tertinggal di gubuk sana ... aku juga tahu kau masih tidak ikhlas atas kematiannya, tapi Nyai ... apa kau pikir simbokmu akan senang dengan ini?"
Tangis Marsih pecah semakin kencang, Mbok Kalinem benar, apakah dendam yang tengah ia lakukan ini akan membuat ibunya kembali ke pelukannya? Tentu tidak bukan. Dan semua yang ia lakukan demi sang ibu, padahal jauh dalam lubuh hatinya ia tidak ikhlas akan kematian sang ibunda, apakah Marsih tergolong anak yang durhaka untuk ini? Tanpa ia sadari semakin lama dirinya mulai dibutakan oleh pembalasan dendam.
"Relakan dia, Nyai ... buat dia tenang dengan kepergiannya," ucap Mbok Kalinem halus.
Untuk beberapa saat hanya tangis dan isakkan pilu Marsih yang menggema di seluruh ruangan ini. Keduanya hening, malam dingin langit Surabaya seakab memeluk keduanya. Marsih nulai dapat mengendalikan tubuhnya kembali, ia mendangakkan kepalanya.
Mbok Kalinem mengusap air mata yang masih membekas di wajah jelita Marsih, tangannya menyentuh halus permukaan pipi Marsih yang kemerahan. Berusaha membuang semua kesedihan yang ia rasakan saat ini.
"Wis wis ... cah ayu ndak boleh nangis terlalu berlarut-larut ...."
"Terimakasih, Mbok," ucap Marsi lirih, suaranya sedikit bergetar saat mengatakan hal itu.
"Untuk apa? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, Nyai."
Marsih memeluk tubuh gempal wanita tua itu, pelukan itu dibalas dan disambut baik oleh Mbok Kalinem, sebuah pelukan hangat yang sudah lama Marsih butuhkan. Setelah berpelukan Marsih mulai menidurkan kepalanya di paha Mbok Kalinem, ia mengistirahatkan tubuhnya di pangkuan wanita tua yang kini ia sudah anggap sebagai ibu.
"Jarik dan tanganku lusuh, nduk ... nanti kamu bisa ikut kotor kalau begini."
"Aku tak peduli, aku ingin terus seperti ini," ucap Marsih, ia telah nyaman menggunakan paha Mbok Kalinem sebagai bantal sandaran.
"Dengarkan, aku tahu kau tidak menyukai Tuan Adriaan karena pembalasan dendam untuk simbokmu, tapi aku tidak ingin kau berjuang untuk orang mati. Berjuanglah untuk dirimu sendiri, dan orang-orang tidak berdaya lainnya di pasar sana," jelas Mbok Kalinem panjang, menasihati Marsih untuk langkah-langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Marsih membisu, mendengarkan Mbok Kalinem yang menasihatinya. Sesaat kemudian ia mulai membuka suara, "Nggih Mbok, aku akan berjuang demi diriku dan orang lain!"
"Gadis pintar ...," puji Mbok Kalinem mengusap kepala Marsih pelan.
Saat Mbok Kalinem akan mengangkat tangannya lagi, Marsih menahannya. Ia menahan tangan wanita tua itu untuk tetap mengelus keningnya pelan, membelainya penuh kasih sayang. Mbok Kalinem pun melanjutkan untuk mengelus pelan kepala Marsih. Gadis ini mengulurkan tangannya untuk mengambil buku yang tadi sempat ia bawa dan melanjutkan membacanya sebelum tidur.
"Buku apa itu, Nyai?" tanya Mbok Kalinem penasaran, ia buta huruf tak tahu menahu caranya membaca tapi ia penasaran akan apa yang Marsih baca.
"Salah satu buku kesukaanku, tentang Putri Roro Jonggrang dan Pangeran Bandung Bondowoso, Mbok."
"Ah, Candi Prambanan, ya? Simbokku dulu suka mendongengkan cerita itu juga sebelum kami terlelap," ujar Mbok Kalinem.
Marsih mengerlingkan matanya semangat, ia menutup buku itu cepat, "Kalau begitu, ayo Mbok ceritakan padaku tentang kisah ini!"
"Untuk apa, Nyai? Kau kan sudah pintar membaca."
"Tidak, aku ingin mendengarkan kisah ini langsung darimu Mbok!" tukas Marsih semangat.
Mbok Kalinem mengela napas pelan, wanita tua itu tersenyum. Kemudian Mbok Kalinem mulai menceritakan Marsih kisah tentang Legenda Candi Prambanan seperti ibunya dulu suka membacakannya. Marsih bagai anak kecil yang meringkuk bahagia mendengar wanita tua ini memulai kisahnya.
Di malam Kota Surabaya yang dingin itu, Marsih dengan seksama membuka semua telinganya untuk mendengarkan cerita Mbok Kalinem, memperhatikannya seksama sembari tangan wanita tua itu membelai kepalanya halus. Hingga tak sadar, kantuk mulai menguasainya dan ia tertidur pulas dipangkuan Mbok Kalinem.
.oo0oo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro