23. Kembalinya Kawan Lama
Marsih menengok ke arah luar jendela yang tampaklah langit malam tanpa bintang. Awan-awan gelap menyelimuti langit, sepertinya hujan akan turun lagi. Tangan gadis ini menutup jendela itu, sebagai antisipasi jika hujan turun dan untuk mencegah angin malam masuk ke dalam ruangan.
Suara pedati kereta kuda Adriaan sudah mendekati ke kediaman mereka. Marsih merapihkan kebaya kuning yang kini tengah ia pakai. Ia sudah berdiri tepat di depan pintu utama siap untuk menunggu kedatangan Adriaan.
Tak lama kemudian munculah Adriaan yang berjalan cepat ke arahnya, kedua tangan pria itu ia rentangkan lebar. Marsih mengerutkan dahinya, apa rencana yang akan pria ini lakukan? Pria itu semakin dekat dengan Marsih lalu Adriaan memeluk gadis itu sangat erat.
Dalam pelukan itu Marsih dapat mencium bau alkohol dari tubuh pria itu, tampaknya ia tengah mabuk. Apakah pria ini selalu pulang dengan keadaan mabuk? Menjijikan. Marsih dengan canggung membalas pelukannya, sembari kedua tangan ia tepuk-tepukkan pelan pada punggung pria ini.
"Aku rindu padamu, Nyai," ucap Adriaan dengan tiba-tiba.
"Iya, aku juga merindukanmu, Meneer," balas Marsih bohong tak lupa dengan seutas senyuman.
Adriaan memegang kedua lengan Marsih, tangan besar lelaki itu seakan mengikat kedua tangan gadis ini kuat. Anehnya, pria ini hanya tersenyum, menatap ke arah mata hitam pekat Marsih. Tak banyak yang dapat ia lakukan selain membalas senyuman Adriaan dengan melakukan hal yang sama.
"Apa ... kau sudah makan malam, Tuan?" tanya Marsih membuka percakapan di keheningan ini.
Lelaki itu tersenyum simpul, "Sudah, tapi aku belum mencicipimu."
Dengan mudahnya Adriaan mengangkat tubuh Marsih. Menggendongnya di atas kedua tangannya secara tiba-tiba. Tentu saja Marsih terkejut akan hal ini, tanpa aba-aba lelaki itu membopongnya. Langkah Adriaan mulai membawa keduanya berjalan ke arah kamar mereka.
.oo0oo.
Adriaan menarik pinggul Marsih untuk menempelkan tubuh mereka. Masih dalam posisi bediri, pria itu tanpa aba-aba mencium bibir Marsih penuh nafsu, menggerakkan bibirnya pada bibir Marsih, dan melumatnya kasar. Tangan Adriaan kembali menggerayangi tubuh gadis itu, menyentuh punggung hingga dada berusaha menelanjanginya, membuka kebaya yang kini ia tengah kenakan dengan terburu-buru.
Marsih menahan kedua tangan kekar Adriaan yang berusaha melepaskan pakaian miliknya, gadis ini mendorong pria itu kuat hingga lelaki tinggi itu terjatuh ke permukaan ranjang. Marsih menyinggungkan seutas senyum simpul di bibirnya, dengan perlahan ia melepas sanggulan rambutnya yang sejak pagi tertata rapih oleh bantuan Mbok Kalinem. Rambut panjang hitamnya itu pun terurai indah sepanjang pinggang.
Tangannya dengan perlahan menyentuh tubuhnya sendiri, mulai membuka ikatan tali kebaya kuning yang ia gunakan, lalu melepaskan kebaya itu ke tanah dan kini hanya menyisakan sebuah kemben hita. dan sebuah jarik yang masih melekat. Waktu seakan berjalan sangat lambat dalam kamar itu, seperti terhenti sejenak dari hiruk pikuk Kota Surabaya malam ini.
Marsih menghampiri Adriaan pelan, dengan tenang wanita itu melangkahkan kakinya dengan senyuman mendekati pria berkulit putih itu. Mereka kini telah berhadap-hadapan, Adriaan berusaha untuk membuka kemben yang Marsih pakai namun wanita itu lagi-lagi menahan tangannya. Marsih menyentuh rahang Adriaan pelan, tak lama ia mulai memanggut bibir merah pucat pria itu, menciumnya perlahan.
Wanita ini menjatuhkan tubuhnya di tubuh Adriaan yang tengah terduduk, membuatnya kini berada di atas pangkuan Adriaan. Gadis ini dapat merasakan dengan jelas ada sesuatu yang mengeras di bawah sana. Tetap berciuman mesra, Marsih menyentuh kemeja putih yang Adriaan kenakan, ia mulai membuka kancing demi kancing kemeja itu dan membuat Adriaan kini tak lagi memakai atasan lagi.
Dia mengangkat kepalanya untuk menghentikan cumbuan mereka. Jemari lentik Marsih mulai kembali menyentuh tubuhnya sendiri, berusaha membuka kaitan kemben yang terpasang di tubuhnya. Telunjuknya menyentuh satu buah kaitan terakhir dan melepaskannya lambat. Kini tubuh bagian atas Marsih telah terbuka sempurna, tak ada seutas benang yang menghalangi dadanya, begitu juga dengan Adriaan.
Dari dekat wajah pria itu merona sangat merah, ia tampak terdiam membisu menatap ke arah tubuh Marsih, pria itu rupanya terpesona akan keindahan yang berada tepat dipangkuannya ini. Matanya mengedip dengan sangat perlahan-lahan, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun kemolekan tubuh wanita ini.
Pandangannya pelan-pelan naik menuju wajah Marsih. Pria itu menatap dalam mata hitam Marsih dengan seksama, menelisik wajah berparas jelita dengan kulit kekuningan menuju sawo matang, memperhatikan setiap kedipan mata gadis itu dengan bulu mata hitam yang lentik, melihat bibir ranumnya yang sangat menggoda untuk dilumat. Adriaan dapat bersumpah pada Tuhan, Marsih adalah salah satu ciptaan-NYA yang paling indah.
"Kau cantik sekali, Nyai ...," gumam Adriaan tanpa sadar.
Tangan besar pria itu membelai tubuhnya pelan, mengusap pinggang ramping Marsih sampai ke pinggul. Marsih tersenyum mendengar pujian Adriaan barusan, tampaknya pria itu sudah jatuh tergila-gila padanya. Adriaan tak akan mungkin melepaskan Marsih begitu saja, ia sudah benar-benar jatuh hati dengan gadis ini. Marsih mengecup bibur Adriaan lagi, ia mengalungkan tangannya pada leher Adriaan.
Keduanya berhenti sejenak untuk menatap bola mata masing-masing, kemudian tak lama mereka kembali melanjutkan permainannya malam itu. Beruntunglah Marsih, berkat Mbok Kalinem ia kini sudah paham betul bagaimana caranya untuk membuat Adriaan senang.
.oo0oo.
Suasana kamar itu begitu dingin, seakan angin dingin menusuk langsung ke dalam kulit Marsih, bahkan seusai pergumulan panas yang ia dan Adriaan lakukan. Kota Surabaya lagi-lagi turun hujan yang deras, hujan yang menjelaskan kenapa suhu kamar itu begitu dingin sekarang.
Marsih menarik selimut untuk menyembunyikan tubuhnya yang tak berbusana, sekaligus sebagai penghalau dingin yang mulai merambat merayapi seluruh badannya. Adriaan pun melakukan hal yang sama, ia menarik selimut untuk menutupi setengah tubuhnya, kemudian pria itu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan pemantik api.
Mereka kini tengah terduduk di sandaran kasur, keduanya cukup lelah atas apa yang mereka barusan lakukan, namun keduanya sama-sama tidak dapat tertidur malam itu, dan memilih untuk duduk bersandar lalu berbincang-bincang santai.
"Sedingin itukah?" tanya Adriaan melihat Marsih memeluk ujung selimut dengan kedua tangannya.
"Iya, aku tak terlalu suka musim hujan," ujar Marsih berterus terang, ia membenci hujan karena pada saat musim hujanlah ia kehilangan ibunya.
Pria itu menghisap rokok di tangan lalu tak lama menghembuskan nafas bercampur asap, "Kau harus merasakan dinginnya musim dingin kalau begitu, salju turun dengan tebal, kau pasti akan menggigil."
"Apa kau merindukannya, Tuan?"
"Merindukan apa?"
"Netherland ... dan salju, apa kau merindukan hal itu?" tanya Marsih.
Adriaan terkekeh pelan, "Tidak, tak ada yang aku rindukan disana kecuali adikku, Alysia. Lagipula semuanya jauh lebih baik disini, keadaan lebih terkendali."
Marsih tersenyum kecil, senyuman miris. Terkendali katanya? Maksudnya mungkin adalah dia yang mengendalikan, bukan? Tentu saja hidup disini jauh lebih mudah, ia memiliki budak, harta, dan jabatan untuk ia kuasai. Sedangkan disana? Belum tentu pria ini dapat memiliki semua ini.
"Kau tampak begitu menyayangi Alysia."
"Sudah pasti, dia adikku. Katakan padaku nywai, apakah kau cemburu?" goda Adriaan pada Marsih.
Marsih tersenyum, "Tentu saja tidak, seperti yang kau bilang. Dia kan adikmu, Tuan."
"Kau tak perlu memanggilku tuan atau meneer jika kita hanya berdua."
"Lalu apa? Adriaan? Kau mau aku memanggil namamu saja?"
"Iya, panggil aku Adriaan. Kau adalah nyai-ku untuk sekarang, dan suatu hari nanti kau akan menjadi istriku," ucap Adriaan penuh rasa percaya diri.
Marsih menoleh ke arah Adriaan, "Apa kau akan menikahiku, Tuan?"
Adriaan tersenyum, "Sepertinya kau tak terbiasa memanggilku hanya dengan nama. Terus terang, aku ingin menikahimu sesegera mungkin, melihatmu mengandung anak-anakku, lalu membesarkan mereka."
Angan-angan Adriaan barusan hampir saja membuat Marsih tertawa sekaligus mual dibuatnya. Bagaimana bisa pria ini memiliki kepercayaan diri setinggi ini? Tak tahu kah dia kalau Marsih membencinya setengah mati?
"Tapi kenapa? Kenapa kau ingin menikahiku?"
"Tak sadar kah dirimu, Marsih?" pria ini menghisap rokok ditangannya pelan, "Aku mencintaimu," lanjutnya.
Marsih hanya terdiam mendengar itu, kepalanya menunduk dalam, tentu ia tak percaya dengan apa yang pria itu katakan. Cinta katanya? Cinta tak akan membuatmu menyakiti orang yang kau sayangi, tapi Adriaan, dia malah melakukan hal yang sebaliknya pada Marsih.
Keheningan merayap diantara keduanya. Adriaan masih sibuk dengan sepuntung rokok yang ia kini coba habiskan, dan Marsih dengan pikirannya yang mulai kembali memikirkan tentang pembakaran pasar.
"A-aku ... aku hanya takut," ucap Marsih kembali membuka percakapan.
Adriaan menolehkan pandangannya pada Marsih, "Takut akan apa?"
"Takut kalau suatu hari nanti kau akan membuangku, tuan. Ada banyak sekali nyai-nyai yang sempat menjadi simpanan dibuang begitu saja. Kini mereka hidup luntang-lantung di pasar."
"Tidak ada yang perlu kau takutkan, Nyai. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu, apalagi membuangmu, kau dapat percaya pada perkataanku ini." tentu saja Adriaan tidak akan membuang Marsih, karena Marsihlah yang akan membuang pria itu terlebih dahulu.
Marsih mengangguk pelan untuk membalas perkataan pria itu barusan, "Tapi tuan, ngomong-ngomong soal pasar. Apa yang akan terjadi dengan para bekas nyai-nyai malang itu, jika nanti pasar akan benar-benar dibakar?" tanya Marsih berusaha mengorek informasi sedalam mungkin.
"Entahlah, jika mereka menurut untuk membayar pajak, tentu mereka akan tetap dapat tinggal dan berjualan. Tapi kalau menolak, mereka tak akan bertahan, kemungkinan terburuknya ... mati."
Hati Marsih seakan mencelos mendengar itu. Dengan gampangnya Adriaan berkata demikian tentang nasib-nasib kaumnya sendiri. Biadap! Lelaki berhati dingin ini pasti sudah merencanakan semuanya, menyeleksi supaya hanya pedagang kaya yang tetap berjualan sedangkan rakyat miskin akan ia bakar hidup-hidup bersama dengan dagangan mereka.
"Ah sayang sekali nasib mereka," balas Marsih pelan, ia berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan amarahnya.
"Sebenarnya aku tak memiliki masalah pribadi dengan para inlander itu. Mereka hanya berkewajiban membayar pajak lalu masalah selesai." Adriaan kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asap tak lama kemudian, "Namun ada satu pribumi bodoh yang memprovokasi kaum mereka, sehingga para inlander hampir memberontak dan memaksaku mengancam akan membakar pasar jika mereka menolak membayar pajak."
Wajah Adriaan tampak begitu emosi saat membicarakan satu rakyat pribumi yang katanya memprovokasi ini. Urat-uratnya menonjol saat dengan geram ia menggertakkan rahangnya. Tapi rasa penasaran Marsih begitu besar, ia tak sanggup hanya diam tanpa bertanya tentang siapa pribumi yang Adriaan maksud ini.
"Siapa?" akhirnya Marsih memutuskan untuk bertanya demi memuaskan hasrat ingin tahunya.
Adriaan menoleh cepat pada Marsih, gadis ini dapat melihat dengan jelas siratan-siratan amarah pada mata biru lelaki di sebelahnya ini, aura kebencian terpancar jelas, wajahnya terlihat memerah kesal.
"Karso. Aku tak tau banyak tentang satu inlander bodoh itu, yang ku tahu namanya adalah Karso."
.oo0oo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro