Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Ruang Kerja

Marsih menyenderkan punggungnya ke belakang, ia menghela nafas berat. Mbok Kalinem baru saja pergi meninggalkan mereka, setelah memastikan kalau pedati Adriaan sudah pergi. Otak Marsih berputar memikirkan sebuah rencana gila yang menurutnya dapat saja gagal karena beresiko tinggi.

Di depan gadis itu terdapat sebuah kunci yang tergeletak manis di meja makan. Marsih mengetuk-ngetukkan jari lentiknya pada meja, sedangkan pikirannya jauh melayang. Kunci ini adalah kunci duplikasi dari ruangan kerja Adriaan, Marsih telah tak sengaja menemukan kunci duplikat ini saat tempo hari ia tengah membersihkan gudang lama rumah besar ini. Dirinya menemukan satu kotak kayu berisi kunci-kunci duplikat seluruh ruangan yang ada di rumah ini dan secarik kertas untuk penjelasan-penjelasanya. Itu semua memiliki arti kalau saat ini Marsih memegang kendali penuh akan segala ruangan di rumah ini.

Tangan Marsih terulur menyentuh kunci itu, matanya mengamati kunci itu lagi. Haruskah ia memasuki ruangan Adriaan? Wanita ini kini tengah mengumpulkan tekad untuk melakukan hal itu. Ia kembali menghembuskan nafas pelan untuk menenangkan dirinya yang sedikit gugup.

Dengan masih setengah hati Marsih berdiri, ia memutuskan untuk memasuki ruangan itu dan mencari tahu tentang kebenaran yang tersembunyi di balik pintu ruang kerja itu ... langkah Marsih berjalan cepat menuju ruang kerja Adriaan.

Ruangan kerja itu kini telah terlihat, hanya berjarak beberapa meter dari tempat ia berdiri saat ini. Seketika rasa ragu kembali datang dan mempengaruhi gadis ini. Namun kaki Marsih tak berhenti berjalan mendekati ruangan itu, seakan badan dan otaknya tak lagi terhubung.

Marsih memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, memutarnya pelan hingga kini pintu itu sudah dapat ia masuki. Marsih mencabut kunci itu, ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya tangan kanan gadis ini mulai membuka kenop pintu. Setelah berhasil masuk, ia menutup pintu itu lagi dengan hati-hati. Langkahnya perlahan memasuki ruangan itu. Marsih tak perlu menyalakan saklar lampu untuk melihat sesuatu, cahaya matahari siang itu masuk dari luar jendela sudah cukup menerangi ruangan ini.

Pandangan gadis ini menyipit melihat sebuah amplop coklat besar yang tergeletak di atas meja yang berada di tengah ruangan. Marsih mengeryitkan dahinya pelan, dokumen itu nampak mencurigakan, apa isinya? Batin Marsih berisi tanda tanya besar akan apa isi amplop itu.

Tangannya terulur mengambil amplop coklat itu, dengan perlahan Marsih mulai membukanya. Jarinya bergerak lambat namun sangat hati-hati, mencoba membuka dan mencaritahu isinya tanpa harus membuat Adriaan curiga. Tanganya berhasil mengeluarkan satu lembar kertas dari dalam sana. Marsih menaruh amplop coklat itu di meja dan mulai membaca isi kertas yang berada di tangannya.

Mata Marsih seketika membelak tak percaya. Mulut gadis ini setengah terbuka dengan tangan yang mencoba menutupinya. Ia mengedipkan matanya cepat, sembari mencoba menyelaraskan nafasnya yang setiba saja memberat.

Itu adalah dokumen tentang rencana pemerintah Belanda untuk membakar Pasar Kodi. Ternyata yang di bilang oleh kurir daging pagi tadi adalah sebuah kebenaran, bukan hanya isu. Tubuh Marsih seakan lunglai ke tanah, kabar ini terdengar sangat mengejutkan namun juga menyesakkan hati.

Bagaimana bisa mereka, si kaum kulit putih menaikkan harga pajak pasar menjadi tinggi setinggi langit, namun ketika rakyat pribumi tak dapat membayarnya mereka mengancam akan menghancurkan pasar? Menghancurkan hal terakhir yang rakyat kecil miliki.

Sungguh amarah Marsih sudah tersulut sempurna. Gadis itu memejamkan matanya, berusaha sekuat mungkin menahan emosi untuk tidak meremas kertas yang berada di tangan kanannya ini. Ia harus mengjentikan hal ini, menghentikan rencana busuk tidak masuk akal ini, tak peduli bagaimana caranya.

Suara telapak kaki kuda dan gesekkan roda pedati dari luar rumah terdengar sayup-sayup di telinga Marsih. Alisnya menyatu, apakah itu Mbok Kalinem? Tapi mana mungkin wanita tua itu kembali secepat ini? Marsih mendekati jendela dan mulai mengintip dari balik tirai, mencari tahu siapa yang datang.

Matanya kembali membelak kaget saat melihat pedati milik siapa itu, itu dalah pedati milik Adriaan yang kembali. Dengan cepat Marsih bersembunyi, mencoba untuk tidak terlihat dari balik jendela. Dirinya juga harus mengembalikan dokumen ini kembali ke dalam amplop dengan hati-hati.

Jantung Marsih berdegup sangat kencang, nafasnya kembali terengah-engah. Detakan jantung gadis ini berpacu dengan langkah Adriaan yang mulai memasuki pekarangan rumah. Tangan Marsih cekatan dengan segera menutup amplop itu dengan perlahan. Rasa panik semakin menjadi-jadi saat dia bahkan dapat mendengar suara langkah kaki Adriaan yang berbalut sepatu pantofel tengah membuka pintu depan.

.oo0oo.

Adriaan merutuki dirinya semdiri yang melupakan dokumen penting yang seharusnya ia bawa. Dan disinilah dia, tengah berjalan mendekati pintu coklat yang mengarah ke ruang kerjanya. Pandangan pria itu tak sengaja menangkap Marsih yang berada di lorong rumah tengah berjalan ke arahnya.

Di belakang Marsih terdapat Darmi yang mengikuti langkah gadis itu. Marsih berjalan mendekati Adriaan dan tersenyum pelan saat melihat lelaki itu.

"Apakah ada yang tertinggal, Tuan? Apa yang membawamu kembali?" tanya Marsih penasaran, satu bulir peluh mengalir dari keningnya. Namun dirinya tetap tenang dalam menghadapi keadaan.

"Iya, aku sangat ceroboh melupakan sesuatu, Nyai."

Marsih tersenyum lagi mendengar ucapan Adriaan. "Semoga lain kali kau lebih teliti, Meneer," ujarnya.

"Kau tampak berkeringat, habis berlari?" tanya lelaki ini melihat wajah Marsih yang sedikit basah.

"Ah iya, tadi aku dan Darmi tengah mencari sebelah anting milikku yang hilang dan saking semangatnya kami tidak sadar setengah berlari," balas gadis itu sembari tangannya mengusap keringat di dahi.

Adriaan melirik Darmi yang kepalanya terdunduk takut. Pembantu muda itu seperti menyembunyikan wajahnya dari Adriaan, entah karena segan atau karena ia tidak ingin lelaki itu curiga kalau wajahnya sama sekali tidak berpeluh, dan hanya Marsih yang berkeringat.

"Aku akan berada di bawah jika kau butuh sesuatu lagi, Tuan," ucap Marsih lagi.

Lelaki itu mengangguk sekali untuk membalas perkataan Marsih barusan. Langkah Marsih mulai berjalan menjauhi Adriaan, sesekali ia melirik kembali ke arah lelaki itu yang tengah membuka lubang kunci pintu kerjanya. Satu tarikan nafas lega Marsih dapat lakukan, bersyukur kalau ia dapat keluar tanpa menimbulkan kecurigaan. Dan ia juga bersyukur telah berhasil memutup serta mengunci pintu itu sebelum ia dapat keluar.

.oo0oo.

Marsih membalikkan halaman buku yang berada di tangannya. Dirinya tertegun dengan buku yang tengah ia ia baca saat ini. Ia sedang membaca sebuah buku tentang kisah seorang wanita malang bernama Nyai Dasima. Tangan Marsih sedikit gemetar saat membaca ending dari kisah hidup wanita ini. Terlepas dari ini adalah cerita fiksi atau tidak, Marsih miris terhadap para wanita yang diperlakukan seenaknya.

Jari Marsih dengan cepat menutup buku yang tengah ia baca saat melihat Adriaan berjalan menghampirinya. Pria itu akan kembali bekerja setelah mengambil apa yang tadi sempat tertinggal. Marsih tersenyum manis, seakan menyambut Adriaan yang semakin lama semakin mendekat.

"Aku akan berangkat kembali, Nyai."

"Hati-hati dijalan, Tuan," ucapnya pelan.

Pandangan Marsih melirik tangan kanan lelaki itu yang terdapat sebuah amplop coklat. Marsih tahu betul itu adalah amplop yang sama yang tadi ia buka secara diam-diam.

Adriaan menghampiri Marsih dan mencium kening wanita itu sekali. Lelaki itu tersenyum simpul lalu berbalik dan berjalan meninggalkannya. Mata Marsih menyipit memperhatikan kepergian lelaki itu, memperhatikan tentang dokumen pembakaran pasar yang tergenggam di tangan putih Adriaan.

.oo0oo.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro