Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Teman Lama

Happy 30k readers!!!! 🎉✨
Seneng banget ya ampun! Makasih semua buat kalian yang selalu mendukung cerita ini yaaaa.... Ily! 😭💜

......

Keduanya bertatapan sejenak, saling memandang dengan wajah yang kaget akan satu sama lain. Karso menarik pinggang Marsih untuk membantu wanita itu agar dapat berdiri seperti semula. Lelaki itu sama jelas terkejutnya dengan Marsih saat melihat pertemuan mereka yang tidak disengaja ini, setelah apa yang terjadi di hotel beberapa hari lalu. Seutas senyum kecil terbentuk di bibir Karso saat melihat kalau Marsih baik-baik saja.

"Kebetulan sekali ya Kang bisa ketemu lagi, aku kira kita ndak akan ketemu lagi," ujar Marsih membuka percakapan pertama mereka setelah sekian lama tak berjumpa. Wajah Marsih sedikit berbinar melihat seseorang yang ia kenal. Dirinya sedikit bersyukur atas pertemuan ini.

"Iya, aku kira juga ndak akan ketemu kamu lagi setelah kamu menjadi nyai," balas Karso singkat.

Lelaki ini melirik Marsih. Lebih tepatnya melirik ke arah tulang belikat gadis itu yang terdapat beberapa bercak-bercak biru keunguan, yang berusaha Marsih tutupi dengan kerah baju kebaya merahnya ini. Tentu saja Karso tidak bodoh untuk mengetahui apa itu dan bagaimana bercak-bercak itu dapat tercipta.

Marsih sedikit terkejut akan hal itu, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih cepat pada pria itu. Bagaimana Karso bisa tahu kalau Adriaan telah mengambilnya sebagai seorang nyai?

"Bagaimana Kang Karso bisa tau?" tanya Marsih penasaran.

"Tentu saja aku tahu. Apalagi jika bukan kamu dijadikan nyai? Parasmu ayu, tubuhmu bagus. Lelaki mana yang tidak ingin memilikimu? Hanya lelaki gila yang mau menyia-yiakan dirimu," tukas Karso, "Lagipula, kalau kau selamat dan masih hidup, ya tentu saja dia menjadikanmu seorang nyai."

Marsih menunduk dalam, perkataan Karso semua benar, tak ada satupun yang salah. Tapi mengapa dirinya merasa sedikit tersinggung dan malu akan hal ini? Seakan ada bagian dari dirinya yang menolak keras dan tidak ingin Karso bicarakan. Hati kecilnya masih menolak keadaannya yang sudah sepenuhnya menjadi seorang nyai.

"Jangan terlena, akan apa yang dia dapat berikan padamu," ujar Karso mengingatkan Marsih akan bahaya yang dia mungkin akan hadapi. Bagaimanapun ia tinggal dengan seorang lelaki asing, Marsih harus berhati-hati.

"Aku akan tetap tahu diri, Kang," balasnya pelan sembari mengangguk.

"Lasmi juga sudah pergi."

"Pergi kemana Lasmi, Kang? Sungguh disayangkan aku tak dapat mengucapkan selamat tinggal. Aku pasti akan merindukannya."

"Seorang londoe mengambilnya untuk dijadikan gundik, tak lama setelah kau dibawa lelaki itu, dia dibawa juga pergi ke Batavia." Karso menatap mata Marsih dalam, "Dan kabar terakhir yang aku dengar, Lasmi dibuang tuannya saat ia tengah mengandung," lanjutnya serius, tatapan matanya dalam menatap mata Marsih.

Raut wajah Marsih seketika berubah. Betapa malangnya nasib Lasmi, perempuan tak bersalah yang ia anggap seperti adik itu telah dirusak oleh pria brengsek berkulit putih. Amarah dan rasa takut menguasai Marsih saat ini. Amarah, rasa benci, dan dendam akan para cecunguk berkulit putih semakin terbakar. Namun saat bersamaan terlintas dibenakknya kalau apa yang terjadi pada Lasmi bisa saja terjadi dengannya juga, Marsih sedikit merasa takut akan hal itu. Takut Adriaan akan menyiksanya secara batin.

Percakapan mereka terhenti, saat setiba saja tangan Marsih digenggam oleh seseorang dari belakang. Sontak ia menengok cepat dan menemukan Mbok Kalinem memegang tangannya, wanita tua itu sedikit marah karena Marsih yang pergi berkeliaran sendirian. Kedua alis wanita itu bertemu, sebuah kode yang mengisyaratkan kekhawatirannya akan Marsih. Di belakangnya juga berdiri Darmi yang tersenyum kikuk karena telah mengadukan dirinya pada Mbok Kalinem.

"Kau bisa hilang disini nanti, Nyai. Cobalah untuk tetap dekat denganku," gerutu Mbok Kalinem kesal pada wanita muda di hadapannya ini.

Marsih segera tersenyum canggung pada wanita tua itu, merasa sedikit tidak enak hati telah membuatnya khawatir dan marah. Ia tak bermaksud untuk meninggalkan Mbok Kalinem dan Darmi, tapi penari cilik itu seakan menghipnotisnya dan membuatnya ingin mendekati pengamen itu. Kemudian kejadian tak disengaja ini terjadi, dimana ia bertemu Karso dan kehilangannya sesaat tentu membuat Mbok Kalinem marah.

"Kalau begitu, aku akan pergi sekarang, kita pasti akan bertemu lagi. Jaga dirimu baik-baik Marsih," pamit Karso mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum ia pergi berjalan menjauhi mereka.

Marsih bahkan belum sempat berkata apapun lagi dan hanya dapat pasrah melihat punggung bidang Karso yang perlahan menghilang dari pandangan. Mbok Kalinem menyenggol lengan Marsih pelan, memberinya kode untuk menanyakan siapa sosok pria itu. Sosok yang sempat bercakap-cakap dengannya.

"Sopo iku, Nyai?" tanya Darmi pelan mewakili pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh Mbok Kalinem. Kedua pembantu itu ikut terdiam memperhatikan wajah Marsih yang melihat Karso pergi.

"Teman lama," jawabnya singkat dan kembali membantu Darmi mengangkat beberapa barang belanjaan.

.oo0oo.

Teriknya sinar matahari yang mulai membakar kulit, sama sekali tak mengganggu Marsih. Tubuhnya seakan kebal dengan panas yang terpapar dari matahari. Mata Marsih menyipit membaca sebuah palang nama toko, saat kini mereka sudah berjarak beberapa meter dari toko obat yang ia dan Adriaan datangi beberapa hari lalu.

Setelah memastikan kalau itu adalah toko yang benar, Marsih menoleh ke belakang ke arah Mbok Kalinem dan Darmi, "Dar, kamu tunggu saja di dokar, biar aku dan Mbok Kalinem yang masuk," pinta Marsih, ia tak ingin melibatkan perempuan muda itu dalam urusannya, maka dari itu ia meminta Darmi untuk menunggu dirinya dan Mbok Kalinem di dalam dokar.

Darmi mengangguk pelan menyetujui permintaan Marsih, ia mulai mengangkut keranjang belanjaan mereka dan mulai berjalan menjauhi keduanya.

"Mbok, kemarin aku kesini dengan Tuan Adriaan--"

"Aku sudah tahu, kau ingin memastikan bukan, kalau Adriaan membeli racun atau tidak? Tenanglah Nduk, aku sudah tahu segalanya." Marsih mengeryitkan dahinya, bagaimana perempuan tua ini dapat tahu? Apakah Mbok Kalinem memang sepintar itu? Atau firasat wanita itu saja yang sangat peka?

"Mbok sudah tahu rupanya, kalau begitu malah bagus, Mbok. Aku ndak perlu lagi menjelaskan," balas Marsih sembari tersenyum. "Kalau begitu, ayo, Mbok," lanjutnya lagi.

Keduanya mulai berjalan mendekati toko obat Cina itu. Marsih mendorong sebuah pintu kaca pinggiran kayu yang terhubung dengan sebuah lonceng, jadi ketika ada pelanggan masuk, lonceng itu akan berbunyi, memberikan sinyal pada para pekerja kalau ada satu pelanggan datang.

"Selamat datang, Nona! Anda sedang mencari obat apa?" sambut seorang pria muda sepantaran dirinya, perawakan pria itu kurus dengan rambut klimis dan sebuah kacamata kecil tergantung di antara kedua matanya.

"Aku mencari lelaki tua yang beberapa hari lalu aku temui, aku kemari untuk membahas tentang obat yang kupesan khusus padanya," ujarnya bohong, sebuah senyuman manis Marsih lancarkan supaya kebohongannya lebih dapat dipercaya.

"Oh, Anda mencari Koh Liu! Sebentar ya, biar saya cari beliau di belakang." lelaki itu mulai undur diri dan beranjak pergi.

Tak berselang lama, dari balik tirai yang terpasang di ujung ruangan, munculah lelaki yang Marsih tengah cari, lelaki tua berambut putih. Wajah lelaki tua itu tampak sedikit terkejut melihat pelanggan yang berdiri menunggunya ternyata adalah Marsih. Tentu saja lelaki tua ini mengenali Marsih, ia hanya tua, bukan bodoh. Ia tahu kalau Marsih adalah gundik dari seorang Adriaan Van Hoëvell.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Nyai?" tanya pria bernama Koh Liu itu dengan nada bicara yang sedikit khawatir.

"Selamat siang juga, Koh Liu. Aku kemari untuk menanyakan tentang salinan obat yang beberapa hari lalu Tuan Adriaan pesan," ujar Marsih sopan meminta tentang salinan obat yang Adriaan pesan.

Pria itu mengerjapkan matanya pelan, ia tampak sedikit panik. Koh Liu menelan ludahnya pelan, "Memangnya ada kesalahan yang saya perbuat, Nyai? Sampai anda datang kemari?" tanya Koh Liu dengan nada yang mulai semakin khawatir.

Marsih segera tersadar akan sesuatu. Rupanya Koh Liu salah menganggap kedatangan Marsih, ia kemungkinan besar berfikir kalau Adriaan yang mengirimnya kemari untuk mengeluh tentang obat yang telah ia buat. Tapi pada kenyataannya, Marsih kesini hanya untuk mencari tahu obat apa yang sebenarnya Adriaan pinta.

Sebuah senyuman terukir di wajah cantik Marsih, "Tidak Koh, saya kemari hanya untuk menanyakan salinan. Tuan Adriaan meminta salinan obat itu, sepertinya dia lupa," ucap Marsih.

"Ah baiklah, tunggu sebentar ya, Nyai. Saya akan menyalinnya sekarang."

Marsih melirik ke arah Mbok Kalinem. Semoga saja rencananya untuk berpura-pura kalau ia suruhan Adriaan akan berhasil. Rasa penasarannya akan apa obat itu tak dapat lagi ia bendung, dan apapun yang terjadi Marsih harus mendapatkan jawaban untuk itu hari ini juga.

Mata Marsih berkeliling melihat pigura-pigura yang terpajang di dinding. Sepertinya toko obat ini lumayan termasyhur namanya. Itu semua dibuktikan dengan pigura-pigura yang terpasang rapih, beberapa diantaranya adalah potret tentang toko obat ini yang didatangi oleh para tokoh penting Belanda.

"Ini, Nyai, salinannya telah jadi." Koh Liu menyodorkan secarik kertas pada Marsih.

Alis Marsih bertemu, ia begitu asing dengan apa yang tertulis disana. Tak paham dengan apa yang sebenarnya Adriaan inginkan, hingga mata Marsih menangkap kata 'sianida'. Marsih pernah membaca tentang sianida beberapa waktu lalu di perpustakaan milik Adriaan, dan tentu saja ia tahu bahaya penggunaan obat itu.

"Apakah Tuan Adriaan sering memesan obat ini, Koh?" tanya Marsih kemudian mulai mengambil kertas itu.

Pria tua itu menatap Marsih curiga, untuk apa Marsih ingin tahu? Apa sebenarnya kepentingan wanita ini datang dan tiba-tiba meminta salinan obat?

Seketika setelah ditatap dengan tatapan curiga, Marsih berkata, "Hanya ingin tahu, lagi pula, Tuan Adriaan pasti mengizinkanku untuk tau hal ini. Kenapa? Mau aku menitipkan salam padanya nanti?" tukas Marsih dengan sedikit ketus yang secara tak langsung mengancam Koh Liu.

Koh Liu melihat sekelilingnya, memastikan tak ada orang di sekitar mereka, "Sianida? Tidak juga. Tuan Adriaan biasanya memesan arsenik, ia beberapa kali memesan sianida juga namun dalam jumlah kecil. Ini adalah yang terbanyak yang ia pernah pesan," ucap Koh Liu pelab, seakan-akan ini adalah rahasia yang tak seharusnya didengar oleh banyak orang.

"Arsenik ya ...," gumam Marsih dalam hati, ia harus mencaritahu tentang obat itu nanti.

"Kalau begitu terimakasih, Koh, atas salinannya. Aku akan pergi sekarang," pamit Marsih setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet Mbok Kalinem dan meninggalkannya di meja.

Koh Liu menatap kepergian Marsih dan pembantunya dengan tatapan tajam. Pria tua ini rupanya tak begitu percaya dengan Marsih. Bisa saja wanita itu melakukan hal-hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Mengkhianati Adriaan mungkin bukan keputisan yang tepat. Marsih harus berhati-hati, gadis itu tengah bermain dengan api saat ini. Koh Liu menggelengkan kepalanya pelan. Untuk apa ia peduli dengan keselamatan gadis asing itu?

.oo0oo.

Di mulmed itu gambar Christine Hakim sebagai Mbok Kalinem (soalnya menurutku dia doang yang paling pas ngegambarin sosok Mbok Kalinem)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro