19. Seorang Nyai!
Saya masih UTS minggu depan 😭 jadi maaf kalo ga update teratur ya! Diusahain kok 😎
.....
Darmi mengetuk pintu kamar milik Marsih pelan, ini sudah kesekian kalinya dia mencoba untuk mengetuk pintu kayu itu sembari memanggil-manggil nama Marsih berkali-kali. Tapi tetap tak ada jawaban apapun dari sana. Darmi menengok ke arah Mbok Kalinem yang memegang sebuah kunci cadangan, mereka bertatapan sesaat. Mereka sebelumnya telah sepakat, jika ketukan terakhir ini tidak dijawab, ia dan Mbok Kalinem akan memaksa masuk dengan kunci cadangan ini. Hanya untuk memastikan bahwa Marsih masih hidup dan baik-baik saja.
Matahari sudah mulai naik dan menyombongkan sinarnya, burung telah berkicau kesana kemari menyambut pagi datang. Namun Marsih tetap menggelung dirinya digulungan selimut, mencoba menutupi seluruh tubuhnya yang penuh tanda pergumulan. Gadis itu tak menangis lagi, air mata seakan sudah lelah setelah turun semalaman suntuk. Ia tak ingin meninggalkan gelungan selimut ini, dirinya merasa malu, hina, dan kotor setelah kejadian semalam. Jiwanya seakan ingin meninggalkan raga ini sesegera mungkin.
Suara lubang kunci yang tengah terputar terdengar di telinga Marsih. Tak lama grendel pintu terbuka, menampakkan Darmi yang membawa baskom besar berisi air hangat dan sebuah handuk, serta Mbok Kalinem yang membawa sebuah kebaya putih gading dan sebuah jarik. Darmi, gadis itu mulai mendekati Marsih perlahan. Ia melihat Marsih dengan keadaan yang menyedihkan. Tatapan gadis itu kosong, bagai sebuah patung porselen cantik yang hanya bisa terdiam membisu.
"Mbak ...," panggil Darmi halus, ia menaruh baskom dan handuk itu di nakas dan mencoba menyentuh Marsih pelan. "Mbak ... ayo mandi dulu, aku lap sini pakai air hangat, ndak akan dingin kok," lanjutnya sembari menepuk punggung Marsih yang masih terbalut selimut tebal untuk merayunya agar bangkit.
Tak ada jawaban, wanita itu masih dengan tatapan kosong miliknya. Entah apa yang ia kini tengah pikirkan, Darmi tak mengerti. Ia memutuskan untuk tetap mencoba membujuk Marsih agar mau bangun dari tempat tidurnya.
"Mbak ... dibersihkan dulu badanmu itu, cantik-cantik kok ndak mau mandi," ajak Darmi lagi, kali ini ia mulai mencoba untuk membuka selimut namun Darmi segera ditahan oleh Marsih yang menggenggam tangannya cepat.
"Buat apa cantik, kalau ujung-ujungnya aku sama saja seperti para pelacur lain." akhirnya Marsih membuka suara. Ia menatap Darmi dengan tatapan sayu miliknya.
"Jangan bilang begitu, Mbak--"
"Ndak punya harga diri, kalau punya juga ... kata mereka derajat laki-laki lebih tinggi, mereka bisa seenaknya menginjak-injak harga diri wanita," potong Marsih saat Darmi bahkan belum menyelesaikan kata-katanya. "Apalagi kaum berkulit putih kayak mereka. Aku yang gadis anak penjual onde-onde bisa apa?" lanjutnya lirih.
Suasana hening setelah Marsih mengatakan hal itu. Darmi tidak tahu harus mengatakan apa, karena yang dikatakan oleh Marsih barusan membuatnya terdiam seribu bahasa. Tak ingin menyakiti perasaan gadis itu lagi, Darmi melirik ke arah Mbok Kalinem, mencoba mencari pertolongan atas apa yang akan mereka lakukan untuk membujuk Marsih agar kembali seperti biasanya.
Mbok Kalinem menghembuskan nafas pelan, "Kau harus mandi dan sarapan, Nyai," ucap wanita tua itu membuka suara.
"Jangan panggil aku nyai!" teriak Marsih kencang, menolak kenyataan bahwa ia kini telah sepenuhnya menjadi seorang gundik.
"Lalu apa? Dengan apa aku harus memanggilmu? Nyonya? Nona? Juffrouw? Ataukah, Mevrouw?" tanya Kalinem sarkas. Ia sedikit geram dengan tingkah Marsih yang tak henti-hentinya bersedih, "Apa yang kau akan lakukan sekarang? Bersedih dan menangis tanpa tahu waktu, sedangkan pria yang memperkosamu hidup bahagia? Cepat atau lambat penderitaanmu akan menambah ketika nanti kau mengandung anak londoe itu! Maka lawan sebelum ia dapat membuahi rahimu itu."
Marsih tertegun, kata-kata Mbok Kalinem barusan seakan menusuk raganya dalam, membuatnya tersadar akan sesuatu, pembalasan dendam. Setetes air mata jatuh di pelupuk matanya. Perlahan Marsih mulai mencoba duduk, dengan tangan yang gemetar ia mencoba meraih tangan Darmi untuk membantunya duduk. Ia masih menangis kecil, Darmi menepuk punggung Marsih pelan untuk membuatnya merasa lebih baik.
Setelah dapat duduk dengan sempurna, ia menatap mata Mbok Kalinem dalam. Kantung matanya mulai menggelap, tatapan sayu dengan mata yang memerah kelelahan dia berikan pada wanita tua itu. Apa yang dikatakan Mbok Kalinem sepenuhnya benar, ia tak dapat terus bersedih hanya karena kehilangan sebuah keperawanan. Dirinya harus tetap bangkit untuk membalas semua perbuatan pria itu padanya, pria yang telah membunuh ibunya serta melecehkannya.
"Bangun, Nduk. Kamu bukan lagi Marsih. Tapi Nyai Marsih," ucap Kalinem lagi.
Marsih mengangguk pelan, dengan kasar ia mulai menghapus air matanya. Wanita tua itu benar, Marsih lemah dan bergantung pada ibunya telah lama mati, terkubur bersama jasad sang ibu di pembuangan sampah hari itu. Kini telah terlahir sosok Marsih yang baru, ah bukan tapi, Nyai Marsih.
Mbok Kalinem meletakkan kebaya putih gading dan jarik itu pada sudut kasur Marsih.
"Pakai ini dengan angkuh, dan tunjukkan kalau kau tak selemah yang pria itu katakan!" ucap Kalinem mencoba membakar rasa balas dendam Marsih lebih jauh.
Gadis ini menatap wajah Kalinem dalam, lalu ia menggeleng pelan, "Tidak, Mbok, ambilkan aku jarik berwarna merah, semerah darah yang keluar saat dia memerawaniku."
.oo0oo.
"Makan sing banyak, biar badanmu sekel ndak kurus kayak sekarang," cibir Mbok Kalinem pada Marsih yang kini tengah memakan nasi liwet dengan lahap.
Seluruh tubuhnya masih pegal saat ini, apalagi area sensitifnya yang masih sakit dan membuatnya sedikit kesulitan berjalan, namun ia harus tetap berlagak seperti tidak terjadi apa-apa dan semuanya baik-baik saja. Tapi ternyata berlagak untuk baik-baik saja juga membutuhkan energi yang banyak.
Mbok Kalinem melempar sebuah buku ke arah meja makan, buku itu tergeser dan mendarat tepat di depan Marsih. Sebuah buku coklat dengan sampul kulit sapi dan beberapa tulisan aksara Jawa terukir disana. Marsih tak pernah melihat buku seperti ini sebelumnya, tampaknya ini adalah buku lama yang ditulis atau dibuat seseorang dan dijaga dengan baik hingga saat ini.
Kedua alis Marsih bertaut heran, "Apa ini?" batin Marsih mempertanyakan apa yang tertulis di dalam sana.
Gadis ini mengambil sebuah gelas berisi air untuk dirinya minum setelah ia selesai menghabiskan makanan paginya. Tangan kanannya perlahan mulai membuka buku asing berwarna coklat dihadapannya itu. Sesaat setelah ia melihat apa isinya, Marsih tersedak oleh air yang ia tadi tenggak. Wajahnya memerah akibat tersedak, gadis itu mulai terbatuk-batuk dan menepuk dadanya pelan, mencoba mengeluarkan air dari saluran pernafasannya.
Marsih menarik nafas sesaat untuk menenangkan dirinya pasca terbatuk hebat. Kemudian dengan cepat ia menatap wajah Mbok Kalinem dengan sebuah tanda tanya besar di kepalanya. Ternyata perempuan tua itu memberikan Marsih sebuah buku kamasutra Jawa. Apa maksud dari Mbok Kalinem memberikannya buku aneh ini?
"Buku apa ini, Mbok?!" tanya Marsih pada wanita tua itu dengan beraut wajah datar tengah sibuk membersihkan sekitarnya.
"Kamu sudah lihat isinya, kan? Aku ini ndak pintar, aku buta huruf, tidak bisa membaca apapun. Tapi kalau urusan ranjang aku paham betul apa yang lelaki inginkan," tukas wanita tua itu mulai mengelap meja dengan tanpa berdosa.
Marsih melirik sekali ke arah buku coklat itu yang masih terbuka, wajahnya segera memerah malu saat melihat gambar-gambar cabul yang terpapar disana. Dua orang insan manusia tergambar jelas tengah melakukan hubungan antar suami istri. Dengan segera Marsih menutup buku itu dan kembali menggesernya jauh, tak ingin melihat lebih dalam apa isi dari buky penuh dosa itu.
"Lalu tujuan Mbok memberikanku ini untuk apa?" tanya Marsih spontan dengan rasa terkejutnya yang masih ada hingga saat ini setelah melihat isi buku itu.
"Tentu saja agar kau bisa melakukannya nanti dengan Tuan Adriaan. Kau pikir untuk apa lagi?"
"T-tapi ...."
"Tapi opo? Aku itu cuma ingin membantu. Aku juga kasihan padamu yang merintih kesakitan tadi malam."
Wajah Marsih kembali memerah mengetahui fakta kalau suara pergumulan mereka semalam terdengar hingga ke telinga para pembantu.
"Aku... Aku tidak mau, Mbok," tolak Marsih.
"Kenapa? Malu? Toh dia juga sudah melihat tubuhmu, untuk apa malu? Lagipula memangnya kau ingin terus-terusan seperti ini?" tanya Mbok Kalinem pelan.
Gadis ini menggeleng pelan, ia tentu saja tidak ingin terus dalam posisi seperti ini. Dirinya harus dapat mengorek informasi dalam dari Adriaan sebelum dapat membalaskan dendamnya itu. Ia menghembuskan nafas pelan, ia harus menyetujui hal ini jika ingin pembalasan dendamnya tercapai sempurnam
"M-memangnya ... Tuan Adriaan akan menyukai hal-hal yang ada di buku ini? Ini kan ... tata cara untuk wong Jowo bukan untuk londoe," tanya Marsih ragu pada Mbok Kalinem, ia mempertanyakan perbedaan budaya yang mungkin akan membuat lelaki itu merasa asing atau bahkan akan membencinya.
"Laki-laki itu, menyukai hal-hal yang mereka belum pernah coba," Mbok Kalinem mulai mendekati Marsih dan menyentuh buku coklat itu dan kembali menyodorkannya pada Marsih, "Kau ... harus bisa membuatnya puas, sebelum dapat membalaskan apa yang kau inginkan."
Marsih mengangguk pelan, ia mengulurkan tangannya untuk mengambil buku coklat itu. Mbok Kalinem benar, Adriaan bisa saja akan lebih mudah dikendalikan jika dia merasa senang, untuk itu Marsih harus belajar bagaimana caranya agar membuat lelaki itu tetap senang dan bahagia. Ia harus bermain pintar.
Darmi masuk ke area ruang makan dengan kebingungan. Ia mendapati Marsih yang dengan gelagap aneh mulai dengan cepat menyembunyikan sesuatu di tangan kanannya. Sedangkan Mbok Kalinem tetap membersihkan meja dengan pelan seperti biasanya, namun ia sesekali melirik Marsih kecil. Darmi mengerutkan keningnya pelan, apa yang terjadi diantara mereka? Apakah ada yang aneh pada wajah Darmi? Apa yang terjadi? Padahal kan, dirinya hanya ingin mengangkut piring kotor.
.oo0oo.
"Tenang saja Dar, Tuan Adriaan tidak akan pulang sebelum senja," ujar Marsih melihat Darmi yang gusar.
Mereka bertiga kini tengah berada di dalam pedati. Hari ini adalah hari dimana Mbok Kalinem dan Darmi biasa pergi ke pasar untuk membeli stok persediaan dan bahan makanan lain. Saat mendengar kalau Kalinem dan Darmi akan pergi ke pasar, Marsih segera mengusulkan diri untuk ikut, lebih tepatnya memaksa untuk ikut. Walau kondisi tubuhnya yang masih sedikit pegal dan nyeri.
Karena Marsih beranggapan, ini adalah waktu yang pas untuk mencari tahu apa yang Adriaan pesan pada toko obat tempo hari. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, apakah benar Adriaan membunuh Patrick? Ia harus mengetahui jawaban itu hari ini, dirinya harus yakin dan tahu dengan siapa ia berhadapan.
Pedati mulai berhenti, mereka telah sampai di pasar. Mbok Kalinem keluar pertama dari pedati, disusul oleh Darmi dan Marsih.
"Nyai, yakin? Tidak kembali saja?" sekali lagi Darmi mempertanyakan keberadaan Marsih saat ini yang keluar tanpa izin.
"Sudah ku bilang, dia tidak akan kembali dengan cepat. Wong hari ini dia akan mengantar Alysia dan keluarga barunya pergi, mereka akan kembali ke tempat mereka seharusnya ada, Netherland."
"T-tapi, Nyai--"
"Tenanglah Darmi ... aku akan baik-baik saja, kau tak perlu khawatir," tutur Marsih mencoba menyakinkan gadis disebelahnya ini.
Mbok Kalinem berjalan menuju sebuah toko daging, wanita itu tengah bernegosiasi alot dengan penjualnya. Mendebatkan harga yang ideal untuk sama-sama menguntungkan keduanya. Sedangkan Darmi dan Marsih? Dua perempuan itu hanya bertugas membantu membawa hasil belanjaan yang sudah dibeli oleh Kalinem. Karena memang hanya Kalinem lah yang memegang uang untuk dapat berbelanja.
Pandangan Marsih teralihkan oleh seorang anak kecil yang berjoget di tengah keramaian pasar, pengamen seni jalanan. Tarian anak kecil itu begitu lincah dengan tabuhan kendang yang ditabuh oleh lelaki tua dibelakangnya. Dengan selendang kuning yang terikat di pinggul, anak kecil itu berlenggok-lenggok lihai untuk badan kecilnya. Anak perempuan itu mengingatkan akan dirinya yang dulu juga suka menari dengan alunan tembang yang ibunya nyanyikan.
"Aku ke sana sebentar ya." Marsih menaruh kedua tas belanjanya pada Darmi.
"Nyai, lebih baik disini saja menunggu Mbok Kalinem selesai." Darmi mencoba menahan Marsih agar tidak terpisah dari mereka. Namun Marsih begitu penasaran pada anak kecil tadi dan ingin sekali menghampirinya.
"Sebentar saja kok, aku akan kembali," katanya mengabaikan perkataan Darmi dan beranjak pergi.
Tatapan Marsih terkunci pada anak perempuan yang masih menari dengan indah di lantai pasar yang becek ini. Sebuah senyuman terbentuk diwajah Marsih, perempuan itu menikmati memperhatikan hiburan di hadapannya ini. Sudah lama rasanya sejak ia mulai melihat hiburan-hiburan rakyat seperti ini, terakhir kali adalah saat ia menonton pertunjukan wayang bersama Lasmi.
Tak sadar Marsih berjalan mendekati penari cilik itu, tatapannya lurus ke depan tidak melihat ke arah lain, memperhatikan lincahnya anak perempuan itu menari tanpa alas kaki. Tiba-tiba tubuh Marsih tersenggol kencang oleh seseorang. Senggolan rupanya segera membuat Marsih hilang kendali dan hampir saja jatuh. Beruntung, tubuh Marsih ditahan oleh lelaki yang secara tak sengaja baru saja mendorongnya.
"Maaf aku tak sengaja menabrakmu--" ucapan pria itu terhenti saat melihat dengan siapa ia berbicara dan siapa yang barusan ia dorong.
Marsih membulatkan matanya, sedikit tak percaya dengan apa yang ia lihat dan temui. Sebuah kebetulan yang apik ia dapat bertemu lelaki di hadapannya ini. Masih dalam posisi yang canggung, Marsih tersenyum lebar saat menemui pria di depannya ini.
"Kang Karso?!"
.oo0oo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro