Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Semangkuk Erwtensoep

Baru sadar ini hari Valentine.... So... Gue double update hari ini biar nemenin para kaum jomblo yang kesepian wkwkw (plis gw jangan diserang, cuma bercanda, lagian gw juga jomblo 😭)

Oiya gue bakal ada UTS minggu depan so gatau bisa terus up cepet kayak gini lagi atau engga hehe liat aja nanti, maaf yaa mohon pengertiannya...

Selamat membaca!

....

Marsih berjalan memasuki dapur untuk sekedar meminum segelas air dan mencari Mbok Kalinem untuk membantunya melepas semua perhiasan yang melekat di tubuhnya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan pesta makan malam itu dan memilih pulang lebih awal dari Adriaan karena dirinya yang sedikit lelah dan suntuk.

Dapur di rumah baru ini jauh berbeda dengan rumah lama milik Adriaan. Luas dapur di rumah ini kita-kira sebesar ruang tamu di rumah lamanya itu, tempat yang sangat luas untuk sebuah dapur. Memang kalau dibandingan, ukuran rumah ini dengan rumah yang lama sangat berbanding jauh.

Tempat ini adalah tempat favorit Darmi, ia sangat menyukai area dapur karena dirinya memang suka memasak. Wanita berkepang itu selalu mengaggung-agungkan betapa nyaman dan lengkapnya dapur disini, berbeda dengan di rumah lama yang tidak terlalu luas serta lengkap. Darmi juga mengatakan ia sudah berkeliling dan sangat senang dapat tinggal di rumah sebesar ini, walau ia tinggal disini hanya sebagai pembantu, namun dirinya sudah cukup senang untuk itu.

Lain halnya pula dengan Marsih, wanita itu menyukai perpustakaan yang berada di bagian ujung sebelah kanan rumah ini. Kegemarannya akan membaca dan rasa hausnya pada ilmu pengetahuan ternyata membuatnya langsung bahagia dan jatuh cinta saat mengetahui kalau rumah besar ini memiliki sebuah perpustakaan. Tidak terlalu besar memang, namun itu cukup untuk menghabiskan waktu Marsih.

Langkah Marsih sampai di area dapur. Ia berjalan lebih dalam untuk mencari Mbok Kalinem. Dan benar dugaannya, Mbok Kalinem masih terbangun. Wanita tua itu duduk membelakanginya, lesehan di lantai beralaskan tikar sederhana, dia tengah menyiapkan bahan makanan untuk dimasak esok hari. Cahaya api dari perapian yang terbakar menyinari tubuh wanita tua itu, memberikan bayangan hitam bersiluet yang terpancar di lantai.

Marsih menghampiri wanita itu, ia berjalan perlahan sembari melihat apa yang tengah Mbok Kalinem siapkan.

"Kau sudah kembali rupanya," ujar Mbok Kalinem seakan tahu kalau itu Marsih tanpa harus menengok ke belakang.

"Iya Mbok, aku ndak suka disana. Semuanya berisi orang berkulit putih yang memuakkan."

Marsih ikut duduk di lantai beralaskan karpet anyaman bambu tepat di depan Mbok Kalinem. Rasa panas api dari perapian mulai menghangatkan tubuhnya yang sempat terkena angin malam saat menaiki pedati tadi.

"Tuan Adriaan?" tanya Mbok Kalinem tanpa melihat ke arah Marsih, tangannya sibuk memetik memisahkan cabai dari tangkainya.

"Dia masih berada disana. Mungkin akan tetap berada disana bersama adiknya, tapi aku tidak yakin."

Marsih meraih sebuah pisau kecil. Ia mulai membantu Mbok Kalinem mengupas bawang putih dan bawang merah, sembari sesekali melirik ke arah Mbok Kalinem, memperhatikan wajah wanita itu dari dekat. Dia baru menyadari kalau ternyata Mbok Kalinem memiliki bekas luka memanjang di pipi sebelah kirinya, memang bekas luka itu tidak terlalu besar, namun sepertinya luka itu dulu adalah luka yang cukup dalam.

Mbok Kalinem mengentikan pekerjaannya saat sadar kalau Marsih memperhatikannya dengan seksama. Merasa tertangap basah, Marsih segera menunduk untuk mengalihkan pandangannya. Mencoba berfokus pada satu siung bawang putih di genggamannya. Wanita tua itu menghela nafas panjang. Mbok Kalinem setiba saja mengambil sebilag pisau dari tangan Marsih, merebutnya pelan.

"Ngapain kamu?" tanya Mbok Kalinem datar. Dari nada bicaranya Marsih dapat tahu kalau wanita tua itu merasa tidak nyaman saat dirinya menatap bekas luka yang ia miliki.

"Maaf ...." hanya kata itu yang Marsih dapat katakan atas perlakuan tidak sopannya tadi.

Mbok Kalinem berdiri dengan tertatih. Ia memegang tangan Marsih dan menuntunnya untuk duduk di sebuah meja persegi panjang di ujung ruangan dapur. Tangannya menunjuk pada sebuah bangku, mengisyaratkan pada Marsih untuk duduk disana.

Wanita tua itu berjalan lagi menuju sebuah lemari makanan, ia membuka laci di atas lemari itu dan mengeluarkan semangkuk erwtensoep, sejenis sup yang berbahan dasar kacang ercis dengan kuah berwarna kecoklatan yang kental lengkap dengan daging dan sayuran di dalamnya. Mbok Kalinem segera menghampiri Marsih dan menyuguhkan makanan itu di meja untuk Marsih makan.

"Makan. Lain kali jangan minum alkohol jika perutmu kosong," tukas wanita itu, rupanya Mbok Kalinem mencium aroma alkohol dari tubuh Marsih.

Erwtensoep itu masih hangat, pasti Mbok Kalinem belum lama ini baru membuatnya. Dari mana Mbok Kalinem tahu kalau Marsih belum memakan apapun di pesta itu karena dirinya yang malu dan segera melarikan diri dari keramaian bahkan sebelum ia sempat menyentuh satu jenis makanan pun. Firasat dan insting keibuan wanita tua itu memang sudah melampai batas.

Marsih mulai menyendok suapan pertama sup hangat itu. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit lebih nyaman dan tenang. Sup ini sungguh nikmat, ia tak pernah memakan sesuatu seperti ini sebelumnya. Keahlian masak Mbok Kalinem memang patut diacungi jempol. Perut kosong Marsih mulai terisi sedikit demi sedikit.

Mbok Kalinem mulai melepaskan kalung emas yang berada di leher jenjang Marsih dengan perlahan. Dia juga melepas perhiasan lain seperti anting dan pin yang ia kenakan. Mbok Kalinem mulai membuka kancing kebaya beludru yang ia gunakan dan kini hanya menyisakan Marsih menggunakan sebuah kemben dan jarik batik.

"Enak sekali Mbok! Lain kali ajari aku masak seperti ini ya!" pinta Marsih semangat saat Mbok Kalinem mulai mencoba melepaskan gelungan rambut Marsih.

"Kamu itu aneh, pergi ke pesta makan malam kok ndak makan apa-apa," cecar Mbok Kalinem pada Marsih.

"Aku ndak nyaman berada disana bersama mereka semua, kan sudah ku bilang Mbok. Mereka semua memuakkan," ucap Marsih pelan.

"Memuakkan? Bukannya kau menyukai Tuan Adriaan?" tanya Mbok Kalinem sarkas. Wanita itu mengambil sebuah sisir kayu dan mulai menyisir rambut hitam panjang Marsih pelan.

Bukan tanpa alasan ia menanyakan hal itu pada Marsih. Sesaat sebelum mereka pergi menaiki pedati, Mbok Kalinem sempat melihat Marsih yang tersenyum sedikit merona saat Adriaan menuntun tangannya untuk membantunya masuk ke pedati. Jadi jangan salahkan dirinya jika Mbok Kalinem menyimpulkan kalau Marsih menyukai pria itu.

Marsih segera menengok ke belakang, ke arah Mbok Kalinem yang kini tengah menyisir rambutnya. Ia sedikit terkejut dengan pertanyaan wanita tua itu barusan. Dirinya sendiri bahkan tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan pada Adriaan. Apakah benci? Atas apa yang ia lakukan dan menyalahkannya untuk kematian sang ibu, Jinem. Apakah cinta dan rasa sayang? Atas Adriaan yang telah memberikannya hidup yang sedikit lebih baik dari kehidupan lamanya?

Dilema dirasakan Marsih saat ini. Disatu sisi ia sungguh ingin menyaksikan Adriaan tersiksa oleh karma atas perbuatannya yang menculik Marsih dari ibunya. Namun satu sisi ia tidak ingin menyakiti siapapun dan beranggapan kalau kematian sang ibu itu sudah digarisi oleh takdir.

"Tidak kok Mbok! Aku tidak menyukainya. Dia ... adalah pembunuh yang telah merenggut ibuku dari dunia ini," elak Marsih. Dirinya memilih untuk tetap menyalahkan Adriaan untuk saat ini, tapi dilema itu masih terus bergejolah di hati miliknya.

Keheningan segera datang setelah Marsih mengatakan hal itu. Wanita tua itu tak menjawab perkataan Marsih. Sunyi tak ada percakapan membuat suara derikkan jangkrik dari luar rumah masuk dan menggema di ruangan ini.

Setelah selesai menyisir rambutnya, Mbok Kalinem kembali berjalan menjauhi Marsih. Wanita tua itu memutuskan untuk kembali duduk lesehan di lantai, kembali memunggunginya sembari berusaha menyelesaikan pekerjaannya menyiapkan bahan makanan secepat mungkin sebelum tengah malam tiba sebentar lagi.

"Aku ndak tahu apa yang terjadi padamu sama simbokmu, sampai kau membenci Tuan Adriaan ...," ucap Mbok Kalinem lirih kembali membuka percakapan sembari mulai memetik tangkai cabai lagi. "Tapi ... aku justru bersykur kau membencinya. Karena sungguh ... pria itu memang sudah diluar batas kendali," lanjutnya.

Marsih mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti sama sekali dengan apa yang Mbok Kalinem katakan barusan. Diluar kendali? Apa maksud darinya mengatakan hal itu?

"Apa maksudmu, Mbok?" Marsih tak dapat menahan rasa keingintahuannya dan berakhir menanyakan apa yang wanita itu maksud.

"Kau tidak curiga? Mengapa Tuan Patrick dapat meninggal padahal ia tidak memiliki riwayat penyakit yang mematikan?"

Marsih menatap punggung Mbok Kalinem dengan raut wajahnya yang tak dapat dijelaskan. Ternyata bukan hanya dirinya yang mencurigai sosok Adriaan. Pria itu bisa saja memiliki kemungkinan membunuh pamannya sendiri. Namun Marsih bukanlah tipe orang yang dapat langsung percaya begitu saja tanpa bukti. Ia akan berusaha sekuat tenaga mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku mengenal Adriaan sejak ia kecil, aku tahu dirinya lebih baik dari siapapun. Kau harus berhati-hati..." tutur wanita itu lagi.

Kini Marsih benar-benar ditinggalkan dengan tanda tanya besar di kepalanya. Apa yang dirinya harus lakukan sekarang? Bagaimana ia akan mencaritahu apa yang Adriaan telah perbuat? Dari mana ia akan memulainya? Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti terlintas di benak wanita ini. Sedangkan sudah dua orang berbeda yang memperingati dirinya untuk berhati-hati pada pria berkulit putih itu.

"Siapa kau sebenarnya Adriaan Van Hoëvell?" tanya Marsih dalam hati.

.oo0oo.

Chapter berikutnya bakal epik wkwk tunggu aja :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro