16. Peringatan Pria Tua
"Tidak!" hardik Alysia cepat. "Kau akan mengirimku pergi setelah pernikahanku, tapi sekarang kau ingin menghancurkan pernikahanku juga?!" lanjutnya emosi.
Suasana ruang kerja baru Adriaan sore itu sedikit tegang. Alysia kini tengah berdebat alot dengan sang kakak. Adriaan pasti sudah gila! Tentu saja dirinya mengatakan bahwa ia menolak mentah-mentah keinginan kakaknya yang ingin membawa Marsih sebagai pasangan saat di pernikahannya nanti. Namun kakak keras kepalanya itu tetap saja bersikukuh ingin membawa Marsih ikut serta ke pernikahannya.
Wajah Alysia seakan terlipat dengan alis yang berkerut, rahang yang menggertakan satu sama lain, dan bibirnya yang sedikit mengerucut. Melihat itu, Adriaan tahu betul kalau adiknya saat ini tengah murka. Marsih bukanlah anak pejabat besar pribumi, ia juga bukan anak saudagar kaya, atau anak priayi. Dirinya hanyalah seorang gundik yang entah kenapa kakaknya pelihara. Dalam hal apa Alysia memiliki kewajiban untuk mengundangnya? Tapi diri Adriaan sendiri sangat menginginkan Marsih untuk hadir disana nanti menemaninya.
"Ini acara pernikahanku, Kak! Jangan kacaukan resepsi sakral ini dengan Kakak yang membawa seorang pelacur!" cecar Alysia, wajahnya memerah dan urat-urat di lehernya keluar saat ia mengatakan itu, menandakan emosi dan penekanan dalam setiap katanya.
"Dia akan jadi pendampingku, tak peduli kau setuju atau tidak." seakan tidak memperdulikan amarah adiknya, Adriaan mengambil secangkir teh chamomile dan meminumnya pelan.
"Coba saja bawa gundik itu kalau Kakak berani. Aku akan melucutinya di depan publik!" ancam Alysia pada kakaknya, ia seakan sangat membenci keberadaan Marsih dalam kehidupan Adriaan. Alysia beranggapan kalau Marsihlah pembawa semua nasib buruk yang terjadi pada mereka belakangan ini.
Adriaan menghela nafas berat. Alysia adalah anak yang jujur, ia selalu menepati semua janji-janjinya, tak terkecuali semua ancaman yang ia titahkan juga akan terjadi jika keinginannya tak tersampaikan. Pernah suatu ketika saat ia berumur sembilan tahun, ia bercekcok dengan seorang anak petani pribumi. Anak petani itu dengan lancang meludahi gaun kesayangan Alysia karena gadis itu berkata bahwa pribumi adalah kaum kotor.
Saat itu Alysia sangat murka, amarahnya terbakar melihat gaun cantik miliknya kotor terkena ludah orang rendahan, ia mengancam akan meratakan tanah sawah milik ayah anak itu. Dan yang terjadi setelahnya ialah petani serta keluarganya mati mengenaskan oleh centeng suruhan Patrick dan tanah sawah milik mereka benar-benar diratakan oleh gadis itu. Jadi saat ini, Adriaan tahu kalau adiknya tidak tengah bermain-main dengan ancaman barusan. Walau sang paman telah mati, tapi Alysia pasti memiliki seribu satu cara untuk menyakiti Marsih.
Raut wajah Alysia masih terlihat kesal. Ia akan terus melawan jika kakaknya terus memaksa untuk membawa pelacur itu ikut serta di acara pernikahannya. Mana sudi ia bertatapan dengan wajah wanita pribumi pemuas nafsu itu saat hari ia mengikat janji dengan kekasihnya, sungguh memalukan Adriaan memiliki selera serendah itu.
"Baiklah, mari buat kesepakatan." Adriaan memijit ujung batang hidungnya pelan.
Alysia memutar bola matanya malas. Apalagi yang kakaknya rencanakan ini? Tak menjawab, Alysia hanya menyilangkan kedua tangannya sembari menunggu apa yang Adriaan ingin tawarkan padanya ini.
"Aku tak akan membawanya ikut serta ke acara pernikahanmu." seutas senyum terulas di wajah Alysia, wanita itu merasa ia sudah menang. "Tapi... Biarkan aku membawanya di acara pesta makan malam," lanjut Adriaan.
Senyum diwajahnya hilang seketika, "Tidak bisa! Kakak ti-"
"Mengapa? Kau sendiri juga pasti akan disibukkan dengan Dylan nanti. Aku sendiri yang akan memastikan kalian tidak akan bertemu atau bahkan saling pandang. Ini adalah kesepakatan yang adil, bagaimana?" potong Adriaan mencoba membujuk dan menjelaskan pada adiknya itu.
Gadis berambut pirang ini mendengus pelan. Kakaknya itu memang licik, dengan cara apapun dirinya ingin sekali membawa Marsih ikut serta. Tapi Alysia dapat akui tawaran itu sedikit adil untuk kedua belah pihak. Dengan terpaksa Alysia mengangguk pelan, menyetujui semua itu.
"Kalau aku sampai melihat sehelai saja rambut hitamnya, aku akan benar-benar menghancurkan hidup wanita murahan itu." Alysia beranjak dari tempat duduknya setelah mengatakan hal itu. Ia segera meninggalkan Adriaan di ruang kerja barunya yang tengah senang karena rencana untuk membawa Marsih ikut serta ke sebuah pesta akan jadi kenyataan.
.oo0oo.
Tak terasa, hari pernikahan itu telah tiba. Dari buku yang Marsih pernah baca, pernikahan Belanda harusnya digelar di kediaman pengantin wanita, disini di rumah mendiang Patrick. Namun pernikahan Alysia malah digelar disana di rumah Dylan Vermehr. Entah oleh alasan apa mereka melakukan itu.
Resepsi pernikahan telah digelar tadi siang. Lengkap dengan upacara pengikatan janji pada pagi harinya. Adriaan berkata kalau Alysia sekuat tenaga melarangnya hadir di acara pernikahannya itu. Tapi dia diperbolehkan untuk datang saat acara pesta makan malam. Marsih sendiri tidak menganggap pusing larangan Alysia, toh dia juga tidak peduli jika gadis pirang itu menikah atau tidak.
Marsih kini tengah berada di depan sebuah cermin. Memandangi dirinya yang sudah didandani dengan sangat cantik. Seutas senyum terbentuk di wajahnya ketika melihat pantulan tubuhnya, ia kini mengenakan sebuah kebaya hitam berbahan beludru mahal dan sebuah jarik batik dengan beberapa payet aksen keemasan di ujungnya. Tak lupa selop hitam yang berbahan sama tampil begitu apik.
"Aneh," pikirnya. Adriaan kali ini tidak memaksanya mengenakan sebuah gaun lagi. Dirinya malah membiarkan Marsih memilih apa yang ingin ia kenakan, padahal ini adalah hari pernikahan adiknya yang harusnya berkesan. Terkadang Marsih tidak mengerti dengan jalan pikiran Adriaan.
Rambut Marsih disanggul rapih ke belakang. Didadanya disematkan dua pin emas dan Adriaan juga membelikannya beberapa perhiasan untuk mengiasi tubuhnya. Marsih kembali tersenyum, dirinya nampak seperti ratu kraton yang sangat anggun dan cantik, ini baru jati diri dia yang sebenarnya, seorang wanita Jawa, bukan perempuan pribumi yang terbalut gaun mewah aneh itu.
Adriaan mengetuk pintu kamar mereka yang baru. Semenjak kepindahan mereka kesini, Marsih tidak lagi memiliki kamar sendiri. Adriaan membuat dirinya dan Marsih bergabung dalam satu kamar. Entah keberuntungan atau apa, sudah hampir seminggu ia menetap disini namun lelaki asing itu belum sama sekali menyentuhnya.
Marsih berjalan membukakan untuk pintu agar Adriaan dapat masuk. Di tariknya grendel pintu itu dan tampaklah Adriaan dengan jas hitam dan bersepatu pantofel tengah berdiri di depannya. Wajah Adriaan menunjukkan ekspresi terkejut akan apa yang ia temukan saat ini. Matanya mengedip beberapa kali dan kemudian disusul dengan seutas senyum yang menghiasi wajahnya kini.
Kepala Marsih harus sedikit mendangak untuk melihat Adriaan, lelaki itu memang sangatlah semampai bagai galah. Tentu Marsih harus mendangak untuk melihat raut wajahnya atau ketika sedang berbicara dengannya.
"Nyai, kau..." ucap Adriaan menggantung, jemarinya menyentuh pipi halus Marsih pelan, merabanya penuh dengan hati-hati bagai Marsih adalah abu yang rapuh.
"Kenapa, Meneer?" tanya Marsih khawatir, ia takut kalau tiba-tiba Adriaan akan memintanya untuk mengganti pakaian menjadi ke sebuah gaun, padahal ia sangat menyukai kebaya ini.
"Cantik... Bagai pualam. Ah tidak, pualam saja akan iri jika aku sandingkan dengan dirimu," puji Adriaan. Kedua mata mereka bertatapan dalam, Marsih merasakan kalau Adriaan mengatakan hal yang sebenarnya, tak ada kebohongan disana.
Wajah Marsih sedikit merona mendengar itu, ia tak pernah dipuji sebelumnya. Yang pernah ia dengar hanya candaan dan godaan dewasa yang kerap Sugeng layangkan ketika melihatnya. Marsih menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.
"Tatap aku, Nyai." Adriaan menangkup dagu Marsih untuk membuatnya kembali mendangak dan menatap matanya dalam. "Kau tak usah takut dengan apa yang akan mereka katakan, tenanglah. Ini hanya jamuan makan malam, mereka tidak akan berbuat macam-macam padamu."
Sesaat setelah mengatakan hal itu, Adriaan menautkan kedua bibir mereka. Kali ini tubuh Marsih tak menolak, wanita itu dengan pasrah memberikan ciumannya pada Adriaan. Apakah Marsih jatuh hati?
.oo0oo.
Suasana rumah Dylan saat itu sangat ramai. Bising percakapan antara orang ke orang membuat riuh aula itu saking banyaknya suara yang tercipta. Wajah Marsih khawatir, ia sedikit gugup saat ini. Mengingat bahwa kemungkinan dirinya adalah satu-satunya wanita yang mengenakan kebaya lengkap dengan jarik, sedangkan yang lain mengenakan gaun anggun yang formal.
Adriaan menggenggam tangan Marsih, mereka saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya mulai memasuki area aula.
"Tenanglah," bisik Adriaan pelan ditelinganya tak lupa senyuman ia berikan untuk menenagkan Marsih.
Suara riuh hiruk pikuk orang bercakap-cakap perlahan memelan saat Marsih memasuki pesta itu. Pandangan mereka semua seketika tertuju pada sesosok wanita berkebaya hitam yang berjalan pelan anggun, wanita itu menggandeng berdiri pria berambut pirang disebelahnya.
Tak lama hening itu terasa, suana kembali berbalik dengan mereka yang mulai berbisik. Mengomentari pemandangan yang aneh di hadapan mereka dengan cemoohan kecil. Adriaan Van Hoëvell dikenal sebagai pria yang arogan, ia bahkan tak memiliki tunangan karena setiap ia bertunangan dengan satu gadis, tunangannya tersebut akan segera memutuskan hubungan mereka kurang dari satu tahun.
Entah apa yang Adriaan lakukan pada wanita-wanita mantan tunangannya itu. Memang lelaki itu sangat arogan, namun khalayak tidak mengetahui Adriaan adalah orang yang nekat, buktinya ia dengan tak tahu malu membawa seorang gundik di pemakaman pamannya sendiri. Pemakaman yang hanya dihadiri para orang kulit putih. Dan hari ini, mereka melihat Adriaan dengan sombong berjalan bersama gundik yang sama, di hari pernikahan adiknya sendiri.
Adriaan menuntun Marsih perlahan agar dirinya dapat duduk di sebuah meja bundar. Disana terdapat dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang sudah lebih dahulu menetap duduk disana. Adriaan mengambil tag yang bertuliskan namanya dan membaliknya karena ia sudah datang dan menempati tempat itu.
Marsih menelan ludahnya pelan dengan canggung. Keempat orang dihadapannya seakan tidak ingin menatapnya, tapi mereka secara tidak langsung terus beradu pandang dengan dirinya. Marsih tidak mengetahui bagaimana harus bersikap dan hanya dapat menunduk dan sesekali melirik ke arah Adriaan.
"Tenanglah Nyai, ini tak seperti pemakaman pamanku. Ada beberapa pejabat pribumi disini, perwakilan dari keresidenan. Lagipula jika tak ada mereka, kau masih memilikiku." Adriaan menyentuh punggung tangan Marsih untuk kembali menenangkannya.
"Aku hanya... Sedikit canggung saat ini," balasnya pelan.
"Selalu akan ada hal yang pertama kali dicoba." Adriaan tersenyum. "aku akan pergi ke sebelah sana menemui beberapa orang penting. Ingat perkataanku tadi siang, kan?" lanjutnya menanyakan Marsih.
Marsih tersenyum pelan mendengar itu, ia mengangguk paham. Adriaan memintanya jika ia lelah dirinya boleh terlebih dahulu pulang meninggalkan Adriaan di pesta ini. Wajahnya sedikit lega dan tidak terlalu tegang seperti tadi. Pria itu mulai berjalan menjauihinya setelah memastikan Marsih akan baik-baik saja sendirian.
Di hadapan Marsih, tepatnya di meja bundar itu terdapat jamuan makanan besar yang sudah disusun sedemikian rupa. Disana terdapat satu buah ayam utuh panggang yang masih berasap, aroma bakaran yang menggugah selera segera tercium di hidung Marsih. Di sebelahnya terdapat daging cincang yang ditumis menggunakan beberapa jenis sayuran, dan masih banyak makanan lain yang terjejer rapih disini.
Tatapan Marsih tertuju pada segelas wine yang tersedia tepat di sebelah tangan kanannya. Membayangkan seperti apa rasa minuman beraroma kuat itu, ia sudah sering membersihkan gelas bekas para Londoe yang meminumnya di hotel saat ia dulu bekerja disana. Tampaknya orang berkulit putih menyukai minuman ini. Seorang wanita bergaun di depannya menatapnya dengan sebuah senyuman.
"Pertama kali?" tanyanya pelan menggunakan Bahasa Indonesia dengan aksen Belanda yang kental.
Marsih mengangguk pelan, ia tersenyum pelan. "Iya, tak pernah mencoba ini sebelumnya." jarinya menunjuk segelas wine itu.
"Ah bagus! Bagaimana kalau kau mencobanya?" usul wanita dengan mata hijau itu.
Wanita itu mengangkat gelas Marsih dan memberikan gelas itu di tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri wanita itu juga menggenggam gelas wine yang sama.
"Ini, ambilah." wanita itu menyodorkan gelas itu. Marsih mengambilnya dengan ragu. "Ayo... Tidak apa-apa, segelas wine tak akan menyakitimu," ucap wanita itu lagi.
Gelas itu kini telah berpindah tangan dan berada di tangannya saat ini. Wanita asing itu tersenyum saat Marsih melakukan hal itu. Kemudian perempuan bermata hijau itu mulai menyatukan kedua gelas mereka cepat, menghasilkan suara khas dua gelas kaca yang beradu. Marsih tak mengerti untuk apa ia melakukan itu.
"Setelah melakukan ini, kau dapat meminumnya," ujarnya pelan sembari mulai meminum sesuatu dari gelas itu.
Marsih mulai meniru apa yang wanita itu lakukan. Ia mulai menyatukan gelasnya dan gelas wanita itu cepat, dua gelas itu beradu dan menghasilkan suara kaca yang berdenting. Dan kemudian dengan perlahan Marsih mulai meminum cairan bewarna merah kehitam-hitaman itu, menenggaknya banyak hingga tersisa hanya sedikit.
Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Marsih yang terbatuk-batuk dan wajahnya menunjukkan ekspresi yang tidak menyenangkan. Ia segera menjauhkan gelas wine itu dari hadapannya dan segera mengambil gelas lain yang berisi air putih. Rasa wine begitu aneh. Pahit, pekat, dan ada sensasi sepat saat minuman itu telah tertenggak sempurna. Marsih tak menyukai itu.
Gelak tawa para tamu di sekitarnya segera terdengar. Rupanya mereka sedari tadi memperhatikannya dan kini mereka menertawakan Marsih yang baru pertama dalam hidupnya kali mencoba alkohol. Wajah Marsih merona merah, entah karena alkohol yang ia minum atau karena malu.
Marsih mengambil sebuah serbet dan segera meninggalkan meja bundar itu. Ia akan mencoba pergi menyendiri walau entah kemana, dirinya tak ingin berada berlama-lama disana dan akan disuruh melakukan sesuatu lagi oleh mereka lalu akan kembali ditertawakan, dirinya sudah cukup untuk itu.
Tubuhnya hanya berjalan lurus ke depan ke sebuah balkon yang pintunya terbuka. Ia segera berjalan ke arah balkon itu, setelah memastikan tak ada orang disana. Marsih menghela nafas dalam, ia tak nyaman berada di pesta penuh dengan orang berkulit putih, dia merasa seperti seorang badut penghibur yang berada disini hanya untuk menjadi objek bahan tertawaan.
Ia bersender pada pegangan balkon, menyenderkan tangannya disana dan hanya menatap ke arah langit yang penuh bintang. Langit malam itu begitu indah, seakan bintang-binyang tengah mamerkan kebahagiaanya, menyombongkan sinar terangnya pada Marsih yang merasa sedikit sedih.
"Kau suka bintang?" tanya sebuah suara berat yang berada dibelakang Marsih. Suara itu sedikit mengejutkannya.
Marsih berbalik ke belakang dan menemukan seorang pria paruh baya yang rambutnya telah sedikit memutih tengah mengajaknya berbicara. Marsih tak mengenal pria itu, tapi tampaknya pria itu mengenal dirinya.
"Ah iya... Aku suka bintang-bintang," balasnya sedikit canggung.
Lelaki itu membawa dua buah gelas berisi wine, ia menyodorkan salah satunya pada Marsih.
Marsih menggeleng pelan, "Tidak terima kasih, aku tidak menyukai rasanya."
"Kita tidak meminumnya karena rasanya enak. Kita meminumnya karena efek yang minuman ini berikan, rasa hangat di badan yang dapat menjaga kita dari musim dingin atau beberapa orang meminumnya untuk rasa seperti terbang dan melayang. Ini ambilah." pria itu kembali menyodorkan segelas wine itu padanya.
Marsih menerima gelas itu, namun dirinya tidak sama sekali mencoba untuk meminumnya lagi, ia tidak mau merasakan sensasi aneh saat ia meminum minuman asing itu.
"Dan kau tadi salah, kau seharusnya meminumya sedikit demi sedikit, bukan dengan menenggaknya habis seperti tadi. Tentu saja kau terbatuk," ucap pria itu lagi.
"Kau melihatku juga? Apa kau ikut mentertawaiku?" tanya Marsih sedikit sarkas.
"Tentu saja, aku tak mentertawaimu tapi iya aku melihatmu. Semua orang melihatmu." pria itu mulai meminum wine di tangannya. "Memperhatikan wanita pribumi milik seorang Adriaan Van Hoëvell yang arogan, melihat wanita yang mengenakan sebuah kebaya hitam," lanjut pria itu lagi.
Marsih melirik pria itu, ia tak menjawab perkataannya barusan dan hanya diam kembali menatap langit.
"Apa kau mengenalku, Tuan?" tanya Marsih akhirnya membuka mulutnya, siapakah pria ini?
"Iya, Nyai Marsih. Semua orang mengenalmu, nyai baru milik Adriaan. Apakah kau mengenalku, Nyai?" tanya pria itu balik padanya.
Marsih menggeleng pasrah, ia tidak mengenal siapa pria itu. Dan tentu saja semua orang pasti mengenalnya. Dia satu-satunya wanita pribumi yang terlihat berani datang ke acara pemakaman orang berkulit putih dan menggunakan sebuah kebaya di pernikahan Alysia Van Hoëvell yang membencinya.
"Aku Tyson Vermehr, salam kenal Nyai Marsih."
Vermehr? Marsih seperti familiar dengan nama keluarga itu. Ah! Dylan Vermehr, tunangan Alysia yang kini telah menjadi suaminya. Jadi lelaki disebelahnya ini adalah keluarga Vermehr juga, apa hubungan pria ini dengan Dylan?
"Maaf Tuan, apakah kau?" tanya Marsih menggantung.
"Iya, aku ayah dari Dylan Vermehr."
Raut wajah Marsih seketika berubah menjadi terkejut mendengar itu. Ia tengah berhadapan dengan orang yang menjadi besan Adriaan saat ini, dan sedari tadi dirinya terus bersikap tidak sopan padanya, mengingat pria di depannya ini pastilah bukan pria sembarangan.
"Kenapa begitu terkejut? Siapa yang kau harap dapat kau temui?" tanya Tyson.
"T-tidak aku hanya," ucap Marsih gugup.
"Tak perlu merasa canggung atay segan denganku. Aku bukan Dylan yang tinggi hati. Anak itu dibesarkan dengan kesombongan dan dimanja oleh ibunya," balasnya pelan dan kembali meminum wine ditangannya.
Keheningan menyapa keduanya. Suasana angin malam yang dingin seakan menusuk tubuh Marsih. Wanita itu akhirnya mulai mencoba kembali meminum wine yang sedari tadi ia pegang, meminumnya sedikit seperti saran Tyson tadi.
"Manis." Marsih membuka kembali percakapan mereka dengan mengomentari rasa wine yang terasa berbeda jika ia meminumnya secara perlahan.
Tyson tersenyum mendengar hal itu, "Aku selalu ingin anak perempuan, dan aku mendapatkanya hari ini," ujar Tyson pelan membicarakan Alysia, istri baru Dylan. "Alysia anak yang baik, dia sepertinya benar-benar mencintai putraku."
"Aku pernah bertemu dengan putramu sekali. Wajahnya tampan, kulitnya putih pucat dengan sedikit bercak kecoklatan, tubuhnya tinggi sama seperti Adriaan, rambutnya bewarna coklat pekat dengan mata coklat pula. Namun wajahnya selalu tampak marah," jelas panjang Marsih mencoba mendeskripsikan seperti apa Dylan itu.
Tyson tertawa mendengar itu. "Dirinya akan murka saat mendengarmu mengatakan hal itu."
"Untung saja aku bertemu dengan ayahnya bukan dengannya," gurau Marsih.
Tawa sekali lagi terdengar dari Tyson. "Kini aku paham mengapa Adriaan menyukaimu, kau cukup lucu."
Marsih tersenyum mendengar Tyson yang sedikit senang terdahapnya. Suasana diantara mereka kini telah mencair bagaikan balok es yang akan berubah menjadi air seiring waktu.
"Tapi ... kita tak akan bertemu lagi," kata Tyson meminum tegukkan terakhir wine dari gelasnya.
"Mengapa kita tidak akan bertemu lagi? Bukankah karena putramu menikahi Alysia kita jadi akan sering bertemu?" tanya Marsih heran.
"Iya ... itu juga yang awalnya kupikirkan. Namun aku harus kembali pulang ke negara kelahiranku, Netherland."
Wajah Marsih yang tadinya tersenyum mendadak hilang. Ia bahkan baru mengenal Tyson hari ini, namun dirinya sudah akan kehilangannya. Tak dapat Marsih pungkiri ia menyukai pria paruh baya ini. Tyson adalah salah satu dari kaum berkulit putih yang tidak merendahkannya dan memperlakukannya seperti orang normal pada umumnya.
"Aku pasti akan merindukanmu Tuan Tyson," balas Marsih pelan.
Sekali lagi gelak tawa Tyson pecah oleh perkataan Marsih barusan. "Senang rasanya dapat dirindukan oleh gadis secantik dirimu Nyai." canda Tyson.
Marsih tersenyum mendengar pujian Tyson barusan.
"Tapi sangat disayangkan, kau adalah gundik milik Adriaan."
"Mengapa memangnya jika aku gundik milik Adriaan, Tuan?" tanya Marsih penasaran dengan apa yang pria itu maksud.
"Aku tahu kita baru saling mengenal malam ini. Terserah padamu ingin mempercayaiku atau tidak, tapi... Aku berharap kau dapat menjauh dari pria semacam Adriaan. Kau terlalu berharga untuk orang sepertinya," kata Tyson panjang.
Kedua alis Marsih bertaut, menandakan bahwa ia bingung dengan apa yang Tyson tengah bicarakan. "Orang seperti apa maksudmu, Tuan?" tanyanya lagi.
"Yang pasti bukanlah orang yang kau bayangkan. Dia... Bukanlah pria baik," balas Tyson dengan tatapan serius miliknya.
.oo0oo.
Sorry buat typo, enjoy!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro