15. Pemakaman Bangsawan
"Nyai, Patrick pamanku telah meninggal. Semalam Alysia mengirimkan surat lewat seekor merpati," ucap Adriaan berat membuka percakapan mereka pagi itu.
Mereka berada di meja makan saat ini, seperti biasa bercakap sembari menunggu makanan untuk disajikan. Marsih hanya terdiam dan sedikit tertegun mendengar kabar duka itu, ternyata kematian Patrick benar terjadi, dan perkataan Adriaan tempo hari bukanlah sebuah omong kosong. Sungguh pria di depannya ini adalah pria yang berbahaya.
"Bagaimana dengan pernikahan Alysia? Acara pemakaman akan membuat pernikahannya tertunda bukan?" tanya Marsih penasaran dengan spontan. Ia seketika tersadar atas hal yang ia tanyakan bukanlah hal yang sopan pada orang yang tengah berduka, "Ah, maaf Tuan ... aku tidak bermaksud," lanjutnya dengan penyesalan.
"Tidak apa, kau pasti tidak sengaja mengatakan hal itu. Pernikahan adikku tidak akan diundur, semua sudah disiapkan. Mereka akan menikah setelah prosesi pemakaman."
"Aku ... aku turut berduka untuk itu, tuan," balas Marsih sayu, ia berusaha menunjukkan simpati pada Patrick walau dia pernah menghinanya. Bagaimana pun ia juga seorang manusia, dan Marsih paham betul bagaimana rasanya kehilangan sosok yang ia cintai.
"Terima kasih, Nyai. Kau mau datang ke pemakamannya?" tanya Adriaan pada Marsih. Wajah pria itu nampak datar, tak ada satu ekspresi dan emosi dari pancaran matanya.
"Ah, aku takut kalau aku menganggu proses pemakaman Tuan, aku di sini saja bersama Darmi dan Mbok Kalinem," tolak Marsih pelan, sebenarnya ia tidak ingin ikut karena takut akan apa yang akan ia lihat nanti disana.
"Datanglah bersamaku Nyai, dampingi aku disana," ajak Adriaan sembari menatap mata Marsih dalam. Marsih tak menemukan emosi di tatapan Adriaan, hanya sebuah pandangan kosong yang seakan merasuki jiwanya. Entah ia kalut dalam relung kesedihan atau ia memang tidak merasakan sedih sama sekali, Marsih tak bisa membedakannya.
Marsih tak menjawab. Ia sudah tahu kalau Adriaan telah memintanya, ia tak lagi memiliki hak untuk berdalih atau bahkan menolak. Perempuan itu lalu mengangguk pasrah sebagai persetujuan akan kehadirannya dalam pemakaman Patrick. Mungkin memang Adriaan membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini.
Darmi memasuki ruangan makan membawa sebuah nampan dan memecah keheningan mereka. Seketika wangi aroma panggangan roti tercium semerbak ke seluruh ruangan. Kali ini Darmi membawa nampan berisi ontbijtkoek, kue bolu dengan bahan dasar gandum hitam yang kaya akan rempah, diatas ontbijtkoek terdapat mentega yang masih meleleh karena uap panas dari kue tersebut. Di nampan itu juga terdapat secangkir kopi hitam pekat dan secangkir teh darjeeling.
"Maaf Nyai, tak ada bubur hari ini. Aku hanya ingin menikmati sarapan yang ringan," ungkap Adriaan.
"Tidak apa Tuan, sudah ku bilang aku menyukai semua jenis makanan, ini sudah lebih dari cukup."
Keheningan kembali menyapa mereka. Adriaan sibuk menyeruput kopi hitamnya, sedangkan Marsih dengan teh serta pikirannya yang melayang entah kemana. Gadis ini mulai memakan ontbijtkoek dalam diam, lubuk hatinya ingin mengajak pria itu berbicara namun badannya enggan melakukannya. Dan disinilah kedua insan dalam sunyi dengan tatapan kosong dan pikiran kalut masing-masing.
.oo0oo.
"Harusnya kau membiarkanku memakai kebaya dan jarik saja, Meneer," tutur Marsih menyentuh gaun hitam yang ia tengah kenakan. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak nyaman dengan apa yang kini ia tengah kenakan.
"Sebuah kebaya? Di pemakaman pamanku? Yang benar saja, kau ingin mempermalukanku?" sindir Adriaan pelan dengan sebelah alisnya yang naik ke atas.
Mendengar itu, Marsih menghela nafas dan segera memalingkan wajahnya keluar jendela pedati, mencoba memusatkan pandangannya pada hamparan rumput yang bagai karpet hijau tebal di tanah. Mereka kini dalam perjalanan untuk ke rumah Patrick untuk acara pemakamannya.
Gadis ini sedikit kesal pada Adriaan, tapi ia mencoba menyembunyikan raut kekesalan itu di wajahnya agar pria itu tak ikut marah. Adriaan memaksanya untuk memakai sebuah gaun hitam selutut dengan renda bunga di ujung-ujungnya. Marsih juga mengenakan sebuah topi hitam besar dan sebuah sarung tangan yang berwarna senada. Tak lupa pria itu memintanya mengenakan sepasang sepatu hitam berhak sedikit tinggi.
Rambutnya sengaja tergerai indah ke belakang yang akan tersapu angin ia saat berjalan dan memberikannya kesan anggun. Marsih tampak sangat menawan saat ini, bak boneka-boneka yang kerap dimainkan oleh para noni muda. Namun ia sendiri merasa asing ketika mengenakan sebuah gaun, tubuhnya menerima tapi jati dirinya seakan menolak hal itu.
Tapi apa yang dapat ia lakukan? Adriaan bisa-bisa mengancamnya untuk hanya mengenakan sebuah gaun. Entah kenapa pula Adriaan akan merasa malu jika ia menggunakan kebaya. Ia adalah pribumi, wanita yang lahir dari rahim seorang wanita jawa tulen. Kodratnya untuk terus menjadi wanita jawa pula, kenapa ia harus mengenakan sebuah gaun? Lagipula, ia adalah seorang rakyat biasa sekaligus gundik simpanan, untuk apa tampil cantik mengikuti para kaum kulit putih?
Pedati melambat saat mulai memasuki kawasan rumah besar itu. Gerbang setinggi dua meter terbuka lebar dengan pengawasan beberapa penjaga di depannya. Sekali lagi Marsih terpesona melihat rumah yang mewah itu. Rumah putih, begitulah Marsih membedakan rumah ini dengan rumah lain. Walau warna rumah ini bewarna coklat susu, tapi warna putih dominan di dalamnya, maka itu ia memberikan nama rumah putih. Pikirannya kembali melayang, membayangkan betapa asiknya jika ia dapat membawa sang ibu yang masih hidup ikut serta berjalan-jalan di sekitar pekarangan rumah yang masih asri.
Pedati telah berhenti, Adriaan merapihkan jasnya sedikit sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar. Pria itu keluar pertama, dan seperti biasa ia mengulurkan tangannya ke belakang untuk membantu Marsih keluar juga. Langkah Marsih sedikit kaku, maklum saja, dirinya tidak pernah mengenakan sepatu dengan hak sebelumnya, tentu ia tak terbiasa dengan ini.
Dengan terhuyung-huyung ia mencoba berjalan normal, perlahan namun pasti ia dapat berjalan normal tapi harus ekstra hati-hati. Saat sudah berada tepat di luar pedati, Adriaan melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu, untuk membuat orang tidak menganggunya dan seakan memberi tahu khalayak ramai kalau Marsih adalah miliknya. Tapi terlambat, mereka memang tak bisa mengganggu Marsih dari dekat, tapi omongan pedas mereka sampai dengan baik di telinga gadis pribumi ini.
"Lihat itu."
"Ah tak tahu malu, membawa pelacur diacara peristirahatan pamannya sendiri!"
"Dasar penjilat dan pelacur, mereka layak bersama," bisikan orang-orang mulai masuk ke telinga Marsih dan Adriaan saat memasuki ruangan dimana peti mati berada. Mereka mengecam keberadaan keduanya yang tampak sungguh menganggu pandangan.
Marsih menundukkan kepalanya pelan, malu rupanya. Ia tak pernah merasa begitu direndahkan selain berada disini. Wajahnya memerah oleh perkataan orang-orang yang begitu membenci dan menghinanya hanya karena ia menjadi seorang pribumi. Tak bisakah mereka menggunakan Bahasa Belanda untuk mencaci makinya supaya Marsih tidak dapat mengerti apa yang mereka katakan? Tapi sepertinya itu adalah tujuan utama, mereka sengaja mengatakan itu dalam bahasa yang Marsih kuasai supaya ia merasa tertekan dan tahu diri.
Gadis ini melirik ke arah Adriaan. Pria itu tetap menaikkan dagunya tinggi, sama sekali tidak merasa terganggu dengan perkataan semua orang yang berada disini. Wajahnya datar, tak mengeluarkan emosi sedikit pun walau saat ini adalah hari dimana pamannya telah meninggal dunia.
Mereka berjalan perlahan sampai tibalah mereka tepat berada di depan peti mati Patrick yang terbuka. Marsih sedikit khawatir untuk melihat ke dalamnya. Dengan perlahan Marsih menatap jasad pria tua itu yang telah sepenuhnya memucat, wajahnya membiru, dengan mata tertutup sempurna. Ia mengenakan sebuah jas hitam rapih dengan sepatu pantofel hitam mengkilat senada. Di tangannya tergenggam sebuket bunga mawar merah segar.
Marsih sedikit tersenyum miris. Pria asing ini bahkan dapat dimakamkan dengan layak dan mewah sedangkan penduduk asli pribumi seperti ibunya tidak mendapat lahan pemakaman yang layak. Jenazah pria tua arogan ini bahkan memiliki rambut yang tersisir rapih ke belakang dan pakaian yang apik, berbeda jauh dengan Jinem yang perawakannya mengerikan berbalut jarik lusuh saat dia menguburkan jasadnya. Ingin sekali Marsih tertawa kencang saat ini, menertawakan betapa menyedihkan hidup dia, ibunya, dan para pribumi yang bernasib sama.
Adriaan menarik tangannya yang tertahan oleh Marsih. Tak dia sadari Marsih melamun menatap mayat Patrick dalam. Pikirannya meracau mengutuki keberuntungan para kaum kulit putih ini. Dan lamunan itu tersadar saat Adriaan menarik tangannya.
Mereka berjalan menjauhi peti mati agar yang lain dapat bergantian menengok ke dalam peti itu, cemoohan orang-orang masih terdengar memaki mereka dalam semua kata makian yang Marsih pernah dengar.
"Tenanglah Nyai, kita akan pindah kesini besok. Mereka juga akan bungkam oleh waktu, tak ada yang dapat mencacimu lagi setelah ini," bisik Adriaan pelan tepat di depan telinga Marsih.
Adriaan perlahan berjalan meninggalkannya untuk menemui Alysia yang tengah menangis haru. Wanita itu mengenakan gaun hitam yang anggun dengan sapu tangan putih di telapak tangannya untuk mengusap air mata. Adriaan merentangkan tangannya dan menangkup tubuh ringkih adiknya yang tengah bersungkawa itu, Alysia pun kembali menangis histeris sembari memeluk tubuh kakaknya.
Tubuh Marsih membatu. Bisikan Adriaan masih terngiang di kepalanya. Pria itu bersikap seakan tidak sedang berduka, malah terkesan lebih mementingkan harta dan kekuasaan. Apakah mungkin? Kecurigaan Marsih seketika muncul kembali. Benarkah pria itu membunuh pamannya sendiri? Marsih menatap nanar ke arah Adriaan dan Alysia yang tengah berpelukan haru. Tak sengaja mata Adriaan dan mata Marsih bertemu, raut wajah Marsih seketika berubah menjadi keterkejutan saat melihat sebuah senyum terutas di bibir Adriaan. Iya, pria itu tersenyum, dihari pemakaman keluarga dekatnya sendiri.
.oo0oo.
Terik matahari yang bersinar sungguh terang seakan membakar kulit setengah sawo matang Marsih. Tapi wanita itu seakan sudah biasa dengan hal itu, terik matahari tak lagi menganggunya apalagi membuatnya harus menghindarinya. Lain dengan Adriaan yang mencoba menutupi wajahnya dari panas matahari dengan tangannya, karena jika kulit putihnya terpapar sinar matahari, kulit seputih salju itu akan berubah kemerahan dengan bercak-bercak terbakar.
Adriaan berjalan cepat meninggalkan Marsih, pria itu tampaknya sedang menghindari panasnya terik matahari memaparnya lebih jauh. Marsih mendangakkan kepalanya ke atas, menatap rumah besar yang berada di depannya. Sudah ketiga kalinya ia berada disini, namun tak henti-hentinya ia mengagumi keindahan rumah besar ini. Dan kini, ia masih tak percaya dirinya akan mulai tinggal di rumah yang ia tengah kagumi.
Di belakang Marsih terdapat Darmi yang tak sudah-sudahnya membuka mulutnya lebar, ia juga sama kagumnya dengan Marsih saat pertama kali melihat rumah sebesar ini. Disusul dengan Mbok Kalinem yang berjalan perlahan menggunakan sebuah buntalan kain besar berisi baju-bajunya. Disana juga ada Kang Nanang, pria itu menghampiri Marsih pelan.
"Nyai, sini biar saya saja yang bawa itu," tawar Kang Nanang pada Marsih, rupanya pria itu ingin membantu Marsih membawa barang bawaannya.
"Jangan panggil aku nyai Kang, nona saja cukup," pinta Marsih dan diangguki oleh pria rua itu. Ia segera mengambil barang bawaannya untuk segera mengangkutnya pergi.
"Aku dan Darmi akan langsung ke kamar pembantu," ucap Mbok Kalinem, ia menarik lengan Darmi dan mereka juga pergi meninggalkan Marsih sendiri.
Dengan perlahan ia mulai memasuki rumah besar itu. Tubuhnya mulai berjalan pelan ke arah dalam. Marsih menatap ke bawah, ke arah kakinya yang tengah berbalut sebuah selop cantik bewarna senada dengan kebaya yang ia tengah kenakan.
Wajahnya terpukau dengan ornamen lantai yang bercorak hitam putih yang membuat kesan monokrom. Ia tak pernah mengenakan sebuah alas kaki dalam rumah sebelumnya, bahkan di gubuk berlantai tanah saja ia tidak mengenakan alas kaki. Namun ia kini dapat bebas berjalan di rumah ini menggunakan selopnya kemana saja yang ia inginkan.
Sebuah tangga besar yang melingkar segera mengalihkan pandangan Marsih. Tangga itu dipulas dan disemir dengan teliti hingga pegangannya saja terlihat mengkilat sangat mewah. Karpet merah menyelimuti permukaan tangga dengan sempurna, kesan kontras warna merah dengan hitam ternyata tidak buruk juga.
Marsih kembali berjalan, menatap ke arah lukisan-lukisan mewah yang tergantung di dinding. Berjejer rapih menghiasi area lorong yang membuatnya terlihat sangat indah dan tidak membosankan. Pandangannya tertuju pada satu lukisan besar yang berada di aula utama. Lukisan dengan bingkai perak yang indah.
Di dalamnya terdapat wajah Adriaan yang masih remaja mengenakan jas biru muda, disana terdapat wajah Alysia kecil yang tampak imut dengan gaun bewarna merah jambu. Tak lupa dibelakang mereka berdiri Patrick yang tengah memegang pundak Adriaan. Lukisan itu adalah sebuah potret keluarga, entah mengapa lukisan itu seakan membuat Marsih merasa geli saat melihatnya. Ternyata wajah Adriaan sejak dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah, tetap sama angkuhnya.
Sayup-sayup terdengar suara alunan piano tengah dimainkan di telinga Marsih. Rasa penasarannya muncul, siapakah yang tengah memainkan piano dengan indahnya saat ini? Dengan sedikit ragu namun ingin tahu ia berjalan mengikuti suara alunan piano itu, lantunan tuts yang ditekan begitu menenangkan telinga. Langkahnya lambat terbawa ke suatu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.
Perlahan Marsih membuka pintu kayu besar itu. Saat pintu terbuka sempurna, ia menemukan Alysia tengah memainkan piano dengan khusyuk. Wanita itu duduk sendirian, ia mengenakan gaun bewarna coklat susu dengan lengan gaun yang berjenis sabrina. Tataan rambut pirangnya simpel dengan sebuah kepangan tinggi yang akan tampil manis, senada dengan apa yang tengah ia kenakan.
Alysia menghentikan permainannya dan menoleh cepat ke belakang saat merasakan kalau dirinya terganggu, dan tahu kalau kini tidak sendirian lagi di ruangan ini. Dia menemukan Marsih yang tak sadar berjalan mendekat kini sudah berjarak sekitar dua meter darinya. Marsih terkejut dan menghentikan langkah kakinya, yang ia bahkan tidak sadar karena permainan pianonya yang sangat apik. Marsih dapat melihat Alysia yang menatapnya dengan sorot tatapan penuh kebencian seperti biasa.
Wajah wanita itu pucat, kantung matanya membesar, tatapan matanya sayu walau masih tergambar rasa geram, dan wajahnya tampak sembab, wanita Belanda itu hampir seperti mayat tanpa jiwa. Marsih beranggapan Alysia masih dalam keadaan berduka serta kehilangan. Sepertinya ia benar-benar menyayangi satu pamannya itu. Raut wajah lelah letih tergambar jelas di muka cantik Alysia.
"Kau ... aku tak memiliki tenaga untuk meladenimu saat ini. Pergilah sana!" perintah Alysia pelan dan kembali memulai melanjutkan permainan pianonya.
"Maaf, aku turut berdua dengan apa yang terjadi pada pamanmu," balasnya lirih.
Alysia menghentikan jari jemarinya. Ia kembali berbalik dan menatap Marsih marah. Emosinya tersulut kala mendengar sang gundik yang dia benci mencoba menenagkannya dengan mengucapkan belasungkawa.
"Apa yang kau tahu soal kehilangan?! Ku bilang pergi!" kini ia mulai berteriak kencang.
Marsih seketika merasa bersalah telah menganggu waktu Alysia. Ia pernah merasa di fase kehilangan dan berduka, oleh karena itu ia mengangguk pelan lalu mulai beranjak pergi meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Alysia sendiri. Rasa duka kadang membuatmu menyalahkan semua orang atas apa yang terjadi, atas sesuatu yang merenggut orang yang kau cintai, dan Marsih paham akan amarah itu.
Sesaat setelah Marsih menutup pintu, ia dapat mendengar suara lantunan piano kembali dimainkan, namun kini berbeda, sebuah isakkan tangis kecil mengiringi alunan piano itu pelan dan lambat.
.oo0oo.
Di mulmed itu wajahnya Paman Patrick ya.... Maaf kalo banyak typo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro