14. Alysia dan Dylan
"Kau suka bubur?" tanya Adriaan pada Marsih. Saat ini mereka berada di ruang makan sedang menunggu sarapan mereka disajikan.
Marsih mengangguk cepat, "Aku suka semua makanan, Tuan," ucapnya berterus terang. Tentu saja ia menyukai segala makanan, ketika ia dapat memakan sesuatu saja dirinya sudah merasa sungguh bersyukur untuk itu. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi pemilih dalam memakan sesuatu?
Darmi masuk perlahan ke area makan dengan membawa sebuah nampan makanan. Di dalamnya terdapat dua buah mangkuk berisi bubur berwarna putih pucat yang masih berasap. Ia meletakkan sebuah mangkuk di depan Marsih, mereka bertatapan sesaat. Dalam tatapannya Darmi terlihat begitu bersyukur bahwa Marsih masih hidup dan tidak terluka banyak. Karena pasca sekembalinya Marsih dari pasar dengan keadaan yang menyedihkan, Darmi dan Mbok Kalinem lah yang merawatnya saat ia tak sadarkan diri.
Adriaan tak menyentuh makanannya, ia malah menatap Marsih dalam, ia tak mengatakan apapun dan hanya terus menatap Marsih yang tengah menyantap sarapan miliknya. Jujur dalam hati Adriaan kini tengah mengagumi wajah sempurna bak malaikat di hadapannya ini, namun ia tidak bisa memuji Marsih dan masih menikmati memperhatikan wanita itu diam-diam.
"Kenapa Tuan? Ada yang salah?" tanya Marsih sedikit risih, ditatap terus menerus selama beberapa menit membuatnya jengah dan memutuskan untuk bertanya pada pria itu apa maksud dirinya melakukan hal tersebut.
"Ah, kau sadar rupanya," tutur Adriaan pelan, ia menyilangkan tangannya di dada dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Bagaimana bisa aku tidak sadar, kau menatapku seakan ingin memakanku hidup-hidup." Marsih mengendikkan bahunya kecil, pertanda ia tidak mengerti apa yang pria itu lakukan.
"Kau kan, masih sakit."
Marsih terhenyak. "Lalu mengapa jika aku masih sakit?"
"Aku tak bisa 'memakanmu' dulu, kau orang sakit," cetus Adriaan. Satu alisnya naik setelah ia mengatakan hal itu, menandakan gurauan dengan maksud tertentu.
Marsih tertawa renyah mendengar candaan dewasa Adriaan, wajahnya sedikit memerah malu akibat hal itu. Seutas senyum terulas di wajah Adriaan karena sukses telah membuat wanita yang ia sukai tersenyum, bahkan tertawa kecil.
"Kalau begitu aku tak ingin sembuh. Akan menyakitkan jika seseorang memakanku hidup-hidup." gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, enggan akan racauan aneh Adriaan tadi.
Adriaan tertawa, "Tidak, Nyai, kau pasti akan menyukainya nanti," ujarnya kembali dengan senyuman.
Marsih hanya menganggukkan kepalanya, ia tak sepenuhnya mengerti namun ia paham apa yang pria itu maksud. Sarapan miliknya kini telah sepenuhnya habis, semangkuk bubur yang begitu enak, semua pasti buatan Mbok Kalinem. Adriaan hanya memakan beberapa sendok dan meninggalkan sisa makanan yang begitu banyak.
"Aku akan pergi setelah ini," ujar Adriaan.
"Pergi kemana, Tuan?" tanya Marsih hanya sekedar basa basi.
"Ke pasar, obat yang ku pesan tempo hari telah jadi. Aku akan mengambilnya hari ini."
"Sudah jadi ya obatnya. Kalau begitu ... bolehkah aku ikut denganmu?" pinta Marsih. Ia sengaja meminta ikut supaya dapat tahu gerak-gerik apa yang akan pria ini lakukan dan dapat melancarkan aksi balas dendamnya lebih mudah jika ia mengetahui apa yang akan pria ini lakukan.
"Tidak, badanmu masih lemah Nyai. Lagipula apa kau tidak takut jika bertemu preman pasar yang hampir saja memperkosa dirimu?" tanya Adriaan sembari mulai bersiap-siap dengan mengenakan jas hitam miliknya.
"Tak ada yang aku takuti di dunia ini selain kematian," balasnya lirih. Tentu saja ia takut akan kematian, kematianlah yang berani memisahkan dirinya dengan sang ibu.
"Gadis yang berani. Tapi tidak, kau tetap disini."
Marsih mengerutkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya kesal. Ia harus mengetahui apa yang akan pria itu lakukan disana, obat apakah itu? Lagipula untuk siapa obat itu Adriaan beli? Ia harus mengetahui semua jawaban dari pertanyaannya.
Adriaan tertawa melihat ekspresi marah Marsih yang terkesan imut di matanya. Ia mendekati gadis itu dan mencium keningnya pelan.
"Banyaklah beristirahat, kau akan aku ajak keluar. Namun tidak sekarang, kau masih sakit, jadi cepatlah sembuh," ujar Adriaan memberi pengertian kenapa ia tak bisa membawanya ikut serta kali ini.
Marsih mengangguk pasrah. Tak ada lagi yang ia bisa bujuk, badannya memang masih lemah saat ini, namun menurutnya ia akan baik-baik saja nanti disana. Adriaan melangkahkan kakinya keluar rumah, meninggalkannya disini di rumah yang asing bersama para pembantu.
Setelah kepergian Adriaan, gadis ini tidak tahu ingin melakukan apa setelah ini. Ia melihat sekitar untuk mencari sesuatu yang dapat dia lakukan. Akhirnya Marsih memutuskan mulai menata mangkuk bekas makan untuk membawanya ke belakang dan mencucinya. Namun langkahnya diberhentikan oleh sosok Mbok Kalinem yang malah mengambil semua mangkuk dari tangannya cepat. Dan membawa semua tumpukan mangkuk itu pergi.
"Biarkan aku membantumu, Mbok," pinta Marsih pelan berusaha memberhentikan wanita ini dan membiarkannya membantunya. Marsih tidak akan membuat sesama pribumi melayaninya hanya karena ia adalah gundik dari seorang pria berkulit putih. Lagipula Mbok Kalinem jauh lebih tua dari dirinya, mungkin bahkan lebih tua dari ibunya yang telah mati.
"Ndak usah, kamu kalau mau membantu diam saja," tuntut Mbok Kalinem. Marsih sedikit tersinggung akan hal itu, ia bisa kok melakukan banyak hal. Ia bukanlah tipe wanita lemah yang hanya bisa diam melihat orang tua membersihkan sisa makanan miliknya.
"T-tapi Mbok, sini biar ku bantu." Marsih mencoba memaksa, namun wanita tua itu tetap saja mengabaikan dirinya.
"Menyerah saja Mbak, Mbok Kalinem itu orangnya keras kepala. Mbak mau menangis di depan dia juga, kalau dia bilang sekali ndak, yo ndak." Darmi masuk dan mulai mengelap meja makan dengan sebuah kain basah.
"Yowes, aku bantu kamu aja kalau begitu," ucap Marsih pada Darmi dan mulai mengambil kain yang sama untuk mengelap meja makan.
"Eh ndak boleh, sini! Mbak diam saja seperti yang Mbok bilang tadi," kata Darmi merebut lap basah itu dari tangannya dan menyuruhnya untuk diam. Marsih sedikit bingung dengan hal itu, ia kira Darmi mengizinkannya untuk ikut membereskan rumah.
"Aku kira kamu dipihakku Dar," celetuk Marsih ketika Darmi malah ikut melarangnya membersihkan rumah.
"Lho aku dipihakmu kok Mbak, tapi kalo Mbok Kalinem udah bertitah, aku ikut dia saja," bisik Darmi kecil supaya Mbok Kalinem tidak dapat mendengar apa yang ia katakan.
Marsih tertawa mendengar hal itu, Mbok Kalinem tampaknya adalah wanita yang keras dan disegani. Namun itu tidak menghalangi keinginan Marsih untuk membantu keduanya. Ia mengambil lap basah lain dan mulai ikut mengelap meja makan kembali. Darmi hanya menggelengkan kepala sedangkan Mbok Kalinem hanya mendengus kecil melihat dirinya ikut membersihkan rumah.
.oo0oo.
Di rumah ini hanya terdapat tiga orang pembantu tetap. Darmi, remaja yang berusia dua tahun lebih muda dibanding Marsih. Perawakan gadis itu kurus kecil tapi ia cukup tinggi beberapa senti daripada Marsih. Rambut hitam panjangnya selalu dikepang dua dengan rapih kedepan. Wajahnya sedikit pucat dengan kulit sawo matang. Ia memiliki kebiasaan menunduk ketika berjalan. Darmi memang tak secantik Marsih, tapi satu tahi lalat di pipi kanannya menambah kemanisan gadis itu ketika tersenyum.
Mbok Kalinem, perempuan tua itu memiliki tubuh yang sedikit gemuk. Wajahnya bulat dengan cepolan rambutnya yang telah hampir semua memutih. Raut wajahnya tegas dan keras dengan garis-garis penuaan di sekelilingnya, namun kau masih dapat melihat parasnya yang kuat seperti telah banyak pengalaman pahit yang ia lalui. Wanita itu lebih pendek dibanding Marsih, ia selalu mengenakan sebuah kebaya berwarna gelap dengan jarik yang senada gelapnya.
Yang terakhir ada Kang Nanang, Marsih belum pernah melihat beliau secara langsung. Ia hanya pernah melihatnya sekilas tengah menggunting semak-semak di ujung depan taman rumah. Lelaki keturunan darah Sunda itu memiliki kulit sawo matang dengan badan kurus dan perawakan tinggi, setinggi Adriaan. Darmi berkata, pria itu jarang sekali menetap di rumah ini, dapat dihitung dengan jari berapa kali pria itu tinggal di kamar pembantu, selebihnya entah berteduh dimana.
Dan lalu ada Marsih, dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya bukanlah seorang pembantu, melainkan seseorang yang derajatnya jauh dibawah pembantu, seorang pemuas nafsu, gundik. Walau dirinya belum di'pakai' sama sekali oleh Adriaan, namun semuanya hanya tinggal menghitung waktu sampai lelaki itu benar-benar memerawaninya.
Suara sebuah pedati dan ketukan telapak kaki kuda dari luar mengalihkan pandangan Marsih. Adriaan kah? Tapi apa mungkin lelaki itu kembalk sebegitu cepat? Ini baru saja beberapa saat ia pergi, tak mungkin ia kembali, ataukah ada barang yang tertinggal?
Marsih segera berlari ke arah depan untuk membukakan pintu dan berniat mempersilahkan Adriaan masuk. Namun saat ia menyentuh grendel pintu dan membukanya, disana bukan sosok Adriaan yang ia temukan. Tepat di daun pintu kayu itu berdiri dengan angkuh Alysia Van Hoëvell dengan seorang pria tinggi bermata hijau dan berjas biru di belakangnya.
Alysia menyunggingkan sebuah senyuman saat melihat Marsih yang pertama kali menyambutnya masuk.
"Hoi hoer!" sapa Alysia dengan melipatkan kedua tanganya angkuh. Lelaki di belakangnya ikut tersenyum disertai sebuah tawa kecil.
(Hai pelacur)
"Oh, dus hij is degene waar je het gisteren over had?" tanya pria itu yang diangguki oleh Alysia.
(Oh, jadi dia yang kau bicarakan kemarin?)
Marsih sebenarnya sangat buta dengan Bahasa Belanda. Ia tak mengerti apa yang barusan mereka katakan tentangnya, itu pasti bukan hal yang baik. Ia hanya dapat mengerti satu kata yaitu pelacur yang ia pelajari dari sumpah serapah kaum berkulit putih padanya. Karena itulah mengerti apa kata pelacur dalam Bahasa Belanda.
Gadis itu memundurkan dirinya saat Alysia dan lelaki asing itu masuk mengabaikan keberadaan Marsih dan segera duduk dengan santai di sofa depan milik Adriaan. Wanita itu membuka kipas tangan miliknya, ia mulai mengibaskannya anggun. Sudah lama Alysia tidak berkunjung ke kediaman kakaknya, sejauh yang ia pandang tak banyak yang berubah. Hanya kakaknya itu masih memiliki selera aneh yang selalu menyukai wanita pribumi rendahan.
"Panggil kakakku!" perintah Alysia pada Marsih.
"Dia tak ada di rumah," balasnya datar.
Alysia segera menutup kipas tangannya, wanita itu tampaknya marah. "Kemana dia? Aih kakak! Dia yang mengundangku tapi dia sendiri yang tidak ada di rumah!" gerutu Alysia kesal. Wanita itu melipat tangannya di dada, bahasa tubuh untuk amarah yang tak dapat ia luapkan.
"Dia ... sedang pergi ke pasar untuk mengambil obat." Marsih melirik Alysia yang berdecik sebal saat dirinya mengatakan hal itu.
"Sudahlah, dia tak mungkin lama. Kita tunggu saja sebentar, kalau Adriaan tak kembali, kita pulang," bujuk si pria asing yang berada di sebelahnya itu. Ia mencoba untuk tidak merusak suasana hati Alysia saat ini.
"Kalau begitu, buatkan aku teh darjeeling," perintah Alysia pada Marsih. Wanita asing itu rupanya menganggap Marsih sebagai pembantu. Namun Marsih tak keberatan kalau dirinya disebut pembantu, gadis ini mengangguk untuk menyanggupi permintaan Alysia barusan.
.oo0oo.
"Aku sudah menyiapkan segalanya, kalian tenang saja. Untuk tiket perjalanan kembali ke Netherland juga sudah aku urus. Kalian sepasang kekasih tinggal menikmatinya saja," ucap Adriaan pada Alysia dan tunangannya Dylan.
"Aku akan merindukanmu, Kak! Sangat merindukanmu!" Alysia memeluk erat Adriaan.
"Ah kalau begitu kami berdua akan pergi, ayo Alysia!" ajak Dylan pada Alysia yang masih tak ingin melepaskan pelukannya pada sang kakak.
Alysia menatap wajah Adriaan dalam. Sesaat sebelum pergi ia berbisik, "Ingat apa yang aku pinta ya!"
Adriaan menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti dengan apa yang Alysia maksud. Dylan segera menarik lengan Alysia pelan untuk membawa gadis itu kembali masuk ke pedati. Saat telah masuk, Alysia segera melambaikan kedua tangannya dan meneriakkan kalimat selamat tinggal berkali-kali hingga pedati mereka hilang dalam pandangan.
Pria asing itu mulai kembali memasuki pekarangan rumah, ia menutup pintu dan mendapati Marsih tengah duduk di ruang makan dengan wajah yang seakan meminta penjelasan. Adriaan tersenyum melihat wanitanya itu.
"Ada apa Nyai?" kau ingin mengatakan atau menanyakan sesuatu?" tanya Adriaan pada Marsih yang kini tengah mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja.
"Kenapa mereka kemari, Tuan?"
"Karena aku mengundang mereka."
Marsih mengerutkan dahinya pelan. Ia yang tak puas dengan jawaban Adriaan berikan, ia pun mulai mendekati pria itu untuk mengorek informasi yang ia inginkan.
"Kenapa?" tanyanya lagi, namun kini ia berada tepat di hadapan Adriaan yang membuat pria itu tak dapat maju atau pergi melarikan diri dari pertanyaannya.
Adriaan tersenyum simpul, "Untuk membahas tentang pernikahan adikku yang akan digelar seminggu lagi," ucapnya pelan.
Marsih menganggukkan kepalanya pelan. Pernikahan ya? Jadi si ketus Alysia akan menikah. Itu berarti pria yang tadi adalah tunangannya, Dylan. Lalu apakah hubungannya pernikahan dengan tiket kembali ke Netherland? Pertanyaan demi pertanyaan kembali muncul di kepala Marsih setelah ia dengan berani menguping pembicaraan mereka tadi.
"Ah, mereka akan tinggal di rumah pamanmu setelah menikah?" pancing Marsih dengan sebuah pertanyaan.
"Tidak, rumah itu akan tetap jadi milik pamanku."
"Kau pernah berkata padaku kalau rumah itu akan jadi milikmu, lalu dimana paman, adikmu, dan suaminya akan tinggal?" tanya Marsih sekali lagi mencoba menghalangi jalan Adriaan.
"Nyai, kau benar-benar gadis yang sangat ingin tahu ya," balas Adriaan mulai mendekatkan kedua kepala mereka.
Marsih tak menghindar, demi sebuah jawaban ia mulai mengikuti alur main Adriaan. Dengan perlahan Marsih tak menolak saat Adriaan mulai mencium bibirnya lembut, memanggutnya pelan. Setelah berciuman, Marsih menatap mata biru Adriaan dan berbisik pelan ditelinganya, "Iya aku adalah gadis yang ingin tahu, maka kau lebih baik memberitahuku sebelum aku mencaritahunya sendiri."
Adriaan tersenyum mendengar perkataan Marsih yang seakan menantang dan menggodanya dalam waktu bersamaan. Ia rupanya tak salah memilih seorang gundik, Marsih adalah wanita yang tepat dan menarik.
"Aku akan sangat menikmati jika kau berani mencaritahu sendiri. Tapi aku akan tetap memberitahumu. Sehabis pernikahan, Alysia dan Dylan akan kukirim kembali ke Netherland. Mereka akan tinggal disana dan bukan di Hindia Belanda ini," jelas Adriaan kembali mengecup bibir Marsih pelan.
"Lalu, bagaimana dengan pamanmu? Apa dia akan kembali ke Netherlands juga?" tanya Marsih kembali.
Adriaan menangkup wajah Marsih sebelum menjawabnya. Ia mengelus bibir tipis milik Marsih dan mengecupnya sekali lagi.
"Ah, kau benar-benar ingin tahu rupanya." seutas senyum merekah pada bibir Adriaan, namun bukan senyum kebahagiaan, ada makna tersirat dalam senyuman itu. "Aku adalah ahli waris keluarga, walau ia adalah paman dari sisi ibuku. Tetap saja aku adalah pewaris utama karena pamanku tidak menikah, yang berarti jika pamanku mati. Semua hal yang ia miliki, akan menjadi milikku."
Tubuh Marsih seketika merinding saat Adriaan mengatakan hal itu. Tak perlu penjelasan lebih lanjut Marsih sudah paham maksud dari perkataan pria asing itu barusan. Sudah jelas bahwa, pria itu akan membunuh pamannya sendiri hanya untuk kekuasaan.
"Kau tak usah khawatir Nyai, aku telah menyiapkan sebuah gaun indah untuk resepsi pernikahan Alysia. Walau Alysia tidak ingin kau hadir dalam acara pernikahannya, tapi aku akan membawamu," ujar Adriaan.
Marsih menelan ludahnya perlahan, "Kau memanglah sangat baik, Tuan. Tapi masalahnya, aku tak bisa berdansa." Marsih berkata demikian karena pesta orang Belanda pasti akan banyak sesi berdansa, dan dia tak bisa melakukan itu.
"Tak perlu kau pusingkan hal itu nyai, aku sudah menyewa seorang guru tari. Ia akan mengajarimu dalam seminggu penuh, aku harap kau cepat belajar!" ucap Adriaan sesaat sebelum ia mulai pergi meninggalkan area ruang makan, meninggalkan Marsih sendiri.
Marsih menghembuskan nafas berat. Ia segera duduk di kursi makan karena kakinya sudah tak sanggup menopang tubuhnya yang melemas. Pikirannya terbawa oleh perkataan pria itu tentang ahli waris dan pamannya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Dasar lelaki berdarah dingin! Seketika sebuah pertanyaan muncul dalam benak Marsih. Jika Adriaan tega mengirim adiknya pergi jauh dan bahkan akan membunuh pamannya sendiri hanya untuk sebuah kekuasaan. Apa yang akan pria itu lakukan padanya?
.oo0oo.
Panjang juga part ini wkwk, enjoy!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro