Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Tubuhku Adalah Milikku!

Jarang² minta vote wkwk, VOTE DULU YAAA! MAKASIW

...

Rintik hujan masih awet membasahi bumi. Suasana dingin pagi buta dengan matahari yang masih belum menampakkan sosoknya. Marsih turun dari dokar tak jauh dari rumah milik Adriaan. Ia menatap pria tua pemilik dokar itu dan menunduk lemah, sebagai tanda terima kasih telah berbaik hati mau membawanya menumpang di dokar berisi rumput untuk pakan ternak itu.

Marsih tak mengenal pria tua itu, ia hanya kebetulan tengah mencari tumpangan dan menemukan sebuah dokar pengangkut pakan ternak yang searah dengannya. Kemudian Marsih memohon agar dapat ikut. Pria tua itu memperbolehkannya walau Marsih berkata ia tak dapat membayarnya untuk sekarang namun pria tua itu hanya diam mengangguk. Mungkin pria baik itu memang sengaja diutus Tuhan untuk membantunya.

Satu kilatan petir menyambar kencang, menciptakan sebuah cahaya putih di gelapnya langit. Menampakkan siluet tubuh Marsih yang basah kuyup oleh air hujan. Gaun indah putihnya kini telah tak berbentuk, lumpur, tanah, dan robekkan menghiasinya kini. Kakinya berjalan pelan, mencoba mendekati pekarangan rumah Adriaan yang sudah diujung mata.

Langkahnya oleng, berusaha menyeret kakinya menuju rumah pria asing itu. Ia berhenti saat sudah berada tepat di depan rumah besar bernuansa hijau muda tersebut. Menatap ke arahnya dengan tatapan murka, dua hari sudah ia disekap disana, dan akhirnya dapat melarikan diri. Namun apa? Kini ia malah menyerahkan tubuhnya sendiri untuk dijadikan alat pemuas nafsu. Ingin sekali dirinya tertawa kencang atas kemalangan nasibnya, tapi sayang ia tak memiliki cukup energi untuk itu.

Marsih menelan ludahnya lambat, kerongkongannya kering sehabis berteriak menangisi mayat Jinem, kuku jari tangannya patah karena ikut menggali tanah, matanya sembab dan sekujur tubuhnya lebam karena pembuluh darahnya pecah akibat terlalu letih. Tak ada lagi gadis cantik disini, hanya ada gadis dengan perawakan mengerikan dengan dendam yang membara.

Tapi itu adalah hal bagus, karena perawakannya sekarang ia jadi memiliki alibi untuk berkata bahwa ia sempat tersesat di pasar dan hampir diperkosa oleh pria-pria jahat. Entah Adriaan akan mempercayainya atau tidak, itu semua bergantung pada seberapa lihainya gadis ini berbohong serta berkilai.

Tubuhnya menggigil dan semakin melemah, kepalanya kini pening mulai memberat. Ia harus cepat-cepat masuk ke dalam rumah itu sebelum kehilangan kesadaran. Marsih menarik nafas dalam, berharap rencananya kali ini tidak akan ia sesali dikemudian hari.

Dengan perlahan Marsih kembali berjalan. Pintu kayu ukiran itu sudah terlihat, tersisa lima langkah lagi sebelum ia sampai. Kepalanya semakin pusing dan mulai tak terkendali, sekuat tenaga ia mulai mengetuk pintu kayu itu pelan. Hingga semakin lama berubah menjadi ketukan cepat dan tak terkendali.

Kesadaran Marsih semakin membuyar, kepalanya sungguh pening seakan ada godam besar yang kini tengah memukul-mukul kepalanya kencang. Pintu terbuka, menampilkan Adriaan dengan pakaian tidur birunya yang terlihat begitu terkejut melihat Marsih berada di hadapannya.

"Meneer, tolong ...," ucapnya lirih sebelum kesadarannya benar-benar hilang bertepatan dengan adzan subuh yang berkumandang. Meninggalkan Adriaan dengan rasa keterkejutan dan Marsih yang pingsan di pangkuannya.

.oo0oo.


Marsih mulai membuka matanya pelan. Mengerjapkannya beberapa kali mencoba menyesuaikan mata saat cahaya matahari yang berada di ruangan itu membuatnya silau. Pandangannya buram, namun ia melihat sosok seorang pria tengah duduk di bangku samping ranjangnya. Tentu saja ia mengenali siapa sosok itu, Adriaan lelaki asing yang membelenggunya.

"Kau sudah sadar rupanya," tukas Adriaan, ia menutup sebuah buku yang sempat ia baca sembari menunggu Marsih sadar.

Marsih tak menjawab, ia disibukkan dengan denyutan kepalanya yang masih sakit. Gadis ini mulai berusaha untuk duduk namun nihil, ia terjatuh di ranjang karena kepalanya yang begitu berat dan badannya masih lemah.

"Tenanglah, jangan memaksakan diri." Adriaan berdiri membantunya untuk kembali merebahkan badannya lagi perlahan.

"Apa yang terjadi?" tanya Marsih polos, ia kembali mengerjapkan matanya untuk membuat pandangan buramnya itu pergi.

"Kau menghilang di pasar, tiba-tiba kembali ke rumah ini di pagi buta. Keadaanmu mengerikan dengan gaun yang penuh lumpur, lalu pingsan karena demam dan ... kau terbangun kini sehari sesudahnya," jelas Adriaan panjang, kejadian kemarin lusa terputar kembali mengingat betapa terkejutnya pria ini melihat Marsih yang jatuh dipelukannya.

Marsih segera teringat dengan rencana balas dendamnya, ia harus berusaha agar tetap tenang dan mengarang serta menjelaskan apa yang terjadi.

"Harusnya aku yang bertanya, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Adriaan balik kepada Marsih. Pria itu menyilangkan tanganya di dada, isyarat tubuh menunggu jawaban apa yang akan wanita ini katakan sebagai alasan.

Marsih kembali memaksakan duduk, kali ini berhasil. Tubuhnya sudah lumayan membaik saat ini, ia menarik nafas kecil sebelum menjawab.

"Kau pasti ingat, Tuan, saat aku memasuki kerumunan itu, aku sengaja melepas tatanan rambutku untuk sekedar bergurau padamu. Namun, saat keluar kerumunan aku benar-benar kehilanganmu." wajah Marsih tampak mulai resah, "Aku menyusuri tempat ruko-ruko yang sama yang sempat kita datangi, aku tak lagi menemukanmu," lanjutnya menatap Adriaan dengan tatapan memelasnya.

Adriaan mengeryitkan dahi pelan, pria ini tak dapat menyalahkan Marsih. Memang benar beberapa saat setelah ia kehilangan Marsih pria itu sengaja meninggalkannya di pasar. Mengingat dirinya ada urusan bisnis yang lebih penting dibanding mencari seorang gadis pribumi, tentu saja ia tidak menemukan Adriaan disana.

"Lalu... Aku tak sengaja bertemu dengan satu gerombolan pria." Adriaan menatapnya dengan menyiratkan kebingungan.

"Gerombolan pria? Siapa?" tanya pria ini.

"Preman pasar. Tiga pria menjijikan," balasnya singkat.

Satu tetes air mata jatuh dipipinya, mata Marsih mulai memerah. Tangannya gemetar untuk menambah keaslian cerita miliknya. Aksinya telah berjalan sejauh ini cukup baik.

"Kau ...," ujar Adriaan menggantung. Ia mulai paham dengan apa yang akan Marsih katakan selanjutnya.

"Tidak, mereka belum sempat melakukan hal itu padaku. Aku dilucuti, gaunku dirobek karena mereka tak paham bagaimana caranya membuka sebuah gaun. Salah satu dari mereka membekap mulutku, aku mencoba memberikan perlawanan dengan mengigit tangan besar yang menutupi mulutku itu. Namun, aku malah balik dipukuli tanpa ampun, kau lihat sendiri tubuhku penuh lebam, tuan. Aku mengambil sebuah batu disekitar sana untuk memukul salah satu dari mereka. Dan saat mereka lengah, aku kabur," jelasnya panjang dengan isakkan tangis yang menyela beberapa kalimatnya.

Adriaan tak memberi respon apapun, namun Marsih melihat sebuah kelegaan tergambar diwajahnya saat ia berkata kalau ia tidak diperkosa dan belum diperawani, karena hanya dirinyalah yang boleh memerawaninya. Menjijikan, ia tahu betul bagaimana otak pria bekerja.

"Aku melarikan diri dibelakang pasar, hujan turun dan lumpur menghiasi gaunku yang cantik itu. Sebuah pedati pengangkut barang akan berangkat, aku memohon pada kusir agar diperbolehkan menumpang, ia meminta antingku sebagai balasan. Tak ada tujuan bagiku selain kesini ... aku ...." tak sempat menyelesaikan kata-katanya ia kembali menangis, terisak dengan menundukkan wajahnya.

"Sudahlah, itu semua tidak penting lagi. Kau aman disini, disisiku." Adriaan mendekati Marsih, pria itu mulai menyentuh rambut yang menghalangi wajah cantik Marsih.

"Maaf, Tuan aku..." Adriaan menutup mulut Marsih saat ia belum melanjutkan perkataannya.

Ia mencium Marsih pelan, menyatukan bibir mereka dengan lembut. Ciuman ini jauh berbeda dengan yang mereka telah lakukan di rumah Patrick. Hanya ciuman pelan tanpa nafsu dan emosi.

Adriaan melepaskan ciuman mereka, ia menatap wajah Marsih yang penuh air mata, pria itu mengusap wajahnya pelan, mencoba menghapus segala kesedihan yang berada di tubuh wanitanya itu.

"Tak usah berkata apapun lagi. Kau akan selalu kembali padaku, Nyai. Kau milikku," bisik Adriaan ditelinganya sesaat sebelum pria itu mulai memeluk tubuh mungilnya.

Tubuh Marsih merinding saat Adriaan berbisik hal seperti itu, bulu kuduknya meremang. Wajahnya mencoba menutupi reaksi jijik yang ia hampir keluarkan, sebuah siratan kebencian kembali terpancar diwajahnya saat pria itu berada di pelukannya.

"Aku bukan milik siapapun. Tubuhku adalah milikku!" ujar Marsih meyakinkan diri dalam hati berulang-ulang kali.

.oo0oo.

Kalo nanti senggang diusahain up terus sampe tamat wkwk, stay safe guys!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro