Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Terkuburnya Hati Nurani

Peringatan! Akan ada beberapa kata yang kurang enak dibaca/didengar Jika merasa kurang nyaman, sangat disarankan untuk tidak lanjut membaca.

......

Nafas Marsih tersengal-sengal saat ini, jantungnya mempompa darah jauh lebih cepat. Rasa semangat membakar semua energinya. Ia kini tengah berlari menuju gubuk tempat tinggalnya, hatinya senang tak bukan main. Ini pertama kalinya ia merasa sangat senang kembali ke gubuk kumuh tua itu.

Marsih ingat saat dirinya kecil dahulu, ia sering bermain dan berlari dengan semangat menuju gubuk sehabis seharian membantu ibunya menjadi pembantu, semangat yang sama seperti apa yang ia tengah lakukan sekarang.

Kerinduan akan sosok wanita tercintanya membuatnya tersenyum sepanjang perjalanan. Kakinya terus berlari menyusuri area perumahan kumuh yang kini ia sudah masuki.

Kini ia telah sampai di depan pintu rumah, jantungnya berdebar membayangkan akan memeluk tubuh hangat ibunya dan mencetitakan apa yang telah terjadi pada dirinya selama 2 hari ini.

Marsih membuka grendel pintu gubuk dan segera meringsek masuk. Tubuhnya melambat, langkah kakinya mulai berhenti perlahan-lahan. Ia dapat melihat sosok sang ibu yang tengah tertidur damai dalam kasur. Seutas senyum terulas di wajah Marsih. Ia berjalan mendekati sang ibu dan mulai memanggil-manggil namanya.

"Mbok... Marsih wis mulih," ujarnya parau.

Marsih berhenti, ada yang tidak beres dengan keadaan sang ibu. Kenapa wajahnya begitu pucat? Memang Jinem sedang sakit keras namun ia tak pernah melihat ibunya sepucat ini. Dan.. Kenapa tubuh ibunya itu membiru? Firasat buruk segera merasuki dirinya.

Gadis ini berjalan semakin cepat mendekati ibunya. Merasakan kejanggalan yang terjadi pada wanita yang telah melahirkannya itu. Ia mulai menyentuh kening ibunya, dingin. Sedingun menyentuh permukaan besi yang didiamkan di tempat terbuka.

Raut wajah Marsih berubah total, ia segera menepuk-nepuk wajah ibunya pelan. Mencoba membangunkannya dari ketidaksadaran diri. Tak ada respon, Marsih lalu memanggil-manggil nama ibunya, berharap ia akan membuka mata.

Setetes air mata kekhawatiran mulai mengalir di pipi halus Marsih, ia mengecek aliran nafas ibunya tapi nihil, tak ada deru atau hembusan nafas sama sekali. Kini ia yakin, bahwa ibunya telah pergi, kali ini untuk selamanya.

Tubuh Marsih ambuk, jatuh ke lantai tanah bersamaan dengan laju air mata yang mulai deras membasahi wajahnya. Jamtungnya terasa dibawa ketempat yang tinggi dan dijatuhkan jauh ke inti bumi, pikirannya kacau. Deru nafas Marsih melambat, otaknya tak dapat berfikir jernih saat menatap jenazah ibunya yang hampir kaku. Ketakutannya selama ini menjadi kenyataan, kematian sang ibu telah tiba. Dan parahnya, ia tidak ada disana saat malaikat pencabut nyawa datang.

Marsih bangkit dari keterkejutan tubuhnya. Ia mendekati mayat Jinem dan mulai kembali menepuk-nepuk pipi wanita itu. Ia juga terus memanggil-manggil nama sang ibu, mengulangnya ratusan kali. Marsih memeluk jasad dingin ibunya itu. Ia terus melakukan usaha yang ia sendiri sudah tahu sia-sia, dengan harapan bahwa ibunya itu akan terbangun dan memeluknya serta berkata kalau itu semua hanya mimpi buruk.

"Simbok.. Bangun... Marsih wis mulih lho iki, Mbok.. Bangun..." tukasnya parau penuh keputus asaan.

.oo0oo.

Langkah Marsih tertatih-tatih. Tubuh lemasnya hampir ambruk menuju tanah jika saja kakinya tidak menahannya. Namun ia harus terus berjalan pergi rumah Mbah Min tetangganya, untuk meminjam sebuah sekop, karena jangankan mampu memiliki sebuah sekop, pakaian saja sudah ia kenakan sejak kecil hingga dewasa. Sekop itu juga yang akan membantunya menggali tanah tempat peristirahatan terakhir wanita yang sangat ia cintai.

Dengan pasrah Marsih menggedor pintu rumah Mbah Min, tapi sudah berkali-kali ia mencoba, tak ada jawaban dari gubuk itu. Tangannya sudah memerah dan tenggorokannya perih saat berteriak menyebutkan berulang-ulang kali nama Mbah Min untuk meminta agar dapat dipinjamkan sekop. Setelah beberapa menit menggedor dan berteriak Marsih menyerah, tetap tak ada jawaban sama sekali. Entah Mbah Min sedang tidak ada di rumah atau malah juga telah mati di dalam gubuk sana, tidak ada yang tahu.

Marsih memutuskan kembali ke dalam gubuk miliknya. Ia membuka pintu dan melihat lagi pemandangan menyayat hati, yaitu keadaan jasad sang ibu. Air matanya turun menetes deras. Tak ada suara, hanya lelehan air mata dan isakkan pilu. Setelah menguatkan hati, ia mencoba menggendong jasad Jinem di punggungnya. Jasad itu sudah hampir kaku, ia harus sesegera mungkin menguburkan jenazah sang ibu, dengan atau tanpa sekop. Kalau perlu ia akan menggaruk tanah dengan tangan dan kukunya sendiri supaya liang lahat sang ibu dapat tergali.

Marsih menggendong jenazah itu dengan sebuah kain jarik batik lusuh, mengikatkannya kuat ke perut sebagai penahan, berharap pada seutas kain rombeng itu supaya sang ibu tidak jatuh ke tanah saat ia bawa. Marsih membuka pintu gubuknya setelah memastikan ia telah mengikat ketat kain itu.

Saking sibuknya memikirkan bagaimana ia akan menguburkan jasad sang ibu, Marsih sampai tak sadar kalau keaadan di luar kini tengah hujan deras. Butiran air turun membasahi bumi lengkap dengan gemuruh petir yang menyalak kencang menyombongkan suara dan sinarnya. Ia kembali berfikir keras, memutar kembali otaknya. Haruskah ia menunda pemakaman sang ibu karena hujan deras ini? Tapi jasadnya sudah mulai kaku dan akan membusuk jika ia tak segera melakukannya malam itu juga.

Setetes air mata kembali turun, dilema hati Marsih membuatnya pasrah dan memilih untuk segera memakamkannya hari ini juga. Bagaimana pun tidak baik untuk menunda-nunda penguburan jenazah.

Marsih menarik nafas panjang sebelum melangkah menerjang hujan. Langkahnya berjalan pelan namun pasti, badan mungilnya sebenarnya tak sanggup untuk menopang beban tubuh ibunya. Walau tubuh Jinem kurus kering bagai hanya tersisa tulang, tapi tetap saja massa badan manusia hidup dan massa mayat berbeda.

Ia akan berusaha membawa jasad Jinem menuju bukit yang terletak tak jauh dari gubuknya. Bukit tempat pembuangan sampah akhir, tempat yang hina untuk malaikat yang telah melahirkannya ke dunia. Namun apa boleh buat? Dimana lagi ia akan memakamkan jenazah ibunya? Ia tidak memiliki cukup uang untuk membeli sebuah lahan kosong. Lagipula babu mana yang memiliki pemakaman pribadi?

Air hujan sukses membasahi seluruh tubuh Marsih dan tubuh Jinem yang membiru. Ujung gaun cantiknya kini sudah terseret menggesek tanah bercampur beceknya air. Berjalan ditengah kilatan petir tanpa alas kaki, Marsih bahkan sudah tak peduli ketika sebuah kerikil berujung tajam tak sengaja terinjak dan melukai kakinya. Ia hanya diam tanpa ekspresi saat darah mulai keluar dari luka yang tak seberapa besar itu.

Sayup-sayup terdengar suara tawa laki-laki dewasa di telinga Marsih, suara gelak tawa khas yang menggelegar. Ia mengenali jelas siapa pemilik suara tersebut, itu suara Sugeng dan kawan-kawannya. Mereka kemungkinan berada di pos kecil bekas gudang pabrik sepatu, tengah menghabiskan uang hasil memalak untuk bermain judi dan kartu, atau biasanya sedang berpesta arak.

Pelan-lelan siluet wanita bergaun putih yang familiar di sudut mata Sugeng membuatnya menoleh, ia segera menepuk pundak salah satu temannya untuk melihat ke arah yang sama. Di sana, di lorong gang becek, ia dapat melihat jelas Marsih yang berjalan pelan terseok-seok ke arahnya.

Tanpa ragu Sugeng berteriak kencang, menegurnya dengan sapaan jorok seperti biasa ia kerap memanggilnya.

"Hoy Marsih, sudah lama gak lihat kamu. Ndak kangen sama Mas Sugeng?" ucapnya kencang melantur. Tawa segera bersahutan sesaat setelah Sugeng mengatakan hal itu.

Salah seorang teman Sugeng sadar bahwa Marsih sedang tak sendiri, ia menopang sesuatu dipundaknya, ah tidak, Marsih menggendong sesuatu. Pria ini menggelengkan kepalanya pelan untuk menghilangkan sejenak efek mabuk arak yang barusan ia dan teman-temannya tenggak. Ia menyipitkan matanya pelan kemudian berteriak terkejut saat sadar apa yang sebenarnya tengah Marsih gendong.

"Gusti Pangeran!" teriak pria itu. Sugeng dan pria lain segera menghentikan tawanya, ia menoleh bingung dan kemudian mengikuti arah mata yang pria itu lihat, ekspresinya begitu ketakutan. Disanalah ia melihat Marsih, tengah membopong jenazah Jinem. Penampakan jasad wanita itu begitu mengenaskan dengan sekujur badan yang membiru.

Sugeng dan kawanannya mundur perlahan, mencoba menghindar sedikit saat Marsih berjalan sudah semakin dekat dengan mereka. Saat sudah berada tepat di hadapan mereka, Marsih menghentikan langkahnya. Wajahnya tang tadi menunduk, terangkat perlahan. Menunjukkan paras pucat dengan mata sayunya.

Dengan wajah datar, Marsih meminta, "Bantu aku." suaranya begitu parau dan setengah serak.

Pria-pria itu melihat Marsih dengan wajah sedikit ketakutan, takut dengan apa yang akan gadis itu lakukan kedepannya. Mereka melontarkan pandangan pada satu sama lain, melihat wajah sesama seakan meragukan argumen pendapat pada kepala mereka masing-masing.

"Bantu aku!" kini Marsih mulai berteriak, wajahnya masih datar tanpa ekspresi. Air hujan turun ke wajah cantik Marsih dari rambut hitam panjangnya yang sudah kuyup. "Aku akan membayar," lanjutnya lagi, kemudian ia melepaskan kedua anting emas dari kedua telinga yang sempat diberikan para pembantu Adriaan tadi pagi dan melemparkannya pada Sugeng sebagai bayaran atas jasa yang ia ingingkan.

Sugeng menunduk menatap sepasang anting emas bulat yang kini berada ditangannya. Kedua alis pria itu bertaut, dengan ragu ia menatap Marsih sembari berkata, "Kau perlu bantuan apa?"

.oo0oo.


Marsih sudah terduduk di gundukan tanah ini selama lebih dari satu jam. Sugeng dan kawanannya juga telah pergi meninggalkannya sendiri setelah membantu dirinya untuk menguburkan jenazah Jinem seadanya. Hujan belum berhenti sepenuhnya, rintikan dan percikan air kecil masih turun. Pagi akan segera menjelang. Namun ia masih terdiam dan tak rela ingin meninggalkan gundukan kuburan ibunya sendiri disana.

Gadis ini merasa begitu terpukul, satu-satunya orang yang ia sayangi kini telah pergi. Tapi siapa yang harus disalahkan atas kematian ibunya yang meninggal normal karena penyakit. Tuhan? Orang berkata kalau Tuhan tidak akan memberi cobaan jika hambanya tidak sanggup, tentu saja itu bukan salah Tuhan.

Waktu? Bahkan Jinem sendiri tahu kalau ajalnya sudah dekat. Itu semua hanya tinggal soal waktu yang akan mengambil dirinya pergi. Lalu siapa? Adriaan? Pria asing yang menyekapnya selama 2 hari penuh?

Rasa benci Marsih sedikit demi sedikit tumbuh pada Adriaan. Memang betul bukan dia penyebab kematian ibu yang sangat ia cintai, tapi dia juga ikut andil dalam hal itu. Jika saja Adriaan tidak menyekapnya hari itu, ia pasti akan dapat bersamanya di saat-saat terakhir sebelum kematian Jinem.

Marsih tak dapat membayangkan pula rasa khawatir ibunya yang sangat besar ketika ia menghilang. Stress seorang ibu akibat kehilangan anak semata wayangnya juga bisa jadi mempercepat kematian Jinem. Kesepian dan kehilangan sosok anak saat sakaratul maut adalah salah satu cara paling menyakitkan untuk mati. Mati sendiri, tanpa ada yang peduli.

Ia kembali menangis, meluapkan segalanya di gundukan tanah merah ini. Bau busuk sampah tercium dari sekeliling makam yang tidak layak disebut tempat peristirahatan terakhir. Tangisnya semakin menjadi kala mengingat kenangan ia dan sang ibu dulu. Salah satu masa paling membahagiakan bagi Marsih adalah saat bisa bersama dengan ibundanya. Sungguh hatinya hancur melihat jasad wanita mulia dalam hidupnya ini hanya dapat dikubur disebuah tempat pembuangan akhir.

Tangis Marsih perlahan mereda, isakkan pilu sedetik lalu juga telah berhenti, tergantikan dengan rasa benci yang semakin dalam merasuki tubuhnya. Andai laki-laki asing itu tak menyentuhnya sama sekali, sang ibu akan dapat mati dengan tenang tanpa rasa khawatir saat ini, sang ibu dapat meninggal dalam damai di pangkuannya. Kemarahan memuncak dalam dadanya.

Mata sayu yang baru saja mengeluarkan air mata itu berubah menjadi mata penuh amarah. Aura benci dan murka tergambar jelas disana. Ia akan bersumpah demi nama ibunya, ia akan membalas dendam pada pria berkulit putih itu, membuatnya menderita sampai ia sendiri memohon untuk mati!

Marsih mengusap air matanya kasar, membuang semua rasa sedih yang tiada akhir dan menggantinya dengan rasa dendam. Gaun yang tadinya berwarna putih gading kini berubah warna menjadi merah tanah, tanah kuburan ibunya sendiri. Rambut hitam panjangnya yang basah juga terurai bebas, menutupi sebagian parasnya. Tapi, mau tertutup seperti apapun, dendam itu tetap terlihat di wajah pucatnya. Menuntut keadilan akan sebuah kematian!

.oo0oo.

Lagi ambis nulis Marsih mumpung ide lancar btw gatau lagi, GUE NANGIS nulis part ini. Semoga kalian enjoy ya hiks 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro