Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Ciuman Pertama

Gais maaf keterlambatan up yg gabisa ditolelir, ada masalah rl gitu jadi ketunda terus, sebagai permintaan maaf aku bakal up 2 part ya! Ditunggu aja (btw itu di mulmed kira² gambaran wajah Marsih cakep banget ga sih 😭)

...


"Bagaimana? Kau suka rumah ini?" tanya Adriaan santai menanyakan pendapat pada Marsih yang tengah melihat-lihat sekeliling.

Lamunan Marsih terpecah kala Adriaan mengajukan pertanyaan itu, ia menoleh ke belakang menuju sumber suara dan menemukan Adriaan tengah berjalan ke arahnya. Lelaki itu sepertinya tak memiliki urusan yang terlalu penting dengan pamannya, ditandai dengan pertemuan mereka yang sangat singkat.

"Ah iya, aku sangat menyukainya Tuan Hoëvell." Marsih melirik Adriaan yang kini tengah menatap ke arah sebuah tanaman lidah buaya.

Kini mereka berada di sebuah rumah kaca di pekarangan rumah megah Patrick, rumah kaca yang sebenarnya terlalu besar kalau hanya sebagai rumah bagi tanaman-tanaman. Di dalamnya terdapat banyak tumbuhan hias indah yang mengalihkan pandangan Marsih sejenak. Bukan tanpa alasan Marsih menuju kemari, ia memang menyukai tanaman hijau, dan dirinya jarang melihat tanaman-tanaman yang berada disini, banyak tanaman yang baru pertama kali dia temukan. Menurutnya tanaman-tanaman dapat menyejukkan suasana serta menenangkan.

"Kau suka tanaman?" tanya pria asing itu lagi, ia menyentuh tanaman lidah buaya yang sama yang barusan Marsih sentuh, seakan lelaki itu tengah mengikuti jejak-jejak yang Marsih tinggalkan.

"Iya, menatap dan merawat tanaman membuat suasana tentram serta sejuk, menyenangkan!" lirik Marsih pada Adriaan. Ia sengaja melebih-lebihkan pujian dan intonasi suaranya supaya pria itu dapat percaya.

"Apalagi yang kau suka selain tanaman?" tanya pria itu penasaran, mencoba mengulik informasi tentang gadis ini. Dia berjalan perlahan menjauhi Marsih untuk melihat tanaman lidah mertua di ujung ruangan.

"Aku suka makanan manis, menonton wayang, membersihkan rumah, dan ...." tukasnya menggantung.

"Dan?" tanya Adriaan semakin penasaran.

"Dan memasak," ujar Marsih dengan senyuman manisnya. Ia ingin sekali berkata bahwa ia menyukai ketika sedang merawat ibunya, namun ia sadar bahwa lelaki asing ini tak seharusnya mengetahui tentang dimana keberadaan sang ibu. Marsih khawatir Adriaan akan mencoba menyakiti ibunya.

"Kau harus membuatkanku sesuatu nanti, aku ingin mencoba masakanmu." Adriaan menatap Marsih dalam. "Aku ingin ... soto ayam," lanjutnya.

"Boleh, tapi tuan memangnya punya bahan makanan untuk masakan yang akan aku buat?"

"Entahlah, Mbok Kalinem yang biasa berbelanja bahan makanan. Lagipula nanti kita akan ke pasar, aku ada beberapa keperluan disana. Kau bisa sekalian berbelanja apa yang kau butuhkan." Marsih terdiam mendengar itu, sebuah ide cemerlang setiba saja merasuki dirinya. Ia akan memiliki kesempatan kabur saat berada di pasar nanti.

"Keperluan apa?" tanya Marsih gamblang. Sedetik kemudian ia menyesali apa yang barusan ia tanyakan yang seakan sangat ingin tahu.

"Kau banyak bertanya ya," sindir Adriaan ketus, ia merasa terganggu dengan pertanyaan Marsih itu.

"Maaf, Meneer, aku tidak akan bertanya lebih banyak lagi," ucapnya segan mengunci mulut.

Adriaan kembali mendekati Marsih. Wanita itu tampak bingung dengan apa yang akan pria itu lakukan. Ia kini sudah berdiri tepat dihadapannya. Marsih mendangakkan kepala untuk dapat melihat Adriaan yang tinggi tegap berada di depannya. Pria itu menatap Marsih dalam, tatapan penuh arti. Entah apa yang ia ingin lakukan, Marsih tak mengerti. Isi kepala Adriaan tidak dapat tertebak.

Keduanya saling menatap beberapa lama hingga Adriaan menangkup wajah Marsih pelan, wajahnya menunduk perlahan, dan kemudian mulai menyatukan kedua bibir mereka. Mata Marsih membelak tak percaya, ia terkejut hingga badannya membatu dan tak dapat digerakkan.

Perempuan ini terus membatu saat Adriaan mulai memanggut bibirnya pelan namun lama kelamaan menjadi sedikit liar, pria itu menciumnya dengan nafsu hingga Marsih merasa bahwa bibirnya hampir mati rasa. Setelah sadar kalau Marsih tak membalas ciumannya, Adriaan menghentikan perbuatannya itu, sedikit kesal karena Marsih yang diam saja. Adriaan melepaskan tautan kedua bibir mereka. Ia menatap Marsih yang masih dengan ekspresi terkejutnya.

"Tak apa, kau bebas bertanya, asal jangan terlalu ikut campur," tukas Adriaan, nafas pria itu masih terengah-engah pasca kejadian barusan.

Marsih hanya terdiam sembari mengangguk-anggukkam kepala pelan, ia tak dapat menjawab karena dirinya tengah shock saat ini.

"Kenapa? Tadi itu ciuman pertamamu?" tanya Adriaan melihat Marsih yang bertingkah aneh dengan ekspresi datar. Seutas senyum tercipta di wajah pria berkulit putih ini melihat gadis di hadapannya hanya dapat terdiam membisu.

"I-iya ...," katanya pelan sambil mengangguk.

Adriaan tersenyum tipis sekali lagi, merasa bangga dan jumawa telah mengambil ciuman pertama milik gadis yang menarik perhatiannya sejak awal. Pria ini melipat kedua tangan di dada, menatap Marsih yang kini menunduk malu, wajahnya yang memerah terlihat sangat menggemaskan untuk Adriaan.

"Kau masih perawan?" Marsih seketika mendangak kaget mendegar itu, matanya melebar tak percaya. Tentu saja dia masih perawan, namun apa yang ia tadi tanyakan sangat menyulut emosi miliknya.

"Iya, Meneer, aku masih perawan," ujar Marsih datar, berusaha untuk menutupi kemarahan yang hampir saja meledak.

"Kalau begitu biasakan dirilah, akan ada banyak hal-hal 'pertama' yang akan kita lakukan nanti," ucap Adriaan dengan senyuman khas penuh arti. Marsih tahu betul apa arti dari senyuman itu, senyuman penuh nafsu menjijikan.

Gadis ini hanya mencoba tersenyum kecil untuk membalas perkataan pria asing itu barusan, namun hanya sebuah senyuman kikuk yang terpancar di wajahnya, bukan sebuah senyuman tulus.

"Ayo pulang, urusanku dengan paman telah selesai." ajak Adriaan menggengam tangan Marsih dan menariknya keluar dari rumah kaca.

Mereka berjalan kembali ke arah pintu utama tempat pedati mereka berada. Marsih masih tak percaya bahwa ada rumah sebesar ini, parahnya lagi, rumah mewah ini bukan milik para pribumi, namun milik kaum kulit putih yang merasa dirinya lebih tinggi derajatnya. Padahal mereka semua hanyalah bajingan pencuri tanah. Mereka tak berhak mendapat rumah sebesar ini dan hidup mewah di tanah orang lain.

"Kau akan pulang sekarang? Kukira kau akan pulang besok," tanya Patrick yang tak sengaja tengah berjalan tepat sebelum Adriaan pergi.

"Iya, Paman, masih ada beberapa urusan jadi tak bisa berlama-lama," balas Adriaan sembari membuka pintu pedati.

"Setidaknya tunggulah sampai makan siang, bagaimana?" tawar Patrick berusaha menahan keponakannya ini yang menurutnya pergi terlalu terburu-buru.

"Mungkin lain kali. Sampai jumpa, Paman, bilang pada Alysia maaf aku tak bisa menemaninya di kelas piano," jelas Adriaan dan mulai memasuki pedati bersama Marsih.

Pedati mulai berjalan menjauhi pekarangan rumah mewah milik Patrick, paman Adriaan. Dengan hati yang gundah Marsih mulai menyusun rencana bagaimana caranya untuk melarikan diri saat ia di pasar nanti.

Haruskah ia berlari kencang sesaat setelah pedati berhenti nanti? Tapi itu tampaknya tidak mungkin mengingat ia menggunakan sebuah gaun panjang yang sedikit menyapu tanah. Lagi pula ia seorang pribumi yang memakai gaun, akan sangat mencolok penampakan itu dimata orang lain, yang tentu saja akan membuatnya mudah untuk dilacak.

Bagaimana dengan berpura-pura sakit lalu saat Adriaan pergi menemui centengnya untuk membawanya pulang ia akan pergi dan berlari. Tapi jika centeng itu mengikutinya tentu rencana akan gagal total.

Sebuah ide cemerlang terlintas di kepala Marsih. Hari ini adalah hari sabtu, di Pasar Kodi akan ada banyak sekali pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir pasar dan biasanya jika hari sabtu pasar akan penuh, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap di kerumunan orang dan pergi.

Sungguh ide yang bagus. Tapi ada satu permasalahan lagi, bagaimana jika Adriaan membawanya ke pasar bukan ke Pasar Kodi yang ia tahu?

Jantung Marsih berdegup kencang, setetes keringat jatuh ke gaun indahnya. Tanganya penuh dengan keringat juga yang tak henti-hentinya keluar dari telapaknya, ia berusaha sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja dengan mengatur deru nafas miliknya perlahan. Sembari berdoa, jika Adriaan dan centengnya akan membawanya pergi ke pasar yang ia telah rencanakan.

.oo0oo.

Next part besok! Happy reading ✨💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro