Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Rambut Pirang Arogan

Gais aku ada project baru lagi di akun Blackpandora_Club judulnya "Le Winston The Seas" disana aku jadi tokoh namanya Leora, silahkan dicek 👌💖

....


Guncangan-guncangan dirasakan tubuh Marsih tatkala pedati menggilas kerikil serta tanah yang tidak rata. Ia terdiam menatap kosong ke arah luar jendela kayu, kearah jalan setapak yang tidak ia kenali. Entah kemana lelaki asing ini akan membawanya pergi lagi, dirinya tak berani bertanya. Sesekali ia melirik pria yang tengah membaca sebuah buku di depannya, buku yang saking tipisnya membuat Marsih malas mencari tahu apa itu.

Sinar matahari yang mulai meninggi bersanding apik dengan udara pagi yang sejuk. Marsih ingin sebenarnya menanyakan akan kemana Adriaan akan membawanya pergi, namun rasa takut dan cemas memaksanya untuk tetap diam bungkam dan menimbang atas keraguannya itu.

Suasana hening ini begitu membuat Marsih tertekan, disatu sisi ia ingin segera pulang kembali ke pelukan sanh ibu, namun disisi lain ia takut akan lelaki di depannya ini. Mata hitamnya memberanikan diri melirik Adriaan dan mengalihkan pandangan disaat mereka hampir bertatapan.

"Kemana Tuan akan membawaku?" entah dari mana datangnya keberanian Marsih untuk bertanya hal yang sangat menganggunya saat itu.

Ia melihat Adriaan mulai menutup buku yang barusan ia baca. Marsih meremas gaun emasnya kencang, khawatir akan jawaban yang akan pria ini katakan atau lebih parahnya Adriaan akan marah. Raut wajahnya menegang, keringat mulai sesekali jatuh dari keningnya.

"Ke rumah pamanku, lalu sepulangnya dari sana kita pergi ke pasar untuk membeli beberapa hal yang akan aku dan kau perlukan nanti," ucapnya dengan menaruh buku tipis itu tepat di sebelah kanan kakinya.

Marsih hanya mengangguk pelan, ia mengusap peluh keringat yang sempat jatuh di keningnya dengan kasar. Lalu kembali memandangi jalan di luar jendela. Adriaan mengambil sesuatu dalam saku jas miliknya, sebuah sapu tangan dengan bordiran bunga anyelir dan sebuah nama di ujungnya. Ia menyodorkan sapu tangan itu ke arah Marsih untuk membersihkan keringatnya.

"Pakailah ini, jangan rusak gaunmu hanya untuk mengelap keringat," ujarnya datar.

Perempuan ini mulai mengambil sapu tangan itu dengan canggung dan mulai mengelap keringatnya pelan. Ia kemudian menyadari sebuah tulisan yang tertera pada ujung sapu tangan berwarna salem itu.

"Milik Alysia... " gumam Marsih tak sadar, dengan segera ia menutup mulutnya yang secara tak sadar mulai membaca tulisan itu.

Wajah Adriaan sedikit terkejut akan gumaman kecil Marsih barusan. Ia menatap wanita pribumi dihadapannya ini dengan satu alisnya yang naik, tatapan penuh kebingungan, jarang sekali ada orang pribumi yang paham dan bahkan bisa membaca sebuah tulisan selain orang terpelajar, Marsih bahkan membacanya dengan sangat lancar. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan bertanya untuk memastikan apakah yang ia dengar barusan itu benar.

"Kau bisa membaca?" tanya Adriaan, raut wajahnya seakan menunggu jawaban Marsih.

Marsih menelan ludahnya pelan, ia tahu pertanyaan ini akan keluar dari mulut Adriaan. Betapa bodohnya dia! Kenapa bisa dia kelepasan bicara? Adriaan bisa saja marah dan tidak terima akan hal ini, ia mungkin juga akan menyakitinya kalau ia jujur, namun apakah Marsih harus berbohong? Sudah jelas tadi ia mengucap hal itu dengan lancar, kecurigaan lelaki ini pasti akan memaksanya berkata jujur bukan?

Dengan takut Marsih mengangguk, "I-iya Tuan," ucapnya terbata.

Adriaan tampak sedikit terkejut. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. Wanita di depannya ini adalah babu yang bekerja pada hotel sebagai pembantu, dan dia bisa membaca? Tentu saja Adriaan terkejut, hal ini adalah hal yang sedikit tidak masuk akal mengingat Marsih hanyalah rakyat jelata dan bukan dari kalangan bangsawan atau orang penting pribumi.

"Bagaimana bisa?" tanyanya lagi, rasa keingintahuan Adriaan tak dapat ia bendung.

Marsih bingung akan menjelaskan seperti apa dan bagaimana ia bisa membaca dan memiliki kemampuan dasar dari pendidikan. Tentu ia bukan anak bangsawan, dan bukan pula anak saudagar kaya raya, apakah ia harus bicara jujur bahwa sang majikan lama ibunya lah yang mengajarinya. Atau ia harus berbohong dan mengatakan bahwa ia belajar sendiri, walau memang itu terkesan tidak mungkin, lalu sekarang apa yang harus ia lakukan?

"Majikan lama ibu saya yang mengajari membaca, Tuan, dia sangat murah hati dan mau mengajarkan saya serta beberapa anak babu lainnya," ucapnya pelan, peluh mengalir kembali pada keningnya, ia menahan nafas untuk melihat reaksi wajah pria asing itu. Kini ia benar-benar takut.

Adriaan mengangguk pelan dan mengendikkan bahunya. Ia seakan tidak peduli dengan apa yang Marsih katakan. Hal itu membuatnya lumayan tenang dan kembali bernafas normal. Adriaan dan kesombongannya berpendapat, toh apapun keahliannya ia tidak akan sepintar dan sebijak dirinya, maka dari itu ia hanya bersikap selayaknya orang yang tidak peduli.

Pedati mulai melambat, dari kejauhan Marsih dapat melihat sebuah gerbang besi besar tengah dibuka oleh dua orang pribumi yang membawa parang. Mereka membuka gerbang dan mempersilahkan pedati masuk.

Sebuah rumah besar dengan tiga lantai mulai tampak dipandangan, rumah besar dengan cat dinding bewarna kopi susu itu tampak sangat cantik dengan beberapa tanaman disudut ruangan. Marsih membuka mulutnya lebar, terpesona akan betapa besar dan indahnya rumah ini, akan butuh waktu seharian hanya untuk menyapu bersih semua lantainya, begitulah kira-kira pikiran Marsih.

Adriaan menatap wajah Marsih yang masih ternganga akan kekagumannya atas rumah ini.

"Kau suka rumah ini? Sabar dan tunggulah beberapa hari atau bulan lagi, rumah ini akan jadi milikku, dan kita akan tinggal disana," kata Adriaan yang membuat Marsih menoleh dan segera menutup mulutnya.

"Iya aku suka, walau rumah Tuan yang sekarang juga bagus!" puji Marsih, tentu saja ia lebih menyukai rumah besar di hadapannya ini, rumah ini jauh lebih besar dan mewah dibanding rumah Adriaan yang sekarang, namun demi membuat Adriaan tidak merasa kesal ia merendahkan dirinya.

Lelaki ini tersenyum, ia meliriknya sesaat dan kemudian kembali melihat ke arah yang sama yang Marsih lihat.

Pedati berhenti sepenuhnya, kereta kuda kayu dengan pintu kusen itu dibuka perlahan. Adriaan turun pertama, lalu ia mengambil tangan Marsih dan menuntunnya untuk turun setelah melihat Marsih sedikit kebingungan dengan bagaimana ia akan turun menggunakan gaun emas yang besar ini.

Saat kakinya sudah berhasil menapak di tanah, ia menggandeng tangan Marsih dan mengaitkannya pada siku miliknya. Keduanya kemudian berjalan perlahan memasuki rumah mewah ini.

Di depannya terdapat dua orang babu laki-laki yang menunduk hormat saat Marsih dan Adriaan berjalan di hadapannya, hati Marsih tersayat melihat ini. Pasalnya, kedua lelaki itu terlihat sangat tua, jauh lebih tua bahkan dari Jinem, ibunya. Blangkon batik tidak dapat menyembunyikan rambut putihnya dengan sempurna, keriput-keriput kasar tergambar jelas pada wajah serta tangan mereka.

Marsih tentu saja merasa tidak enak hati dan tidak tega melihat kedua orang yang lebih tua darinya menunduk hormat hanya karena ia berjalan berdampingan dengan lelaki Belanda di sampingnya, ini terasa sangat tidak adil dan melanggar norma kesopanan. Ingin sekali rasanya Marsih mendekati kedua pria itu dan bersungkem maaf atas kelancangannya barusan, namun apa boleh buat?

Pintu terbuka, tampaklah seorang lelaki Belanda paruh baya dengan rambut putih keemasan miliknya, pria itu menatapnya dengan terkejut, yang kemudian dilanjutkan dengan tatapan menjijikan pada Marsih. Di belakang pria itu terdapat seorang wanita muda dengan sanggulan rambut pirangnya juga menatap gadis pribumi ini tak kalah terkejutnya dengan pria Belanda tadi.

"Sudah lama kita tak bertemu, eh? Dan sekarang kau membawa inlander ini ke rumahku? Kejutan apa ini Adriaan?" tawa menggelegar pria itu yang mentertawakan keberadaannya seakan menjadi ucapan selamat datang.

"Janganlah seperti itu, Paman, dia nyai baruku. Panggil saja dia Nyai Marsih."

Jantung Marsih seakan jatuh mendengar julukan 'nyai' tersandang di depan namanya. Julukan asing itu pula yang membuatnya hanya dapat tersenyum canggung dan sesekali menunduk saat lelaki berkulit putih di depannya ini sekali lagi tertawa terbahak-bahak seakan melihat Marsih sebagai objek pertunjukan.

"Kau membuatku hampir terkena serangan jantung. Kenapa tidak kau pakaikan dia baju layaknya nyai-nyai lainnya? Kau tak lihatkah ia nampak seperti badut sirkus memakai gaun itu, kulit hitamnya yang akan mengotori gaun mahal itu." lelaki tua itu menghinanya, Marsih malu dan marah dalam waktu yang sama, pandangannya kembali menunduk.

"Ah iya, perkenalkan dia pamanku Patrick Jan Waltern dan yang dibelakang itu namanya Alysia Van Hoëvell, adikku." tunjuk Adriaan pada wanita muda berambut pirang itu.

Wanita itu tersenyum ramah, tapi Marsih tahu senyuman itu tak tampak tulus, seperti ada maksud dan makna tersendiri yang tersirat dalam senyum wanita itu. Marsih membalas senyuman itu dengan senyuman canggung, ia tak tahu bagaimana caranya menyapa kaum kulit putih. Alysia mendekati keduanya, ia kembali tersenyum simpul.

"Kakak, aku rindu sekali denganmu! Kenapa kau jarang mengunjungiku? Jarak rumah ini ke rumahmu tidak sejauh itu, Kakak tak sayang lagi ya dengan Alysia!" ujar Alysia seraya memeluk kakaknya erat, dari sini Marsih dapat mengerti bahwa Alysia adalah anak yang manja dan bergantung pada orang lain.

"Hahaha.. Tentu saja, siapa yang sayang gadis cengeng sepertimu? Kurasa tak ada, Dylan tunanganmu juga pasti merasakan hal yang sama denganku." ejek Adriaan pada adiknya.

Alysia mengerucutkan bibirnya kesal, ia memukul dada Adriaan sebagai unjuk rasa kekesalan miliknya. Tawa Adriaan semakin kencang melihat kelakuan adiknya itu. Tak lama, mata Alysia beralih kepada Marsih. Wanita Belanda itu menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Hai! Kau sudah berapa lama jadi gundik kakakku? Oh maaf, maksudku nyai ... tapi apa bedanya nyai dengan gundik pemuas nafsu?" tanya Alysia dengan wajah polosnya, ia membuka kipas tangan bercorak merak dan mengibasnya pelan.

Marsih tersinggung dengan ucapan Alysia barusan, menurutnya wanita dihadapannya ini jelas tidak menyukai keberadaan Marsih saat ini, Marsih hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan polos yang dibuat-buat Alysia barusan, Adriaan juga tampak biasa saja akan hal itu dan bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Lagipula ia juga tak menginginkan berada disini.

"Ngomong-ngomong, aku suka gaunmu! Aksen emas itu memang tidak pernah salah untuk membawa kesan kemewahan, selera yang bagus. Kita akan jadi teman baik, Nyai!" ucap Alysia, lagi-lagi ia memalsukan ekspresi polosnya itu.

"Aku akan pergi dengan paman untuk membahas beberapa hal, kau tetaplah bersama adikku." perintah Adriaan pada Marsih yang hanya bisa mengangguk pelan, menyetujui perintahnya.

"Tenang saja, Kak! Aku akan membawa nyai berkeliling rumah."

Alysia menggandeng tangan Marsih erat, mereka berjalan perlahan menjauhi Adriaan dan Patrick, pamannya. Alysia membawa Marsih keluar rumah menuju taman untuk melihat beberapanpot bunga mawar yang ia rawat dan ia kasihi sepenuh hati.

Saat keduanya sampai, Alysia melepaskan kaitan tangan mereka, dengan cepat ia mulai menepuk-nepuk lengannya pelan sebagai cara untuk membersihkan dirinya dari tangan Marsih yang menurutnya kotor. Gadis jawwa ini hanya tersenyum penuh arti, sebegitu hinakah kaumnya bagi para orang kulit putih?

"Kau ... sejak kapan menggoda kakakku?" tanya Alysia dengan kembali mengibas kipas tangan miliknya elegan.

"Aku tak pernah menggoda siapa pun, apalagi kakakmu," bantah Marsih akan pernyataan Alysia yang seakan membuatnya sebagai perempuan penggoda murahan.

Alysia tersenyum, wanita pirang itu menutup kipas tangannya pelan, ia memberika kipas itu pada Marsih seraya berjalan untuk meraba sebuah mawar berwarna merah pekat. Ia menyentuhnya perlahan dan tanpa aba-aba ia mulai mencabutnya kasar. Melepaskan tangkai mawar itu dari dahannya, getah mulai turun dari potongan tangkai yang kini telah terputus, melepas kehidupan dari setangkai mawar yang tak lama lagi akan layu.

"Seperti inilah yang akan terjadi padamu. Kakakku akan menyayangimu sebentar, menggunakanmu hanya sebagai pemuas nafsu. Lalu tiba-tiba ia akan membuangmu jauh, meninggalkanmu sendirian," ucapnya pelan, ia mulai tersenyum manis yang kini senyuman itu membuat Marsih muak sepenuhnya. "Jadi, sebaiknya kau tak berharap banyak dari kakakku Nyai Marsih, kakakku berhak bahagia, tentu saja tidak dengan wanita murah sepertimu," lanjutnya.

Marsih ingin sekali tertawa saat itu juga, wanita Belanda ini bukan hanya merendahkannya, namun juga memberi sebuah ancaman yang membuat Marsih ingin sekali tertawa lepas. Entah kemana perginya Marsih sang penakut, kini ia sudah sangat geram akan perkataan Alysia barusan.

Belum sempat menjawab, Alysia kembali melakukan sesuatu pada mawar malang itu. Kini ia menaruh mawar itu ke tanah, membawanya jatuh serendah-rendahnya. Kemudian ia mulai mengangkat gaun miliknya dan menginjak mawar itu. Tanpa belas kasih ia mulai menumbuk setangkai mawar yang sama sekali tidak memiliki salah itu.

"Oh iya aku lupa mengatakan, kau terlihat mengerikan mengenakan sebuah gaun. Tidak layak dipandang, mataku saja sampai sakit. Sayang sekali kakakku memiliki selera sejelek ini, goedkope hoer." (pelacur murahan)

"Kau tahu Nona Alysia, aku memang hanya pribumi yang dihadapanmu terlihat sangat rendahan, aku juga tidak cantik jika kau bandingkan dengan dirimu yang berparas sempurna. Tapi ... kumohon berhati-hatilah pada apa yang kau ucapkan, karena jika tidak inilah yang akan terjadi."

Marsih menarik tangan Alysia pelan, ia membalikkan tangan putih itu hingga kini terlihatlah telapak tangan yang terdapat beberapa luka goresan akibat memegang mawar yang berduri. Memberikan Alysia sebuah peringatan jangan bermain-main dengan Marsih jika tak ingin terluka oleh ulahnya sendiri, seperti setangkai mawar indah yang berduri dan siap melindungi dirinya. Dengan perlahan ia mengembalikan kipas tangan milik wanita berambut pirang itu.

Kemudian ia berjalan memungut setangkai mawar yang sudah tak berbentuk itu, ia berjalan perlahan untuk menjauhi Alysia, sesaat sebelum benar-benar pergi, Marsih berkata, "Aku akan berkeliling sendiri saja, kau tidak usah menggandeng tanganku jika kau takut lengan gaunmu itu kotor, pelacur ini dapat berjalan sendiri."

Sesekali ia menengok ke belakang dan mendapati Alysia yang tengah berdiri mematung dengan ekspresi marahnya. Wanita Belanda itu kini sudah sepenuhnya membenci Marsih, gundik baru kakak laki-lakinya itu.

- Alysia Van Hoëvell -

.oo0oo.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro