Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07. Burung Dalam Sangkar Emas

Misi minta vote nya dulu dong~

.....


Marsih menundukkan pandangannya, kini ia berada dalam sebuah kereta kuda, padahal beberapa menit lalu dirinya masih berlutut membersihkan lantai dengan sebuah kain kotor di tangan. Entah kemana lelaki berjas hitam itu akan membawanya, lebih tepatnya menyeretnya pergi entah kemana. Kini ia merasa benar-benar kikuk kebingungan antara takut, pilu, dan segan. Layaknya seekor anak ayam kecil yang kalang kabut ketika tiba-tiba berhadapan dengan seekor singa. Namun sedikit dia tahu, Marsih paham, dirinya akan mengikuti apapun kemauan lelaki ini, karena jika sudah nyawa yang terancam, apa yang dapat ia lakukan selain menurut?

Sesekali ia melirikkan matanya ke arah lelaki berkulit putih itu, mencuri pandang sekaligus bertanya-tanya mengapa bisa dia bertingkah seolah biasa saja dan tidak ada yang terjadi. Setelah dapat menculik seorang gadis dengan santainya sekan itu adalah hal yang normal. Tidak tahukah bahwa Marsih sangat takut dan ingin sekali melarikan diri darinya. Lalu pertanyaan itu berubah menjadi sedikit rasa kesal kepada lelaki yang tengah membuatnya gelisah saat ini. Seenaknya membawaa dia pergi dan datang bagai sebuah barang.

Jemari lentik Marsih menghapus peluh yang jatuh menetes pada kain jarik, memberhentikan laju keringat dengan ujung lengan yang hampir membanjiri wajahnya. Kemudian ia menelan air liurnya perlahan dengan tatapan yang masih menunduk. Kedua tangan miliknya mengait kencang di atas paha, meremasnya kuat bertingkah seakan seseorang akan mengambil kedua kakinya. Suasana hening dan sunyi ini semakin membuatnya tegang dan terintimidasi, tanpa ada percakapan yang terjadi malah menambah kecemasannya. Ia bahkan sudah tak ingat lagi berapa jauh mereka pergi dari Hotel Simpang tempatnya bekerja.

Kereta kuda itu berhenti, pertanda mereka sudah sampai ditempat tujuan. Lelaki itu membuka pintu kayu dan segera keluar dari kereta itu meninggalkan Marsih yang masih tidak bergerak atau bahkan merubah posisinya. Pria asing itu menengok ke belakang, mengeryit menanyakan dalam benaknya mengapa gadis ini tidak keluar. Marsih meliriknya kecil, membuat mereka bertatap mata secara tidak sengaja. Gadis ini segera memalingkan pandangannya dan kembali menunduk menghadap ke bawah jarik miliknya. Tak sanggup hati saking takutnya dia terhadap lelaki itu.

"Keluarlah." bentak sang lelaki berjas hitam dengan suara bariton yang berat.

Marsih pun sedikit tersentak, ia mulai beranjak dari duduknya, takut-takut kalau nanti pria ini malah menarik tangannya paksa dan membuatnya terperosok ke tanah dari dalam pedati. Lalu Marsih keluar dengan perlahan dengan kaki yang tidak beralaskan sendal, bertelanjang ria membiarkan tanah menyelimuti telapaknya. Marsih mendangak, melihat sebuah rumah besar bernuansa hijau muda serasi dengan hamparan rumput, semak-semak kecil, dan beberapa pohon bunga sepatu yang berada di halaman rumah ini, atau Marsih tebak adalah rumah pria ini.

Rasa kagumnya tidak dapat ia hindari, ia tidak pernah melihat rumah seindah ini sejak sang ibu masih bekerja di rumah orang Belanda tua itu. Ia terpukau, dan tanpa sadar mulutnya terbuka dengan lebar, matanya mengeksplorasi detail-detail rumah ini.

"Simpan rasa kagummu sebelum kau masuk ke dalam."

Marsih kembali tersadar dan segera menundukkan kepalanya kembali. Saat masuk ke dalam rumah hijau itu, yang pertama ia lihat adalah lukisan-lukisan pemandangan yang sangat indah, tak lupa terpampang portet besar Ratu Wilhelmina berada tepat di tengah ruang tamu lengkap dengan bingkai bercat emas disekelilingnya.

Ia mengikuti langkah pria itu yang membawanya ke dalam dapur. Disana ia melihat sebuah meja makan berukuran sedang dengan empat buah bangku disisinya. Pria asing itu duduk di salah satu bangku itu dan melihat ke arah Marsih yang masih diam membeku, memberinya sinyal untuk meminta Marsih duduk.

"Kemarilah, makan bersamaku!"

Marsih menggeleng kecil, menolak ajakkan pria itu barusan, dirinya takut dan segan bagaimana jika pria ini meracuninya? Tidak ada yang tahu apa yang Adriaan masukkan di makanan dalam tudung saji itu, rasa curiga serta takut lagi-lagi membuat Marsih enggan mengiyakan tawaran lelaki itu. Apalagi setelah dirinya melakukan kesalahan besar, menyiramnya dengan air kotor, tentu saja ia tak bisa percaya.

"Tidak usah, Meneer, tidak apa." sebuah penolakan yang cukup sopan menurutnya.

"Kau pikir itu pertanyaan? Itu adalah perintah! Jadi kemarilah sebelum aku berubah pikiran."

Marsih tersentak terkejut dan segera mengampiri Adriaan perlahan dengan kikuk, menuruti perkataan yang dia tadi titahkan. Apa boleh buat, perintah pria itu tampak sangat absolut dan tidak terbantahkan.

Adriaan membuka tudung saji pelan, disana terhidang seekor utuh ayam panggang dengan wangi khas bakaran yang harum semerbak ke seluruh penjuru ruang. Perut Marsih sontak berguncang dan mengaum pelan, sinyal perut pada otak menandakan bahwa tubuhnya butuh energi.

Marsih duduk dengan perlahan di sebuah bangku yang berhadapan langsung dengan Adriaan. Ia menatap lelaki asing itu sebelum mengambil piring dan mulai memakan makanan yang tak pernah ia rasakan ini sebelumnya dengan perlahan-lahan.

Mungkin ayam panggang ini adalah makanan terenak yang pernah ia makan, dan fakta bahwa ia hanya pernah memakan ayam beberapa kali dalam hidupnya pun membenarkan hal itu. Ia makan dengan lahap tanpa melanggar norma kesopanan, mengisi kekosongan perutnya sejak kemarin malam, mengisi relung lambung yang sudah meraung meminta untuk terisi.

Adriaan, lelaki asing itu hanya menatap Marsih dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Namun terpancar dalam wajahnya bahwa ia tertarik dengan wanita dihadapannya ini, sepertinya diri pria ini menginginkan Marsih, dan tidak ingin membiarkan gadis ini pergi. Sebuah ide terpintas dalam benak lelaki ini, ide yang mungkin akan ia sesali dikemudian hari.

Sesi makan sudah selesai, waktu menunjukkan pukul enam sore, langit mulai menggelap dengan tenggelamnya sang fajar di ufuk barat. Perut Marsih telah terisi penuh, ia tak pernah merasakan sekenyang ini selama hidupnya, lambungnya begah. Sangat disayangkan makanan tadi tidak habis dan menyisakan banyak daging, andai dapat keluar, ia sangat ingin membawa satu potong dari makanan tadi untuk ia beri pada sang ibunda.

Marsih menunduk terkejut ketika Adriaan menggenggam lengannya dan menuntunnya ke sebuah ruangan, lelaki itu seakan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, dan ia menurut saja. Pria itu mulai membuka kunci satu ruangan dengan sebuah kunci perak kecil, pintu pun telah terbuka dan ia mendorong kenopnya. Terlihatlah sebuah kamar dengan dinding putih gading dan sebuah ranjang lengkap dengan kelambu, sebuah lemari, serta satu buah meja rias di sudut ruangan.

"Ini akan jadi kamarmu selama kau tinggal disini," kata Adriaan  sembari melirik Marsih kecil.

Mata Marsih membulat sempurna, apa maksudnya tinggal disini? "Maaf, Meneer, saya tidak bisa tinggal disini," balas Marsih dengan tatapan yang masih menunduk.

"Apakah aku terlihat sedang menawarkanmu tempat tinggal? Sekali lagi, cantik. Aku memerintahmu. " suara Adriaan meninggi dan membuat Marsih memejamkan matanya takut.

"Saya punya seorang ibu yang sedang sakit, Meneer, tolong izinkan saya pulang," pinta Marsih dengan wajah yang mulai terangkat dan menatap mata biru milik Adriaan.

Adriaan dan Marsih bertatapan, permintaan gadis ini tidak ia gubris dan hanya ia berikan sebuah tatapan dingin tanpa emosi. Marsih menunduk dan berlutut dihadapan Adriaan dengan tangan yang memegang kaki kiri lelaki asing ini seraya meminta belas kasihan pria dihadapannya itu.

"Saya mohon, Meneer, jika saya dapat tinggal demi Sang Hyang saya akan tinggal, tapi saya tidak dapat meninggalkan ibu saya mati sakit dan kelaparan," ucapnya dengan tatapan masih memohon pada lelaki di depannya ini.

Lelaki ini hanya diam membisu, tetap dengan tatapan tanpa emosi miliknya itu. Marsih mulai meneteskan air matanya, dan masih memohon dengan cara apapun ia harus pulang malam ini.

"Meneer tidak harus memberi saya tumpangan, saya dapat berlari atau berjalan pulang sendiri, saya hanya butuh Meneer untuk memperbolehkan saya pulang."

Tak menjawab, Adriaan masih menatap wanita yang tengah memohon di kakinya dengan dingin, kemudian dia menarik tangan Marsih cepat dan mendorong Marsih masuk ke dalam kamar tersebut. Memaksanya untuk tinggal di kamar itu. Adriaan mengunci rapat kamar Marsih dan melangkah pergi dengan telinga yang dapat mendengar Marsih memukul-mukul pintu serta memohon untuk pulang.

Hari semakin malam namun Marsih masih menangis di hadapan pintu, memohon pada lelaki Belanda asing yang dia bahkan tidak tahu siapa namanya. Ia masih memukulkan tangannya yang sudah penuh lecet kemerahan ke pintu kayu jati ini dengan mulut yang masih juga berdesis berharap dan meminta Adriaan untuk memperbolehkannya pulang.

Pikirannya tak dapat jauh dari Jinem yang kini mungkin sedang kelaparan dan kedinginan sendiri, meringkuk di kasur lapuk tanpa tahu kalau anak perempuannya tengah ditawan. Gadis ini hanya dapat menangis pasrah dan berdoa semoga Tuhan senantiasa menjaga satu orang yang paling ia sayangi di dunia itu.

.oo0oo.

Gila weh maap ya telat banget up nya hehe 😭👌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro