04. Lelaki Bermata Biru
"Marsih, kau sedang apa?" hari Karso diawali dengan Marsih yang menatap kosong dan seakan mengabaikan pekerjaan yang tengah ia lakukan saat ini.
Lamunannya segera saja buyar dan dengan sigap menoleh ke arah Karso yang menatapnya bingung. Tak dapat dipungkiri mengapa ia berkelakuan seperti ini. Kejadian hari itu dimana ia salah membuka ruangan, masih melekat jelas pada ingatan Marsih ditambah dengan keadaan sang ibu yang semakin mengganggunya hingga saat ini.
"Ngapunten, Kang," jawab Marsih sopan dengan kepala menunduk dalam rangka penyesalan atas kelalaiannya dalam bekerja.
(Maaf)
Marsih harus kembali belajar tentang memfokuskan diri semenjak kepalanya terus memikirkan kejadian salah ruangan tempo hari, dirinya tak mungkin akan selalu melamun tentang hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Bagaimana ia akan membuat ibunya kembali sehatlah yang seharusnya ia pikirkan saat ini.
Ia mulai membersihkan beberapa noda kopi yang mengering pada meja marmer di hadapannya, kemudian ia meletakkan cangkir-cangkir ke sebuah nampan yang ia genggam di tangan kirinya, sampai ia menyadari sebuah arloji berwarna emas tergeletak manis di sudut sebuah sofa kecil, arloji itu berada tepat dibelakang meja marmer yang tengah ia bersihkan.
Gadis ini mendekati sofa tersebut dengan tatapan bingung dan mulai mengambil arloji emas itu hati-hati, takut kalau tangannya dapat merusak jam yang terlihat mahal ini. Marsih bisa saja mengambil arloji emas tersebut dan menjualnya untuk kebutuhan ibunya serta dirinya sendiri mengingat arloji ini terlihat sangat mahal dengan ornamen-ornamen berlian kecil di dalamnya, namun sebagai seorang wanita Jawa yang dibesarkan sarat dengan kejujuran, apakah mungkin Marsih dapat hidup tenang tanpa rasa bersalah dengan mengambil barang orang lain dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi? Ia meragukan hal itu.
Ia menggelengkan kepalanya keras, mencoba untuk menghilangkan pikiran negatif yang mulai merayapi kepalanya. Hanya efek lapar, itulah alasan yang membuat Marsih coba berikan kepada batinnya atas pikiran jahatnya tersebut. Mengingat ia belum memakan apapun sejak kemarin, memaksanya menjadikan alasan tersebut atas pikiran tidak beradapnya itu.
Setelah menyadarkan diri, Marsih berniat untuk mengembalikan arloji emas itu ke tempat asalnya. Bertepatan ketika Marsih ingin meletakkan arloji itu kembali kepada sudut ketika ia pertama kali melihatnya, sebuah suara berat mengejutkan gadis ini bukan kepalang.
"Hey, zie je een horloge?" tanya sebuah suara berat dan tegas yang berada tepat di belakangnya. Hal ini tentu mengejutkan Marsih yang mengira bahwa ia tengah sendirian.
(Hey, apakah kau melihat sebuah arloji?)
Marsih seketika menoleh dan hampir saja menjatuhkan nampan yang berada di tangan kirinya. Tepat dihadapannya, berdiri seorang pria asing yang berbadan tinggi semampai, berkulit putih, berbadan kekar, dengan rambut pirang keemasan berkilau serta mata biru laut menatapnya bingung. Ia mengenakan sebuah jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya lengkap dengan sebuah celana sutra hitam dan sepasang sepatu pantofel mengkilap yang tampak selaras dengan jasnya tersebut. Dengan penampilannya ini sudah memberi semua orang sinyal bahwa pria dihadapannya bukanlah seorang pria asing semata.
Gadis ini dengan segera menundukkan pandangannya dalam dan menggeleng kecil untuk menandakan bahwa ia tidak mengerti apa yang pria ini katakan, jangankan tahu apa maksudnya, mengerti sepatah kata saja tidak. Firasat siratan buruk mulai ia dapat rasakan, seperti ada sesuatu aneh, segan, dan segera membuatnya merasa takut sesuatu akan terjadi pada hidupnya.
"Apa kau melihat sebuah arloji? Sepertinya tertinggal di sekitar sini," tanya pria ini untuk kedua kalinya menggunakan bahasa yang kali ini Marsih dapat mengerti.
Matanya membelak, dengan lambat gadis ini mencoba menelan ludahnya yang terasa serat. Marsih terus menundukkan kepalanya dalam takut sedangkan tangan kanannya yang gemetar perlahan mulai terangkat, terulur untuk memberi tahu bahwa arloji tersebut ada padanya. Sedangkan dia sama sekali tidak ingin menatap wajah pria asing di depannya ini.
"Kau tampak familiar," ucap pria ini dingin tanpa ucapan terimakasih sembari memakai kembali arlojinya setelah merebut benda itu dari Marsih.
Mendengar hal itu, tanpa berfikir panjang Marsih menggenggam nampannya erat dan mulai berlari menjauhi pria asing tersebut, ia berlari sekuat tenaga ke arah belakang hotel tanpa tahu arah tujuannya, yang pasti ia berharap tindakan ini akan membuatnya dapat bebas dari pria asing tersebut. Melarikan diri atas sebuah pemikirannya yang belum tentu benar.
Ia bersembunyi dibalik sebuah dinding bagian luar hotel dengan nafas yang terengah-engah mencoba mengeluarkan dan memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya. Ketika sudah berhasil menyelaraskan deru nafasnya, ia terjatuh duduk di tanah dan masih menggenggam nampan berisi cangkir-cangkir bekas kopi itu.
Kalau ia tidak salah ingat, pria asing itu adalah salah satu diantara pria-pria berkulit putih yang berada di ruangan rapat terkutuk itu. Tentu saja sang pria asing itu mengenali wajahnya yang tekejut ketika pertama kali membuka ruangan dengan nampan penuh jajanan pasar dan sepersekian detik kemudian menunduk lalu pergi meninggalkan ruang rapat dengan pintu yang ditutup secara terburu-buru. Tapi apakah mungkin ia dapat mengingat satu wajah asing diantara semua wajah pria berkulit putih pada ruangan itu? Ia memberikan alasan pada dirinya sendiri bahwa ia salah ingat dan memberi pernyataan kalau dirinya sedang berkhayal. Dan ia hanya berharap pria itu tidak akan berpapasan dengan dirinya lagi.
Setelah sadar ia telah membuang banyak waktunya, Marsih kemudian berdiri dan merapihkan jarik dan kebaya lusuhnya untuk kembali masuk ke dalam gedung hotel lalu kembali bekerja, dengan harapan ia akan segera melupakan kejadian yang hampir saja membuat jantungnya melompat terkejut.
"Mbak tidak apa-apa?" tanya seorang gadis mungil Jawa yang terlihat sedikit lebih muda dari Marsih. Ia berpakaian tak jauh berbeda dengannya, satu buah kebaya lusuh bermotif bunga kenanga, lengkap dengan jarik yang sudah mulai berlubang.
"Iya, aku ndak apa apa," balas Marsih dengan senyuman kikuk.
"Ah, namaku Lasmi, ini hari pertamaku disini," ucap gadis bernama Lasmi itu. Perawakan Lasmi bisa dibilang sama seperti Marsih dan gadis Jawa lainnya, yang membedakan adalah badan Lasmi yang sedikit lebih kecil dan mungil dibanding Marsih dan ia memiliki rambut hitam legam sebahu yang ia ikat asal dibelakang lehernya.
"Namaku Marsih, semoga kita bisa akrab ya." senyum Marsih mengembang dan membuat Lasmi sedikit malu. Walaupun meteka sesama perempuan Lasmi tak bisa memungkiri kecantikan wajah Marsih ketika ia tersenyum, keindahan yang sedikit tertutup oleh lusuhnya pakaian dan debu yang menempel pada tubuhnya.
"Iya, Mbak Marsih," kata Lasmi dengan tak lupa membalas senyuman manis Marsih.
Tak butuh waktu lama untuk Marsih dan Lasmi menjadi akrab dan menjadi teman baik, tanpa mengadahkan sopan santun mengingat Marsih jauh lebih tua 2 tahun dari Lasmi. Namun menurut Marsih, perbedaan usia bukanlah pantangan untuk menjalin keakraban dalam sebuah pertemanan.
Mungkin Marsih kurang bersyukur atas kehidupan yang tengah ia alami sekarang, mengingat kehidupannya masih jauh lebih baik daripada gadis yang berada di hadapannya ini. Lasmi yang baru saja menginjak usia akhil baliknya terpaksa dijual menjadi babu oleh orangtuanya sendiri karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memadai untuk menafkahi adik-adiknya yang masih kecil.
Sebagai sesama wanita tentu Marsih akan merasa iba atas perjalanan jauh yang Lasmi dapat tempuh di usia yang sangat belia. Lasmi tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung, tidakkah seharusnya Marsih merasa bersyukur atas kemampuan yang dapat ia kuasai selagi ia kecil? Dan Lasmi hanyalah salah satu gambaran dari banyaknya korban tidak bersalah dengan kolotnya pemikiran manusia kala itu.
Marsih merenungkan betapa banyaknya keluhan yang sering ia batinkan dalam hatinya, memikirkan betapa masih banyaknya wanita yang jauh dan lebih kurang beruntung dari dirinya. Apakah tuhan adil memberikan para perompak negerinya ini kehidupan layak dan memadai, sedangkan rakyat yang sudah tinggal lebih dulu disana diperlakukan seperti budak? Jawaban dari pertanyaan Marsih, hanya Tuhan lah yang tahu.
.oo0oo.
Sampai jumpa di chapter selanjutnyaa~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro