02. Pekerjaan Pertama
Sorry for typos and happy reading!
.....
Mencari sebuah pekerjaan di kota kelahirannya sendiri mungkin akan mudah, begitulah setidaknya pemikiran Marsih pada mulanya yang seketika terbantahkan ketika ia menyadari berapa banyak ia sudah ditolak saat melamar pekerjaan.
Marsih menghembuskan nafas pelan, ia sudah ditolak bekerja lebih dari tujuh kali di pasar, mulai dari meminta pekerjaan dengan pemilik toserba, hingga mengajukan diri sebagai kurir pedagang beras, tapi semuanya gagal. Ia hampir saja menyerah ketika, namun saat dirinya sadar dan mengingat sang ibu, Jinem yang sakut keras serta tuntutan kebutuhan lain yang harus ia lunasi. Mau bagaimana pun ia harus mendapatkan pekerjaan hari ini.
Seakan ada lampu yang menerangi kepalanya, ia mendapat ilham ketika melihat kertas yang melekat di dinding belakang ruko Cina, disana terulis dengan jelas sebuah hotel bernama hotel simpang yang membutuhkan tenaga kerja seorang babu. Begitulah sekiranya yang tertulis dalam kertas pamflet yang tertempel di dinding usang tersebut.
Tanpa berfikir panjang, ia segera berlari menuju hotel yang alamatnya sudah tertera apik di kertas tersebut, dan beruntungnya Marsih, ternyata hotel itu tak berada terlalu jauh dengan tempatnya sekarang. Tidak peduli ia mengenakan alas kaki atau tidak, tak peduli ia menginjak puluhan kerikil batu, ia tetap saja berlari kencang, mengabaikan rasa panas dan pedih yang membakar telapak kaki mungilnya itu.
Dengan jantung berdebar semangat, Marsih mencoba menyelaraskan deru nafasnya agar kembali menjadi normal. Ia mulai membenahi keadaan dirinya yang berantakan, merapihkan rambutnya yang sudah hampir tak berbentuk, menepuk tangan untuk membersihkan kulitnya dari debu yang sudah lama menempel pada tubuh dan pakaian yang ia kenakan.
Setelah merasa dirinya cukup layak dipandang, ia menarik satu tarikan nafas sebelum memasuki gedung hotel dari arah pintu belakang. Ia dengan ragu mulai membuka pintu putih di hadapannya dengan sangat perlahan.
Pemandangan pertama yang ia lihat adalah ramai. Keramaian oleh hiruk pikuk puluhan pribumi yang berlalu lalang cepat membuatnya begitu terkejut pasca membuka pintu. Gaduh suara mereka yang bercampur menjadi satu, berbaur hingga tidak lagi terdengar dengan jelas satu kata pun.
Marsih menyipitkan mata hitam pekatnya, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab disini, setelah mendapatkan apa yang ia cari. Marsih mulai mendekati pria hitam, kurus, dan berbaju sedikit rapih. Pria tersebut membawa sebuah papan yang berisi kertas yang dibekap di dada, serta terlihat seakan sedang memerintah beberapa pribumi lainnya.
Gadis ini mencoba agar tidak menabrak seseorang yang tengah kalut dalam pekerjaannya. Berjalan sangat perlahan seakan mengendap-endap membuatnya menahan nafas untuk beberapa saat lamanya.
Semakin dekat ia dengan pria yang ia anggap bertanggungjawab itu, semakin jelas juga ia mendengar perintah-perintah mutlak yang ia berikan. Layaknya mandor yang membimbing para pekerjanya.
"Angkat niki teng jogan gangsal!"
(Angkat ini ke lantai lima)
"Resiki meja wolu!"
(Bersihkan meja delapan)
Begitulah sekiranya perintah pria itu yang marsih dapat dengar, ia akhirnya sampai tepat di hadapan pria kurus yang ternyata jauh lebih tinggi darinya.
Setelah sampai tepat di depan pria pribumi ini, ia dengan memberanikan diri mengutarakan maksudnya untuk mencari pekerjaan.
"Sinten sampeyan?" tanya sang pria hitam itu tegas.
(Siapa kamu)
"Kula Marsih, Kang, Sumarsih," kata Marsih memperkenalkan diri, mencoba menjadi sesopan mungkin di hadapannya.
(Saya Marsih kak, Sumarsih)
"Nopo ingkang sampeyan kanjengi?" tanyanya sekali lagi.
(Apa yang kau inginkan?!)
"Kula madosi setunggaling pandamelan, kula tingal saking pengumuman menawi sampeyan mbetahaken setunggaling tiyang babu, kula siap dados babu. Tulung tampi kula nggih, Mas," ucap Marsih penuh mohon dan harap.
(Saya mencari sebuah pekerjaan, saya lihat dari pengumuman kalo anda membutuhkan seorang babu, saya siap menjadi babu. Tolong terima saya ya, Mas)
Pria kurus ini menatap Marsih lekat dengan alis yang mengerut sempurna, pengumuman itu dibuat lebih dari setahun yang lalu, apakah gadis ini tidak tahu? Lalu pengumuman itu dikhususkan untuk mencari pembantu untuk di dapur, bukan babu. Dan ... bagaimana gadis ini dapat membaca?
Pria ini kembali menelisik tubuh Marsih dalam. Wajah dan kulit yang diliputi debu, kebaya dan jarik yang sudah rombeng tak layak pakai, kaki yang tak beralaskan apapun, dan tak lupa beberapa luka goresan di kaki jenjang Marsih. Tetapi semua itu jelas tidak menutupi semua kecantikan alami yang dimiliki gadis ini.
Rasa iba mulai meliputi hati pria ini. Tetapi jika berkata soal kasihan, semua orang di negeri ini dalam keadaan yang memprihatinkan, termasuk dirinya. Meskipun penampilan Marsih sangat mengingatkannya akan sosok almarhumah adik yang terpaksa menjadi nyai, hal ini membuatnya sedikit tertegun.
Marsih menanti jawaban pria itu dengan harapan yang besar, jantungnya berdebar mempersiapkan kemungkinan terburuk jikalau ia lagi-lagi tertolak dan harus meninggalkan gedung hotel yang indah ini.
Pria ini mengangguk-angguk pelan, dia sudah memutuskan, untuk Marsih apakah ia akan tinggal atau pergi. Dengan berbekal rasa iba ia akhirnya menyetujui supaya Marsih dapat bekerja disini. Lagi pula dirinya sedikit membutuhkan tenaga bantuan di belakang sana.
"Nggih pun kula tampi, saniki resiki niku dumugi resik!" bentaknya tegas penuh keputusan sembari menunjuk sebuah sudut.
(Baiklah aku terima, sekarang bersihkan itu sampai bersih)
"Enggih, Kang, matur nuwun."
(Iya, Kang, makasih ya)
"Namaku Karso," ucap lelaki kurus menyebutkan namanya yang ternyata bernama Karso.
Gadis ini hanya mengangguk-angguk paham dan tersenyum bahagia, ia sangat senang bisa mendapatkan sebuah pekerjaan di penginapan yang bernama Hotel Simpang. Hotel yang katanya hanya kaum-kaum elit Belanda yang dapat bermalam disini.
Ia segera berlari ke tempat yang ditunjuk pria tadi. Ia melihat sebuah meja marmer yang penuh dengan serpihan cangkir serta tumpahan kopi yang menutupi seluruh permukaan meja marmer itu.
Marsih tebak seseorang pasti tengah sangat emosi sehingga membuat semua kekacauan ini terjadi, mengingat bukan hanya satu cangkir yang pecah, tapi tiga cangkir kopi yang pecah serta tumpah. Tentulah ini pasti disengaja.
Untunglah Marsih ditugaskan di bagian belakang dan tengah hotel sehingga ia tidak bertemu langsung dengan para kaum kulit putih yang tengah mengusai negerinya.
Dengan semangat gadis ini membersihkan semua kekacauan itu, ia akan melakukan yang terbaik pada pekerjaan pertamanya. Ia harus terlihat gesit dan tidak pemalas supaya ia dapat bekerja lebih lama disini.
Katakanlah Marsih gadis yang rajin, tekun, gesit, dan baik hati. Ia melakukan semua pekerjaan yang disuruh dan wajib ia lakukan serta tak lupa membantu para perkerja atau babu lainnya yang sudah menua. Ia dengan tekun membantu mereka semua tanpa melupakan kewajibannya sendiri.
Karso memperhatikan Marsih yang bekerja sembari membantu orang, jelas ia tak suka. Pekerjaan dan jadwal yang sudah ia bangun akan terlambat serta hancur jika Marsih tetap membatu orang. Memangnya ia pikir membatu orang tidak memakan banyak waktu?
Tak lama kemudian, Karso memanggil Marsih untuk melakukan pekerjaan lain, kini ia tidak akan menyuruh Marsih untuk membereskan sesuatu, ia akan menyuruhnya untuk membawa makanan saja, daripada ia mengganggu semua jadwal yang sudah ia buat?
"Hoy anak baru!" teriak Karso lantang.
Marsih menengok dan segera mendatangi asal suara. Ia menatap Karso dengan senyuman manis miliknya yang masih terpampang jelas pada wajah berdebu miliknya.
"Antarkan niki teng ruangan ngaso! Empun mrika kesah!"
(Antarkan ini, ke ruangan istirahat ya! Sudah sana pergi!)
"Nggih, Kang," jawab Marsih pelan.
Ia segera mengantarkan nampan yang berisi beberapa camilan dan jajanan pasar yang langsung spontan membuat perutnya keroncongan. Memang, sejak semalam Marsih belum makan apapun, tentu saja ia sangat lapar. Tetapi Marsih tidak sebodoh itu untuk memakan semua ini, ia adalah seorang gadis yang amanah dan dapat dipercaya.
Ketika sampai di sebuah persimpangan, Marsih seketika terdiam, terdapat dua pilihan ruangan berbeda yang dua-duanya menggunakan Bahasa Belanda, bagaimana ia dapat mengetahui yang mana ruangan istirahat? Ia bahkan tidak bisa berbahasa lain selain Jawa dan Bahasa Indonesia.
Pauzeruimte || Vergaderzaal
Yang manakah yang ruang istirahat? Marsih bingung dan mencoba menggunakan hati nuraninya untuk memilih. Dengan setengah hati ia mencoba untuk meyakinkan dirinya dengan memilih ruangan bertuliskan vergaderzaal itu.
Ia mulai mengetuk pintu sekali pelan, dan mencoba meraih pegangan pintu dengan tangan kirinya yang tak memegang apapun. Ia membuka pintu secara perlahan-lahan supaya nampan makanan yang ia bawa tidak terjatuh dan tetap seimbang.
Begitu pintu terbuka sempurna, jantung Marsih bagaikan jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Ia hampir saja menjatuhkan nampan yang penuh berisi jajanan pasar itu. Mungkin keberuntungan tidak berpihak pada Marsih saat itu ketika melihat keadaan dalam ruangan itu yang ternyata penuh dengan kaum yang selama 16 tahun ia hindari.
"Oh, Gusti Pangeran! Ruangan apa ini?" jeritnya dalam hati.
.oo0oo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro