Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21

"Andrew!!"

Aku tak berhenti melakukan CPR untuk Andrew yang terbaring lemah dengan keadaan kritis. Kepalanya berdarah. Matanya bengkak. Badannya dipenuhi oleh luka-luka yang cukup serius. Aku masih tak percaya, kalau orang yang membuat keramaian tadi adalah Andrew. Aku sudah memberi kabar kepada Sasha dan Ava yang berada di rumah. Mereka terkejut setelah mendengar perkataanku, dan bergegas menyusulku.

Setibanya di rumah sakit, Andrew langsung dibawa ke dalam UGD. Aku disuruh menunggu di depan ruangan itu. Dadaku terasa sesak. Tanganku gemetar. Aku merasa sangat panik dan gelisah. Aku tak memikirkan apapun sekarang, kecuali Andrew. Mulutku terus mengucapkan doa, agar Andrew selamat dan kondisinya membaik.

Tidak lama kemudian, Sasha dan Ava tiba. Mereka langsung menghampiriku dan memelukku.

"Andrew... baik-baik saja kan? Ini gak beneran kan, Abby?!" Ava menangis terisak. Aku meneteskan air mata, dan menggeleng.

"Doain aja, Ava. Semoga Andrew bisa bertahan," ucapku. Sasha mengangguk. Dia ikut menangis, tetapi berusaha tetap tersenyum. Meyakinkan bahwa Andrew akan baik-baik saja.

━ ━ ━

Bibi dan Paman sudah melihat kondisi Andrew. Mereka tinggal di rumah sakit, dan menyuruh kami pulang ke rumah. Mereka bilang, mereka akan menginap di rumah sakit, menjaga Andrew sampai kondisi Andrew membaik.

 Aku, Ava, dan Sasha pun pulang ke rumah. Wajah kami semua murung. Sasha akan menjaga kami untuk sementara. 

 CKLEK!

 Aku masuk ke dalam kamarku dan segera menguncinya. Kuletakkan tasku di atas kursi, dan aku pun langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Sekarang pukul delapan malam, dan aku belum mandi sama sekali. Tubuhku terasa sangat lelah hari ini, entah kenapa. Ini hari yang berat bagiku. Dimulai dari masalah video, cemooh anak-anak sekolah, ancaman sang kepala sekolah, dan yang paling parah, kecelakaan Andrew. 

 Aku menghela napas berat. Mataku bengkak. Perutku lapar. Kakiku terasa sangat lelah. Aku menatap langit-langit kamar, dan berusaha untuk tidak membayangkan bagaimana hari esok akan berjalan. Aku terus mendoakan Andrew. Tak peduli lagi dengan masalah sekolah. 

━ ━ ━

 Masih sama seperti semalam. 

Siswa siswi sekolah melihatku dengan tatapan tak mengenakkan saat aku berjalan di koridor. Beberapa ada juga yang menatapku dengan rasa simpati.

Berita kecelakaan Andrew telah tersebar dari unggahan akun berita kota di Instagram. Saat aku masuk ke dalam kelas pelajaran pertama, Sateen, Millie, dan Sadie menghampiriku dan menanyakan soal kabar Andrew.

"Abby, lo sabar ya. Semangat! Kami bertiga yakin masalah ini bakal cepat selesai. Kailee mau dipanggil ke kantor hari ini, kata Tiffany," ujar Sateen. "Apapun itu gosipnya, lo gak salah By."

Aku tersenyum. "Makasih, Sateen."

"Emm, kami nanti boleh jenguk Andrew gak, By?" tanya Millie.

"Boleh kok," jawabku.

"Oke deh. Nanti kita pergi berempat ya," kata Millie, tersenyum.

"Gue gak ikut?"

"Alamak!" Sadie memekik setelah menoleh kepada Noah yang mendadak muncul di sebelahnya. "Noah! Lo ngagetin aja!! Muncul tiba-tiba..." Sadie mengomel.

Noah cengengesan. "Hehe, maaf maaf. Tapi serius we. Gue boleh ikut gak?"

"Tanya Abby," kata Millie.

Noah pun memandangku. "Gue boleh ikut gak, By?"

"Boleh." Aku mengangguk. Noah tersenyum lebar.

"Apaan ini rame rame." Jaeden dan Wyatt memasuki kelas kami.

"Eh? Kalian? Bukannya kalian masuk ke kelas geografi ya?" tanya Millie.

"Iya. Kenapa? Emang gak boleh? Gue kan mau lihat cewe kesayangan gue—"

"Huek." Noah berpura-pura muntah. Jaeden pun menoyor kepalanya.

"Ih, apaan." Sateen membuang muka. "Sok romantis."

"Lah, tapi kamu—"

"Abby, berarti fix kan ini, kita pergi berlima?" Sateen mengalihkan pembicaraan dan menghadap kepadaku.

"Kalian mau pergi kemana sih?? Kok gak ngajak-ngajak." Wyatt mengernyitkan dahi dengan bingung sedari tadi. Dia sudah muak menonton drama Jaeden dan Sateen yang tidak siap-siap.

"Jenguk orang!" jawab Noah. "Kenapa? Mau ikut?"

"Jenguk siapa?" tanya Wyatt.

"Andrew, sepupu Abby yang kecelakaan semalam. Masa lu gak tau sih," kata Noah. "Kudet ni."

"HP gue lagi rusak. Habis dicelupin adik sepupu gue ke kolam," ujar Wyatt.

Noah menelan ludahnya. Dia menatap Wyatt dengan dalam dan menepuk-nepuk bahu anak laki-laki berambut keriting itu.

"Sabar, bro."

Wyatt hanya tersenyum. Dia pun memandangku.

"Gue boleh ikut gak, By?" tanya Wyatt.

Aku mengangguk.

Jaeden, yang tak mau kalah, langsung heboh. "Abby! Gue ikut juga ya!"

"Yaudah," jawabku.

"Woah oke. Kalau Finn?"

Aku terdiam. Pikiranku langsung tertuju pada Finn. Semalam, aku sudah bertekad untuk menjauhinya, agar tak mendapat masalah lagi. Bapak kepala sekolah sudah menandai kami. Jika terjadi lagi masalah yang bersangkutan denganku, aku bisa dikeluarkan dari sekolah ini, dan berpisah dengan teman-temanku.

Tepat saat itu juga, lima detik setelah Jaeden menanyakan itu, terlihat Finn yang sedang berjalan menuju kelas kami. Aku meliriknya, sembari menelan ludah. Raut wajahnya tampak dingin.

Dia masuk ke dalam kelas. "Jae, Wyatt, ayo."

"Eh, Finn! Bentar!" Jaeden dan Wyatt berlari ke arahnya.

"Finn, lo mau ikut jenguk sepupu Abby gak nanti?" tanya Jaeden.

Finn melirikku. Aku yang tadi memandangnya, langsung mengalihkan pandanganku ke papan tulis.

"Enggak," jawab Finn. "Ayolah. Udah mau bel."

"Iya, iya! Yuk!"

━ ━ ━

Sepulang sekolah, kami bertujuh pergi ke rumah sakit tempat Andrew dirawat. Kami berjalan kaki ke sana. Cukup lama. Tetapi, sebelum kami tiba di rumah sakit, kami membeli parsel buah di supermarket yang tak begitu jauh dari tempat tujuan.

Kami patungan uang untuk membeli parsel buah itu. Setelah membeli parsel, kami kembali melanjutkan perjalanan. Setengah jam kemudian, tibalah kami di rumah sakit yang tak begitu ramai itu.

"Ikut gue," kataku. Mereka mengangguk dan mengikutiku dari belakang. Kami menaiki lift menuju lantai tiga. Andrew sudah dipindahkan dari unit gawat darurat, ke kamar 308

Di depan kamar, terlihat Bibi Julie dan Paman Hank yang sedang duduk di kursi sembari membincangkan tentang bisnis. Mereka berdua menoleh kepada kami yang tiba di depan pintu.

"Eh, Abby." Bibi Julie tersenyum kepadaku. "Andrew lagi nonton TV tuh."

"Oh, oke, Bi. Abby bawa temen-temen sekolah nih, katanya mereka mau jenguk Andrew," ujarku, nyengir.

"Wah, makasih ya. Kalian anak-anak baik semua. Ayo, masuk," ucap Bibi Julie. Senyumnya ramah dan hangat.

"Terima kasih, Mrs Henderson." Keenam temanku mengangguk. Kami pun masuk ke dalam kamar. Sementara Bibi dan Paman masih duduk di luar.

Aku berjalan ke kasur Andrew. Terlihat Andrew yang tatapannya sedang tertuju ke televisi. Dia pun menoleh saat aku berdiri di samping kasurnya.

"Andrew, lo udah baikan?" tanyaku.

Andrew mengangguk. Dia tersenyum. "Udah, By. Ini gue lagi nonton, berarti gue udah sehat dong."

Aku tertawa kecil dan memeluk Andrew dengan senang. "Bisa ae lo. Gue udah khawatir banget sama lo semalam."

"Hehe, maaf ya. Makasih juga. Kalau gak ada lo, pasti gue— ah." Andrew menepuk dahinya.

"No problem. Lain kali lo hati-hati ya. Jangan bikin panik lagi," kataku.

"Iyaa." Andrew cengengesan. Dia memandang keenam temanku.

"Eh, ini temen-temen lo, Abby?" tanya Andrew.

Aku mengangguk. "Iya. Mereka mau jenguk lo. Yaudah deh, sekalian gue juga mau mampir kesini lihat lo."

"Wah. Banyak juga temen lo." Andrew tersenyum lebar. "Tapi gue belum kenal satu-satu nih."

Aku menoleh kepada keenam anak remaja itu dan memperkenalkan mereka.

"Ini Millie, yang di sebelahnya Sateen, terus Sadie, dan tiga laki-laki ini namanya Jaeden, terus Noah, dan ini Wyatt."

"Halo, gue Andrew. Salam kenal ya," ujar Andrew ramah.

"Salam kenal juga," ucap Millie, mewakili yang lain. Dia membalas senyuman Andrew.

Andrew menatap satu persatu. "Emm, ada yang kurang ya, By. Si.."

"Siapa?" tanyaku.

"Finn! Sama Aidan."

"Oh, Finn...," aku bergumam. "Dia gak ikut."

"Kenapa?"

Aku mengangkat bahu.

"Kalau Aidan?"

"Entar dia dateng," jawabku. "Katanya lagi ada pesta keluarga. Wajib ikut katanya."

"Ooh. Yaudah. Itu ada kue bolu dari temen gue tadi. Kalian makan aja ya, kalau mau," tawar Andrew, menunjuk sekotak kue bolu yang terletak di atas meja dekat lemari.

"Eh, ini ada parsel buah. Tadi kami beli buat lo," ujar Jaeden, yang memegang parsel buah tadi. Sebenarnya, kami berganti-gantian membawanya tadi. Dan giliran Jaeden tiba saat kami sudah sampai di rumah sakit.

"Makasih yaa," ucap Andrew. "Gue gak nyangka Abby punya temen sebaik kalian."

Aku memandang Andrew dengan tatapan tajam. "Maksud lo? Gue gak punya temen gitu."

"Ya iya. Habisnya, lo sama Aidan, Johnny, atau Finn mulu. Kan gak nampak jadinya temen lo yang lain," kata Andrew.

Mendengar nama Johnny, lututku langsung lemas. Aku sangat ingin bertemu dengannya.

"Eh hehe, kami nya yang baru dekat sama Abby, Kak. Kami berteman semenjak Abby kenalan sama Finn," ujar Noah.

"Wah. Nampak banget Abby anaknya sok misterius—"

Satu cubitan kecil berhasil didapatkan Andrew di tangannya yang tak di infus. Andrew pun merintih. Aku yang tadi mencubitnya, menatapnya dengan semakin tajam.

"Serius, Ndrew. Kalau lo gak separah ini, bakal gue tendang." Aku melotot galak.

'Gak nyangka Abby punya teman', 'sok misterius', apaan.

Tapi perkataannya lumayan benar sih. Aku agak susah berteman. Makanya, kalau sekalinya punya sahabat seperti Johnny atau Aidan, aku benar-benar sangat dekat. Ya karena itu. Susah mendapatkan sahabat seperti mereka.

Kami berbincang dengan Andrew. Sementara, Wyatt dan Sadie menonton TV. Tengah mendengarkan cerita Millie sambil menikmati teh, tiba-tiba, Noah berbisik kepadaku.

"Abby."

Aku menyahut. "Kenapa?"

"Kakak lo mana?"

"Sasha?" Aku mengernyitkan dahi.

"Iya." Noah mengangguk.

"Di rumah. Lagi beres-beres sebelum ke sini," jawabku. "Kenapa?"

"Gapapa." Noah tersenyum. Aku memandangnya dengan bingung. Kulanjutkan meminum tehku.

Noah berbisik lagi.

"Lo mau punya kakak ipar kayak gue?"

Perkataan Noah berhasil membuatku tersedak. Aku terbatuk-batuk saking kagetnya dengan perkataan Noah. Yang lain pun langsung memandangku.

"Gila, Noah. Apa-apaan tadi. Lo serius?!" kataku, masih diselingi batuk.

"Canda doangg, kok panik lo. Gak mau punya kakak ipar kayak gue ya?" kata Noah.

"Stop bilang kakak ipar. Lo suka sama Sasha??" tanyaku, membelalak kaget.

"Iya."

Aku terkesiap.

"Kenapa?? Kalian pernah ketemu? Apa kalian punya hubungan? Kok tiba-tiba lo—"

"Kakak lo cantik tau. Terus baik juga. Kakak idaman. Masa lo gak sadar," ujar Noah.

"Pfft." Aku menahan ketawa. "Gue gak sadar karena udah tinggal sama dia sejak lahir. Dah tau gue sifatnya gimana."

"Tapi kan gue gak tinggal sama kakak lo. Boleh lah, sekali-sekali gue ketemu sama dia. Boleh ya?" Noah memelas.

Aku tertawa dan mengangguk-angguk. "Boleh, boleh."

Noah tersenyum sambil menunjukkan giginya yang berderet rapi.

Sasha, aku menemukan salah satu penggemarmu.

━ ━ ━

Satu setengah jam kemudian, mereka semua pulang. Tinggal aku dan Andrew yang ada di kamar. Aku sibuk chat dengan Ava. Dia sedang curhat tentang teman lesnya yang katanya membencinya.

"Abby." Andrew memanggilku.

"Apa?" tanyaku.

"Boleh beliin roti gue di minimarket lantai satu gak?" kata Andrew.

"Roti apa?" tanyaku.

"Roti keju kesukaan gue," jawab Andrew. "Tau kan."

"Oh, iya. Tau kok." Aku mengangguk.

"Beliin ya."

"Oke."

Tapi aku belum keluar juga dari kamar.

"Lah kenapa belum?" tanya Andrew.

"Lo lupa sesuatu...," kataku.

Andrew mengingat-ingat, lalu, "Oh iya. Duit. Inget aja lo."

Aku mengangkat kedua alisku dan menyeringai kecil. Andrew pun menyuruhku mengambil dua puluh ribu dari dompetnya.

Setelah mengambil duit Andrew, aku keluar dari kamar dan pergi ke minimarket lantai satu dengan lift.

Aku menekan tombol turun. Sambil menunggu, aku melanjutkan chat ku dengan Ava.

Pintu lift pun terbuka. Aku masuk ke dalam lift. Masih sambil menunduk memandang handphone. Lift itu terlihat kosong dari pandanganku. Tetapi—

BRUK!

Aku terjatuh akibat tabrakan dengan seseorang yang baru saja keluar dari lift. Handphone ku terlempar jauh. Punggungku terbentur lantai, sementara kepalaku terantuk lumayan keras.

Aku meringis. Badanku serasa tak bisa digerakkan. Pandanganku berkunang-kunang, kabur. Kepalaku pusing sekali, jadi tak fokus berpikir. Sementara itu, orang yang menabrakku, mengambil handphone ku yang terlempar. Kemudian, dia mengulurkan tangannya.

"Lo gapapa?" tanya orang tersebut lumayan panik. Aku menggeleng.

'Gapapa' apanya. Aku sudah hampir lumpuh begini.

Orang yang bertabrakan denganku, mengulurkan tangannya dan membantuku duduk. Aku pun bangkit dengan perlahan, seraya mengaduh kesakitan.

"Sini, naik ke punggung gue." Orang tersebut membalikkan badannya. Aku pun naik ke punggungnya. Ia menggendongku. Handphone ku dimasukkan ke dalam saku jeans nya.

Tepat sebelum pintu lift tertutup, orang tersebut menahannya dan kami masuk ke dalam lift.

"Ah, sakit.."

"Lo mau kemana?"

Orang tersebut bertanya. Suaranya terdengar tak asing. Begitupun dengan wanginya yang sudah sangat familiar bagiku. Untuk memastikan lagi, aku meraba rambut orang tersebut. Keriting.

"Finn??"

·
·
·

hii, don't forget to vote and comment!!

maaf kalau ada kesalahan. tolong di koreksi aja <3

byee, see u :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro