Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20

 Semua orang memberhentikan kelakuan mereka. Aku diam, menatap Finn dengan sedikit gemetar. Jantungku berdegup kencang. Finn menatap semua siswa dengan marah.

 "BUAT APA KALIAN KAYA GITU?!" teriak Finn marah. "ABBY GAK ADA NGUSIK KALIAN KAN?! JADI, KENAPA LO SEMUA BULLY DIA?!"

 Semua siswa tadi terdiam. Finn seperti memelukku dengan satu tangannya. Seragamnya basah. Dia melindungiku dari serangan siswa.

 "FINN WOLFHARD! KENAPA KAMU BASAH-BASAHAN DI SITU?!" Mrs Malina muncul di koridor. Finn menoleh kepada Mrs Malina.

 "Mrs! Mereka merundungi Abby, dan kenapa pihak sekolah diam aja?" kata Finn, menurunkan volume suaranya kepada guru. 

 "Iya, Mrs."

 Aku dan Finn menoleh ke arah yang lain. Terlihat Aidan yang muncul dari sisi lain koridor.

 "Kenapa pihak sekolah diam aja pas Abby di bully? Mereka semua, Mrs, yang ada di lantai dua, melempari sampah ke tempat Abby, sambil ngasih kata-kata yang gak bener. Kenapa gak ada guru yang marah? Apa sekolah ini menormalisasikan bullying?" kata Aidan, terlihat kesal.

 "Soal urusan Abby, kamu jangan ikut campur, Aidan. Biarkan masalah ini ditangani oleh pihak sekolah," kata Mrs Malina. Ia memandangku dan Finn. "Abby, Finn, ayo ikut saya ke kantor. Tolong jelaskan soal masalah tadi kepada kepala sekolah."

 Aku dan Finn saling pandang. Aidan mendengus kesal. Mrs Malina pun memandang semua murid yang ada di lantai dua tadi. Beberapa di antara mereka kabur, takut dimarahi.

 "KALIAN SEMUA TIDAK BOLEH MERUNDUNGI SISWA! CEPAT MASUK KE KELAS KALIAN!"

━ ━ ━

 Finn mengganti bajunya sebelum kami ke kantor. Mrs Malina mengizinkan kami. Untuk balas budi, aku meminjamkan seragam cadanganku kepada Finn. 

 "Finn." Aku mengetuk pintu toilet laki-laki. Finn membuka pintu itu sedikit dan menatapku. Seragamnya terlepas. Dia hanya memakai kaus hitamnya. Celananya sedikit basah.

 "Apa, By?" tanya Finn.

 "Nih." Aku menyodorkan seragam yang ku pegang. "Buat lo pakai. Tapi maaf, gue gak ada celananya."

 "Oh, yaudah gapapa. Makasih ya By. Ini aja cukup kok," ujar Finn. Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Finn menutup pintu dan aku pun menunggunya di luar.

 Tak lama kemudian, kami berdua pergi ke kantor. Menyusul Mrs Malina. Sesampainya di kantor, aku dan Finn duduk di hadapan sang kepala sekolah, Sir Jake.

 "Selamat siang, Abby, Finn."

 "Selamat siang, Sir," jawab kami bersamaan. Sir Jake tersenyum kepada kami. Senyum palsu. Ini memang kebiasaannya. Dia bisa menyadarkan kami hanya dengan senyuman dan tatapannya yang mengerikan.

 "Saya sudah mendengar laporan Mrs Malina soal kejadian di lapangan. Apakah kalian bisa menjelaskan semuanya?" kata Sir Jake.

 Aku menelan ludah. Aku pun mulai menjelaskan semuanya. Dari aku yang dihukum, dilempari sampah, sampai dilindungi oleh Finn. Sir Jake mendengarkan dengan serius. Finn sesekali membantuku menjelaskannya.

 "Baiklah, saya mengerti. Maafkan kami. Urusan perundungan itu akan saya tanggungjawabkan. Abby, ada yang ingin saya sampaikan kepada kamu." Sir Jake memandangku. "Benarkah kamu telah menjalin hubungan rahasia dengan Finn?"

 Aku membuang napas kasar dengan pelan. Finn mengangkat kedua alisnya dengan santai. "Kalau iya, bagaimana? Tapi udah enggak lagi kok, Sir, dan itu cuman pura-pura, gak beneran pacaran. Omong-omong, itu bukan urusan Sir."

 Aku melirik Finn dengan kaget. Sir Jake terkejut mendengar jawaban yang diberikan Finn. Dia memberi tatapan yang tajam kepada anak laki-laki berambut keriting tersebut.

 "Saya bertanya kepada Abby, Finn. Tolong diam saja."

 "Saya mewakili, Pak." Finn tersenyum masam. 

 Sir Jake memandangku. Dia mengeluarkan handphone nya sambil berkata, " Kata Finn, kalian benar-benar pacaran-"

 "Pura-pura," tambah Finn, berhasil mendapatkan lirikan tajam dari Sir Jake. 

 "Ya, pacaran pura-pura. Jadi, Abby, apa kau bisa jelaskan video ini?" Sir Jake menunjukkan video yang muncul di layar handphone nya. Aku melihat video itu, dan terkejut. 

 Itu videoku dan Johnny. Malam terakhir Johnny di sini, saat kami berpelukan di balkon rumahnya. 

 "Ini video yang baru saja diunggah di akun berita sekolah. Itu kamu, kan? Dengan murid yang baru pindah itu, Johnny Orlando."

 Aku terdiam. Aku yakin tak ada siapapun waktu itu, selain kami berdua. Apa ada seseorang yang merekam kami waktu itu dari halaman rumah?

 Finn yang ikut menonton video itu, terkejut dan memandangku. Aku terdiam menunduk.

 "Abby, dengar ya. Saya tidak mau menanyakan soal urusan remajamu ini. Tapi, tolong jaga sikapmu dan jangan buat masalah. Kamu adalah salah satu murid terpilih. Tugasmu ya belajar dengan giat. Kamu gak sadar? Prestasi kamu sudah menurun akhir-akhir ini. Ranking mu turun, begitupun dengan nilai-nilai ulanganmu di setiap mata pelajaran. Apa masalah remajamu mengganggu urusan sekolahmu? Kamu bisa dikeluarkan dari sekolah ini jika prestasimu semakin turun. Gelar murid terpilih itu bisa dicabut dengan mudah." Sir Jake menyodorkan kertas-kertas ujianku. "Ingat perkataan saya tadi. Jangan buat masalah dan semangatlah belajar."

━ ━ ━

 Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Aku keluar dari kelas dengan berjalan gontai. Hampir semua murid menatapku saat aku berjalan di koridor. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencibir, ataupun membuang muka. Aku tak peduli dan mengalihkan pandangan. 

 "Hai, Abby!" Aidan menghampiriku dan berjalan di sebelahku. Aku menoleh dan tersenyum tipis. 

 "Hai, Aidan." Aku membalas sapaan Aidan. 

 "Mau pulang bareng gak?" tanya Aidan. 

 "Emm, enggak. Makasih, Dan," jawabku, seraya menggeleng. Aidan menatapku dengan lamat. 

 Seperti tahu apa yang kupikirkan, Aidan berkata, "Jangan dipikirin, By, soal masalah tadi. Lo gak salah sama sekali. Password akun berita itu udah diubah kok. Jadi si pelaku gak akan post video lagi."

 Aku tersenyum. "Makasih. Tapi, bukan itu aja, Dan, masalahnya."

 Dahi Aidan terlipat. Dia memandangku dengan bingung. 

 "Gue bakal dikeluarkan dari sekolah kalau prestasi gue nurun lagi."

 "Hah? Serius lo?!"

 "Iya, gue serius."

 "Siapa yang bilang begitu?"

 "Sir Jake."

 "Ck, apa banget." Aidan mendecak kesal. "Cuman gara-gara video yang di posting orang iseng, lo diancam bakal dikeluarin dari sekolah. Gimana sih jalan pikirnya?"

 Aku menggeleng. "I don't know."

 "Lo gak akan dikeluarin dari sekolah, By. Gue yakin," kata Aidan. "Kalau lo dikeluarin dari sekolah, gue keluar juga. Kalau bisa kita tuntut aja-"

 "Eh, ya ampun. Jangan gitu dong."

 "Ya harus gitu dong. Eh, By. Gue pulang duluan ya. Mama gue udah ngomel nih, minta ditemenin belanja bulanan. Dadah!" Aidan berlari keluar dari gerbang sekolah, sambil melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya dengan tersenyum. 

 Aku berjalan keluar, tapi tidak ke arah rumah. Aku memutuskan untuk pergi ke minimarket sebentar. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan Ava, Sasha, dan Andrew nanti. 

 Sesampainya di minimarket, aku membeli sebungkus ice cream vanilla kesukaanku. Minimarket ini tak begitu ramai. Pegawainya pun sangat ramah dan akrab denganku. 

 "Hai, Abby. Apa kabar?" sapa Flora, yang bertugas di bagian kasir. Dia lebih tua dua tahun dariku. Tetapi kami cukup akrab.

 "Hai, Flo. Baik, apa kabar juga?" balasku, menyodorkan ice cream yang sudah kupilih tadi. 

 "Baik juga. Lo baru pulang sekolah ya?" Flora menghitung harga ice cream ku tadi. 

 "Iya," jawabku.

 "Ooh. Eh, tau gak. Ice cream ini udah mulai langka lho!" Mata Flora membeliak. 

 "Hah, serius? Pantesan tadi stoknya tinggal dikit," gumamku. Flora mengangguk.

 "Nah, itu makanya. Papa gue sampai susah nyari ice cream ini," kata Flora. 

 Setelah membayar ice cream itu, aku duduk sebentar di kursi minimarket, menikmati ice cream ku. Flora memutar musik yang seru dan bersenandung ria, sembari bertugas di tempatnya, melayani pelanggan. Tak lama kemudian, saat aku sedang beranjak membuang stik ice cream ku, segerombolan anak perempuan seumuranku masuk ke dalam minimarket. Aku menoleh.

 DEG.

 Itu Kailee dan beberapa sahabatnya. Mereka berjalan sambil tertawa-tawa. Aku memilih untuk menghindar dari mereka, menunduk dan berjalan keluar. Tetapi, belum sampai di pintu keluar, Kailee sudah menarikku. 

 "Hei, lihat nih ada siapa."

 Teman-teman Kailee memandangku, lalu tertawa meledek. Kailee tersenyum. "Lagi ngapain, nih? Pacarnya mana?"

 Aku memutar bola mataku dan melepas tangan Kailee dari pundakku. Aku menatap Kailee dengan tajam. Ingin sekali ku banting ia ke dinding minimarket ini. Mengingat kalau dia yang membuat hariku menjadi buruk begini. Dia yang menguntit dan merekam apa yang kulakukan. Dialah yang merusak privasiku.

Aku memandang Flora dan memutuskan untuk membiarkan Kailee. Tak ada gunanya aku melawan dia sekarang. Yang ada, aku malu pada Flora. Aku pun keluar dari minimarket dan pulang ke rumah.

Di tengah jalan, aku melihat ada sebuah mobil ambulans yang sedang berhenti. Ada seorang lelaki yang tengah berbaring di atas tandu ambulans itu. Dengan penasaran, aku berjalan mendekati ambulans itu dan melihat semuanya dengan lebih jelas.

Setelah melihat lelaki yang berbaring di tandu itu, aku terkesiap. Lelaki dengan kepala yang berdarah dan berkondisi buruk itu adalah Andrew.

·
·
·

happy new year!

hshs ngucapin dri sekarang aja deh wkwkwk

sorry for slow update :(( udah sibuk di rl (lebih tepatnya sok sibuk si) jadi fanfic-fanfic western ini menganggur deh :((

bnr bnr deh, aku kangen “aku” yg dulu wkwkwk

dan aku kangen wattpad yg dulu juga hehe

anw, vote and comment sprti biasa yaa

kalau ada kesalahan, mohon di koreksi aja yaa, thanks!

tetep jaga kesehatan, dan semoga 2022 nanti lebih baik daripada tahun tahun sebelumnya :)

dadahh <33

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro