Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𝟐𝟑.𝟓𝟔

‎‎‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
SEPERTIGA MALAM.
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
HADIRNYA DURJA RUPAWAN MENGUSIK ANGAN. Kelopak terbuka kala adiratna sadar, bahwa ia tak bisa kembali menyelam mimpi. Setelah tahu bila taruna akan menunggunya di sana. Mengusik malam. Memberi suar. Dengan seribu satu rayuan, mengajaknya untuk selami kama ditengah ributnya ragam prosa.

Mendudukkan diri, lantas bingkai kaca kembali dipasangnya. Lembayung perhatikan jarum jam, sebelum akhirnya menghela lelah.

Baru kali ini setelah sekian lma dia dapat tidur dengan tenang, bagaimana bisa malah terusik di tengah malam? Terlebih, Haruchiyo adalah pelaku yang masuk ke dalam angan.

"Bila dipikir, setelah datang ke rumah sakit kemarin ... dia tidak menemuiku lagi."

Bergumam.

Lantas memilih bangkit. Menuju dapur guna menyeduh secangkir kopi. Agaknya sadar bahwa tak lagi dapat tidur, adiratna putuskan untuk meneguk barang minuman hangat. Mungkin kebiasaan buruk, namun sayangnya ia sudah candu dengan rasa pahit yang dikecap pada langit-langit mulut.

Uap yang mengepul diperhatikannya. Sesekali ditiup, kemudian pandangi refleksi diri di dalam.

"Dia terluka. Mengapa? Itu luka tembakan ... apa sudah sembuh?"

Tersentak.

Tatkala sadar bahwa sudah memikirkan orang yang tak seharusnya. (Name) dengan segera menampar pipi kirinya sendiri. Disusul gelengan cepat, dengan raut yang berubah muram.

"Sadarlah, (Name)! Tidak benar memikirkannya!"

Menghela napas, (Name) kini mengeratkan luarannya. Pandangi durja pucat pada genangan air, kini kurva tipis tercipta. Disusul kepakan kupu yang tak dapat ia sangkal, (Name) hanya diam dikala angan membawanya kembali.

•••

"(Surname)-san, sudah selesai dengan kuliahmu?"

Gadis asing menghampiri. Memeluk beberapa buku tebal, dengan senyum tipis pada wajah.

(Name) balas mengukir kurva. Kendati diri lelah dengan segala macam tugas, namun juga tak sopan bila masih memasang wajah datar.

"Iya, sudah."

Gadis di hadapan mengangguk. Setelahnya mengeratkan pelukan pada bagian kiri, sebelum akhirnya menunjuk ke belakang dengan tangan kanan. Membuat lembayung dibalik bingkai kaca mengikuti arah.

Kening berkerut.

"Ada seseorang yang menunggu. Apa dia adikmu? Terlihat seperti masih SMA."

Taruna dengan santai duduk di atas motor. Mengetuk jari pada pegangan motor seraya bersenandung ringan. Ketika netra menyapu pandang bangunan, kini surai pirang yang terikat tinggi ikut bergoyang. Panjang, terayun bersama irama angin yang menerbangkan.

Bersamaan, netra bersirobok. Membuat taruna melambaikan tangan, seraya tersenyum manis. Tak sembunyikan garis dari balik masker, melainkan menunjukkan dengan gamblang, durja unik dengan dua bekas luka di sana.

(Name) tersenyum miris. Setelahnya menatap gadis di hadapan.

Dengan tatapan seolah berkata, pasti kamu tidak tahu apapun tentang rumor dunia berandalan.

•••

Adiratna memijat perlahan keningnya. Mencuri pandang pemuda, yang dengan wajah tanpa dosa berdiri di hadapan. Kendati lebih muda, daksa jangkungnya tidak main-main. Membuat (Name) harus menengadah, guna dengan sempurna bersirobok netra.

Mungkin sadar akan perbedaan tinggi badan, pemuda dengan surai pirang memilih duduk di atas jok motor. Membiarkan (Name) lebih nyaman menatap.

"Untuk apa kemari?"

Kepala mengangguk pelan. Setelahnya Haruchiyo tersenyum dengan lebar. Mengetuk jok belakang tanpa kata, kemudian bersuara saat netra dapati raut bingung adiratna.

"Menjemputmu?"

"Kau lupa aku sudah punya pacar?"

Haruchiyo tanpa tahu malu menjentikkan jari. Kemudian tanpa ragu menjawab.

"Sebelum jalur kuning melengkung, marilah kita tikung menikung!"

(Name) memutar bola matanya jengah.

"Belum puas ditolak olehku? Sudah berapa kali?"

"Belum. Baru tiga belas kali gagal, Dokter."

"Aku masihlah mahasiswi," helaan napas keluar. Mengapa pula taruna ini tak bosan mengusiknya?

Abai akan jawaban, Haruchiyo menepuk belakang joknya. Memiringkan kepala sesaat dengan cengiran manis. Entah apakah (Name) harus merasa gemas atau segera melemparkannya pisau bedah.

"Mari pulang, Dokterku."

"Hah ... Akashi Haruchiyo."

Haruchiyo mengerutkan kening. Lengkung sepenuhnya menghilang dari durja.

"Sudah kubilang jangan panggil Akashi."

"Kalau begitu, jangan panggil aku dokter."

Lengkung kembali tercipta.

"Sayang saja," kekehan meluncur dari labiumnya. "Gimana?"

(Name) enggan bersuara. Menatap dalam diam sepasang permata mulia yang kerap mencuri atensi. Tak pernah sekalipun ia berikan izin, melainkan seenaknya menyelam ke dalam kama.

"Haru."

Senyum merekah, dikala Haruchiyo perlahan mendekatkan wajah. Masih dalam posisi duduk, kemudian biarkan satu jengkal menjadi pengisi sua. Adiratna sendiri tak maju ataupun mundur. Hanya mengukir senyum seraya berkata pelan.

"Sudah. Jangan keras kepala. Kamu tahu kan?"

"Apa?"

"Perbedaan umur kita tidak lazim."

Haruchiyo hanya menaikkan alisnya.

"Tujuh tahun? Umur hanya angka. Itu tidak masalah."

(Name) mendengus. Setelahnya mengeratkan genggaman pada tali tas yang ia gendong di bahu kiri. Lembayung menatap dari balik bingkai kaca. Berkata, dengan raut datar pada durja.

"Dan kamu juga tahu kita tidak bisa bersama."

Haruchiyo semakin merekahkan senyumnya. Membuat taruni agaknya gentar, sebab sedikit ngeri dengan ukiran lebar kurva pada durja.

"Karena dia ya?"

•••

Ketukan pintu membuat lamunannya buyar. Aliran air berhenti membasahi kulit tatkala lengan terulur mematikan keran. Setelahnya menaruh gelas di samping wastafel, sebelum beralih mengelap sela jemari.

Siapa yang datang ke apartemennya pada dini hari begini?

Membenarkan kacamata, kini (Name) melangkah perlahan. Menuju pintu, kemudian mengintip lewat celah. Jaga-jaga bila yang datang bukan manusia.

Helaan napas terdengar, kala figur tak asing berdiri dibalik pintu. Segera sang laksmi menggerakkan gagang, guna membuka jalan pandang.

"Untuk apa kemari?"

Taruna di hadapan tersenyum lebar. Setelahnya memiringkan kepala kala bersirobok netra.

"Menemui Dokter."

"Dini hari begini?"

Haruchiyo mengangguk. Setelahnya mengepalkan karantala dari dalam saku celana. Agak ceroboh, datang dengan celana serta kemeja putih. Ditambah jas ungunya, yang hanya disampirkan secara asal. Mengingat ini desember, udara dingin kerap kali tak bersahabat.

Bagaimana pria ini kuat?

"Ya. Dan tugas dokter itu mengobati."

Hembusan napasnya mengeluarkan uap. Berkepul di udara, kemudian setelahnya lenyap. Tak meninggalkan jejak, melainkan bersatu dengan alam.

"Lantas?"

Kurva yang sempat menurun sebab dinginnya suhu, kini kembali melengkung. Ciptakan kepakan hangat dalam perut, yang mana mengundang tanya dalam benak. Perihal rasa asing yang mengetuk senandika.

"Obati aku."

"Kau tidak sakit."

Haruchiyo mengulurkan lengan kanan. Setelahnya dengan lancang menarik tangan (Name) yang menyentuh gagang pintu, lalu disandarkan pada dada. Membuatnya merasakan jelas detak jantung yang berirama milik taruna.

Lembayung pandangi durja muram yang tak sanggup membuatnya alihkan pandang.

Terkunci, pada tuan yang kini menekan karantala puan pada dadanya.

"Sakit. Dokter telah mencampakkanku dua puluh dua kali."

Tungkai puan maju selangkah.

"Dan kau menghitungnya?"

Haruchiyo mengangguk.

"Ya. Dokter, kencanlah denganku. Beri aku kesempatan."

Tuan tak pernah berhenti menghampirinya. Laksana bulan yang mengorbit. Bagai planet yang tak lelah berotasi. Berputar untuknya, berpusat hanya kepadanya. Semesta kalah, tak lagi dapat ikut campur dalam asmaraloka mereka.

Seolah tuan tak bisa hidup tanpa dia. Adiratna laksana ludira. Eksistensi serupa hama yang berkembang pesat menjadi batara. Gangguan yang berubah menjadi dentuman. Merangkai serta menyusunnya perlahan.

Menjadi sebuah perpaduan.

Maka, Nona.

Bersediakah apabila dirimu membiarkannya masuk ke dalam hati?

•••

4 September 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro