Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𝟐𝟑.𝟓𝟓

‎‎‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎

TUAN MENGHAMPIRINYA.


‎‎
‎‎

‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
‎‎
KETUKAN SEPATU HANCURKAN SENYAP. Langkah kaki membawanya mendekat. Disusul daksa yang menunduk, pandangi adiratna rupawan yang mana tengah menyoret dua kata dari lembar kertas. Perhatikan garis wajah dari atas. Diam, tak ada secuil niatpun baginya untuk menengadah. Membuat sosok yang tengah berdiri kini mendengus, lantas memutar bola matanya jengah.

"(Surname) oh (Surname). Disaat kita dapat jam kerja yang sama, kamu malah sering mengabaikanku."

Adiratna menggeleng pelan. Membenarkan letak kacamata sebelum memutuskan untuk menengadah. Menatap wanita dengan surai biru sebahu yang tengah merengut. Memutuskan untuk meladeninya, kini labium membuka celah. Biarkan satu larik tanya keluar dari sana.

"Memangnya ada apa?"

Hara tersenyum senang. Setelahnya memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas sebelum memutar daksa. Mengangguk-anggukkan kepalanya lantas berkata.

"Ada orang yang mencarimu."

(Name) membelalakkan mata. Malam begini, apakah ada orang yang membutuhkan bantuan dengan segera? Tapi Hara mengatakan bahwa ada yang mencarinya, menjelaskan secara tidak langsung bahwa bukan pasien yang datang.

Meski begitu, (Name) tetap lanjutkan bertanya.

"Jam segini? Pasien darurat?"

Hara menggeleng. Menimbang-nimbang sejenak, seraya mengetuk dagu. Mencoba mengingat jelas bagaimana rupa sosok yang dimaksud.

"Tidak tahu. Dia pakai masker," atensi kembali berpusat pada (Name). "Dan rambutnya berwarna merah muda."

•••

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"

Lembayung menyapu pandang. Lantas setelahnya terpaku, akan sosok rupawan yang tengah bersandar di sebelah pintu. Dengan surai merah muda, kemeja putih, serta masker hitam yang menyembunyikan setengah durja.

Kendati begitu, adiratna tahu jelas siapakah tuan yang dimaksud.

"Bukan masalah besar. Aku tahu hampir segala tentangmu," daksa berbalik. Pandangi durja dengan kantung nata. Memastikan sejenak, raut apakah yang muncul di sana sekon berikutnya. "Tentang Dokter, masa aku tidak tahu?"

"Untuk apa kemari?"

Haruchiyo mengerutkan kening. Agaknya merasa tak suka. Jauh-jauh kemari, yang dia dapatkan adalah reaksi dingin pujaan. Belum lagi rayuannya tidak diladeni. Untuk ke sekian kali.

Memilih abai, Haruchiyo kini menunjuk perut bagian kirinya.

"Cek luka. Boleh?"

"Harus ya di sini?"

"Harus. Hanya Dokter satu satunya yang dapat menyentuh—"

(Name) dengan cepat memutar tubuh. Menulikan telinga tentang larik lanjut, tungkai kini membawanya maju. Haruchiyo, apakah pria ini memang memiliki perilaku menyebalkan?

"Loh, Dokter. Kok meninggalkanku sih?! Jadi boleh apa tidak?!"

Helaan napas meluncur dari labium puan. Ada dosa apakah hingga dia diikuti terus oleh tuan berdaksa jangkung?

Tanpa menoleh, adiratna hanya berujar dengan pelan.

"Kemarilah."

Cengiran lebar tercipta. Lantas setelahnya Haruchiyo berjalan cepat, menyamakan langkah. Tawa lolos dari celah labium dibalik masker, mengundang irama degup yang semakin cepat. Laksmi dalam hati bertanya, pula merasa takut. Semoga, ini bukan sakit jantung.

"Dokter memang yang terbaik!"

•••

Lukanya sudah diobati dengan baik. Mengingat bahwa pria ini adalah kriminal, laksmi yakinlah bahwa Haruchiyo tidak datang ke rumah sakit. Mungkin memanggil dokter illegal.

"Baguslah, kau mengobati lukanya."

Taruna mengancingkan kemeja putih. Kembali menutup jalan bagi pandang ke arah dalam. Jemari yang menyentuh material, kini berhenti sejenak. Nyenyat kuasai barang satu detik, sebelum akhirnya sang punya surai merah muda tersenyum.

"Tentu. Saran dan perintah Dokter adalah nomor satu."

(Name) menggelengkan kepalanya.

"Seingatku, kau sangat menyanjung tinggi Sano Manjiro dahulu. Bagaimana bisa sekarang aku jadi nomor satu?"

Tak acuh, pandang berfokus pada goresan tinta di atas kertas.

Haruchiyo terdiam. Agaknya merasa bingung, namun kini dengan tidak sopannya duduk di atas meja. menumpukan tangan, menunduk pandangi garis durja.

Sempurna, adalah satu kata yang hadir dalam benak. Tidak peduli dengan kantung mata maupun bingkai kaca. Sesungguhnya, adiratna yang dipuja adalah definisi dari kata paripurna.

"Apa Dokter tidak menonton berita?"

"Tidak."

Taruna mengangguk singkat. Sementara taruni di atas kursi putar abai akan perilaku tak sopan, Haruchiyo mulai memaju mundurkan kaki kanan yang menggantung.

"Bila diingat, Dokter. Bukankah sebelum kemarin, pertemuan terakhir kita adalah saat kelulusanku? Juga bubarnya geng yang dipimpin Akashi Senju."

Detik jam.

Adalah yang mengisi ruang. Sementara yuda hadir dalam senandika, bertanya apakah pria ini sudah gila.

Laksmi menengadah.

"Dia adalah adikmu."

"Dokter, aku anak tunggal."

Mendengus, tak ada secuil takut dalam larik ketika pertanyaan berikutnya keluar.

"Dan bukankah kamu sendiri yang membuat gadis itu membubarkannya?"

Haruchiyo menaikkan alis.

"Kau tahu tentang itu?"

"Ya. Tentang Akashi Senju dan Sanzu Haruchiyo yang duel? Dengan syarat bahwa bila kamu menang, Brahman bubar. Menyebar bahkan ke rumah sakit tempatku magang."

Taruna terkekeh. Memang benar dirinya yang mengajukan duel dengan ratusan penonton. Dengan syarat Brahman akan bubar serta tidak ikut campur dalam dunia berandalam selamanya, bila Senju kalah. Sebagai gantinya, Haruchiyo akan menjadi anjing mereka bila taruna itu kalah.

Awalnya memang mereka seri. Hingga titik krusial dimana kaki kanan Senju dipatahkan. Setelahnya, tawa gila yang dikumandangkan meredam jerit kesakitan.

Senju kalah.

"Tapi Dokter adalah dewiku. Tenang saja, aku akan melindungimu."

"Seorang dokter dengan kriminal? Itu perpaduan yang buruk."

(Name) menggelengkan kepalanya. Kembali menulis perihal salep untuk dioleskan.

"Berhentilah jadi dokter di sini."

Haruchiyo berujar dengan nada santai. Kepalang santai hingga yang mendengar merasa panas. Bagaimana bisa taruna ini mengatakannya begitu gampang?

(Name) mengejar mimpinya sebagai seorang dokter semenjak kecil. Bukan hal yang mudah, sungguh. Banyak rintangan yang datang. Ketika jadwal untuk makan dan tidurnya begitu kacau, hubungan asmara yang kandas. Belum lagi diusianya yang lewat kepala tiga, sementara yang lain menenukan pasangan, (Name) masih betah berpacaran dengan ruang berbau obat-obattan.

Nyaman dengan karirnya sekarang.

"Kamu tidak ada hak untuk mengaturku."

(Name) berujar dengan nada monoton. Agaknya Haruchiyo bosan. Juga ingin mendengar nada manis sesekali keluar dari celah labiumnya. Namun naas, tolakkan serta harapan sia-sia adalah yang didapat.

"Makanya, Dokter. Terimalah pernyataan cintaku," dengusan berasal dari taruna di atas meja. "Jika diingat dengan yang lalu, maka ini adalah penyataan yang ke dua puluh dua."

Jemari halus menyentuh dagu. Lantas setelahnya dengan lembut mengajak puan menengadah. Bersirobok netra dengan taruna. Menghantarkan hangat dengan kepakan sayap ribuan kupu-kupu dalam perut.

Haruchiyo mengelus perlahan dagu nona. Sedikit menunduk, serta mendekatkan wajah. Mengikis tiap senti jarak yang ada dengan taruni elok, agaknya Haruchiyo merasakan gugup ketika satu jengkal mulai terkikis.

Kurva melengkung pada durja rupawan sang adirana.

Lantas setelahnya, aduhan keluar dari labium sang tuan. Tepat ketika jemari beralih memeluk perut kiri, dimana puan manis dengan iseng menancapkan jari.

Haruchiyo mengerutkan kening. Kini, sedang mati-matian menahan diri. Untuk segera mencekik sang laksmi.

"Dan sekali lagi, pasienku. Kutolak kamu untuk yang ke dua puluh dua."

•••

31 Agustus 2021

Note : 

Alur buku ini tidak akan mengikuti alur manga sepenuhnya. Tidak akan sepanjang book Candala, ataupun sedark Candala.

Bagian atas pun hanya imajinasi saya. Dengan harap Ken Wakui melihat ini. Setidaknya, Senju cuma patah kaki, bukan pergi nyusul Baji.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro