❝ halaman terakhir
Kurva lantas tercipta tatkala netra pandangi sang adiratna. Yang tengah berbalut apron seraya mendesah lelah. Melirik lewat ujung mata, ditatapnya sosok sang adam yang duduk bertopang dagu. Tak dirasa bosan bahkan setelah diam dalam posisi yang sama begitu lama.
"Aku risih. Bisa berhenti memperhatikanku?"
Kekehan meluncur halus dari celah labium. Rindou menggelengkan kepala dan menegakkan tubuh. Bersiap untuk berdiri dari duduk, kemudian berjalan menghampiri gadis yang tengah menatapnya bingung.
"Kan aku sudah bilang, pesan makan saja. Untuk apa masak?"
Bola mata diputar dengan jengah. Kemudian sang gadis tak merespon, hanya mendengus dan melepas apron.
"Aku sudah membuat kare, sekali-kali hemat."
"Kamu lupa aku orang kaya?"
(Name) terdiam sejenak. Sudah hampir dua tahun menjalani hubungan dengan pria ini, agaknya adiratna kesayangan Tuhan tahu banyak tentangnya. Termasuk sifat borosnya.
"Sudahlah. Berhemat juga tidak ada salahnya."
Ikat rambut ditarik, membiarkan surai legam kini dengan bebas bergerak liar.
Tatapan Rindou beralih dari sang kekasih, menuju wastafel. Di mana cucian kotor menumpuk di sana. Kening berkerut, merasa malas apabila diri diminta membereskannya.
"Hei, kau tidak mencucinya?"
(Name) menoleh, lantas menaikkan alis.
"Aku sudah masak. Kau yang cuci piring."
Ingin mengumpat, tapi juga tidak mau menghancurkan hari jadi mereka. Rindou putuskan untuk memaki dalam hati, kemudian mengambil alih apron yang dipegang sang gadis.
"Baiklah, aku akan mencucinya."
Karantala menyentuh material dingin. Alis lantas menukik. Labiumnya dimajukan sedikit, disusul kurva yang tertarik turun. Dengan malas, pria itu menyalakan keran. Membiarkan aliran air membersihkan busa yang menempel.
(Name) dengan tiba-tiba melangkah mendekat.
Kedua tangan lantas direntangkan. Menubrukan daksa pada punggung tegak yang ada di depan mata. Berbalut apron yang diciprati air, kini karantala dengan perlahan bergerak naik. Menyentuh permukaan kulit halus sang kekasih, serta menekan pada bagian jakun.
Wajahnya tetap datar ketika sentuhan terasa. Rindou menghentikan gerakan tangan, menaruh kembali piring, serta membiarkan air terus mengalir. Menciptakan suara berisik yang terdengar rungu.
Melirik lewat ekor mata, pada adiratna yang menyembunyikan durja. Di balik punggung dengan hangat pada tubuh.
"Ada apa ini tiba-tiba?"
Suara yang teredam terdengar menyahut, "apa yang akan terjadi bila aku mencekikmu sekarang?"
Hendak terkekeh, namun cengkraman pada leher menguat. Rindou menaikkan alis.
"Apa kau mau membunuhku?"
"Mungkin?"
Kemudian, sarung tangan dilepas. Keran diputar, menghentikan aliran yang mengalir.
Rindou mencengkram pergelangan tangan (Name). Berbalik, lalu mendorongnya dengan cepat. Memojokkan sang gadis dengan kedua tangan yang mengunci. Bertumpu pada material dingin sebelah wastafel.
"Lagi-lagi aku kalah cepat," gumam sang puan. Kekehan manis meluncur dari celah bibir.
"Apa maksudnya?"
Kepala menggeleng perlahan.
"Bukan apa-apa."
(Name) menenggadah. Menatap durja menawan dari bawah. Mengagumi dalam diam paras sang dewa yang dipuja.
"Rin, umurmu sekarang berapa?"
"Dua puluh satu."
Pertanyaan yang dijawab kini menimbulkan senyum pada wajah. (Name) tersenyum lebar, kemudian mengeluarkan sebuah benda. Sinar memantul pada bilah, membuat netra ungu menyipit tatkala ujung lancip menempel pada tubuh.
Pantas tadi (Name) tidak mengeluarkan tangan. Rupanya diam-diam dia mengambil pisau di dekat sana.
"Hei, kau benar-benar mau membunuhku ya?"
(Name) tersenyum. Semakin menekan ujung pisau. Kendati begitu, sang adam tidak mundur barang selangkah pun.
"Haitani Rindou."
Sang adam perhatikan mata yang menatap hangat. Disusul senyuman ketika satu kalimat terlontar.
"Apa kamu bersedia menjadi suami dari (Full Name)?"
"..."
"..."
Netra melebar tak percaya. Otot rahang melemas, pria itu terdiam dengan rasa bingung.
Bukankah melamar itu adalah tugas pria? Lalu apa-apaan lamaran tak terduga ini?
Di dalam penthouse?
Dengan apron, bukannya tuxedo?
Dan pisau sebagai ganti cincin?
Gila.
"... (Name). Bukankah aku yang seharusnya melamar?"
Bilah dingin mulai terasa. Bulu kuduk berdiri, dikala indra rasakan bilah yang ditodongkan.
"Jawab saja. Mau apa tidak?"
Dengan tiba-tiba, kilas balik masa lalu muncul dalam angan. Haitanu Rindou kembali diperlihatkan dengan dosa serta masa lalu yang kelam.
Namun bila diingat ...
Sudah satu tahun dia berusaha untuk menekan hasrat. Sudah dua tahun dia berada di sisi (Name). Sudah sejak lama pula dia berjuang.
Apakah dosanya dapat dimaafkan?
Apakah lamaran yang kacau ini dapat diterima?
Terkekeh pelan, pria itu lantas menggenggam erat bagian tajam. Membiarkan bau amis menyeruak, disusul merah yang kontras dengan ubin lantai.
Untuk apa dipikirkannya dosa masa lalu?
Untuk apa pula mengingat semua itu?
Tuhan sudah memberinya kesempatan, dan Rindou pun ada keinginan untuk menjaga.
Bukankah dia juga berhak untuk bahagia?
"Lamaranmu aku tolak."
Netra hitam lantas membulat. Sedikit bergetar, tak menyangka mendapat jawaban ini.
Namun kemudian cairan merah menempel pada pipi, disusul karantala dingin yang menyentuh sisi. Disusul sosok pria dengan yang tersenyum ke arahnya. Lembayung ungu seolah menyapa, memberi hangat pada netra si wanita.
"Sebagai gantinya," kurva terbentuk pada wajah Rindou. "(Full Name), maukah kau menikah denganku?"
•••
1 Agustus 2021
©Lemo_Ra
-end
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro