Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❝ halaman pertama

Ujung pistol ditodongkan. Sang wanita dengan surai hitam—pada bagian akar, sementara bawahnya berwarna ungu muda—mengulas senyum tipis. Menatap hangat sosok yang juga menodongkan pistol.

Tepat pada tengah keningnya.

"Ada baiknya jika kau mundur sekarang."

Pria itu berkata.

Sang wanita mengeluarkan kekehan manis.

"Aku tidak akan mundur."

Kepala dimiringkan. Pria itu memasang raut bingung. Bertanya-tanya mengapa bisa semuanya berakhir seperti ini.

"Mengapa kau melakukan ini?"

"Karena aku mencintaimu."

Pria itu tertawa. Begitu kencang. Suaranya menggema. Terdengar di seluruh penjuru bangunan.

"Kau gila?" belum sempat wanita itu menjawabnya, pria ini kembali berkata. "Ah, aku lupa kau memang gila. Jika pada akhirnya akan berkhianat, untuk apa bergabung dengan Bonten?"

"Aku bergabung untukmu, Rin," ujarnya pelan. "Sejak kapan kau menjadi seperti ini? Bonten semakin menjadi-jadi. Aku takut kau—"

"BERISIK, JALANG!"

Rindou maju selangkah. Menempelkan ujung pistol semakin dalam pada kening sang wanita.

Sementara itu, yang dimaki hanya tersenyum. Tidak tersentak maupun mundur.

"Tembak aku," katanya. "Tarik pelatuknya, Rin."

Gigi bergemeletuk. Kening berkerut, menimbulkan guratan halus.

Wajah Rindou perlahan memerah. Dirinya dikuasai amarah.

"Aku tidak bisa bersikap ramah hanya karena kau tunanganku."

"Memang kapan kau bersikap ramah padaku?"

Seulas senyum terbit pada paras sang puan.

Mata Rindou menyipit, dan tangannya bersiap menarik pelatuk.

Keheningan mengisi dalam beberapa detik.

Satu.

Dua.

Tiga.

Dor!

Suara tembakan terdengar. Suaranya menggelegar ke seluruh bangungan. Membuat burung yang tengah berpijak, terbang tak tentu arah.

Ketakutan, mencari tempat berlindung tatkala dikejutkan oleh suara mengerikan.

Haitani Rindou membelalakkan matanya.

Saat sadar dirinya masih berdiri. Tegak, dengan mata terbuka lebar.

Di hadapan kekasihnya yang kini ambruk.

"Tidak ... mungkin ... "

Kenyataan menampar dikala bau besi menyeruak. Memasuki indra penciuman. Kemudian, penglihatannya menangkap cairan merah. Mengenang, terus mengalir layaknya sungai.

Mengotori paras pucat kekasihnya.

"Kau ... tidak mengisi pelurunya?"

Wajah memucat, bibir bergumam tidak jelas.

Tangan tanpa sadar bergetar. Membuat pegangannya melonggar.

Pistol itu terjatuh.

Bersamaan dengan Rindou yang ikut ambruk. Berlutut di hadapan wanita yang matanya kini terpejam rapat.

"Tidak ... tidak ... aku ... bukan aku ... "

Dirinya bergumam tidak jelas. Dengan gemetar, menyentuh pipi pucat pada raga tak bernyawa.

Sepasang manik lavender membulat.

Kekasihnya tidak bernapas.

Kemudian, dengan perlahan dia menaruh telinga di dada kiri kekasihnya. Rindou berharap ini hanyalah semacam candaan.

Namun, harapannya pupus seketika.

Ini kenyataan.

Tawa kencang terdengar.

"HAHAHAHAHHA! JANTUNGNYA TIDAK BERDETAK! MATI, DIA MATI!"

Rambut dijambak frustasi. Teriakkan putus asa menyayat hati. Baru kali ini Rindou menyesal membuat seseorang mati.

Ditatapnya telapak tangan yang ternoda darah. Kemudian, cairan bening terjatuh, bercampur dengan merah pekat.

Dia menangis.

"Dewiku sudah mati ... "

Dan yang terburuk, dia adalah pembunuhnya.

Haitani Rindou adalah seorang pendosa.

Kepala ditolehkan. Menatap pistol yang tak jauh darinya.

Rindou mengambilnya. Mengecek apakah masih ada sisa di sana.

Ini adalah kecerobohan dan kebodohannya sendiri. Mana mungkin dia membiarkan (Name) meninggalkan dunia seorang diri?

Kekehan meluncur dari bibir pucat.

"... tidak ada peluru yang tersisa."

Dilemparnya pistol ke sembarang arah.

Rindou berlutut di hadapan tubuh yang terbujur kaku. Memucat, mendingin perlahan.

Tangannya diselipkan pada tengkuk serta bawah lutut. Kemudian, Rindou berdiri dengan wanitanya dalam rengkuhan.

Tak ada tangan yang melingkar di lehernya, melainkan lengan yang terkulai lemas.

Dipeluknya tubuh yang begitu dingin. Berharap dapat membagi kehangatannya.

Rindou mencium kening, menodai bibir dengan warna merah. Membiarkan dirinya ikut ternoda. Kemudian, dia tersenyum.

Dia tak lagi menangis, melainkan senyumnya yang merekah.

Kakinya melangkah perlahan. Menuju tangga, dan berjalan ke atas. Ditempuhnya jarak yang begitu jauh dengan wanita dalam gendongan. Meninggalkan jejak merah pada tiap anak tangga.

Semilir angin menyapanya. Terlihat awan mendung, serta matahari yang tenggelam dalam duka. Agaknya alam tahu, bahwa anak kesayangan Tuhan telah tiada.

Dan bajingan ini, adalah pendosa yang merengut nyawanya.

"Hei, (Name)."

Surai mullet ungu merah mudanya menari dengan liar. Jakun dibalik tato bergetar tatkala dirinya menyebut sebuah nama.

"Aku minta maaf."

Adalah sebuah kalimat terakhir sebelum gravitasi menarik keduanya.

Lucifer sudah lama singgah di dalam kepala. Membisikkan kalimat sesat. Ratusan kali akal sehat berusaha mencegat. Namun sayang, kegilaan bergerak lebih cepat.

Mereka terjatuh, menciptakan sungai yang mengalir tanpa henti. Dengan dua insan yang telah mati, dan kolam darah yang memikat hati.

Begitu indah.

Namun menyedihkan.

•••

Tubuhnya mati rasa. Rindou seolah mengambang di tengah lautan.

Sesak, tak bisa bernapas.

Gelap, tak bisa melihat.

Dia bahkan tidak dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

Kemudian, suara tanpa sosok berbicara.

"Apakah kamu sudah puas?"

Suaranya tak dapat dikeluarkan. Tenggorokannya begitu serak.

Seolah ada rantai yang mengikat lehernya. Terasa sesak, membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas.

"Siapa kamu?"

Itu adalah Rindou yang bertanya. Suaranya terdengar sangat buruk. Mungkin jika dia bicara sekali lagi, pita suaranya akan putus.

Rindou ingat dengan jelas dirinya sudah mati. Bersama dengan sang terkasih. Lantas, apakah ini yang orang sebut akhirat?

Kalau benar begitu, Rindou ingin bernegosiasi. Menyingkirkan harga diri, membuang semua gengsi. Rindou dengan tidak tahu malu, meminta sebuah izin. Tak apa bila bayarannya tinggi. Tak masalah bila dirinya akan mati dua kali.

Dia hanya ingin kembali.

"Tolong beri aku kesempatan."

Suara yang tadi ia dengar, tak menyahut.

"Sebagai gantinya, ambil nyawaku."

"Nyawamu tidak ada artinya."

Rindou kembali putus asa.

Suara itu menjawab tanpa ragu. Kegelapan yang mencekam seolah menelannya ke dalam jurang putus asa. Tak mengizinkan Rindou untuk bernapas barang sesaat.

"Lantas, apa bayaran yang cukup?"

Tubuhnya seolah diangkat ke dirgantara. Seakan-akan dirinya akan melejit ke antariksa. Namun nyatanya, dia dijatuhkan dengan kasar. Tanpa ampun, begitu kencang hingga Rindou merasa tubuhnya akan hancur.

"Jaga dia."

Dua kata yang ia dengar, sebelum Rindou membuka mata.

Guratan halut tercipta saat Haitani Ran berdiri di hadapannya. Menatap bingung, dengan alis berkerut.

"Rindou, mukamu pucat. Kau baik-baik saja?"

"Huh?... Aniki?"

Ran tersenyum.

"Benar. Sepertinya ada perseteruan di depan. Ada Brahman juga. Ayo lihat."

Rindou memasang wajah bingung.

"Apa maksudnya ini?"

•••

19 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro