Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

My King

Tubuhku lemas, aku 'tak bisa menggerakkan badanku—bukan 'tak bisa, aku hanya tidak ingin menggerakkannya sekarang.

Di mana aku?

Aku bisa mencium aroma bunga yang semerbak wanginya. Kurasakan juga punggungku yang basah oleh air. Tidak jarang, sesuatu yang tipisnya melebihi kertas dan berukuran kecil jatuh menyapu lembut kulitku. Hawa sepoi-sepoi yang berembus membuatku semakin yakin di mana kiranya aku sekarang.

Meski mataku tertutup rapat, namun aku tahu betul di mana keberadaanku sekarang. Sebuah taman bunga, tepatnya taman bunga di rumahku.

Siapa yang membawaku kemari, dan ... apa-apaan ini? Pipiku basah?

Apakah aku menangis?

Mengapa aku menangis?

Aku memutar otak, berusaha mengingat apa yang terlewatkan oleh memoriku.

Apa? Aku tetap tidak ingat.

Aku berusaha menggerakkan jemari tanganku perlahan. Selain terasa kaku, entah mengapa, semuanya terasa kosong sekarang. Apa yang hilang dari diriku?

Sama-samar, aku mendengar suara burung merpati di sekitarku. Sepertinya merpati itu ingin aku segera bangun dan mencari penyebab kekosongan ini. Perihal siapa yang membawaku kemari, aku 'tak peduli. Cukup berterima kasih dalam hati karena mau membawa aku yang sekarat ini pulang ke rumah.

Kepalaku pusing dan terasa berat. Aku meraba-raba sekitar untuk mencari tempat bersandar terdekat dengan kondisi mata yang masih tertutup. Setelah menemukannya, aku membuka mataku perlahan.

Pandanganku buram, aku 'tak bisa melihat dengan jelas benda-benda di sekelilingku. Cairan bening itu mengalir kembali dari kedua netraku. Aku bahkan tidak mengerti, bagaimana mungkin orang bisa menangis tanpa tahu penyebabnya?

Kedua mata itu kini telah terbuka lebar. Pandangan yang semula buram pun kini kian jelas. Aku mengerjap beberapa kali untuk membiasakan pupil mataku dalam mengatur cahaya yang masuk.

Yang pertama kali kulihat adalah atap taman rumahku yang terbuat dari kaca. Seperti biasa, hanya ada cahaya remang-remang dari sinar rembulan di sini.

Aku mulai mendudukkan badanku perlahan dengan susah payah. Sakit, sama seperti hati ini yang tiba-tiba terasa sakit. Semakin aku memikirkannya, dadaku semakin sesak.

Ayolah, ada apa sebenarnya?

Kepalaku semakin pening. Aku memutuskan untuk memejamkan mata sebentar sambil terduduk. Tetap kosong, seperti saat pertama kali menyadari bahwa aku ada di taman rumahku.

Entah mengapa, hatiku tiba-tiba tergerak untuk melihat keberadaan suatu lambang di dadaku. Kini aku tahu penyebab kekosongan itu.

Di sini, di taman ini, semua memori yang semula hampir terlupa oleh otakku kini kembali memenuhi benak, menggerogoti sanubariku yang kian merana.

Kalau bisa melupakannya, aku ingin melupakannya saja. Biarlah aku hilang ingatan sehingga aku seolah tak pernah mengenalnya.

Kalau semuanya tetap berakhir dengan perpisahan, untuk apa kita dipertemukan?

🥀

🥀

🥀

Jendela kaca rumahku dipecahkan. Gonggongan dari gerombolan anjing memenuhi koridor rumahku. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Instingku berkata aku harus memasang posisi siaga. Aku juga merasakan hawa rumahku yang berubah. Rumahku memang suram dan mencekam sepanjang waktu, tapi kali ini jauh lebih mencekam. Seolah aku bisa saja meregang nyawa malam ini, di sini.

Aku segera berlari dari kejaran tiga ekor anjing yang kucurigai bukan anjing biasa. Aku tahu, semuanya sudah dimulai.

Ya, perang itu sudah dimulai.

Aku sama sekali 'tak ingin turut serta dalam perang memperebutkan perangkat suci Mahakuasa. Aku ini lemah, energi sihirku benar-benar lemah. Bahkan untuk melindungi diri saja aku tidak bisa, apalagi mau menyerang musuh.

Jujur saja, aku sangat membenci takdir. Jika aku tidak terlahir sebagai penyihir dan tidak diadopsi oleh penyihir, aku tidak akan berpartisipasi dalam perang ini, dan tentu saja 'tak akan bertemu dengannya. Jika Kakak tidak ikut serta, kami juga tidak akan pernah bertemu. Dia juga tidak akan pernah menyelamatkanku, sehingga aku tidak pernah memendam sesuatu yang 'tak seharusnya.

Namun aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan takdir. Tanpa kehadirannya, aku mungkin 'tak akan tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang. Hidupku hanya monokrom tanpa mengenal warna-warni yang indah.

Aku mulai menggunakan kekuatanku. Kekuatan sihir hitam kuno dengan wujud helaian bulu hitam, Witchcraft. Kekuatanku ini bahkan tidak mampu mengalahkan tiga ekor anjing yang mengejarku, apalagi membunuh servant, tidak akan mungkin!

Sekarang yang kuhadapi bukan hanya anjing. Ada seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut biru membawa sebuah tombak yang bisa kapan saja menusukku dengan mudah. Dugaanku benar, anjing-anjing itu miliknya.

"Kamu ya, Nona Muda rumah ini?"

"Jangan mendekat!" Aku berusaha mencegahnya, namun sia-sia.

Ia terus mengejarku sampai aku hampir putus asa. Aku mencoba menyerang sekaligus menghindari setiap serangan yang ia arahkan padaku dengan kemampuan sihir kunoku.

Tak ada segores luka pun yang berhasil membekas di kulitnya akibat seranganku. Justru akulah yang terpental hingga menghantam tembok.

Pria—servant itu memandangi ujung tombaknya yang sudah tertempeli dengan bulu-bulu burung dari sihirku. "Sihir hitam ini kuno juga, ya?"

Ia lalu menyeringai. "Tapi yang kau lakukan itu sia-sia, Nona Muda." Ia meledek kemampuanku.

Aku bersembunyi dari balik tembok sambil terus melancarkan serangan. Servant pengguna tombak itu menangkisnya dengan lihai.

Aku berlari menuju taman, lalu menutup akses masuk dengan sihirku.

Sesuai dugaan, ia menerobos penghalang yang kubuat dengan mudahnya. Ia lalu berjalan ke arahku dengan tatapan siap membunuh.

Pasrah, aku hanya bisa pasrah. Mataku berkaca-kaca, hampir menangis. Di tengah keputusasaan itu aku berseru. "T-tolong aku, Ayah!"

Burung-burung merpati yang singgah di taman beterbangan tepat saat Lancer—servant pengguna tombak menusuk dadaku dengan tombaknya.

Namun tiba-tiba sebuah cahaya putih yang menyilaukan muncul dan Lancer terhempas jauh. Angin berembus kencang, meniup tanaman-tanaman. Dedaunan mulai lepas dari ranting dan bertebaran. Kejadian ini berlangsung cukup lama, kira-kira sepuluh detik atau bahkan lebih.

Sesaat setelahnya, dedaunan dan kelopak bunga yang bertebaran dengan cepat kini mulai menenang. Angin kencang pun berganti menjadi sepoi-sepoi yang silir.

Aku mendongak ke atas. Di hadapanku kini berdiri sesosok laki-laki. Ia berambut pirang, kedua maniknya berwarna zamrud, dan ia mengenakan zirah. Pandangan kami saling bertemu. Entah mengapa aku terus menatapnya. Pipiku tiba-tiba memanas.

"Lumayan juga, Penyihir Hitam!" seru Lancer yang bangkit kembali setelah tersungkur.

Lancer kembali memegang tombaknya dan berniat menyerangku lagi. Namun laki-laki di hadapanku ini berbalik dan menghantam Lancer dengan sesuatu yang 'tak terlihat. Lancer kembali terhempas untuk yang kedua kalinya.

"Kurang ajar!" Tiba-tiba tombak milik Lancer patah. Ia begitu terkejut. Saat itu juga aku menyadari bahwa tombak itu palsu.

Laki-laki di hadapanku menoleh ke belakang, lalu tersenyum padaku. Jantungku berdetak dua kali lebih kencang saat itu. Ia 'tak pernah gagal menarik atensiku.

Seperti itulah pertemuan pertama kami. Ia adalah Saber, sebuah nama samaran yang diberikan untuk heroic spirit atau roh pahlawan pengguna pedang yang dipanggil dalam Perang Cawan Suci.

Mulai hari itu, Saber adalah servantku, dan aku adalah masternya.

Servant adalah alat, bagaimanapun juga. Tapi aku tidak pernah menganggap Saber sebagai alat.

Aku menganggapnya sebagai manusia, sebagai seorang laki-laki.

🥀

🥀

🥀

Kami—aku, Saber, Archer, dan Lancer lalu bertarung bersama melawan pasangan-pasangan master-servant lainnya, termasuk melawan Kakakku—master dari perang terdahulu beserta beast dan enam servant dari perang sebelumnya. Cawan suci kini telah mencapai batasnya. Sebentar lagi ia akan memuntahkan cairan menjijikkan yang akan menenggelamkan Tokyo. Archer dan Lancer telah usai menunaikan tugasnya. Mereka kini kembali ke takhta para pahlawan, Throne of Heroes. Yang tersisa kini hanyalah aku dan Saber, serta mantan master Archer yang sudah mengundurkan diri.

"Saber!" Aku menggenggam tangan Saber yang berusaha untuk melangkah menjauh.

"Inilah jalan satu-satunya, Ayaka." Ia terus mengulas senyuman tulus itu, bahkan di saat-saat terakhir seperti ini. "Terkadang, kita memang harus mengorbankan ambisi kita demi suatu hal yang jauh lebih baik."

"Tidak, Saber, jangan!" Aku berusaha mencegahnya melakukan itu. Sifat egois tiba-tiba merajalela atas diriku. Aku tak ingin kehilangan Saber, meski harus mengorbankan nyawa para penduduk Tokyo!

Namun....

"Ayaka, bukankah aku pernah bilang padamu kalau kau tidak boleh egois?" Kata-kata yang keluar dari mulut Arthur sukses membuatku berkaca-kaca.

Air itu kini mengalir deras, tak kuat dibendung oleh mataku. Aku semakin terisak. "Arthur, jika kau melakukannya, kau akan...."

"Mau aku melakukannya atau tidak-kau harus tahu, Ayaka, akhirnya tetaplah sama." Pemuda itu tersenyum sekali lagi. Namun kali ini senyuman yang ia berikan tersirat kesedihan di dalamnya. "Biarkan aku melaksanakan tugas terakhirku."

Jati diri Excalibur—pedang suci Raja Arthur kini mulai terlihat. Pedang yang semula 'tak terlihat berkat sihir angin akhirnya menampakkan wujud aslinya. Sebuah pusaka berukuran panjang dengan kilauan warna emas yang membalutnya.

Arthur mengangkat kedua tangannya setinggi dada dengan Excalibur yang sudah ia posisikan. Titik-titik cahaya bak kunang-kunang menari-nari di tengah gelapnya malam, lalu menghampiri pusaka yang tengah dibawa Arthur. Kilauannya semakin menyilaukan mata. Arthur lalu meninggikan pedangnya hingga berada di atas kepala. Kedua matanya ia tutup untuk beberapa detik sebelum akhirnya terbuka kembali.

Suaraku tiba-tiba tercekal di tenggorokan. Aku tak bisa berteriak.

"Ex—calibur!!!!" Arthur meneriakkan nama harta mulia yang ia miliki. Itulah serangan pamungkasnya. Setelah ini, eksistensinya akan menghilang selamanya dari dunia ini.

"Aaarthuuur!!!!" Aku berusaha teriak hingga tenggorokanku sakit, dan pada akhirnya suara paraulah yang terdengar.

Mencoba menerima kenyataan, aku yang terduduk lemas berusaha melihat ke depan, mendongak. Kulihat kini sekujur tubuh Arthur sudah dipenuhi oleh titik-titik cahaya yang redup.

Arthur sudah mencapai batasnya.

Tangisanku pun semakin menjadi-jadi.

Di saat-saat terakhir itu, ia berjalan ke arahku yang tengah duduk bertumpu pada kedua kakiku. Ia berlutut di hadapanku, lalu menyentuh sebelah pipiku yang sudah basah. Ia menyapunya perlahan, lalu sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk mengusap mataku dengan lembut.

Arthur menatapku dalam-dalam. Ia lalu mengecup keningku. "Ayaka, aku mencintaimu."

Tak kusangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Namun mengapa, mengapa harus di saat-saat seperti ini?

Ia mendekap tubuhku yang sudah tak berdaya. Sesekali aku juga mendengar isakan lemah darinya.

"Kau pasti akan menemukanku sekali lagi. Kita pasti akan bertemu sekali lagi di alam yang berbeda, Ayaka. Kau 'tak perlu lagi merasa kesepian, carilah kebahagiaan bagi dirimu sendiri. Aku yakin, suatu saat kita pasti akan bertemu. Hapuslah air matamu, lupakan segala laramu, sekarang penyebab penderitaanmu sudah tiada, Ayaka. Kau akan hidup bebas mulai saat ini."

Aku semakin mengeratkan pelukan itu. Namun raga yang kudekap saat ini lambat laun kian memudar. Satu detik lagi, eksistensinya akan hilang sepenuhnya hingga hanya menyisakan butiran cahaya di kedua tanganku.

"Selamat tinggal, Ayaka."

Sosok yang kupeluk benar-benar menghilang. Saat ini, tepat saat ini.

"Aaarthuuuurr!!!!"

🥀

🥀

🥀

Gulita, itulah yang pertama kali kurasakan.

Aku sedang terbaring di suatu tempat dengan keadaan mata tertutup. Aku dapat merasakan aura yang berbeda di tempat ini. Dan aku yakin, ada banyak bunga di sekitarku.

Tanpa melihat pun, aku bisa tahu di mana aku sekarang. Sebuah surga kecil. Keberadaannya diyakini sebagai mitos belaka. Dunia tempatku terbaring saat ini hanyalah dunia khayal.

Di sini kau tak akan mendapati mara bahaya. Hanya ada kedamaian di sini. Tak ada keramaian, apalagi kematian. Kau hidup abadi di sini.

Avalon, itulah namanya.

Aku semakin tak ingin terbangun dari kenyamanan ini, namun sebuah suara memaksaku untuk terbangun.

"Bangunlah, Arthur." Suara lembut—tidak juga, suaranya itu terkadang sedikit menyeramkan. Ia berbisik tepat di sebelah telingaku.

Kubuka mataku perlahan, menampakkan sosok wanita dengan rambut mirip nenek ubanan berjongkok di sampingku. Ia tampil seperti biasanya; dengan jubahnya yang berwarna putih dan beberapa ornamen dengan tongkat sihirnya yang selalu berada di tangan.

Dialah sang Penyihir Kembang, Merlin, sang Empunya Avalon.

Aku mendudukkan diri perlahan sambil memegang kepalaku yang terasa pusing. Pandanganku juga sedikit berkunang-kunang. "Berapa lama aku tertidur, Merlin?"

"Kau tertidur sangat lama. Kupikir kau tak akan bangun." Ia mengusap pucuk kepalaku perlahan, namun tanganku segera menangkisnya.

"Mana mungkin 'kan aku tidak bangun?"

"Kau tidur sekitar satu tahun lo, Arthur."

Ucapan Merlin sukses membuatku tersedak ludah. Apa dia bilang? Satu tahun?!

Merlin sepertinya bisa membaca ekspresi terkejutku. "Kau tidur sangat lama, seperti orang yang menantikan sebuah keajaiban."

"Aku ... aku memang menantikan sebuah keajaiban."

"Kau sekarang berada di Avalon, Arthur, kau sedang berada di dunia yang penuh keajaiban! Keajaiban seperti apa yang kau tunggu?" Merlin terkekeh geli.

"Memangnya kau bisa mempertemukan dua insan yang berbeda dunia?! Tidak bisa, 'kan?!"

Merlin mendekatkan wajahnya padaku. Ia menatapku penuh curiga. "Apa selama mengalami kebangkitan kau dipertemukan dengan seseorang?"

"Iya, aku dipertemukan dengan seseorang, seseorang yang sangat berharga."

"Hm?" Merlin menaikkan sebelah alisnya. "Tapi aku 'tak sehebat yang kau kira, Arthur. Aku tidak bisa mempertemukan kalian."

Keputusasaan kembali lagi pada diriku. Sepertinya memang tudak ada lagi harapan. Aku menyesal telah mengatakan omong kosong bahwa kami akan bertemu sekali lagi. Ayaka pasti akan membenciku.

Merlin menarik napas panjang. "Sebenarnya ada caranya, Arthur. Tapi sayang, aku tidak bisa melakukannya karena persyaratan di dalamnya tidak terpenuhi. Membawamu menuju dunianya itu mustahil. Cawan suci sudah hilang, 'kan? Itu artinya kau tidak akan bisa dipanggil lagi ke dunia manusia. Membawanya ke Avalon jauh lebih mustahil lagi. Tak ada satupun manusia yang dapat melewati penghalang suci ini. Hanya manusia tanpa dosa yang bisa melewatinya. Sayangnya, manusia tanpa dosa itu tidak ada."

Aku menundukkan kepala. "Apa tidak ada cara lain?"

Merlin memutar otak cukup lama, sebelum akhirnya ia memberi jawaban. "Ada."

Merlin berjalan ke depan. Ia lalu berhenti sebentar. "Aku akan membantumu."

Aku tersenyum sumringah mendengar jawaban sang Penyihir. Tak kusangka ia akan membantuku, padahal dia itu jahil, sangat.

Mari bertemu sekali lagi, Ayaka.

🥀

🥀

🥀

Satu hari setelah hari kelulusanku, aku memutuskan untuk terbang ke Inggris. Aku akan mengunjungi makamnya.

Setelah kepergiannya, yang kupikirkan hanyalah keputusasaan. Mana kebahagiaan yang ia katakan itu? Aku tak menemukannya. Hari-hariku kembali suram setelah kepergianmu, Arthur.

Memang, cawan suci 'tak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia telah padam seutuhnya, tentunya dengan campur tangan para penyihir dari Menara Jam. Namun kebahagiaanku turut sirna bersamaan dengan menghilangnya sang cawan.

Tidak akan ada lagi pertumpahan darah di sini. Semuanya akan hidup bahagia dan baik-baik saja. Tiada lagi kompetisi antara para penyihir. Namun itu artinya, kami tidak akan dipertemukan sekali lagi.

Pada akhirnya semua yang ia ucapkan itu omong kosong.

Aku memejamkan mataku sepanjang perjalanan, hingga akhirnya aku tiba di bandara tujuan. Aku segera menarik koperku dan berjalan menjauh dari bandara, lalu mencari hotel terdekat.

Keesokan harinya, di pagi hari, aku berjalan kaki menuju Biara Glastonbury. Tempat itulah satu-satunya sisa puing-puing kehidupan darinya. Tempat itulah persemayaman terakhirnya. Meski banyak yang memperdebatkan keaslian dan eksistensi sang Raja, aku 'tak peduli. Aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, meski dia 'tak pernah mengatakan di mana tempatnya ditidurkan untuk selamanya.

Aku mendudukkan diri di bawah pepohonan rindang. Duduk beralaskan permadani rumput begitu menenangkan. 'Tak begitu banyak orang yang berkunjung kemari, membuatku bisa merasakan sensasi sunyi yang begitu damai. Kicau burung-burung yang menjadi temanku saat ini.

Aku merindukan kedamaian ini.

Semilir angin meniup-niup wajahku, mendukung mataku untuk segera terpejam. Saat ini juga, aku mengingat kisah hidupnya.

Menjadi raja di usia belia, lalu menikahi seorang wanita yang tidak pernah ia cintai akibat perjodohan dan utang budi, dikhianati oleh ksatria kepercayaannya, takhtanya dihancurkan oleh seorang anak geladak, dan pada akhirnya ksatria-ksatria di bawah naungannya wafat di sebuah tempat.

Tempat itu berupa padang pasir tandus yang menjadi saksi bisu terjadinya perang besar antara dua kekuasaan. Saksi bisu terjadinya pertumpahan darah besar-besaran, sekaligus saksi bisu dari kematian sang Raja.

Camlann.

Aku baru menyadari betapa menyedihkan hidupnya itu. Bahkan hidupku yang sekarang ini 'tak pantas menjadi bandingan. Ia selalu saja mengalami penyesalan. Namun ia selalu mencoba baik-baik saja setiap waktu.

Kau sama bodohnya denganku, Arthur.

Kesadaranku kini tinggal tersisa sedikit saja. Sangat sedikit, karena sebentar lagi aku akan benar-benar ditarik ke alam mimpi.

Izinkan aku bertemu denganmu sekali lagi, meski hanya dalam mimpi.

🥀

🥀

🥀

Di mana aku?

Itulah yang kutanyakan pertama kali.

Aku sedang berada di sebuah tempat penuh dengan bunga yang mekar dengan indah. Kelopak itu lepas dari tangkai diterpa sang Bayu. Jauh di sana, aku melihat sebuah menara yang seakan 'tak memiliki puncak.

Satu hal yang kuyakini, tempat ini bukanlah bumi. Semuanya terasa indah, layaknya nirwana. Tubuhku pun rasanya seringan kertas di sini.

Apa ... aku ... mati?

Tidak, tapi—bagaimana mungkin aku mati?! Memangnya apa yang terjadi?!

Dan ... tidak ada siapa-siapa di sini, hanya ada aku.

"Kau belum mati, Ayaka."

Sebuah suara membuyarkan lamunanku dari belakang. Suara itu terdengar familiar di telingaku. Suara itulah yang sangat kurindukan. Kupikir aku hanya berhalusinasi. Namun setelah aku menengok, aku melihat sebuah keajaiban. Semua ini bukan sekadar fatamorgana.

"Ar ... thur?" Mulutku menganga, mataku membelalak menolak percaya. Berulang kali aku mengerjap sembari mengucek mataku.

Aku tidak salah lihat.

"Aku menunggumu, Ayaka." Senyuman yang sama seperti saat itu ia ukir kembali. Aku juga sangat merindukan senyumnya itu.

Aku segera berlari dan memeluknya erat. Aku 'tak ingin melepas pelukan ini. Raga Arthur kini benar-benar utuh, tidak seperti saat perpisahan itu.

Air mataku mengalir deras akibat haru yang 'tak tertahankan. "Kupikir kita tidak akan bertemu lagi, Arthur. Kupikir—"

"Tentu saja kita akan bertemu lagi, Ayaka." Suara Arthur terdengar bergetar. Pucuk kepalaku juga dibasahi oleh titik-titik air.

"Tapi pada akhirnya pertemuan ini semuanya semu, 'kan, Arthur?" Aku berucap dengan suara yang 'tak karuan.

"Maafkan aku, Ayaka, semua ini memanglah semu," Arthur melepas pelukan kami, membuat wajahnya yang telah basah oleh cairan bening terlihat jelas, "tapi kuyakin kita akan bertemu lagi, di sini, ketika waktunya telah tiba."

Aku tahu, yang Arthur maksud ialah kematian. Hanya kematianlah yang bisa mempersatukan kami kembali seperti dulu.

"Tapi itu bukan berarti kau bisa seenaknya mengakhiri hidupmu, bukan begitu! Jangan pernah melakukan hal bodoh demi mengejarku, Ayaka."

"Tapi semuanya terasa hampa, Arthur. Aku hidup, namun rasanya seperti aku telah mati. Jadi—"

Arthur tiba-tiba memelukku. Kali ini pelukannya lebih erat, jauh lebih erat.

"Di sini, di Avalon, hanya manusia tidak berdosa saja yang dapat memasukinya. Jadi jangan pernah lakukan itu."

Aku membalas pelukan itu. "Aku tidak kan melakukannya."

Angin musim semi berembus di sekitar kami, menerbangkan kelopak-kelopak bunga.

Meski hanya mimpi, perasaan ini, dan kehadirannya terasa sangat nyata, membuatku 'tak ingin terbangun dan kembali menatap kenyataan.

🥀

🥀

🥀

Memandangi dua insan yang tengah dimabuk asmara itu memberi kesan tersendiri, bukan?

Ya, aku memandangi Arthur dan Ayaka di bawah sana. Cinta itu indah, ya? Aku ingin sekali merasakan yang seperti itu. Tapi apa daya, memang ada yang mau?

Sudahlah, tugasku memang menyatukan mereka, bukan menjadi seperti mereka.

Kalau kau bertanya bagaimana bisa mimpi yang Ayaka rasakan itu terasa sangat nyata, tentu saja itu berkat diriku, Merlin si Penyihir Hebat ini.

Aku telah mengatur semuanya, sehingga Ayaka dan Arthur, keduanya bisa merasakan hal yang sama. Bahkan aku sendiri juga ikut terseret ke dalam mimpi itu. Iya, diriku yang sekarang ini sedang berada di alam mimpi.

Seandainya saja Arthur dan Ayaka hidup di zaman yang sama, mungkin takdir mereka, juga takdir Camelot tidak akan seperti ini.

Sebetulnya aku merasa bersalah karena memberikan sebuah kebohongan bagi Ayaka. Tapi jika tidak seperti ini, Arthur akan terus menunggu, dan Ayaka akan terus mengejar. Hal itu tidak akan ada habisnya.

Namun, satu hal yang pasti. Dua insan yang meski terpisah oleh jarak, waktu, bahkan dimensi, ataupun tak dapat bersatu karena perbedaan kasta, jika memang mereka telah ditakdirkan untuk bersatu, pasti waktu akan bertindak untuk menyatukan mereka.

Karena itu, aku yakin mereka akan menemui kebahagiaan yang nyata.

End.
3060 words.

Faa,
02-05-2021

.
.
.
.
.

『 c a s t 』

.
.
.
.
.

沙条 綾香
Sajyou Ayaka


°
°
°
°
°

アーサー・ペンドラゴン
Arthur Pendragon


°
°
°
°
°

クー・ フーリン
Lancer (Cu Chulainn)


°
°
°
°
°

ギルガメッシュ
Archer (Gilgamesh)


°
°
°
°
°

キャスター
Merlin

°°°

Aloo~
Saya di sini, masi idup kok ._.)
Sebenernya tuh aku ga pengen up ini, soalnya emang ga niat pub. Ini mah aslinya pelarian gara-gara sempet WB di work sebelah yang diunpub.
Tapi tangan gatel, hehe ._.)
Anw, ini oneshoot pertamaku, yey!

Yang ga tepok tangan saya headshot ._.) 🔫(•∇•
.g

Btw, Selamat Hari Pendidikan Nasional (*>∇<)ノ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro