Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 22 : The Mist

Tirai kabut tipis berwarna abu-abu keputihan melayang di atas perbukitan terlihat di sebelah kirinya melalui kaca kemudi. Mata Zhang Qiling menelusuri dunia beku di luar saat dia mengkhawatirkan banyak hal. Cahaya kemerahan dari lampu belakang mobil di depannya semakin dekat dan dekat, semakin besar.
Pemandangan di kanan kiri jalan perlahan kabur menjadi bayangan dan bentuk-bentuk yang tidak bisa dibedakan, berlarian di luar jendelanya saat gerimis mulai menderas. Satu tangannya tanpa sadar menyentuh earphone yang terhubung pada ponsel Hanni yang telah dia pasangi perangkat untuk penyadapan ilegal. Matanya menatap tajam pada mobil di depannya, dan di antara desisan angin dan hujan, badai yang lebih hebat bergemuruh di dadanya.

Duduk tenggelam di kursi penumpang, Hanni mulai merasakan matanya berkaca-kaca, senada dengan rintik hujan yang kini menerpa kaca mobil. Wiper yang maju mundur tidak cukup untuk meredam kemarahan Kris.

"Jadi salahku kamu mempertahankan hubungan dengan pria sialan itu?" Dia mencengkeram kemudi dengan satu tangan dan tangan lainnya mencekal pergelangan Hanni, memaksa gadis itu untuk memandangnya, memegang lebih keras dari yang seharusnya. Hanni merintih tanpa sadar, cemas bahwa tangannya akan memar.

Kekakuan di rahangnya memberitahukan Hanni bahwa pria itu serius dengan amarahnya.

"Kris, itu bukan apa-apa, dia mungkin mencoba untuk merencanakan pernikahan, tapi aku tidak menyetujui apa pun. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk bicara pada Wu Xie. Selain itu aku khawatir akan reaksinya nanti." Bahkan Hanni tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar. Dia masih memiliki sedikit kepedulian pada tunangannya, entah itu didorong rasa cinta atau rasa bersalah. Dia mencoba meyakinkan Kris, pria lain dalam hidupnya tapi sialnya, dia melakukan hal-hal konyol semacam teror bunga lily untuk menakut-nakuti Wu Xie.

"Kau bohong! Aku tahu kau sulit memutuskan. Tapi kita tidak bisa selamanya sembunyi seperti ini. Jika kau tidak mengakhiri hubungan dengan tunanganmu sekarang, maka aku akan menghabisinya malam ini juga." Buku-buku jarinya memutih karena terlalu kuat menggenggam kemudi.

"Kau benar-benar tidak waras, Kris! Menyeretku ke sini, mengancam seseorang dan kemudian mencoba menyalahkanku atas hal itu. Yah, kau bebas melakukan apa pun. Aku sudah selesai dengan semuanya."

"Selesai? Apakah kau berniat putus denganku?"

Geramannya pecah ketika Kris menyadari beberapa bulan terakhir seolah-olah tidak berarti apa-apa baginya. Hilang sekejap hanya karena pertengkaran yang tidak perlu? Apa-apaan ini?

"Kris, kumohon, aku tidak melakukan apa pun! Pikirkan lagi tentang rencana gilamu melenyapkan Wu Xie. Itu sama sekali tidak ada gunanya."

"Tentu saja ada gunanya. Dengan menghilangnya pria sialan itu dari muka bumi, kau tidak akan gelisah lagi." Kris menatap Hanni, lantas matanya beralih kembali ke jalan, tidak menyadari kendaraan mencurigakan yang menguntitnya di belakang.

"Aku khawatir dia akan menggodamu, dan kamu akan luluh dan gemetar. Jika dia memeluk atau menciummu, kamu akan membiarkannya."

Hanni mengakui bahwa Kris benar tentang hal itu dan rasa cemas menyelimutinya. Dia tidak bisa menyangkalnya, tak mampu menatap matanya, malah menurunkan tatapan ke jalanan basah.

"Baiklah! Aku akan mendatangi tunangan sialanmu sekarang!"

"Kris! Hentikan!" Hanni berteriak ketika pria yang marah itu mengayun kemudi secara brutal di tikungan tajam. Di luar dugaan, seberkas cahaya terang menembak dari arah belakang, menembus tirai hujan.

Menderu dengan mobilnya, Zhang Qiling melihat ke depan, matanya menyipit ganas, sambil menginjak pedal gas. Diiringi bunyi logam berderak yang memuakkan, bagian depan mobilnya menabrak bumper mobil di depannya. Mobil nahas itu meluncur, remnya hampir tidak bisa menahan saat itu menyentak di sepanjang tikungan. Tuli karena suara gesekan yang memenuhi udara, Hanni maupun Kris tidak bisa mendengar jeritan ketakutan mereka sendiri.

Mobil mereka terdorong keras dan mengudara.

Bagaikan sesuatu yang keluar dari film aksi, pucuk-pucuk pepohonan menjulang di bawahnya. Mobil jatuh dalam gerakan lambat. Sementara Zhang Qiling menekan dirinya kembali ke tempat duduk sekuat mungkin, mengendalikan mobilnya agar berhenti tepat di bibir jurang. Petir menyambar di atas kepala, menerangi tanah dan kegelapan yang menganga, menunggu untuk menangkap korban yang cukup sial jatuh ke dalamnya.

Saat roda ban depan berhenti tepat di tepi jurang, Zhang Qiling merasa seperti ada yang mengguyur tulang punggungnya dengan air yang paling dingin. Gravitasi bergeser, dan mobil tersentak ke depan. Dia merasakan bagian dadanya lapang dan lega, dan badai dalam jiwanya perlahan mereda.

Tidak ada rasa sakit.

Tidak ada amarah.

Kosong.

Suara gesekan dan benturan membuat telinganya gatal. Rasa kesemutan menyerbu otaknya saat pikiran gelapnya berjuang untuk kembali ke permukaan kesadaran.
Ujung jarinya mati rasa. Mereka kedinginan.

Zhang Qiling kedinginan.

Hatinya sedingin es.

Dia bisa mendengar suara air hujan menampar atap.

Pasangan gelap itu pasti pingsan atau tewas pada akhirnya. Mobilnya tidak bergerak lagi. Paling tidak bukan Wu Xie yang mati. Rasa pahit memenuhi mulutnya, ia mencoba menarik napas. Mengenyahkan bayangan buruk tentang kematian Wu Xie jika saja ia tidak menghentikan pria gila bernama Kris. Siapa pun boleh mati, bahkan dirinya sendiri, asal bukan Wu Xie. Memikirkannya saja sudah terasa menyakitkan.

Hujan dan kabut malam ini akan menutupi rahasia. Tak ada siapa pun yang melihatnya, selain beberapa pasang mata burung gagak yang berkedip merah di balik pepohonan.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Kembali ke masa sekarang, Zhang Qiling tersentak dengan wajah pucat.
Dia masih duduk membeku dalam mobilnya, di tepi jalan dalam naungan pohon sakura. Sejak malam tragis itu, tidak sekalipun dia merasa menyesal ataupun gelisah. Pemikiran bahwa ia telah melindungi Wu Xie membuatnya lega dan bahagia, terlebih saat pemuda itu bahkan datang ke pintu rumahnya.

Namun apa yang dia pikir akan baik-baik saja tidak sepenuhnya terjadi. Sisa kejujuran dalam dirinya tidak mengizinkan ia untuk selalu berada di samping Wu Xie. Bersikap seolah tidak tahu apa-apa dan hanya bisa mengamati bagaimana pemuda itu kalang kabut mengatasi kecemasannya sendiri. Sikap dan kepribadian Wu Xie yang hangat dan baik hati memang mengasyikkan untuk ditipu dan dipermainkan. Tetapi dia tidak pernah memikirkan bahwa ia akan melakukannya. Keputusannya merahasiakan segalanya dari Wu Xie telah membuatnya diliputi perasaan tidak nyaman. Dan setiap kali Wu Xie menatap padanya dengan penuh kekaguman dan mata yang bersinar, rasa bersalah kian menghantamnya dan menyesakkan dada. Zhang Qiling tidak bisa melakukan itu lebih lama lagi. Dia sudah terlalu lama membohongi Wu Xie. Meski dengan berat hati, ia akhirnya menyadari bahwa ia tidak layak berada di sisinya. Tidak ada cukup alasan kuat yang bisa dibenarkan atas kejahatan menghilangkan nyawa, baik itu cinta maupun kebencian.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Satu bulan kemudian

Ada kawanan gagak hitam berputar di sekelilingnya. Wu Xie tercengang menatap pemandangan aneh ini. Dia tidak tahu di mana ia berada. Yang pasti cuacanya dingin menusuk tulang. Gagak-gagak itu mungkin berjumlah tujuh atau sembilan ekor. Entahlah. Kabut tipis menyamarkan pandangan hingga ia hanya bisa melihat mata-mata mereka yang merah menyala. Suara kaoknya bersahut-sahutan, serak, menyakitkan telinga sekaligus menakutkan.

Apakah ini pertanda? Ataukah hanya mimpi buruk belaka?

Sewaktu tirai kabut perlahan tersibak, Wu Xie menyadari hari telah benar-benar gelap. Di hadapannya ada kegelapan yang menganga, jauh hingga ke tepi cakrawala, melewati puncak pepohonan yang menghitam di perbukitan pada malam hari.

Kemudian, seperti deja vu, ia melihat sosok hitam berdiri di balik kabut, tinggi tegap dengan kepala tertutup hoodie hitam. Sosok itu membelakanginya tapi ia mengenali postur tubuh yang familiar serta aura yang terpancar.

Rasa gugup tiba-tiba menyerang membuatnya tertegun dan berhenti untuk melihat sekeliling. Kecerahan bulan menciptakan bayangan tajam dan bersudut yang memotong pemandangan menjadi potongan-potongan bergerigi, namun aroma amis, logam dan asap pembakaran yang menggantung di udaralah yang membuat Wu Xie bergidik. Mengingatkannya pada aroma darah dan besi terbakar.

Hembusan angin dingin meniup dedaunan mati melewati wajah dan bahunya, mengalihkan pandangan Wu Xie dari kegelapan untuk kembali ke sosok hitam di tepi jurang. Perlahan-lahan sosok itu memutar tubuh, berbalik menghadapnya. Itu memang dia. Sang detektif dengan ketampanan yang dingin dan misterius. Tangannya terulur ke arah Wu Xie, jemari ramping pucat yang menggapai, berlumur darah pekat yang menetes-netes ke tanah.

Wu Xie membeku di udara dingin. Terhipnotis.

"Xiao ge!"

Wu Xie tersentak dari tidurnya dengan memanggil nama itu.

Mimpi!

Semenjak kematian Hanni, ia pernah mengalami mimpi buruk beberapa kali. Tetapi belum pernah seburuk ini. Tubuhnya lemas seketika seakan bukan baru terbangun dari tidur melainkan telah menyelesaikan pekerjaan kasar seperti membajak sawah atau semacamnya.

Wu Xie duduk tegang, terengah-engah hingga ia merasa kehabisan udara. Apa arti mimpi itu? Benarkah hanya bunga tidur, ataukah manifestasi kecemasannya akibat memikirkan Zhang Qiling yang pergi tanpa kabar.
Sudah berapa lama waktu berlalu, ia telah kehilangan tunangan dan juga kawan baru yang mulai dekat di hatinya. Jika tak ada Pangzi di sisinya, ia tak memiliki apa pun yang tersisa kecuali kenangan tentang apa yang pernah ada di belakang.

Karena langit di ufuk timur mulai memutih, Wu Xie memutuskan bangun dan tidak tidur lagi. Dia mencuci muka, membuat kopi panas dan berkeliaran dalam apartemennya seorang diri. Saat ia membuka tirai, kehidupan di luar sudah dimulai. Beberapa orang pejalan kaki dan kendaraan mulai berlalu lalang.

Mereka bergerak maju dalam hidup dan menyambut fajar yang cerah. Sementara dirinya masih saja mengalami kegelisahan tanpa sebab yang jelas. Terkadang, sepotong kehampaan menghantuinya. Dia merasa sangat sendirian.

Wu Xie menyesap kopinya, duduk di sofa, masih diselimuti kesan angker dari mimpi barusan. Mengapa Zhang Qiling selalu muncul dalam situasi segelap itu? Kabut, jurang, malam gelap dan burung gagak. Wu Xie bukan seorang cenayang, tidak juga memiliki kemampuan khusus. Seharusnya, mimpi semacam itu tak berarti apa-apa. Namun kali ini berbeda. Asumsi liar mengganggunya setiap kali ia merangkai lagi momen terakhir bersama Zhang Qiling.

Tangan yang berlumuran darah. Tangan yang sama yang melempar mawar putih ke jurang gelap dalam mimpi sebelumnya. Gagak yang melambangkan rahasia. Dan ... kematian Hanni.

Apa yang harus ia lakukan? Hanni sudah mati. Tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu sekarang. Jika benar Zhang Qiling terlibat dalam kematiannya, ia bisa saja membenci dan menjauhinya karena akan cukup sulit jika harus meminta polisi membuka kembali kasus kecelakaan ini. Namun jangankan membencinya, membiarkan Zhang Qiling menghilang tanpa kabar pun terasa sangat salah. Wu Xie dilanda kebingungan sekarang, seketika ia memikirkan Pangzi. Dia pasti tahu tindakan tepat yang harus diambil.

Dalam waktu dua jam, Wu Xie telah berkendara di jalanan pada pagi hari yang dingin. Langit biru jernih, separuh di bagian timur bersinar seiring matahari memancarkan sinarnya di balik awan yang menipis.
Sebenarnya belum waktunya bagi Wu Xie untuk membuka kafe, tapi dia tidak memiliki tujuan lain selain tempat itu atau ia akan berkeliaran seperti orang linglung.

Hanni's Breakfast masih sepi. Pintu kacanya terlihat berembun. Dingin menyergap tangan Wu Xie kala ia membuka kunci dan mendorong pintu. Dia berencana mengganti nama tempat ini, dan akan secepatnya dia lakukan.

Sejumlah orang berlalu lalang di jalan depan kafe, dan sesosok tubuh tinggi berjubah hitam di antara mereka membuat Wu Xie membeku. Berbeda dengan pria lain yang terlihat sibuk dengan ponsel atau bergegas menuju fasilitas umum, sosok itu terlihat berdiri diam. Ketika Wu Xie meluncur kembali ke halaman dan menuju jalan, sosok itu menghilang di antara orang-orang dan kendaraan.

Dia seperti sosok familiar yang melangkah dari dalam mimpinya ke dunia nyata.

Dia ...

Wu Xie menahan napas dan bergumam serak, "Xiao ge .... "


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro