Part 19 : Train Station
Zhang Qiling, Satu tahun lalu
Terkadang sulit untuk memahami mengapa jawaban terhadap masa kini terletak pada masa lalu.
Hari itu sekitar satu tahun lalu, di sore yang cerah dengan langit biru jernih, Zhang Qiling berencana pergi ke rumah sepupunya dalam satu kunjungan singkat dan menuju stasiun. Sudah lama sekali sejak kunjungan yang terakhir ke kota Nanjing. Dia membayangkan suasana baru yang lebih tenang, meninggalkan kota yang berisik untuk beberapa waktu.
Saat kereta mendekati stasiun, pemandangan menjadi rata dan ladang membiarkan cahaya biru dingin masuk ke dalam hamparan.
Kereta berhenti perlahan-lahan di stasiun kereta Nanjing, ini hanya perhentian sementara, dia masih harus melanjutkan perjalanan dengan taksi untuk mencapai rumah sepupunya.
Zhang Qiling meninggalkan kereta bersama sekelompok pelajar dan turis dan keluar dari stasiun. Jalanan utama lumayan lengang. Dia bisa mendengar langkah kakinya bergema di trotoar. Tatapannya tertuju pada satu bangunan molek yang merupakan sebuah kedai kopi. Berdiri anggun di tepi taman, memberikan kesan sejuk dan nyaman.
Lengkungan gerbang besi di depan pintu masuknya ditumbuhi tanaman ivy yang merambat, dan tamannya dipenuhi beragam bunga aneka warna. Zhang Qiling merasakan dorongan dalam dirinya untuk bersantai sejenak dan minum kopi.
Dia menyebrangi jalan dan berjalan lebih jauh ke dalam taman, melewati semak dan bunga-bunga yang melambai, dan berjalan menyusuri jalur berbatu. Dia memilih satu meja di sudut dan memesan secangkir kopi.
Sepuluh menit berlalu, kemudian ada suara berisik yang datang dari arah pintu masuk. Wajah cerah dan teramat tampan, dengan senyuman terukir di bibirnya, kacamata lensa bening membingkai wajahnya. Pemuda itu mengenakan setelan hitam dan sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Sepertinya dia tengah bercanda atau melemparkan lelucon dan semacamnya, karena sesekali pemuda itu tertawa ringan. Zhang Qiling menatapnya, merasakan getaran kekaguman yang aneh dan tidak dapat dijelaskan.
Menyukai seseorang pada pandangan pertama adalah konsep yang mengerikan baginya. Jadi dia menyimpulkan bahwa ini hanya kekaguman semu, datang sekejap dan menghilang kembali laksana kilatan petir. Dia mengalihkan fokus pada kopinya lagi, tapi pemuda yang baru saja datang rupanya bertekad untuk mengusik ketenangannya. Pemuda itu duduk di meja tepat di belakangnya, masih tertawa dan bicara.
Zhang Qiling mendengar pemuda itu akhirnya memesan kopi dan menu pelengkap lainnya. Tawanya ringan dan enak didengar, mirip lantunan musik. Sepertinya dia akan suka untuk mendengarkan suara tawa seperti miliknya. Tulus dan ceria, seakan tanpa beban, tapi tidak menghilangkan kharisma yang dia miliki. Lama kelamaan Zhang Qiling merasa terganggu. Jenis gangguan yang meresahkan. Yang sulit dia benci tapi dia takuti. Aneh sekali.
Akhirnya pemuda itu berhenti bicara. Suasana menjadi hening, selain lantunan musik dari pengeras suara. Zhang Qiling tidak berusaha menoleh ke belakang, tapi telinganya terpasang dengan baik, berusaha menangkap apa yang seharusnya tidak dia dengar.
Pemuda di belakangnya kembali bicara pada seseorang di telepon.
"Dalam tiga hari aku akan kembali ke Shanghai. Ada beberapa pertemuan penting. Kau sudah membicarakan beberapa masalah dengan mereka, bukan?"
Sepertinya itu obrolan terkait bisnis, batin Zhang Qiling, menyesap kopinya seraya menunduk.
Shanghai ... kami tinggal di kota yang sama.
"Tentu saja. Aku juga harus menghadiri pesta ulang tahun Hanni. Tapi aku tidak yakin. Bagaimana kalau kau datang lebih awal, aku belum menyiapkan hadiahnya," pemuda itu berkata lagi.
Jeda singkat, lalu ia mengucapkan sampai nanti dengan ceria.
Hanni, siapa yang dia bicarakan?
Kawan? Saudara perempuan?
Ada suara gesekan kursi dan meja seiring gerakan pemuda itu beranjak dari kursi.
"Di mana kamar kecilnya?" ia bertanya pada seorang pelayan yang menjawab dengan menunjuk ke satu arah.
"Terima kasih."
Saat pemuda itu berjalan melewati mejanya, Zhang Qiling memberinya tatapan yang berlangsung lebih dari beberapa detik. Dia membelakanginya, dan Zhang Qiling ragu apakah pemuda itu cukup pintar untuk menyadari apa pun. Jadi, ia terus mengawasinya sampai punggung pemuda itu lenyap di koridor.
Pemuda itu menarik perhatiannya dengan begitu intens. Dia ingin mengetahui tentangnya lebih jauh, tapi sedetik kemudian dia tidak yakin. Mungkinkah mereka berjumpa lagi?
☆☆☆
Tiga hari kemudian, Zhang Qiling melihat pemuda itu lagi di stasiun. Dia tahu tujuan mereka sama yaitu Shanghai. Pemuda itu masuk ke gerbong tempat Zhang Qiling duduk, menyangga sebuah koper kulit hitam berukuran sedang dengan lututnya untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi. Saat menuju kursinya, pemuda itu terhuyung sehingga Zhang Qiling dengan sigap beranjak untuk menahan tubuh si pemuda agar tidak sampai jatuh ke lantai kereta.
"Sepatu sialan," pemuda imut itu menggerutu lantas tersenyum pada sosok yang membantunya.
"Terima kasih," katanya.
Dia menatap Zhang Qiling. Pemuda ini mengenakan masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. Jaket dan celananya juga hitam. Matanya gelap, berkilat, misterius.
Zhang Qiling hanya mengangguk samar, mundur kembali ke tempatnya. Si pemuda meletakkan bebannya ke rak di atas kepala, dan duduk santai dengan punggung tenggelam pada bantal di sandaran kursi. Kemudian kereta api berwarna perak dengan ruangan berpendingin itu menutup pintunya dan melanjutkan perjalanan ke stasiun Shanghai.
Di sepanjang sisi rel, ada pemandangan kota dan desa pada suatu waktu, dan sesekali sungai yang berbuih. Ladang-ladang canola, dan pepohonan berlatar belakang langit biru cerah. Awalnya Zhang Qiling berusaha tidur. Tidak berhasil. Kemudian dia memperhatikan pemuda itu lagi yang posisi kursinya bisa dia lihat dari tempatnya duduk sekarang. Pemuda itu mengeluarkan ponsel, menggulirnya dengan ekspresi berubah-ubah. Dia memiliki wajah tampan yang manis, tapi dengan garis-garis kuat di beberapa bagian, sepasang mata berkilau penuh gairah. Kombinasi yang unik. Dia terus memandang layar dan tersenyum tipis. Tak ada tanda-tanda ia akan menoleh pada Zhang Qiling. Sepertinya dia memang tidak terlalu peduli pada situasi di dalam kereta dan sibuk dengan pikirannya yang entah melayang ke mana.
Waktu berlalu dengan cepat, dan kereta berhenti di stasiun Shanghai. Sampai dia turun dari kereta, pemuda itu masih misterius bagi Zhang Qiling. Dia berdiri tertegun di peron sementara orang-orang bergerak di sekelilingnya. Saat itu dia melihat seorang pria gendut terkekeh lebar menghampiri pemuda tampan itu, berteriak dan tergelak gembira.
"Wu Xie, akhirnya kau kembali. Aku cemas dengan bisnis amatirmu selama kau pergi. Nah, bagaimana perjalananmu?"
Zhang Qiling melihat keduanya berpelukan dan bicara satu sama lain dengan penuh semangat.
Wu Xie ...
"Menyenangkan sekali. Mengapa Hanni tidak ikut menjemputku?"
"Dia terjebak rapat di kantornya. Tenang saja, kau selalu memiliki aku."
Pemuda itu tertawa dan meninju perut si gendut.
Hanni ...? Nama itu lagi.
Sepasang kakinya masih terpaku sewaktu pemuda itu dan temannya berlalu.
☆☆☆
Wu Xie tampak bingung dan juga takjub, reaksi yang sangat alami menurut Zhang Qiling.
"Benarkah? Astaga, aku sudah melupakan perjalanan dengan kereta ke Nanjing. Rupanya kau berada di sana," dia berkomentar, masih terlihat menerawang dengan sorot mata bening yang melebar.
"Tidak heran jika kau tidak megingatku sama sekali. Wajahku tertutup saat itu," timpal Zhang Qiling.
"Itu tindakan yang tidak bijaksana, Xiao ge. Untuk apa kau menutupi wajah setampan ini. Andai saja waktu itu aku melihatmu dengan jelas seperti sekarang. Mungkin aku akan mengagumimu lebih awal."
Kemudian tangan Wu Xie terangkat membungkam mulut licinnya. Ekspresinya sedikit malu.
"Mengagumi?" ulang Zhang Qiling dengan nada penasaran. Sepertinya bukan itu yang ingin dia dengar.
"Maksudku ... " Wu Xie meringis, mengalihkan fokus pada anggurnya.
"Ah, sudahlah, Xiao ge. Walaupun perkenalan kita terlambat, itu masih lebih baik daripada tidak sama sekali."
Zhang Qiling menanggapi dengan senyum tipisnya seperti biasa. Kemudian mengangguk setuju.
Mereka mengosongkan sebotol anggur hingga lama kelamaan pandangan Wu Xie mulai bergoyang-goyang. Pening merambati kepalanya, bahkan ia melihat wajah Zhang Qiling membayang.
"Ugh, Xiao ge ... kenapa wajahmu ada dua?" Sambil menyangga dagu dengan dua tangan, Wu Xie mulai menceracau.
"Sepertinya kau mulai pusing. Kau terlalu banyak minum."
"Nah, kau tidak terpengaruh sama sekali. Toleransimu terhadap alkohol lumayan juga, yah."
Wu Xie mencoba bangkit dari kursi dengan bertumpu pada meja. Namun kakinya goyah.
"Aku akan memapahmu ke kamar."
Zhang Qiling beranjak dari kursi, menghampiri Wu Xie dan memegangi bahunya, berkata dengan suara lebih lembut, "Mari."
"Xiao ge, kupikir kau sebaiknya menginap di tempatku," gumam Wu Xie sambil mengusap keningnya. Saat dia mendongak ke arah Zhang Qiling, wajahnya masih terlihat berbayang dua.
"Mengapa kau ingin aku menginap di sini?"
Keduanya mulai berjalan lambat menuju kamar tidur Wu Xie.
"Yah, untuk menemaniku agar tidak kesepian. Lagi pula ini sudah malam."
"Tidak masalah bagiku untuk pulang malam. Aku bukan anak kecil."
Oh ya, tentu saja. Wu Xie memijat pelipisnya, lantas terkekeh samar. "Aku tahu kau akan mengatakan tidak. Kau adalah orang paling tidak romantis yang pernah aku kenal."
Zhang Qiling tersenyum tipis lagi.
Mereka sudah berada dalam kamar dan menuju tempat tidur empuk berlapis sprei coklat tua milik Wu Xie.
"Tidurlah."
Dengan sangat hati-hati, Zhang Qiling membantu Wu Xie berbaring dengan nyaman.
"Terima kasih," desis Wu Xie, menahan tangan Zhang Qiling dalam genggamannya saat detektif itu akan beranjak dari tepi ranjang.
"Atas apa?"
"Semuanya."
Zhang Qiling benar-benar merasa tidak enak. Dia ingin memberitahunya bahwa ucapan terima kasih itu tidak diperlukan. Ada satu hal yang mengganggu selama ini, dan sejujurnya ia tidak ingin menyimpan banyak rahasia dari Wu Xie. Dia sangat manis padanya, sehingga Zhang Qiling takut kalau ia akan kehilangan senyuman Wu Xie. Meski begitu, bukan berarti ia tidak bisa memberinya kebenaran lain.
Tidak butuh waktu lama bagi Wu Xie untuk memejamkan mata dan jatuh dalam ketidaksadaran terperangkap tidur yang gelisah. Zhang Qiling tidak berniat menginap di sana. Namun ia memutuskan tinggal beberapa lama lagi, menghabiskan waktu yang tersisa dengan berdiri di jendela yang menghadap pemandangan gemerlap kota. Tatapannya melayang jauh sementara benaknya berpikir keras, hatinya sesak oleh beragam kemungkinan. Pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak bermain petak umpet lagi. Wu Xie pantas mendapatkan kebenaran. Selain itu, Zhang Qiling tahu kebenaran akan membuatnya merasa lebih baik. Setelah menghela napas panjang, Zhang Qiling mundur dari jendela dan berbalik pergi.
☆☆☆
Pagi menyapa dan langit berwarna biru lembut dan pekat yang terjadi pada akhir hari-hari cerah di musim panas. Matahari bersinar cemerlang dan di udara ada rasa manis yang menyelimuti udara. Cahaya yang menembus jendela membuat kelopak mata Wu Xie bergerak-gerak sebelum akhirnya terbuka.
Ya ampun, pagi sudah terang, pikirnya linglung.
Dia melakukan peregangan, mengusap wajah dan memijat pelipisnya. Wu Xie ingat bahwa semalam dia jatuh tertidur begitu saja. Bahkan tidak tahu apakah Zhang Qiling mengikuti sarannya untuk menginap atau justru pulang.
Selama beberapa detik, dia terdiam. Mata beningnya melebar dan berkilau, saat melihat cerahnya pagi ini. Rasanya seperti ada awal yang baru. Senyumannya singkat namun tetap indah. Saat itu, tangannya yang terentang ke samping menemukan sebuah benda. Perlahan dia menggerakkan jarinya di atasnya. Teksturnya halus, lembut, dingin.
Apa ini?
Jantungnya mulai berdebar kencang sewaktu mendapati setangkai mawar alba tergeletak tidak jauh darinya. Warna putihnya berkilau misterius dalam kesendirian, di tempat yang tidak familiar.
Siapa yang meletakkannya di sini?
Dan untuk apa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro