Part 16 : Orange Lily
Angin sejuk berhembus menyambut dua pemuda keluar dari pintu kaca Hanni's Breakfast. Hampir menjelang sore sewaktu Zhang Qiling mengakhiri kunjungannya ke kafe, memutuskan untuk pulang. Sepuluh menit terakhir, Wu Xie berhasil mengusir Pangzi dari tengah-tengah mereka untuk kembali ke kesibukannya di belakang counter, sementara ia mengantar Zhang Qiling sampai ke halaman.
"Terima kasih atas kunjunganmu." Mengembangkan senyuman, wajah Wu Xie kian terlihat manis dengan anak rambut yang melambai-lambai di keningnya.
Zhang Qiling hanya mengangguk.
"Di mana kendaraanmu?"
Dengan menggerakkan dagunya ke satu arah, Zhang Qiling menunjuk pada satu unit sedan hitam di bawah sebatang pohon. Beberapa helai daun jatuh di kap depan dan terselip di wiper.
"Mari kutemani." Wu Xie memiringkan wajah, lantas berjalan mendahului si empunya kendaraan.
"Angin cukup kencang beberapa hari terakhir. Lihat, dedaunan kering mengotori mobilmu." Tangannya terulur meraih sehelai daun dari atap mobil.
"Biarkan saja," tegur Zhang Qiling, tidak enak hati. "Mereka tidak mengganggu. Itu akan terbang kembali oleh angin."
Wu Xie menaikkan sebelah alisnya, menoleh untuk menatap Zhang Qiling. "Baiklah."
Mereka bertatapan sekian detik, kemudian Zhang Qiling membuka pintu kemudi dan masuk. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Wu Xie juga membuka pintu dan duduk di kursi penumpang dengan ekspresi tidak bersalah di wajah manisnya.
"Mengapa kau ikut masuk?" tanyanya, tercengang, memperhatikan Wu Xie dengan raut wajah penuh tanya.
Wu Xie mengetukkan kuku ke permukaan dashboard sebelum mengatakan sesuatu. Sepertinya dia sedang memilih kata-kata yang paling elegan. "Pangzi baru saja memberitahuku," dia memulai dengan sangat manis.
"Tentang apa?" Firasat Zhang Qiling jadi buruk, tapi dia tidak bisa mengutarakannya, hanya menyerap kesan pertama si gendut dan bagaimana cara pria itu menatapnya.
"Sebenarnya kau sudah tahu." Wu Xie terbatuk-batuk lalu melanjutkan, "Oh, ayolah, Xiao ge. Kau pintar dan juga seorang detektif. Seharusnya kau merespon ocehan Pangzi, bahkan jika itu tidak benar, setidaknya katakan sesuatu."
Apa tanggapan yang tepat bagi seorang pemuda manis yang bicara dengan nada merajuk, Zhang Qiling sama sekali tidak memiliki ide. Dia hanya menggaruk pelipisnya sekilas, lalu bertanya dengan lebih hati-hati,
"Katakan dengan jelas apa maksudmu?"
"Si gendut mengatakan bahwa kau menyukaiku. Itu pun sudah lama. Katakan saja apakah itu benar atau tidak? " Akhirnya Wu Xie mengoceh. Tidak nyaman, gelisah, yah seperti itulah perasaannya setelah mengatakan hal itu. Dia tidak berharap Zhang Qiling berkata ya, tapi anehnya---dia yakin detektif ini tak akan menyakiti atau menipunya seperti yang dilakukan Hanni atau orang lain yang tidak menyukainya.
Zhang Qiling tercengang lagi, kali ini tidak bisa merespon untuk beberapa lama. Banyak fakta dan rumor yang kabur dalam pikirannya, tapi jawaban atas apa yang ditanyakan Wu Xie sebenarnya sudah sangat jelas. Napasnya lambat, entah gugup atau lega.
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang." Dia mengambil pilihan yang paling ambigu.
"Eh, mengapa?" Kali ini Wu Xie yang tercengang. Dia sudah menghempaskan rasa malunya ke tempat sampah dan sekarang reaksi Zhang Qiling sangat tidak memuaskan.
Astaga, ini menyebalkan!
Dia menggigit bibir, merasa tolol karena mau mendengarkan omong kosong Pangzi dan sangat ingin menjitak kepala si gendut sekarang juga. Harga dirinya sebagai bujangan paling memenuhi syarat telah tercemar.
"Aku tidak ingin kau berpikir bahwa aku mengambil keuntungan dari meninggalnya Hanni," Zhang Qiling menjelaskan.
Mengapa dia bisa menebak isi pembicaraannya dengan Pangzi di dalam kafe tadi? batin Wu Xie dengan mata berkedip lambat.
"Uh, itu tidak benar. Pikiranku sebening mata air, tidak pernah terlintas prasangka buruk terhadap siapa pun, terlebih lagi terhadapmu."
Zhang Qiling tersenyum tipis, menatap mata indah Wu Xie dengan kilasan rasa geli. "Wu Xie, tidak selamanya yang jernih itu baik dan suci. Alkohol membuktikan hal itu."
"Apa maksudmu? Jadi aku seperti alkohol?"
"Tidak. Bukan begitu maksudku. Terlalu berpikiran positif juga tidak selamanya baik. Jadi, sebaiknya kita kesampingkan hal itu dulu dan tuntaskan penyelidikan." Tiba-tiba suara Zhang Qiling menjadi goyah sewaktu dilihatnya wajah Wu Xie merengut dan suram.
"Baiklah. Ini salahku. Seharusnya aku abaikan perkataan si gendut. Dia telah mengubahku dari pria keren dan cerdas jadi idiot yang membosankan."
Mendengar nada kecewa dalam suara Wu Xie, saat itu Zhang Qiling hanya bisa menunduk dengan ekspresi bingung dan muram. Pikiran bahwa Wu Xie marah dan kecewa terhadapnya membuatnya sedikit depresi.
"Wu Xie ... "
"Ah, sudahlah. Lupakan saja kalau aku pernah membahas ini. Aku akan kembali bekerja. Sampai nanti, Xiao ge."
Mendorong pintu mobil, dengan kesal Wu Xie menjejakkan kaki ke tanah berumput kemudian menutup pintu dengan keras, setengah membantingnya hingga bahu Zhang Qiling tersentak kaget.
Keningnya berkerut dalam saat Wu Xie berjalan lambat tapi pasti meninggalkan tempat itu. Dengan cepat, Zhang Qiling turun dan berdiri di samping pintu kemudi, memanggil pemuda itu dengan lebih lembut. Namun Wu Xie hanya menoleh sekilas dan melambai tanpa senyum.
"Wu Xie ... "
Ditatapnya punggung pemuda itu yang kian jauh dan lenyap dengan anggun di balik pintu kafe.
Astaga, belum apa-apa sudah marah-marah, batin Zhang Qiling rumit, dengan banyak perasaan tidak nyaman menguasai hati.
Bahunya lemas dan turun saat ia kembali duduk di kursi kemudi dan mencoba memfokuskan pikirannya pada hal penting yang harus dia selidiki. Bagaimanapun kebenaran harus terungkap semua, baru setelah itu ia akan memikirkan langkah berikutnya. Dia ingin tahu seperti apa reaksi Wu Xie nanti.
✨✨✨
Tolol! Tolol sekali aku! Sialan!
Wu Xie menginjak pedal gas lebih dalam lagi saat mobilnya menderu kencang di jalanan kota Shanghai nan megah. Dia baru saja meninggalkan French Consession setelah mengomeli Pangzi atas percakapan konyol yang bermuara pada kekonyolan yang lebih besar dan memalukan.
Xiao ge sungguh melelahkan, batinnya kesal.
Seharusnya pria kaku itu tahu bagaimana cara menanggapi topik yang sudah dia angkat dengan manis dan susah payah. Namun sepertinya dugaannya dan juga Pangzi salah besar. Zhang Qiling sama sekali tidak memiliki perasaan padanya.
Huh! Memangnya kenapa kalau dia menolak?!
Dia menggerutu lagi, sangat kesal hingga dadanya nyaris sesak.
Aku pengusaha muda, tampan, kaya dan banyak yang suka.
Menghibur diri dengan pemikiran itu, dia mulai menenangkan diri dari rasa patah hati yang tidak jelas.
Mendapatkan pacar ideal hanyalah masalah waktu, ia menambahkan lagi, membuang napas dan menepikan mobilnya perlahan-lahan di kawasan The Bund.
Dia berjalan sendirian di tepian sungai Huangpu, sesekali menumpukan siku pada pembatas besi di sepanjang jalur pejalan kaki. Ada banyak pasangan malam ini bergandengan tangan, makan di restoran, dan juga berpesiar dengan perahu. Wu Xie mendengus, mengingat bagaimana dia sendiri malam ini. Dulu selama memiliki hubungan dengan Hanni, dia sering sendirian tapi tak pernah merasa kesepian. Kali ini ada perasaan pahit yang aneh. Apakah dirinya sungguh-sungguh ingin tahu bagaimana perasaan Zhang Qiling?
Mulutnya terasa kering dan pahit kala ia mendecakkan lidah dengan emosi yang sulit diidentifikasi. Dia berharap bisa minum anggur malam ini. Tapi bersama siapa? Tak mungkin dia mengajak Pangzi setelah ia menumpahkan kekesalan padanya. Jika dalam waktu singkat ia kembali memelas perhatian, si gendut akan semakin percaya diri bahwa kemarahannya hanya basa basi, walaupun itu memang benar.
Haruskah aku menelepon Xiao ge? Tapi apa yang akan kubicarakan? Hanya untuk mengucapkan selamat malam? Akankah pria kaku itu punya waktu?
Wu Xie mengambil ponsel dari saku mantel dan memandanginya dengan bimbang. Tidak ada salahnya mencoba, ia bisa bertanya tentang bagaimana perkembangan penyelidikan. Akhirnya, setelah memejamkan mata dan menikmati hembusan angin dingin yang bertiup dari arah sungai, membelai wajahnya, dia menekan nomor Zhang Qiling.
Ada nada sibuk dari nomor yang dituju, bahkan setelah beberapa lama.
Sial, Xiao ge mengabaikan teleponnya, atau mungkin sedang sibuk bicara dengan orang lain. Sebagian dari dirinya ingin marah, berlari di sepanjang sungai sambil berteriak-teriak hingga ia kehabisan tenaga. Akan tetapi, dia takut orang-orang akan menyebutnya gila dan menggiringnya ke kantor polisi. Jadi dia hanya merengut dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku, mengarahkan mata beningnya yang sendu ke hamparan air sungai yang gemerlap.
Sementara di sisi lain, duduk tegak di menghadapi lembar-lembar catatan, Zhang Qiling tengah berusaha menghubungi Wu Xie. Sepanjang sisa hari ini, perasaannya tidak karuan, dan sangat ingin memperbaiki suasana hati Wu Xie yang keruh. Dia tidak pernah peduli akan hal remeh semacam emosi atau bagaimana ia harus menjaga perasaan klien. Dia terbiasa kaku, melakukan pekerjaan sebaik mungkin, dan selesai tanpa ada keterlibatan emosi. Sejak awal dia sudah tahu bahwa dengan Wu Xie, segalanya akan berbeda. Tapi saat dia mencoba menelepon Wu Xie, ada nada sibuk yang menyambutnya. Mengapa dia sulit dihubungi? Mungkinkah dia masih kesal dan sengaja menyibukkan diri dengan orang lain?
Zhang Qiling tidak bisa mengendalikan pikiran buruk dalam kepalanya. Terlebih saat ia ingat gema kata-kata Wu Xie yang selalu membual bahwa banyak orang menyukainya. Apakah ia tengah bersama gadis-gadis cantik? Minum dan tertawa ditemani kawan gendutnya.
Mulutnya terkatup dalam garis keras. Memutar ponselnya di antara jemari, akhirnya ia mencoba menghubungi Wu Xie lagi. Jika kali ini masih sibuk, ia tidak akan peduli.
Kembali pada Wu Xie, pemuda itu masih berdiri di tepi pagar besi, merenungi aliran sungai yang beriak penuh misteri. Di permukaannya, kerlip lampu memantul bagai ribuan bintang dengan warna-warni cemerlang. Dia mencoba mencari kilau mata seseorang di antara titik-titik cahaya, tapi semuanya perlahan kabur dan memudar. Helaan napasnya kian berat dan lambat, kemudian getar ponsel menyentakkannya hingga ia nyaris hilang keseimbangan. Tangannya bergerak cepat merogoh ponselnya dan memeriksa nama di layar.
Xiao ge! pekiknya dalam hati, tanpa sadar tersenyum lebar.
Dia menghubunginya lebih dulu.
Aha, tentu saja dia akan melakukannya. Siapa yang bisa menolak pesona seorang Wu Xie? Dia terus bertahan dalam kepongahan yang kosong. Ditunggunya sampai deringan kesekian kali, akhirnya ia menjawab.
"Hallo, Xiao ge?" sapanya berusaha sedatar mungkin.
Zhang Qiling mendengar desau angin di latar belakang, seketika tahu bahwa Wu Xie sedang berada di luar.
"Wu Xie, di mana kau sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Hummm, aku berada di The Bund, menikmati pemandangan sungai. Ada apa?"
Ada helaan napas. Wu Xie tersenyum miring, membayangkan Zhang Qiling tengah berpikir dari mana ia harus memulai. Detektif itu selalu tenang dan dingin sejauh ini, tapi sekarang ia melihat sisi lain dari dirinya. Dipikir-pikir saat sedang gugup dan bingung, raut wajah Zhang Qiling bisa lucu juga.
"Ini tentang hasil penyelidikan," ujar Zhang Qiling.
Eh, apa yang salah dengannya? Mengapa bukannya minta maaf dulu karena sudah membuatnya kesal tadi siang?
"Kau sudah mendapatkan hasilnya?" Wu Xie menghembuskan napas tidak puas.
"Ya. Aku menempatkan seseorang yang bisa kuminta bantuan di kantor tempat Kris dan Hanni bekerja. Ada sebuah buku harian lagi, itu berbeda dengan yang sebelumnya."
"Buku harian? Mengapa semua orang rajin mencatat akhir-akhir ini?" Nada suara Wu Xie setengah mengejek.
Tak ada tanggapan dari Zhang Qiling, terdengar suara samar gesekan kertas yang ditangkap telinga Wu Xie, kemudian sang detektif bicara lagi.
"Aku juga menemukan bukti lain. Jangan tanyakan bagaimana aku mendapatkannya, yang jelas, aku mendapatkan kamera dashboard yang nyaris hancur di mobil itu. Aku meminta seorang ahli untuk memulihkan datanya. Mari bertemu besok siang, aku yakin saat itu rekamannya sudah bisa kita lihat."
"Mengapa polisi tidak mengambil kamera itu?" tanya Wu Xie.
"Kau tahu kalau kepolisian Longjing sudah menutup kasus dan menyimpulkan ini kecelakaan tunggal. Jadi tidak ada yang peduli dengan kamera rusak."
Fakta baru itu mendebarkan. Sejenak Wu Xie termenung. Dengan rekaman itu dia bisa tahu apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Dan bagaimana ekspresi Hanni menjelang kematian.
Tiba-tiba Wu Xie merasa cemas. Dia ingin minum lagi, tapi sebelumnya ia ingin menanyakan sesuatu.
"Xiao ge, kau sudah membaca buku harian yang baru? Apakah itu milik Hanni atau Kris?"
"Bukunya ditemukan di laci meja kerja Kris, tapi ini milik Hanni. Sepertinya Kris sengaja mengambil dan menyimpannya karena dalam buku itu Hanni menulis beberapa detail."
"Tentang apa?" Wu Xie mulai tidak sabar.
"Tentang teror kiriman bunga lily oranye."
Ini dia! Seketika Wu Xie teringat bagaimana menyebalkannya hari-hari itu.
"Aku ingat itu. Jadi, siapa pengirimnya?"
Ada kesunyian yang menyebalkan. Tampaknya Zhang Qiling ingin membiarkan Wu Xie tegang untuk beberapa waktu. Dia menggigit bibir dengan gelisah. Jika Zhang Qiling terus bersikap sulit, ia berjanji tak akan mengampuninya. Dia akan mempersulit hidup detektif itu, pikirnya dengan keras kepala.
"Pengirimnya adalah Kris," akhirnya Zhang Qiling bersuara.
"Sudah kuduga, bisa siapa lagi?" Wu Xie setengah memaki setelah menahan napas sejenak.
"Lalu apa alasannya dengan hitungan mundur?"
Ada gesekan kertas lagi. Mungkin Zhang Qiling tengah membuka-buka lembar buku harian Hanni.
"Dia sedang mengancammu. Saat hitungan mundur berakhir, dia akan melenyapkan nyawa seseorang."
Jemari Wu Xie menjadi dingin, dan hembusan angin pun terasa lebih kencang.
"Melenyapkan Hanni?" Suaranya bergetar.
Jeda lagi, tegang dan hampa.
"Bukan," desis Zhang Qiling.
"Dia bertekad untuk melenyapkanmu."
"Apa??"
Sepasang mata Wu Xie menyipit dalam upaya mengendalikan rasa terkejut. Saat itu juga, kerlip cahaya di permukaan sungai menjadi kacau dan terdistorsi. Seperti pikirannya malam ini.
Dear reader, please vote and comment if you like this Pingxie ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro