Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15 : The Guest

Hari berlalu, siang dan malam datang silih berganti. Musim gugur akan pergi dan bekunya salju tak lama lagi akan menghampiri. Waktu melakukan peranannya dengan baik, dan kesedihan serta perasaan terguncang yang dirasakan Wu Xie atas kematian Hanni perlahan menghilang. Ekspresi menerawang yang dia miliki di kafe ada di wajahnya sepanjang waktu. Namun sekarang, bukan lagi memikirkan tentang masa lalu, melainkan sosok lain yang akhir-akhir ini kian mengusik hati.

Zhang Qiling tidak kunjung mampir ke kafenya, sudah hampir satu pekan berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu. Ada perasaan sepi yang aneh, ada kesedihan menyelimuti hati, dan hal-hal itulah yang membuat Wu Xie melamun dengan tatapan kosong, seolah tambatan terakhirnya ke kenyataan akhirnya putus dan dia hanyut.

"Nah, kau melamun lagi?" Pangzi sengaja mengeraskan suaranya untuk mengatasi alunan musik yang memenuhi udara dalam kafe. Dia bermaksud mengejutkan kawannya yang tengah duduk bengong di meja dekat patio. Sayangnya, meskipun suara Pangzi sangat berisik dan sember, pemuda imut itu tampak tidak terlalu terkejut. Sebaliknya dia hanya menoleh, menatap si gendut dengan mata yang berkedip-kedip.

"Bisnis sepi hari ini," lanjut Pangzi, menarik kursi di depan Wu Xie dan duduk meneliti wajah kawannya yang masih linglung.

"Aku memaklumi jika kau melamun karena memikirkan bisnis, tapi situasi semacam ini adalah hal yang wajar. Kau tahu itu lebih baik dariku."

Wu Xie tidak menjawab, masih mengawasi Pangzi dengan pandangan sulit dijelaskan. Hal itu membuat Pangzi merasa geli sekaligus merinding.

"Hei, tatapanmu membuatku malu," ia memprotes sambil memasang tampang cemberut. Menggoyangkan tangan gemuknya di depan wajah Wu Xie, ia berharap pemuda itu segera tersadar dari lamunannya yang tak masuk akal.

"Boss, kau mendengarku? Ini aku Pangzi. Ha! Kau menatapku penuh kekaguman seolah-olah aku orang lain."

Kali ini Wu Xie lumayan terkesiap. Ekspresinya berangsur-angsur berubah, dari kosong menjadi ngeri.

"Mengapa bisa kau?!" protesnya, lagi-lagi mengedipkan mata cepat.

"Aahh, kau pemuda yang menakutkan," desis Pangzi tidak paham. "Aku duduk di depanmu dan kau membayangkan orang lain. Kau mengagumi ketampananku atau linglung karena masih tidak bisa merelakan Hanni?"

Pangzi mengira bahwa lamunan Wu Xie masih berputar di sekitar tunangan yang telah tiada, dan itu jelas keliru.

Wu Xie cemberut. Perlahan tersadar dari imajinasi yang hanya diketahuinya. Menggeleng-gelengkan kepala sekilas, ia menghela napas dan berkata, "Tidak ada Hanni lagi. Setiap hari perasaanku padanya sedikit lebih berkurang, sedikit demi sedikit, tiba-tiba menghilang. Alih-alih menyebabkan rasa frustasi, emosi yang bergelora di awal tampaknya perlahan berubah menjadi transparan, menghilang sampai dia hanyalah bayangan, gangguan di udara, dan kemudian tidak ada apa-apa, hilang begitu saja."

Wu Xie melemparkan pandang ke barisan pot bunga yang mendekorasi bagian patio. Ekspresinya nampak pahit, kemudian berubah datar, dan berakhir dengan senyuman di wajahnya yang tampan.

"Keren sekali. Itu baru Bossku! Lagipula cepat atau lambat kau harus bangkit dan terus bergerak maju. Aku akan terus mendukungmu."
Pangzi terkekeh parau kemudian melanjutkan dalam suara rendah,
"Jika kau membutuhkan seorang pacar baru, katakan saja. Aku memiliki akses pada banyak gadis cantik. Kau tidak akan percaya ini."

Wu Xie menatap nanar pada Pangzi yang menyeringai. Desahan bosan lolos dari bibirnya, ia tidak memikirkan hal semacam itu sejak ia mulai merindukan kehadiran Zhang Qiling dan sorot mata tegas sekaligus lembut, yang penuh keteguhan dan menjanjikan perlindungan.

"Ide buruk," komentarnya.

"Kau yakin?"

"Sudahlah!"

"Huh, kau tidak sayang dengan wajah tampanmu? Menjadi single memang seru, tapi sewaktu-waktu bisa jadi menyedihkan. Seperti aku."
Suara Pangzi tiba-tiba menjadi tidak jelas seperti radio yang volumenya mengecil, meliuk-liuk kemudian mati.

"Jadi siapa sebenarnya yang lebih menyedihkan?" Wu Xie menatapnya terheran-heran.
Denting gelas dan pisin, lantunan musik dan percakapan pengunjung tumpang tindih dengan suara langkah kaki berat yang memasuki kafe. Saat itu posisi Wu Xie memungkinkan dirinya melihat langsung siapa yang keluar masuk. Meski dari kejauhan, dia bisa mengenali siapa tamu yang datang.
Aha! Ini kejutan!

Xiao ge ...

Dia terlalu gembira hingga setengah gelisah dan tidak sanggup mengatakan nama itu. Hanya ekspresinya yang berubah. Seketika sepasang matanya bercahaya dan Pangzi menyadari itu.

"Apa yang kau lihat? Apa ada aktor terkenal mampir kemari?" celoteh Pangzi. Tidak menunggu jawaban Wu Xie, dia menoleh ke arah pintu utama dan melihat sosok pemuda tinggi dengan setelan hitam dan kontras dengan wajah putih pucat, datar tanpa ekspresi.

Di matanya, tamu itu adalah tipe pria yang tampaknya memiliki versi dirinya yang berusia dua puluh tahun ditumpangkan di atasnya, dan ia bisa membayangkan dia orang yang arogan diperkuat dengan rahang menajam, rambut hitam legam, dan sudut bibir mengukir seringai angkuh.

"Huh, kau mengagumi orang itu? Dia persis diriku sewaktu muda," desis Pangzi, ikut-ikutan melebarkan mata.
"Kau harus waspada."

"Apa pedulimu?" protes Wu Xie.

"Ada sesuatu tentang auranya yang berbahaya, tapi sulit ditolak. Hmmm, bukankah itu tamu yang pernah datang ke sini."

Mengabaikan ocehan Pangzi, Wu Xie melambaikan tangan pada tamu yang baru masuk.

"Xiao ge!" panggilnya, terlalu antusias hingga suaranya bergetar.

"Heh, kalian sudah berkenalan?" Pangzi bergumam, dengan tatapan mata penuh curiga, mengamati pergerakan pemuda tampan itu yang berjalan menuju mereka.

"Nah, kenalkan, ini detektif Zhang, aku memanggilnya Xiao ge."
Wu Xie melirik Pangzi, lantas melempar senyum pada pemuda yang baru datang.

"Oh, jadi ini ... " Dengan mulut terbuka, wajah Pangzi terlihat jelek dan kebingungan.

"Dia yang selama ini mampir kemari, bukan? Detektif Zhang, apa Anda diam-diam menyelidiki Wu Xie?" Tatapan Pangzi menuduh, tapi berubah cepat menjadi sungkan, terlebih saat dilihatnya Wu Xie mengernyit ganas.

"Jangan mengoceh," desisnya.

Pangzi menggaruk sisi kepala, masih meneliti sang detektif. Setelah mengangguk ringan padanya, dia duduk di dekat Wu Xie.

"Dia Pangzi, sahabatku," Wu Xie berkata singkat, seakan-akan perkenalan ini sama sekali tidak penting. Detik berikutnya ia sibuk memanggil pelayan dan memesan.

"Kau ingin pesan apa? Aku akan mentraktirmu," Wu Xie berkata riang gembira.

"Hei, Boss. Jangan begini, kau bisa jatuh miskin," protes Pangzi.

"Diamlah. Kau hanya iri."

"Apa? Aku berjuang di sisimu siang dan malam, tapi kau tak pernah sebahagia ini mengeluarkan uang untukku."

"Ada aku di sisimu, pemuda keren dan tampan, juga sukses. Dengar gendut, para gadis bersedia membunuh untuk bertukar posisi denganmu." Wu Xie terkekeh, bangga dengan bualan kosongnya.

"Hish, baru beberapa menit lalu kau bersikap seperti single kesepian. Sekarang tiba-tiba besar kepala. Nyatanya tak ada gadis yang mendekatimu."

Wu Xie mengabaikan ocehan Pangzi dan kembali tertawa.

Beberapa menit kemudian pesanan makanan dan minuman tiba di meja. Melihat banyaknya jenis makanan dan menaksir harga, terlihat jelas ekpresi Pangzi yang mirip korban perampokan.

"Astaga, Naif ... "

"Kau boleh ikut makan," Wu Xie memutuskan untuk menghindari konflik berkepanjangan.

"Nah, ini baru benar."

Tawa Pangzi membuat Zhang Qiling meliriknya, dan Pangzi menyadari itu. Dia balas menatap, memicingkan mata sejenak, bersikap seolah-olah dia seorang cenayang yang tengah menerawang. Mereka makan dan minum, bicara tentang topik ringan, dan tidak lebih dari itu. Seperti biasa, Zhang Qiling tidak banyak bicara, juga tidak menunjukkan jenis ekspresi berlebihan. Namun selama pembicaraan, Pangzi tidak bisa berhenti mengamatinya.

Sebenarnya Zhang Qiling menyadari bagaimana cara si gendut menatapnya, tapi dia mengabaikannya dan bersikap senormal mungkin. Lalu Pangzi mulai mengoceh, "Xiao ge, apa kau senang dengan sambutan Wu Xie hari ini?"

Zhang Qiling menoleh padanya, menatap si gendut dengan ekspresi datar pada awalnya, tapi berhasil mengukir senyum kaku sedetik kemudian. "Lumayan," ia menjawab.

"Oh, sudah kuduga." Pangzi mencibir tipis.

"Jika sudah tahu, mengapa kau masih bertanya, gendut?" sela Wu Xie, tatapannya tampak tidak setuju dengan cara Pangzi bicara pada sang tamu.

"Hanya memastikan. Uh, mengapa kau sensitif sekali terkait Xiao ge. Kalian baru berkenalan kurang dari satu bulan, tapi cara kalian berkomunikasi sudah seperti sepasang kekasih." Tanpa merasa bersalah, si gendut menyeringai lalu berpaling pada Zhang Qiling.
"Bahkan sejak tadi kuperhatikan, caramu memandang Wu Xie sangat dalam dan penuh kekaguman."

"Berhenti mengoceh, atau kupotong gajimu." Tiba-tiba Wu Xie merasa malu dan salah tingkah hingga merasa perlu pura-pura marah pada Pangzi untuk menutupi perubahan wajahnya.

"Huh, kau bahkan boleh memotong telingaku. Tapi biarkan aku bicara sesuka hati. Nah, Xiao ge, aku tebak kau sudah menyukai Wu Xie sejak lama, bukan?"

"Heh?" Wu Xie menembakkan lirikan galak.

Ditanya seperti itu, dengan gaya serius dan sorot mata menyelidik persis preman jalanan menarik pungutan liar, Zhang Qiling pura-pura tidak paham dan hanya balas menatap Pangzi. Namun tentu saja pandangan yang mendebarkan miliknya tidak berpengaruh pada Pangzi, karena si gendut tidak memiliki persamaan kimia dengannya. Jadi ia hanya terbatuk kecil, dan memutuskan tidak menjawab.

"Lihat, kau membuat Xiao ge kesal. Lagi pula untuk apa kau tanyakan hal konyol semacam itu. Semua orang menyukaiku. Baik pria maupun wanita. Kau sendiri yang mengatakan itu sebelumnya," protes Wu Xie.

"Tapi buktinya sekarang kau masih belum bisa mendapatkan pengganti Hanni." Pangzi mencibir lagi, menunjukkan ekspresi yang paling jelek.

"Ah, sudahlah. Mengapa kau jadi meributkan hal tidak penting."

Dengan kesal, Wu Xie meneguk kopinya. Terlalu bingung untuk mengatakan apa pun, akhirnya Zhang Qiling berdiri dan permisi untuk pergi ke toilet. Pangzi mengamati setiap langkah pemuda itu hingga punggungnya lenyap di koridor yang berbelok.

"Sssstt, naif ... " dia mulai kasak kusuk, kali ini dengan wajah dicondongkan ke arah Wu Xie.

"Apa?" tanya Wu Xie curiga.

"Sedekat apa hubungan kalian?"

"Hanya sebatas detektif dan klien. Bisa sedekat apa?" Wu Xie setengah menggerutu, entah pada siapa.

"Firasatku mengatakan dia menyukaimu lebih dari itu." Pangzi menyipitkan mata, seyakin kata-kata dukun penipu yang sering Wu Xie liat di festival tahunan.

Sebenarnya Wu Xie tidak percaya sama sekali pada firasat Pangzi. Dia melirik sinis pada si gendut sambil menggelengkan kepala. Namun rasa penasaran tiba-tiba menyeruak dengan cepat, lebih dari yang ia duga.

"Katakan dengan jelas," ia mendesis, tentu saja tidak menunjukkan sepenuhnya bahwa ia tertarik dengan topik yang diangkat Pangzi.

"Aku mengamati cara dia memandangmu. Entah mengapa, aku yakin dia menyukaimu, bahkan bisa jadi memujamu."

"Omong kosong. Jangan sok tahu!"

Pangzi mendecakkan lidah.
"Ini hasil pengalaman selama bertahun-tahun mengawasi orang pacaran."

Astaga, gigih sekali sobatnya yang satu ini, demikian Wu Xie berpikir diiringi tatapan tercengang. Dia tidak bisa mengatakan bahwa ia senang jika apa yang dikatakan Pangzi berubah dari asumsi menjadi fakta. Dia juga tidak menunjukkan antusiasme yang luar biasa, karena pada kenyataannya, dia masih tidak tahu apa-apa.

"Lalu apa yang kau dapatkan dari kesimpulanmu yang hebat itu?" tanya Wu Xie, bersandar dan melipat kedua lengan di depan dada.

"Tidak ada." Kali ini ekspresi baru muncul di wajah Pangzi. Muram, dia menggigit sudut bibirnya.
"Aku hanya merasakan energi dan auranya yang kuat. Bagaimana kalau aku menyelidikinya diam-diam?"

Wu Xie melebarkan mata, ingin tertawa keras tapi menahannya karena ada seorang tamu lain di meja terdekat.

"Pria sembrono sepertimu ingin menyelidiki seorang detektif swasta? Astaga, jadi sebenarnya siapa detektif sungguhan? Dengar, tubuhmu terlalu besar hingga bayanganmu saja sulit disembunyikan. Bagaimana bisa mengintai seseorang seperti Xiao ge?"

Kali ini Pangzi tidak berkutik, hanya menampilkan wajah cemberut di bawah tatapan Wu Xie yang meremehkan.
"Jangan remehkan aku. Walaupun gendut dan berisik, aku tidak senaif dirimu." Dia mengangkat telunjuk untuk menekan pelipisnya sendiri.

"Dasar kau!" Wu Xie memutar bola mata seolah-olah dia tidak peduli.

Pangzi menoleh ke arah di mana Zhang Qiling menghilang, tak ada tanda pemuda itu akan kembali dalam waktu dekat.

Jauh di dalam ruangan toilet pria, Zhang Qiling berdiri di depan cermin setelah mencuci tangannya di wastafel. Ada kaca rias besar terpasang di hadapannya, mau tak mau membuatnya menatap pada bayangan wajahnya sendiri. Dia terpaku dengan ekspresi sedingin es. Bahkan ia sendiri pun bisa merasakan dinginnya aura pantulan wajah di cermin. Namun sorot matanya sedikit lebih hidup dan sarat kelegaan. Entah perasaan apa yang menguasainya saat ini, yang pasti tidak lagi ada mendung gelap di hidupnya. Bahkan dia memiliki firasat baik bahwa es dalam dirinya sebentar lagi akan mencair. Dia memejamkan mata sejenak, pikirannya melayang ke ruangan utama, pada wajah Wu Xie yang penuh senyuman sepanjang sisa siang ini. Wajah tampan dan pribadi menyenangkan. Nampaknya dia memang layak diperjuangkan meski dengan resiko terberat. Dia tidak tahu seberapa lama waktu yang akan dijalani hanya untuk hubungan profesional, atau paling mungkin---menjadi teman, dan seberapa berani ia menyatakan perasaan. Sejauh ini, respon Wu Xie padanya sangat baik. Entah besok atau lusa. Tapi itu akan dia pikirkan nanti. Sekarang saatnya menuntaskan penyelidikan.

Di dalam ruangan, Pangzi kasak kusuk lagi, mengabaikan tatapan Wu Xie yang mulai gusar.

"Kau sama sekali tidak curiga?" tanyanya, lebih serius dari sebelumnya.

"Curiga pada siapa?"

"Detektif-mu itu."

"Mengapa aku harus curiga padanya?"

"Kau sudah tahu sekarang kalau dia pernah beberapa kali mengunjungi kafe ini. Tanpa tegur sapa. Seakan-akan dia memang ingin dirinya transparan. Siapa yang tahu bahwa selama ini dia menguntitmu."

Wu Xie menatap Pangzi seolah-olah sahabatnya itu sudah kerasukan.

"Mengapa imajinasimu liar sekali?" gumamnya tidak paham.

"Bukan imajinasiku yang liar, tapi imajinasimu yang pas-pasan. Coba pikirkan, jika dugaanku benar bahwa Xiao ge menyukaimu, mungkin itu sudah dilakukannya sejak lama."

"Bagaimana bisa seseorang menyukai orang lain hanya dengan mengawasi diam-diam?"

Pertanyaan naif itu dilontarkan dengan ekspresi yang sama naifnya. Seketika Pangzi membuang napas keras.

"Astaga, Wu Xie ... kau sungguh melelahkan."

"Apakah aku semenarik itu?" Tidak peduli kekesalan Pangzi, ia mengedip-ngedipkan mata untuk menggoda sahabatnya.

"Terserah!" Pangzi memicingkan mata lagi, mulutnya terkatup rapat hingga terlihat hanya segaris tipis.

"Tapi aku memiliki pemikiran lain. Anggap saja asumsiku benar, coba renungkan, kau memiliki hubungan dengan Hanni. Itu yang menghalangi siapa pun untuk mendekatimu. Nah, dengan kematian tunanganmu, orang-orang yang diuntungkan adalah mereka yang menyukaimu. Salah satunya ... "

Pangzi menoleh ke arah koridor. Tak ada orang yang dia maksud di sana. Aman.

"Xiao ge .... " suaranya nyaris berbisik.

Selama beberapa waktu yang dia habiskan bersama Zhang Qiling, Wu Xie tidak pernah berpikir terlalu jauh. Hanya menikmati kebersamaan yang singkat, dan kegembiraan yang sulit dijelaskan. Menduga-duga seperti Pangzi tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Terlebih sewaktu dia merasa frustasi dengan kematian Hanni. Mendengar ocehan Pangzi kali ini, mau tak mau dia merasa merinding.

"Ya ampun, gendut. Kau butuh kopi yang lebih pahit lagi. Pikiranmu mulai kacau," desisnya ngeri, "atau mungkin kau butuh obat penstabil suasana hati. Antidepresan. Dan ya, berhenti mengamati orang pacaran."

"Heh, naif! Yang benar saja."

Pangzi merengut sementara Wu Xie mulai cemas dan merasa perlu meneguk tandas kopinya. Ada sedikit rasa pahit di bagian tegukan akhir, tapi jelas tidak sepahit mulut Pangzi, ataupun sisa kebenaran yang mungkin masih tersembunyi.

Pucat sekali, sepucat hantu. Atau ... aku memang transparan seperti hantu.

Zhang Qiling membatin, menatap bayangannya sebentar lagi kemudian menyalakan kran wastafel dan memercikkan air ke wajahnya. Dengan satu sapuan, air sejuk menyegarkan seluruh wajah dan rambut di keningnya.

Begini lebih baik, desahnya dalam hening, kemudian mengeringkan wajah dengan kertas tissue. Ada kilauan yang lebih cerah di matanya kali ini, dan kesegaran baru. Sebelum mundur dari depan cermin, dia tersenyum sekilas pada dirinya sendiri. Senyuman misterius yang melelehkan hati.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro