Part 12 : My Saviour
Angin dingin menyelinap di belakangnya dan merayap melalui celah antara kerah dan lehernya. Wu Xie menggosok hidung keras-keras, mendengus dan mengerang saat rasa sakit mencengkeram pelipis. Pengaruh alkohol merembes ke setiap bagian terjauh dari tubuhnya, mengalir bersama darah. Dia bahkan merasakan jari-jari kakinya tegang dan tidak seimbang.
Selama hidupnya yang hampir mencapai dua puluh tujuh tahun, Wu Xie jarang mabuk. Terlebih sampai mabuk berat. Bukan karena tidak penasaran, melainkan ia seorang peminum yang buruk. Dia pernah minum tiga sloki minuman keras bersama Pangzi dan Xiao Hua yang berakhir dengan tidur sepanjang hari setelah muntah-muntah. Sekali lagi ia pernah mencoba dan tersedak. Sungguh memalukan muntah pada tegukan pertama. Namun kali ini ia berhasil mengosongkan beberapa gelas, merasa hebat dan mengira akan melupakan kegundahan hatinya, dia justru terseok-seok di jalanan dengan kepala berdenyut hebat dan perut yang serasa diaduk. Wu Xie sempat linglung menemukan mobilnya, beberapa kali salah menarik pintu. Kini ia berjalan melintasi pelataran, yakin bahwa kali ini menuju arah yang benar.
Pandangannya mengabur dan berkunang-kunang hingga ia perlu mengerjapkan mata berkali-kali sebelum menyadari bahwa ada dua sosok tinggi hitam menghadang jalan.
"Hai, anak muda! Mengapa begitu terburu-buru?" Suara tak dikenal, parau dan menyemburkan aroma alkohol meluncur dari sosok di hadapan Wu Xie. Pemuda itu menghentikan langkah, terhuyung sebelum menyeimbangkan diri.
"Yah... ini sudah larut," sahutnya terbata-bata, kemudian mengarahkan telunjuknya pada dua orang itu
"Minggirlah dari jalanku. Petugas keamanan seperti kalian harusnya membantu tamu."
" .... "
Dua pria itu saling berpandangan dengan tatapan terhina.
"Tentu saja, kami akan membantumu mengamankan kendaraan, serahkan juga uang dan ponselmu!" desis salah satu dari mereka, maju selangkah, ia menjulang di depan Wu Xie bagaikan bayangan hitam yang mengancam.
"Hehh, mana ada hal seperti itu. Jangan ngawur! Ah, minggir kalian!" Wu Xie mengoceh antara sadar dan tidak. Mengibas-ngibaskan tangan pada dua orang tak dikenal.
Sekali lagi, mereka saling memberi kode, kemudian salah satunya tiba-tiba berubah melunak.
"Begini saja, Tuan tampan. Serahkan kunci mobilnya dan biarkan kami mengantarmu ke dalam."
"Uh, apa-apaan, tapi baiklah ... " diselingi cegukan, Wu Xie terhuyung lagi seraya meraba-raba saku mantelnya untuk menemukan kunci mobil. Tanpa kesadaran penuh, tangannya terulur ke arah dua pria mencurigakan itu.
Kedua pria yang menghadang sontak menyeringai keji, dan salah satu dari mereka nyaris mengambil kunci mobil Wu Xie saat sosok pemuda lain tiba di sana dengan gerakan cepat. Satu tangan pucat berkelebat di antara mereka, merebut kunci mobil yang nyaris jatuh di tangan orang tak dikenal.
"Hehh?!" Dua pria itu tersentak.
"Menyingkir!" Kali ini bukan pemuda mabuk bersuara sengau dan cegukan serta linglung, yang berdiri di hadapan dua pria asing itu kini adalah pemuda yang berbeda. Penuh kesadaran diri, memiliki aura dingin dan ganas, serta tatapan tajam penuh kebencian. Satu tangannya memegang kunci dan lengan yang lain melingkari bahu Wu Xie yang limbung. Zhang Qiling tiba di waktu yang tepat saat Wu Xie tidak sadar tengah diancam.
"Siapa kau berani ikut campur?!" hardik salah satu pria asing.
"Aku temannya. Pergi dari sini sebelum aku hajar kalian."
"Eh, bocah tengik! Berani-beraninya!"
Kedua pria asing menarik lengan baju mereka, memasang posisi waspada dan siap menyerang. "Kau mengacaukan kesenangan kami, sekarang terima seranganku!"
Dalam hitungan detik satu pukulan keras melayang ke wajah Zhang Qiling. Dia menarik mundur wajahnya, tidak kalah cepat, kaki panjangnya menghantam paha si penyerang sebelum pukulan tiba di wajahnya. Suara benturan menggema keras di kesunyian, pria itu melenguh tertahan. Terjajar selangkah, ia melayangkan tendangan balasan. Zhang Qiling memutar tubuh sambil memeluk Wu Xie, menghindari tendangan itu. Pada saat ada celah untuk menyerang, dia melayangkan tendangan tak kalah cepat.
Dugh!
"Arggh! Sialan!" umpatan meluncur dari pria itu seraya melompat mundur dengan kaki goyah dan berdenyut ngilu.
"Hajar bocah ini!" Dia menoleh pada kawannya, yang menanggapi dengan santai.
"Payah sekali dirimu, hanya melawan satu bocah kurang ajar."
Menyadari bahaya kian serius, Zhang Qiling menyipitkan mata pada lawannya. Dengan hati-hati ia melepaskan rangkulan pada bahu Wu Xie, menyandarkan tubuh lesu pemuda mabuk itu ke salah satu mobil lain.
"Wu Xie, tunggu sebentar," gumamnya. Menanggapi ucapan itu, Wu Xie hanya mengedip-ngedipkan mata, seperti anak anjing yang imut. Tidak sepenuhnya sadar akan apa yag terjadi.
"Si-siapa kau?" desisnya, mengernyitkan kening.
Geraman dari si penyerang mematahkan fokus Zhang Qiling pada Wu Xie. Menghadapi dua lawan yang marah dan menyerang secara membabi buta, Zhang Qiling harus mengerahkan kemampuan bela dirinya. Perkelahian pun tak terhindarkan di area sepi dan remang-remang itu. Suara benturan dan pekikan kesakitan mulai mengisi kesunyian sementara Wu Xie bergulat dengan sakit kepalanya.
"Ugh, apa yang ... terjadi??" ia mendesis berkali-kali, kemudian membungkuk di sisi mobil dan memuntahkan isi perutnya.
Suara-suara perkelahian masih bergema, kemudian perlahan sirna dari pendengaran Wu Xie ketika tubuhnya menggelosor ke tanah.
"Wu Xie!" satu suara memanggilnya diliputi kekhawatiran, disusul sepasang tangan menahan tubuh ringkihnya, mengangkatnya perlahan.
Dua orang pria aneh itu tampak babak belur, memutuskan untuk kabur dengan langkah terpincang-pincang.
"Sialan! Bocah itu hebat juga," gumaman geram bergema sayup-sayup saat mereka hilang dalam gelap malam.
"Sudahlah, kita kabur saja!"
Zhang Qiling membiarkan mereka lari karena menyelamatkan Wu Xie dan membawanya pulang lebih penting baginya.
"Arrggh, kepalaku," Wu Xie merintih lagi. Kepalanya terkulai di bahu Zhang Qiling. Setengah memaksa kakinya untuk bergerak, terseret-seret mengikuti langkah Zhang Qiling. Sementara satu tangannya menekan perutnya yang memberontak.
"Bertahanlah, aku akan membawamu pulang," bisik Zhang Qiling.
Wu Xie tidak menjawab. Ada bintang-bintang di kepalanya, tapi perasaannya tidak sepenuhnya tumpul. Sekelebat perasaan deja vu mendatangkan kepingan ingatan yang beterbangan secara acak, lalu satu momen terpental sekilas sebelum kembali lenyap dalam kabut.
Tubuh ini, aromanya, bagaimana ia merasakan kekuatan lengan dan juga sentuhannya. Dia ingat satu malam tergelap yang pernah dilaluinya, lebih dingin dari malam ini. Lewat tengah malam di rumah sakit Longjing. Ketika ia nyaris jatuh pingsan di lorong depan toilet, terhempas fakta akan kematian Hanni di tengah hujan badai.
"Xiao ge ... " di ujung kesadarannya yang rapuh, dia menggumamkan satu nama.
"Xiao ge, kau lagi .... "
Napasnya tersendat sejenak. Sewaktu Zhang Qiling berhasil mendudukkannya di kursi penumpang, ia pun jatuh pingsan.
✬✬✬
Tak lama kemudian Wu Xie sudah berbaring di tempat tidur dan ditutupi selimut hangat dan lembut. Ada secangkir teh lemon panas di atas meja nakas samping tempat tidur dan hawa dalam ruangan cukup hangat. Kaki dan tangannya yang dingin berangsur-angsur mencair.
"Kamu terlalu memaksakan diri," gumam Zhang Qiling, tampak khawatir. Namun Wu Xie tidak sepenuhnya tersadar, bahkan semenit berikutnya jatuh lagi dalam kegelapan pikirannya sendiri.
Dalam mimpi buruknya, lagi-lagi Wu Xie melihat beberapa ekor burung gagak. Mata mereka berkilau menatapnya penuh kebencian. Wu Xie tidak tahu di mana ia berada, dan ia sendirian. Matahari sudah rendah di langit sekarang, dan ada bayang-bayang batu nisan yang panjang dan mengancam. Angin bertiup lebih kencang, dan Wu Xie pikir ia akan mati kedinginan di pekuburan.
"Tolong biarkan aku hidup tenang, Hanni," dia memohon, menceracau dalam ketidaksadaran.
"Wu Xie ... " satu suara menerobos masuk, mengacaukan mimpi buruknya.
"Wu Xie, sadarlah ... " Hembusan napas hangat menyapu wajahnya, dan Wu Xie berhasil keluar dari pekuburan dalam mimpinya.
Saat ia tersadar, napasnya terengah-engah. Bayangan mimpi itu berputar di otaknya setajam pisau dan menyakitkan.
"Di mana aku?" adalah kalimat pertama yang berhasil dia ucapkan dengan susah payah. Ruangan tempatnya berada terlihat asing. Dia sama sekali belum pernah melihatnya.
"Akhirnya kau sadar." Zhang Qiling berdiri di dekat kaki tempat tidur, mengamati wajah pucatnya.
Selarik sinar matahari menembus jendela, jatuh di atas selimut lembut berwarna biru tua. Pandangannya masih belum jelas tapi bisa dilihatnya sosok Zhang Qiling datang mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, tanpa mengubah ekpresi.
"Arghh, kepalaku masih sakit," keluh Wu Xie. Dia mencoba duduk dengan bersandar di kepala tempat tidur. Kedua tangan Zhang Qiling dengan sigap membantu memegangi bahunya, memastikan Wu Xie duduk dengan nyaman. Rambut pemuda itu berantakan dan poninya yang kusut menutup separuh kening. Wu Xie mirip anak kecil kebingungan yang tersesat dan lupa di mana ia menginap.
"Teh lemon ini akan membantu menetralkan pengaruh alkoholnya." Zhang Qiling meraih cangkir berisi teh hangat, membantu Wu Xie meneguknya sedikit demi sedikit.
"Terima kasih, Xiao ge," ucap Wu Xie, cukup terkejut dengan perhatian Zhang Qiling. Diamatinya pemuda itu untuk waktu yang lama sementara yang ditatap sibuk meletakkan cangkir dan menatap selimut. Kecanggungan yang menjengkelkan itu akhirnya berakhir saat Zhang Qiling mengangkat pandangan dan menyelidiki Wu Xie.
"Bagaimana kau bisa sampai mabuk di jalanan seperti semalam?" ia menghela napas, tidak paham.
Saat mencari kata-kata yang tepat, Wu Xie menggaruk dagunya, mengangkat bahu.
"Naluri orang frustasi. Mungkin itu penjelasan yang cocok untukku."
"Frustasi?"
Wu Xie mengusap wajahnya sekilas, menyembunyikan kepahitan yang terpancar lewat mata.
"Dia melakukannya," ia mendesah berat. Menghela napas panjang berulangkali seraya menahan denyutan di kepala. Zhang Qiling terdiam menunggu kelanjutan kalimatnya, hanya menatap dengan beku, seperti biasa.
"Hanni ... dia membohongiku selama beberapa bulan terakhir. Buku harian yang kau berikan berisi luapan emosi yang mengerikan untuk kubaca."
"Kau frustasi karena dia mencintai orang lain, atau karena dia berhasil menipumu?"
Wu Xie menggeleng lesu. "Aku tidak tahu. Mungkin keduanya."
"Dan kau mabuk berat hanya karena itu?" pertanyaan itu bernada mengejek, seolah-olah dengan cara itu Zhang Qiling ingin mengatakan bahwa Wu Xie pemuda yang lemah dan cengeng.
"Aku bisa apa lagi?" dia mencibir tipis lantas cemberut mirip bocah yang merajuk, memohon orang lain untuk memahami kebodohannya.
"Aku sudah memperingatkanmu di awal bahwa kebenaran mungkin akan menyakitkan. Namun kau bersikeras mencari jawaban dari banyak pertanyaanmu."
"Yah, aku tahu. Ini hanya kegilaan sesaat."
"Ternyata kau begitu sedih mengetahui hal itu." Zhang Qiling melemparkan tatapan keluar jendela, ada riak di permukaan matanya, seperti dia tengah menyembunyikan satu hal yang tidak menyenangkan.
Menundukkan wajahnya sejenak, Wu Xie menjawab lemas, "Dia pergi dengan cara tragis, meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab. Jujur saja setelah mengetahui segalanya, aku tidak membencinya, juga tidak terlalu bersedih. Aku hanya ... kosong."
"Mustahil kau tidak cemburu atau tidak membencinya."
"Ini benar, Xiao ge. Seandainya aku tahu lebih awal bahwa Hanni mencintai orang lain, mungkin aku akan mengerti dan membiarkannya pergi. Tapi bagaimana aku memahami sebuah kebisuan?"
"Itu artinya ... " Zhang Qiling menjeda, menyortir kata-kata yang tepat.
"Kau tidak mencintai tunanganmu. Rasa cinta dan cemburu tidak bisa dipisahkan, dan akan diiringi satu emosi lain yang sama kuatnya, yaitu kebencian. Jika kau tidak merasakan itu, mungkin selama ini kau tidak mencintai tunanganmu. Kalian bersama karena terbiasa, dan menganggap bahwa persahabatan adalah cinta. Mungkin itu yang sebenarnya terjadi di antara kalian."
Wu Xie tertegun, meremas jemarinya dengan gelisah. Perlahan-lahan wajahnya memucat dan rasa sakit di pelipis mencengkram lebih kuat.
"Ada yang salah dengan ucapanku?" tegas Zhang Qiling, tanpa rasa menyesal karena telah bicara begitu frontal di hadapan seorang kekasih yang baru saja dikhianati.
"Uh, ti-dak. Kupikir kau benar. Aku... aku terlalu naif dalam menjalani hubungan ini."
"Kau bukan naif. Hanya terlalu baik hati." Kini ada percikan hangat di mata Zhang Qiling, seperti sedang berusaha menggodanya, tapi itu tidak lucu sama sekali.
"Hmmm, hampir serupa. Pangzi sering meledekku seperti itu." Wu Xie meringis.
"Kau sudah menyadarinya. Memang butuh waktu untuk memulihkan hati yang porak poranda. Namun setidaknya kau akan lebih kuat menghadapi kebenaran yang lainnya."
"Kebenaran apa lagi?" desis Wu Xie ngeri. "Satu kebenaran saja sudah melelahkan."
"Masih akan ada lagi. Itu resiko yang harus kau tanggung karena meminta jasa detektif swasta."
"Hmm, seberapa banyak yang kau ketahui?"
Zhang Qiling menyeringai misterius.
"Lebih banyak darimu."
Dia berdiri dari tepi ranjang, berjalan menuju jendela. Langit biru cerah pagi ini, tapi angin masih dingin. Ada suara kesibukan di jalanan, sepertinya perbincangan bibi pemilik kedai dengan seseorang. Wu Xie mengumpulkan fokusnya hingga benar-benar bisa memahami di mana ia berada dan mengapa.
"Xiao ge, kau tinggal sendirian di rumah ini?" tanyanya hati-hati.
Zhang Qiling mengangguk, tak ada niat untuk menjelaskan alasannya, dan Wu Xie pun tidak berani untuk banyak bertanya, tidak untuk saat ini.
"Ngomong-ngomong, terima kasih atas pertolonganmu semalam. Jika kau tidak tiba tepat waktu-"
"Tindakanmu sangat berbahaya," Zhang Qiling menukas, masih memunggungi Wu Xie hingga ia tidak tahu seperti apa ekspresinya.
"Jangan bertingkah konyol lagi. Kau tidak pernah tahu bahaya apa yang akan mengancam jika mabuk-mabukan di tengah malam, sendiri di malam hari."
Peringatan itu membuat Wu Xie menggigit tepi lidahnya. Merasa tolol dan tidak berguna.
"Aku berjanji," ia berkata tidak yakin.
"Tapi, mengapa kau bawa aku kemari?"
Kali ini Zhang Qiling memutar bahu tegapnya dan menatap Wu Xie.
"Lalu, ke mana aku harus membawamu?"
"Ah, ya ... benar juga," Wu Xie menyahut bodoh, membuat Zhang Qiling menghela napas.
"Satu hal lagi, bagaimana kau tahu aku ada di Lucca's Bar dan tiba di waktu yang tepat, saat dua petugas keamanan itu menggangguku?"
"Mereka preman, bukan petugas keamanan," ralat Zhang Qiling.
"Ya, itu maksudku." Wu Xie tidak terima bahwa ia keliru.
"Apa kau kebetulan ada di sana?"
Tak ada jawaban.
"Atau kau mengikutiku dan menyelinap di belakangku sepanjang malam?" Wu Xie menutup mulutnya yang mengoceh tak karuan.
Zhang Qiling masih terdiam, menumbuhkan banyak spekulasi di benak Wu Xie.
"Hmm, jangan-jangan kau memang menguntitku, mengawasi pergerakanku sepanjang waktu. Apa kau sangat mencemaskan aku?"
"Aku detektif, bukan penguntit," sergah Zhang Qiling, lumayan dongkol. Keningnya berkerut serius.
"Bukannya ada kemiripan di antara keduanya? Detektif mengawasi kriminal dan penguntit mengawasi idolanya. Atau mungkin lebih tepatnya kau seorang fanboy." Wu Xie semakin melantur, efek kejadian demi kejadian mengejutkan sepanjang dua puluh empat jam.
"Fanboy?" Zhang Qiling bengong.
"Ah, sulit menjelaskannya pada pemuda kaku sepertimu. Lagipula jika benar pun, kau tidak akan mengaku."
" .... "
Wu Xie terkekeh ringan, kemudian saat udara pagi mulai hangat, ia merasakan pakaiannya lengket dan tidak nyaman. Menggerakkan kedua kakinya, ia berniat turun dari tempat tidur dan menyegarkan diri.
"Hati-hati, Wu Xie." Zhang Qiling bergerak cepat ke sampingnya, membantu pemuda itu turun dan berdiri tegak.
"Tolong, aku ingin mandi. Di mana kamar mandinya?" pinta Wu Xie.
"Biar kuantar." Zhang Qiling memapahnya melintasi kamar menuju satu pintu.
"Cukup tunjukkan kamar mandinya, tidak usah membantuku mandi," kekeh Wu Xie tidak tahu malu.
" ..??.. "
Ketika hanya selangkah lagi ke depan pintu kayu di satu sisi ruangan, kaki Wu Xie menjadi goyah dan dengan sengaja, ia menyandarkan punggung ke dinding sementara tangannya menarik bahu Zhang Qiling. Jarak wajah keduanya sangat dekat dalam sekejap. Detektif itu menatap tertegun, tidak menduga pergerakan Wu Xie. Kini pemuda yang baru sadar dari mabuk itu menatap lekat padanya, sepertinya hendak mengatakan sesuatu.
"Xiao ge," ujar Wu Xie, nyaris berbisik.
"Aroma tubuh ini, sentuhan dan peganganmu yang kuat, mengingatkan aku pada suatu waktu."
Zhang Qiling tidak menanggapi. Hanya napas keduanya saling terjalin.
Hangat menyapu wajah masing-masing.
"Malam saat kecelakaan Hanni, kau yang menolongku di rumah sakit, bukan?"
Tarikan napas lagi.
"Kau datang ke kafe, mengawasiku di tepi jalan. Lalu malam itu, kau ada di rumah sakit Longjing. Mengapa?"
Zhang Qiling mengernyit. "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" ia balas bertanya.
"Kau menguntitku, bukan? Jauh sebelum aku datang ke rumahmu." Wu Xie menebak-nebak, menunggu jawaban dengan harap harap cemas.
Sayangnya, Zhang Qiling menggeleng, meredupkan cahaya di matanya.
"Tidak."
"Lalu mengapa kau ada di rumah sakit malam itu?" Rasa kecewa menyergap cepat, saat ia ingin mendengar jawabannya adalah ya. Namun ternyata itu tidak sesuai harapan.
Zhang Qiling menyeringai tipis, menjawab dengan nada sedatar mungkin.
"Tidak ada alasan apa pun. Aku tidak menguntitmu, Wu Xie. Aku hanya---berada di sana."
✬✬✬
Please vote and comment ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro