Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11 : Midnight Wine

Hai, ini aku lagi. Sudah lama rasanya sejak aku ingin menuliskan sesuatu. Ya, ada banyak emosi yang sulit kuungkapkan, dan hanya bisa kutuangkan lewat dirimu.

Dear diary, selama ini, aku merasa berjalan di tengah padang pasir. Hari-hari terasa gersang dan sepi, bahkan saat aku berada di tengah keramaian. Aku berdoa pada langit agar menurunkan setetes hujan untukku. Kau tahu? Sejak aku berjumpa dan mengenal Kris, sejak saat itu aku merasa doaku terkabul. Kehadirannya bagaikan setetes hujan di padang pasir, menyejukan hatiku. Di lain waktu dia laksana gumpalan awan yang melindungiku dari terik matahari. Aku tidak tahu mengapa dia begitu berbeda. Walaupun kenyataannya aku memiliki hubungan dengan Wu Xie, tapi dia akan selalu bersikap seperti sahabat yang baik. Dia memiliki tempat di hatiku, tapi aku tidak merasa dia menyimpanku dalam hatinya. Namun Kris berbeda. Dia mengatakan berkali-kali, bahwa dia mencintaiku, seolah dia memang ditakdirkan untukku. Satu kata yang tak pernah kudengar secara tulus dari Wu Xie. Aku mendengarnya dari mulut orang lain. Takdir memang sungguh aneh.

Dengan tangan gemetar, Wu Xie membalik halaman pertama dan melanjutkan membaca. Semakin dia jauh terserap ke dalam cerita, semakin ia tertegun dan mengepalkan jemarinya. Apa ini? Novel macam apa yang dia tengah baca? Mengapa plotnya begitu buruk?

Sepanjang malam dia duduk di sofa ruang tamunya, membaca lembar demi lembar buku harian itu. Sebagian isinya membuatnya muak, sedih, berempati tapi juga ada bagian yang sulit dia percayai. Dalam buku itu Hanni menuliskan banyak kisah yang tak pernah dia ketahui. Lebih buruknya lagi, dirinya bukan pemeran utama kisah tersebut, melainkan sosok pria asing bernama Kris. Bagaimana kisah mereka terjalin dan mengapa alasannya. Di situ Hanni mengungkapkan kekecewaan yang begitu dalam terhadap dirinya, juga kekosongan yang mengerikan selama bertahun-tahun bersamanya.

Apa yang salah dengan hubungannya selama ini?

Wu Xie menutup lembar terakhir, memejamkan mata rapat-rapat. Keheningan ruangan membantunya berpikir lebih jernih, meski ia akui itu sangat sulit. Beberapa momen yang pernah dia lewati bersama Hanni tergambar kembali. Sebagian samar sebagian jelas. Namun di antara kepingan itu, banyak di antaranya berisi kebersamaan mereka bersama Pangzi, maupun teman yang lain.

Ya, mungkin benar kata Hanni. Dirinya adalah sahabat yang baik. Bukan kekasih yang baik. Hanya sahabat. Dia bahkan tidak pernah mendengarkan keinginan Hanni yang sederhana seperti berkeliling dengan mobil van dan berkemah di alam terbuka. Tetapi apakah persahabatan tidak cukup menjadi dasar untuk dua orang tetap bersama?

Ada banyak hal yang harus dia renungkan. Namun sepintas, jujur saja, dirinya terguncang oleh isi buku harian itu. Semua emosi bercampur aduk dalam dirinya. Tanpa sadar, Wu Xie melemparkan buku harian itu ke meja, sekasar mungkin, seperti cara Hanni mencampakkan dirinya keluar dari hidupnya.

✬✬✬

Aroma kopi vanilla menyambut indera penciuman Wu Xie ketika dia melangkah masuk ke Hanni's Breakfast. Langkah tergesa dan wajah muram seketika memberitahukan pada semua karyawan dan juga Pangzi bahwa suasana hatinya sedang buruk. Saat itu pukul sembilan pagi dan kafe baru akan siap beroperasi setengah jam lagi. Masih ada waktu untuk marah-marah sebelum pengunjung mulai memenuhi tempat itu.

"Pangzi, aku tunggu di ruanganku," ujar Wu Xie dengan wajah cemberut.

Yang diajak bicara nampak sedang berdiri dekat mesin pembuat kopi dan seorang barista. Tercengang sesaat, Pangzi merasa bahwa akan ada drama lagi.

"Boss nampak kesal," bisik barista padanya. "Dia pasti akan mengomel. Jiayou, Pak!"

Pangzi menyipitkan mata pada si barista yang melemparkan senyuman keji padanya.

"Yang benar saja," ia mendesah.

"Cepat. Kalau tidak, Bos akan langsung memikirkan untuk memotong gajimu."

"Astaga, ini masih pagi."

Tak urung Pangzi beranjak dari samping si barista kemudian menuju kantor Wu Xie.

"Ini pagi yang cerah, tapi wajahmu segelap malam hari. Ada apa, Bossku?" Pangzi bertanya santai saat menjulurkan lehernya dari balik pintu kantor.

"Masuklah," perintah Wu Xie seraya melirik tanpa emosi.

Apa lagi sekarang? Dramatis sekali hidup pemuda ini, batin Pangzi, geleng-geleng kepala.

Dia duduk di sofa disusul Wu Xie yang mengambil tempat di hadapannya, kemudian ia melempar sesuatu ke atas meja kaca.

"Lihat ini!" katanya dingin.

Pangzi bengong sesaat. Benda yang dilempar Wu Xie adalah sebuah buku catatan yang imut.

"Apa ini?" dia menatap, dengan ragu tangannya terulur mengambil buku itu.

"Buku harian Hanni." Wu Xie menyandarkan punggungnya yang lesu.

Melirik wajah pucat dan kurang tidur pemuda di hadapannya, Pangzi mencibir lantas mulai membuka-buka lembaran buku harian itu.

"Astaga, Wu Xie. Ini pribadi. Bagaimana bisa kau membacanya bahkan membaginya denganku. Kalau Hanni masih hidup, dia—"

"Dia sudah mati. Ingat itu," dengus Wu Xie. "Kalau kau masih merasa bersalah karena membuka buku hariannya, kau boleh datang ke kuburnya untuk minta izin."

Pangzi menatap sahabatnya dengan pandangan ngeri. Nampaknya dia memendam kekesalan yang besar dan sangat mengganggu hingga kata-kata tajam itu mengalir begitu saja.

"Oke, katakan saja padaku garis besarnya. Aku malas membaca." Meskipun berkata begitu, Pangzi masih membuka-buka lembaran buku dengan cepat tanpa berniat membaca secara detail.

"Fuhhh!" Wu Xie mendongak sejenak, menatap langit-langit sambil membuang udara. Otaknya memfilter beberapa kata yang sederhana dan tidak terlalu kasar. Namun yang meluncur dari bibirnya berbeda.

"Ternyata Hanni memiliki hubungan gelap dengan pria bernama Kris, hampir tujuh bulan lamanya."

"Hah? Kau serius?" Wajah Pangzi terlihat sangat jelek dengan ekspresi kagetnya, yang membuat Wu Xie semakin jengkel.

"Terserah kau mau percaya atau tidak!" tukas Wu Xie galak.

"Ugh! Oke! Oke! Tapi apa alasannya?"

"Jawabannya ada di buku harian itu. Hanni menulis bahwa aku bukan kekasih yang baik."

"Oh tidak! Itu tidak benar!" Pangzi menggeleng tidak setuju.
"Kau pemuda yang manis, menyenangkan, dermawan, dan baik hati. Bahkan terlalu baik hati, cenderung naif hingga bisa dibohongi semudah ini."

"Kau memujiku atau menghinaku?" Wu Xie mendelik.

Pangzi menampar pelan mulut lancangnya. "Tentu saja memujimu. Untuk apa aku menghina boss sendiri, bisa-bisa kau memotong gajiku."

Wu Xie melemparkan lirikan malas pada sahabatnya. Dilihatnya Pangzi masih membuka-buka lembaran buku sambil menggumam tidak jelas. Ketika tiba di bagian paling akhir, ia melihat satu baris nama beserta nomor telepon.

"Wu Xie, kau lihat ini?" Dia mengerutkan dahi, meneliti tulisan itu.

"Aku sudah lihat semuanya."

"Termasuk nama dan alamat ini?"

"Apa yang kau bicarakan?" Wu Xie melebarkan mata.

"Dokter Chen Wenjin, Monalisa Health Center." Kemudian Pangzi menyebutkan satu alamat di kawasan Pudong.

"Dokter Chen Wenjin? Hanni sama sekali tidak pernah menyebutkan nama itu."

Pangzi mencibir tipis. "Mungkin ini hanya catatan biasa, atau mungkin saja berarti sesuatu."

Wu Xie menatapnya dengan mata diselimuti tanda tanya. Dengan kedua tangan dilipat di dada, ia menatap ujung sepatunya yang mengkilap sementara benaknya memikirkan banyak kemungkinan.

"Jika kau penasaran, coba telepon saja nomornya. Hanni mencatatnya di sini."

"Tidak. Tunggu dulu, aku ... aku harus mempersiapkan diri untuk menerima kejutan yang lain."

"Kau sangat yakin ini akan menjadi kejutan," gumam Pangzi, memutar bola matanya.

"Yah, semua hal tentang Hanni sangat mengejutkan akhir-akhir ini. Aku harus melindungi jantungku yang malang." Wu Xie menekan dada kiri dengan tangannya seraya memasang muka menderita.

"Aku yakin sekarang bahwa kau harus menemui dokter. Detektif swasta tidak cocok untuk jantungmu." Pangzi menatapnya dengan prihatin. Merasa yakin bahwa sesuatu yang serius akan menimpa sahabatnya gara-gara gagasan sialan tentang menemui detektif swasta. Pilihan itu justru memicu masalah baru sekarang. Dia tidak habis pikir bagaimana Wu Xie yang optimis dan masa bodoh tiba-tiba terjebak masa lalu yang seharusnya dia lupakan.

"Yah, kau benar. Detektif itu tidak baik untuk jantungku." Wu Xie mengakui tanpa menjelaskan maksudnya lebih detail.

"Nah, sebaiknya kau berhenti menemui dia. Batalkan kerja sama kalian. Katakan saja padanya bahwa kemarin kau bertindak kacau karena terlalu berduka. Kemudian bayar jasanya sesuai pekerjaan. Selesai."

Gagasan cemerlang itu membuat Wu Xie serasa sulit bernapas. Membayangkan dia tidak bisa menemui Zhang Qiling lagi, seketika dadanya merasa sesak. Wajahnya memucat dan napasnya tersendat-sendat.

"Wu Xie, hei ... astaga! Ada apa denganmu?" Pangzi mencondongkan wajahnya ke arah Wu Xie yang tampak tegang dalam duduknya.

"Demi dewa, membicarakannya saja sudah membuatmu tidak sehat. Jika aku bertemu dengannya, akan kubuat ia merasakan tinjuku yang keras," Pangzi komat kamit, mengamati kondisi Wu Xie dengan cemas.

"Tidak ... aku tidak apa-apa." Akhirnya Wu Xie berhasil mengendalikan diri. Mengatur napasnya, perlahan-lahan berubah lebih santai.

"Jadi bagaimana dengan saranku? Putuskan saja kerja sama kalian." Pangzi menegaskan.

"Tidak!" Wu Xie membantah, terlalu tegas hingga membuat Pangzi terlonjak.

"Ishh! Tidak perlu berteriak."

"Pokoknya tidak. Aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai."

"Tapi kau bilang—"

"Aku berbohong. Semua akan baik-baik saja. Termasuk jantungku."
Wu Xie memasang wajah kaku yang sulit dibantah. Sifat keras kepalanya kumat lagi.

"Terserahlah."

Pangzi mengangkat bahu dengan pasrah. "Lalu bagaimana dengan Dokter Chen? Apakah kau akan menemuinya?"

Wu Xie terdiam. Mempertimbangkan apakah ia harus pergi sendiri atau meminta Zhang Qiling melakukannya, dan apakah itu cukup penting. Dia membayangkan Hanni mencatat nama dan alamat dokter ini secara tergesa-gesa karena suatu kepentingan. Hmm, mungkin saja ini tak ada hubungannya dengan penyelidikan. Beberapa orang terkadang mencatat nama dan alamat secara sembarangan. Mungkin ia akan memeriksanya, tapi tidak sekarang.

"Akan kupikirkan." Akhirnya dia memutuskan.

✬✬✬

Kesibukan telah berakhir hari ini, dan Wu Xie benci harus sendiri di dalam mobil selama perjalanan pulang dan melewati malam yang sunyi bergelut dengan insomnia.

Tanpa melambaikan tangan, dia berpisah dengan Pangzi di halaman kafe. Dia berjalan perlahan melintasi taman, hampir sepi di bawah cahaya lampu jalan. Didengarnya alunan musik dari satu mobil yang tengah menepi di tepi jalan dan ia pun mulai menyenandungkan sebuah lagu sendu.

Wu Xie membayangkan Hanni sering melewati malam sendirian meski ia memiliki tunangan, kesepian seperti anak kucing yang tersesat. Dia akui jarang menjemputnya pulang kerja atau sesekali bergabung dengannya di pesta teman-temannya. Agar tidak merasa kasihan padanya, Wu Xie mengingatkan diri sendiri tentang apa yang telah dia lakukan. Hal memalukan seperti memiliki hubungan gelap. Wu Xie sungguh tak pernah membayangkan.

Yah, Hanni pantas menerima hukuman atas perbuatannya. Tapi mengapa melihatnya mati secara mengenaskan dan mengetahui kejujuran dalam tulisannya membuatnya merasa sedih dan bersalah?

Ah, sialan! Aku selalu saja cengeng, Wu Xie mengutuk diri sendiri saat dia masuk ke dalam mobilnya dan meluncur di jalanan.

Kurang dari satu jam kemudian, dia berjalan memasuki sebuah bar bernama Lucca's yang dia pilih secara acak. Malam ini ia ingin melupakan semuanya dengan hanyut dalam aliran minuman keras. Membiarkan sekejap kepenatan dan rasa frustasi itu menguap dari pikirannya. Musik menghentak keras, menggetarkan jantung dan aroma campur aduk serta lampu gemerlap menjanjikan kesenangan sesaat dunia malam yang penuh kepalsuan.

Wu Xie mengambil tempat di depan meja bar dan berteriak pada bartender, "Satu vodka dengan campuran lemon squash."

"Oke!"

Wu Xie tidak suka pesta maupun keramaian semacam ini. Namun malam ini untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman. Dia berharap jika ia mabuk nanti, situasi masih bisa dikendalikan. Ah, mengapa dia tak mengajak Pangzi? Setidaknya ia bisa terhindar dari muntah di sepatu orang lain.

"Silahkan, sir!" bartender nyaris berteriak padanya, mengatasi suasana yang hingar bingar.

"Terima kasih."

Minuman keras itu pun perlahan mengalir ke dalam tenggorokannya, menyerap ke seluruh tubuh, mengirimkan sensasi hangat. Wu Xie bertekad ingin melupakan segalanya.

✬✬✬

Please vote and comment

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro