Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10 : Diary

Adakalanya ketika kau yakin semuanya berakhir. Padahal saat itu merupakan awal.
(Louis L'Amour)

✬✬✬

Jika perubahan merupakan hal yang menakutkan, Wu Xie bisa berkata dengan jujur bahwa ia sangat tegang dan gelisah sewaktu meninggalkan rumah Zhang Qiling. Ribuan pertanyaan terus datang, menebak-nebak akan seperti apa hasil tindakannya ini nanti. Namun ia berhasil mengembalikan suasana hatinya kembali normal setelah duduk rileks memejamkan mata di dalam mobil. Suasana jalanan yang relatif tenang serta desiran angin di dedaunan membantunya meraih ketenangan. Hanya karena ia ingin memastikan kecurigaan, tidak ada alasan mengapa ia harus takut. Dengan membawa pemikiran baru itu, ia pun menghidupkan mesin dan melajukan kendaraan meninggalkan kawasan Tian Zhi Fang, untuk kembali ke kafenya. Melalui spion ia melirik rumah klasik yang baru saja ia kunjungi, kian mengecil dan hilang dari pandangan. Namun tidak dengan pesona Zhang Qiling yang meresahkan. Bayangan sosok detektif muda itu tetap tinggal di benaknya.

Wu Xie tiba di Hanni's Breakfast pada jam makan siang di saat kafe cukup ramai oleh pengunjung. Hari yang cukup panas di musim semi. Wu Xie melonggarkan dasinya dan meminta jus jeruk dengan tambahan es krim. Pangzi lumayan sibuk, hanya melihat sekilas pada sahabatnya, menduga-duga apakah moodnya sedang buruk atau tidak sepulang dari menemui detektif swasta. Dia melihat sekali lagi, tapi tidak bisa membaca ekspresinya. Sahabatnya itu nampak-rumit.

Mereka baru mendapatkan kesempatan bicara setelah rush hour mereda. Keduanya makan siang di ruangan kantor Wu Xie. Saat itu Pangzi memutuskan untuk ikut campur dalam masalah Wu Xie.

"Jadi bagaimana hasil pertemuanmu dengan detektif itu?" Pangzi duduk di sofa, mengunyah sepotong dimsum. Melihat makanan di tangan Pangzi, seketika Wu Xie teringat bagaimana detektif tampan itu menyuapinya beberapa jam lalu. Pengalaman yang aneh, unik, dan sedikit mendebarkan.

"Lumayan baik."

"Aku perhatikan suasana hatimu tidak terlalu buruk."

Wu Xie meneguk sisa jus jeruk dalam gelas. Bibirnya membentuk seringai misterius, menjadikan Pangzi terheran-heran.

"Kukira kau akan marah, tegang, atau cemas. Nampaknya tidak seburuk itu. Aku tidak perlu menghiburmu lagi." Pangzi mengangkat sudut bibirnya sambil sibuk menguyah.

"Detektif itu akan segera melakukan penyelidikan yang kuminta," Wu Xie menanggapi. "Kita tidak perlu mencemaskan apa pun. Hanya menunggu hasilnya."

"Yah, itu bagus sekali. Tidak ada gunanya terus mencemaskan peristiwa yang telah berlalu. Tak ada seorang pun dapat mengubahnya." Pangzi bicara dengan gaya sok bijaksana yang menjadi ciri khasnya.

"Hmmm .... " Wu Xie menyandarkan punggung di kursi putar setelah menuntaskan makan siangnya. Mencoba mengendurkan ketegangan syaraf dan otot-otot yang kaku. Pendingin udara bekerja dengan baik mengirimkan kesejukan. Aroma pengharum ruangan mengantarkan lamunan Wu Xie pada suasana halaman sebuah rumah yang tenang. Tanpa sadar, ia tersenyum seraya memejamkan mata.

Detik berikutnya suara sember Pangzi mengusik ketenangan. Tatapannya melekat pada Wu Xie penuh curiga.

"Hei, kau tersenyum sendiri."

Wu Xie tersentak. Membuka matanya lebar-lebar, lantas membalas tatapan Pangzi.

"Aku tidak tersenyum."

"Ya, kau tersenyum. Harusnya tadi aku memotretmu."

"Benarkah?" Wu Xie mengeluarkan deheman.

"Tunggu sebentar!" Pangzi menyipitkan mata. "Sepertinya detektif yang direkomendasikan Xiao Hua benar-benar handal. Dia bisa memecahkan masalah kliennya dalam satu kali pertemuan."

"Apa maksudmu?" tanya Wu Xie lantang.

"Nah, kau terlihat jauh lebih baik dibanding hari kemarin. Sebenarnya apa yang dikatakan detektif itu padamu? Atau mungkin kau mendapatkan diskon?"

"Diskon?" Wu Xie mengernyit. "Kenapa dia harus memberi diskon padaku?"

"Karena kau tampan, mungkin saja."

"Tidak masuk akal! Ini murni bisnis." Wu Xie menatap kesal, mulai cemberut.

Pangzi memang urakan, dan sikapnya selalu santai. Namun begitu ia memiliki perhatian yang tulus pada Wu Xie dan nyaris bisa merasakan suasana hati sahabatnya. Jadi, ia mengabaikan reaksi palsu Wu Xie dan mulai mengembangkan kecurigaan.

"Nah, jelaskan padaku seperti apa detektif itu," pintanya. Tangannya bergerak menyuapkan satu potong dimsum yang terakhir. Dia memiliki selera humor yang baik, dan sering melucu. Tetapi kali ini ekspresinya serius. Itu membuat Wu Xie merasa seperti seorang terdakwa.

"Dia pemuda biasa. Yah, cukup dewasa. Serius, profesional. Itu saja."

"Apa dia lebih tampan darimu?"

"Apa maksud pertanyaanmu?" Lagi-lagi Wu Xie cemberut.

Kekehan Pangzi berkumandang, merasa lucu melihat sikap imut Wu Xie. "Aku mencium aroma lain."

"Terserah!"

"Upps! Lalu dari mana sikap manis ini datang?" ia masih menggoda.

"Manis apanya?" sembur Wu Xie, tidak paham atas sikap konyol Pangzi.

"Kematian Hanni mengubah sesuatu dalam dirimu tanpa kau sadari. Senyuman ceria hilang dari wajahmu, begitu juga cahaya di matamu. Aku merasa kehilangan dirimu yang dulu, demikian juga para karyawanmu."

Kata-kata Pangzi mengalir santai, tapi memberi efek menyengat pada Wu Xie. Seakan ia baru saja digigit lebah dan merasa panas dingin.

"Uh, benarkah?" ia berkedip cepat, mengumpulkan ingatan beberapa hari terakhir. Benarkah dirinya semurung itu?

"Ya. Tapi sekarang semua sudah kembali seperti semula. Memang benar bahwa waktu akan menyembuhkan luka secara perlahan-lahan."

"Hmm, kau keliru sobat," bantah Wu Xie, menghela napas dan memandang ke luar jendela kaca. "Firasatku mengatakan bahwa waktu baru saja akan membuka luka untukku."

Pangzi mendecih pada kata-kata yang diucapkan Wu Xie secara dramatis.
"Simpan dialog film itu. Kau dikuasai firasatmu yang tak masuk akal. Pertama, dugaan pembunuhan Hanni, dan sekarang ... huh, membosankan."

"Eh, kau? Bisakah tidak terlalu kasar," protes Wu Xie, menoleh pada Pangzi dengan kening berkerut.

"Yeah, kawanmu yang kasar ini akan mengerjakan pekerjaan kasar sebentar lagi. Oke, aku harus memeriksa peralatan dapur dan stok bahan mentah."

"Aku akan menyusulmu nanti," Wu Xie berkata saat Pangzi membuka pintu.

"Oke. Lanjutkan lamunanmu setelah semua pekerjaan bisnis selesai."

Pintu menutup di belakang punggung Pangzi.

Kesibukan di kafe membuat Wu Xie melupakan masalahnya untuk beberapa waktu. Kesibukan memang bisa dijadikan sebagai salah satu cara melarikan diri dari pahitnya perasaan kehilangan. Itu pun terjadi pada Wu Xie. Interaksi dengan karyawan, perbincangan dengan satu atau dua pengunjung yang dia kenal, dan candaan Pangzi mewarnai hari-harinya yang sempat kelabu. Namun, saat dia tengah duduk sendiri di kantor ataupun di sudut kafe, Wu Xie kembali teringat akan masalah yang mengganggu pikirannya. Kilasan kenangan tentang tragedi kecelakaan itu, dan momen-momen bersama sang tunangan. Namun, saat ingatannya kembali pada Zhang Qiling, semua kepingan kenangan yang menyakitkan entah mengapa tiba-tiba perlahan memudar. Seolah senyuman singkat pemuda itu tak ubahnya percik cahaya di kegelapan.

"Apa yang terjadi padaku?" dia menggumam perlahan sewaktu tengah duduk sendiri di patio menjelang jam operasional berakhir dan menikmati secangkir kopi. Hari ini adalah hari ketiga. Seharusnya sudah ada kabar dari Zhang Qiling, tetapi ponselnya tetap membisu dan ia pun tidak berkunjung kemari. Hal itu membuat hatinya sangat gelisah.

"Ha! Aku sudah berdoa pada dewa tapi sepertinya dewa tidak mengabulkan doaku!" suara sember Pangzi bergema dari belakang membuat Wu Xie terperanjat. Bahkan tangannya bergerak kaget hingga nyaris menumpahkan kopi di meja.

"Berhenti menakut-nakutiku, gendut!" geramnya jengkel.

Pangzi melesat dari arah belakang dan duduk di hadapannya.

"Kau yang membuatku takut. Pertama kau tersenyum sendiri, sekarang kau bicara sendiri. Astaga, aku turut prihatin, kawan." Pangzi tertawa mengejek.

"Prihatin apanya?"

"Tragedi itu membuat otakmu terganggu. Tunggu! Apa kau gegar otak?"

"Hiiiisss, diamlah." Wu Xie mendengus, lantas menyeruput kopinya lagi.

"Aku sedang memikirkan penyelidikan detektif itu, terus terang rasanya tidak sabar menunggu kabar apa yang akan dia bawa untukku." Wu Xie meneruskan bicara, tatapannya tertuju pada beberapa ornamen kafe di sekitarnya.

"Kapan dia akan memberi kabar?" tanya Pangzi.

"Seharusnya hari ini."

"Hmmm, apa kau membayarnya secara kredit? Mungkin itu sebabnya dia lambat dan tidak bersemangat."

"Ngawur!" Wu Xie memijat pelipisnya. Diam-diam memikirkan kata-kata Pangzi. Jangan-jangan ada benarnya perkataan si gendut. Apa tidak sebaiknya dia memberi detektif itu sejumlah uang? Tapi Zhang Qiling bersikeras tidak ingin membicarakan pembayaran. Tiba-tiba Wu Xie merasa cemas bahwa detektif itu menginginkan sesuatu yang jauh lebih bernilai dibanding uang, atau mungkin dia meminta bagian dari bisnis kafenya. Uwah! Tidak!

Bip! Bip!

Tepat ketika pikiran liar berseliweran dalam kepalanya, Wu Xie dikejutkan oleh bunyi ponsel. Secepat kilat ia merogoh sakunya dan memeriksa pesan masuk. Sebuah nomor tidak dikenal mengirimkan pesan.

Mari bertemu di depan Clementine Florist malam ini pukul delapan.

Hehh? Apakah ini Zhang Qiling? Hatinya berdesir kencang.

"Nah, yang kau tunggu telah datang bukan? Apa detektif itu memberimu informasi?" Pangzi menebak dengan cepat demi melihat ekspresi tegang Wu Xie.

"Ya! Dia memintaku menemuinya di depan toko bunga."

"Detektif aneh, kenapa tidak datang kemari saja dan meminta kopi gratis padamu. Benar-benar aneh ... "
Pangzi geleng-geleng kepala.

"Sepertinya dia takut padamu," balas Wu Xie, mendapat kesempatan mengejek Pangzi. "Dia tahu bahwa kau akan bicara ngawur."

"Heh, bisa-bisanya kau?!"

"Nah, pukul berapa sekarang? Jangan-jangan aku harus pergi tanpa membantumu menutup kafe." Wu Xie melirik jam tangan, hanya sepuluh menit lagi menuju pukul delapan.

"Curang! Bayar aku dua kali lipat!" gerutu Pangzi.

Seperti disengat lebah, Wu Xie bergerak cepat bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan meja dan sahabatnya yang duduk tercengang.

"Jangan khawatir! Aku akan membuatmu sekaya Xiao Hua!" dia berkata sambil melesat pergi.

"Cihhh! Dramatis sekali .... " desah Pangzi, menggaruk sisi kepalanya.

✬✬✬

Wu Xie memarkirkan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari Clementine Florist. Jalan itu masih ramai, toko bunga pun masih buka. Di sekitarnya ada mini market, toko kue, sebuah kedai kopi kecil, dan toko cenderamata. Wu Xie mengedarkan pandangan tanpa turun dari mobilnya. Namun ia tidak melihat sosok yang mirip dengan Zhang Qiling. Apakah ia menunggu di dalam kedai kopi itu?

Akhirnya setelah lima menit mengamati, Wu Xie memutuskan turun dari mobil, bersandar di sisinya dan menghubungi nomor Zhang Qiling. Sayangnya, nomor itu tidak aktif.

Aneh sekali, batinnya menggerutu. Padahal baru beberapa waktu lalu dia mengirim pesan. Mengapa sekarang sulit dihubungi? Apakah dia sengaja menghindar ataukah dia mengirim pesan lewat meminjam ponsel seseorang?

Wu Xie menghela napas panjang, menikmati suasana jalanan yang hangat. Angin malam meniup wajah dan rambutnya. Dia melihat beberapa orang gadis keluar dari toko bunga sambil bercengkrama. Masing-masing di tangan mereka membawa seikat bunga. Pemandangan itu mengingatkan Wu Xie pada kebiasaannya membelikan bunga mawar alba untuk Hanni. Sesekali gadis itu akan mengeluh karena menginginkan mawar dengan warna lain. Tetapi Wu Xie sangat menyukai mawar putih, bahkan menghiasi ruang tamunya dengan mawar itu di dalam vas kaca.

Sementara dia menunggu kemunculan Zhang Qiling, Wu Xie memutuskan untuk mampir ke toko bunga dan membeli seikat mawar alba untuk dirinya sendiri. Sesaat fokusnya beralih pada keindahan bunga kala ia berada di dalam toko. Ditepiskannya ingatan buruk tentang lily misterius itu, dan fokus pada mawarnya.

Tidak sampai sepuluh menit, Wu Xie sudah kembali ke mobilnya sambil membawa seikat mawar alba. Tanpa curiga, dia membuka pintu, sekilas sempat mengingat-ingat apakah dia mengunci mobilnya dengan benar. Alangkah terkejutnya dia saat melihat seseorang telah duduk di kursi penumpang. Sosok pemuda berpakaian serba hitam dan topi baseball yang menutupi sebagian wajahnya dengan bayangan. Namun bentuk hidung dan dagunya mengingatkan Wu Xie pada satu nama.

"Xiao ge!" panggilnya, menahan napas.

Pemuda itu menoleh, mengangkat topi baseballnya sedikit hingga makin jelas bahwa dia adalah Zhang Qiling.

"Bagaimana kau bisa masuk?" Wu Xie duduk di belakang kemudi, meletakkan mawar alba di dashboard. Tatapan Zhang Qiling terpaku pada bunga itu untuk beberapa saat.

"Mobilmu tidak dikunci," sahutnya pelan.

"Oh, benarkah?" Wu Xie nyengir sekilas. "Aku menunggumu sejak sepuluh menit lalu. Apa kau belum tiba?"

"Aku berada di kedai kopi itu." Zhang Qiling menunjuk ke satu arah.

"Ah, sudah kuduga. Lalu mengapa nomormu tidak bisa dihubungi?"

"Ponselku kehabisan daya."

"Hmmm, begitu rupanya."

Mereka duduk membisu dalam keremangan mobil. Selarik cahaya dari lampu jalan menembus kaca depan, menciptakan pita panjang kekuningan.

"Bagaimana penyelidikanmu?" tanya Wu Xie.

"Lancar."

"Jadi, informasi apa yang kau bawa?" Wu Xie kian tak sabar, dan Zhang Qiling memahami itu. Tangannya bergerak mengambil sesuatu di balik mantel hitamnya, menyerahkan benda itu pada Wu Xie.

"Buku catatan?" gumam Wu Xie, menerima benda yang diberikan Zhang Qiling.

"Buku harian Hanni," Zhang Qiling menjelaskan.

Wu Xie menatap buku di tangannya dalam waktu lama. Tidak salah lagi, dia melihat buku ini sebelum kematian Hanni pada waktu gadis itu menjatuhkan mapnya di dekat pintu apartemen. Saat itu ia bertanya dan Hanni dengan segera merebutnya kembali tanpa berniat menunjukkan padanya.

Semua orang memiliki rahasia. Hanya orang bodoh yang membagi semua rahasianya pada orang lain.

Kata-kata yang diucapkan Hanni datang kembali bersama desir angin malam. Waktu itu ia tidak mengerti, tapi kini ... satu pemikiran buruk menghampiri benaknya.

"Dari mana kau mendapatkan buku ini?" tanyanya.

"Tidak perlu dipikirkan tentang itu," Zhang Qiling menukas cepat.

Yah, bagaimanapun, dia seorang detektif swasta yang memiliki cara kerja tertentu, Wu Xie berkata dalam hati.

Siapa yang tahu ia menyimpan banyak mata-mata.

"Apa di sini ada jawaban pertanyaanku?" ia menggoyangkan buku itu, ragu-ragu, tapi penuh tanda tanya yang mendebarkan.

"Baca saja. Kau akan mendapatkan separuh kebenaran di situ."

Wu Xie mengangguk-angguk.

"Aku harus pergi."

Zhang Qiling siap mendorong pintu, tapi Wu Xie mencegahnya.

"Tunggu! Kau akan pulang?"

Yang ditanya mengangguk.

"Biarkan aku mengantarmu," Wu Xie menawarkan, tidak-dia nyaris memohon. Suaranya sedikit tergetar. Terlebih saat dilihatnya Zhang Qiling hanya menatap tanpa menjawab.

"Baiklah. Pasang sabuk pengamanmu." Tidak sabar menunggu pemuda ini bicara, Wu Xie menatap ke jalan dan menghidupkan mesin. Dengan sudut matanya ia melirik Zhang Qiling. Pemuda itu memasang sabuk pengaman dengan patuh, menjadikan hati Wu Xie berdebar oleh rasa senang dan gugup.

Mereka tidak berbicara sepanjang perjalanan. Wu Xie sibuk dengan dugaan terhadap isi buku harian, sementara Zhang Qiling hanya menatap kosong ke depan, pada jalanan yang terang benderang oleh lampu jalan dan lampu kendaraan. Memasuki kawasan Tian Zhi Fang, keramaian mulai berkurang, bahkan nyaris sepi.

"Nah, kita sudah sampai di rumahmu," Wu Xie mengumumkan dengan enggan. Jalanan di depan rumah Zhang Qiling sepi dan kurang penerangan. Pohon-pohon flamboyan mendesiskan daun-daunnya di tengah terpaan angin musim semi, menciptakan musik alami tersendiri.

"Terima kasih, Wu Xie," ucap Zhang Qiling pelan.

"Tidak perlu sungkan," sahut Wu Xie. Dadanya menghangat saat mendengar bagaimana pemuda itu menyebut namanya dengan cara yang keren.

Zhang Qiling baru saja membuka pintu dan menurunkan satu kaki sewaktu pandangannya jatuh pada mawar alba di dashboard. Tiba-tiba saja dia tertarik dan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.

"Bolehkah aku?" ia menoleh pada Wu Xie.

"Tentu saja. Ambillah jika kau mau," sahut Wu Xie tanpa pikir panjang.

Namun Zhang Qiling hanya menarik satu tangkai dan memutarnya di antara jemari.

"Aromatik, mistis, dan sulit dipahami, mawar memancarkan esensi yang telah memikat hati dan pikiran para seniman, penyair, dan para ratu sejak zaman kuno," gumam Zhang Qiling seperti dalam perenungan yang dalam.

"Ya. Karena keharumannya yang indah, bunga mawar menyapa jiwa. Sayangnya, aku merasakan teror tiap kali mengingat bagaimana mawar berada di lokasi kecelakaan Hanni, dan juga muncul secara misterius dalam mobilku," ujar Wu Xie dengan nada pahit.

Zhang Qiling mengangkat tatapannya dari mawar ke wajah Wu Xie.

"Kau masih menganggap itu sebagai teror?"

Wu Xie mengangguk. "Setidaknya, itu peringatan. Entah dari siapa."

"Wu Xie, siapa saja orangnya yang mengetahui bahwa mawar alba adalah bunga kesukaanmu?" tanya Zhang Qiling.

Wu Xie menahan napas, balas menatapnya.

"Memangnya kenapa dengan itu?"

"Jawab saja pertanyaanku."

Hening sejenak, kemudian suara Wu Xie mengatasi kesunyian yang mencekam.

"Aku, Pangzi, Xiao Hua, dan ... "

"Dan?"

"Hanni."

✬✬✬

Please vote and comment





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro