Part 09 : Appointment
Tatapan Zhang Qiling tidak beralih dari mata Wu Xie, menebak-nebak isi pikirannya.
"Tetapi mengapa? Apakah dia atau dirimu memiliki musuh?"
Wu Xie berhenti sebentar, menyerap pertanyaan itu.
"Aku ... tidak yakin," gumamnya, "Tetapi sebuah teror kiriman bunga menumbuhkan kecurigaanku."
"Kiriman bunga?"
"Ya, lily oranye. Kau pasti tahu apa maknanya."
Zhang Qiling memiringkan wajah, tidak memasang ekspresi. "Kecemburuan? Kebencian? Segala jenis perasaan negatif."
"Semacam itulah. Kesalahanku saat itu adalah, aku tidak sungguh-sungguh menyelidiki siapa pengirimnya. Dia mengirim jumlah bunga dengan hitungan mundur."
"Ada yang aneh di sini," tukas Zhang Qiling datar. "Firasatmu sama sekali absurd. Jika seseorang memang merencanakan kematian Hanni, lalu mengapa kau yang diteror? Mengapa pelaku tidak langsung meneror targetnya."
Wu Xie termangu.
"Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat," Zhang Qiling melanjutkan, masih dingin dan serius.
"Maksudmu?"
"Kau yakin pelaku teror adalah orang yang merencanakan kematian Hanni juga?"
"Itu ... entahlah. Aku hanya mengikuti firasatku saja."
"Lalu, apakah kau memberitahu tunanganmu tentang teror bunga itu?"
Wu Xie mengangguk. "Ya, aku mengatakan padanya."
"Lalu, bagaimana reaksinya?"
"Dia ... " Wu Xie mendesah ragu, "dia tidak terlalu peduli."
"Jika demikian, menurut asumsiku, Hanni tidak mendapatkan kiriman bunga itu."
"Sepertinya memang tidak."
Zhang Qiling menatapnya lagi lebih intens. "Kau terlihat ragu. Apa kau benar-benar mengenal tunanganmu dengan baik?"
Wu Xie lagi-lagi termangu, mengingat kembali kondisi hubungan mereka menjelang kematian Hanni. Itu terasa seperti dirinya bukanlah satu-satunya orang yang dipedulikan gadis itu.
"Seandainya aku bisa bicara lebih sering padanya, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Mungkin dia tak akan pergi dengan pria lain."
"Pria lain?" Tatapan Zhang Qiling kini sedikit mengejek, dan tiba-tiba saja Wu Xie merasa kesal.
"Sepertinya aku harus menjelaskan dari awal. Secara singkat tentunya."
"Aku tidak tertarik mendengar kisah cintamu," tukas Zhang Qiling sambil mengibaskan tangan.
"Jawab saja pertanyaanku. Apa kau sungguh mengenal dengan baik seperti apa tunanganmu?"
Kepala Wu Xie mulai pening, tak menduga Zhang Qiling akan sekritis ini. "Kami sudah sangat dekat selama tiga tahun. Jadi ya, tentu saja aku mengenalnya."
"Itulah masalahnya," desis Zhang Qiling, kerutan dalam tercipta di keningnya, dan garis mulutnya terlihat lebih tegas.
"Kau terlalu dekat dengannya. Jika seseorang melihat dari jarak yang terlalu dekat, dia tidak akan bisa melihat dengan baik dan benar."
Wu Xie kurang setuju pada pendapat Zhang Qiling, tapi ia tidak berusaha mendebatnya.
"Yah, bagaimanapun juga, semua sudah terjadi. Akan tetapi tidaklah cukup bagiku untuk menerima begitu saja. Aku merasakan banyak kejanggalan, terutama dari teror bunga yang telah datang sepanjang tujuh hari terakhir, terlepas dari apakah teror itu berkaitan dengan peristiwa kecelakaan Hanni atau tidak."
Wu Xie bersandar di sofa, meraih gelas minumnya. Dia tidak terbiasa makan dan minum di rumah orang asing, tapi kali ini semua terasa berbeda. Suasana begitu hening saat semua kata-kata mengendap dan sirna, dan Zhang Qiling masih tidak mengatakan apa pun. Suara dengungan rendah kumbang di luar jendela, berbaur dengan suara dahan pohon yang berderak lembut.
"Jadi, misteri yang kau maksud, bisa dikatakan berasal dari perasaanmu saja?" akhirnya Zhang Qiling berkata.
Sekilas raut wajah Wu Xie nampak tersinggung. Sebagian orang sudah cukup tahu tentang kehilangan dan untuk menerima bahwa kesedihan mungkin kehilangan ketajamannya seiring berjalannya waktu, tetapi ingatannya hanya semakin kencang. Seakan momen tertentu diputar ulang. Dalam kesunyian, yang bisa ia dengar hanyalah suara Hanni, memanggil namanya saat dia berjalan masuk ke ruangan tengah apartemen. Terakhir kali Wu Xie melihatnya.
"Aku tahu itu terdengar absurd. Karena itu polisi setempat tidak akan mempercayai firasat. Di samping fakta bahwa tak ada bukti kuat bahwa itu bukan kecelakaan tunggal biasa. Hanya aku yang meyakini bahwa setangkai mawar alba di lokasi kejadian adalah satu-satunya petunjuk yang bisa kugunakan untuk menguatkan dugaanku."
"Jika kita menemukan fakta-fakta baru terkait kematian tunanganmu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Wu Xie mengangkat bahu, sebenarnya, dia masih samar-samar dalam menentukan tujuannya datang ke tempat ini.
"Tergantung seperti apa fakta yang terungkap itu. Jika memang kematian Hanni tidak wajar, atau ada sabotase pada mobilnya, aku harus menemukan pelakunya dan membuat dia dihukum setimpal dengan kejahatannya."
Zhang Qiling terlihat mengangguk -angguk. Tidak ada ekspresi pengertian di wajahnya. Dia hanya setuju karena dia detektif swasta dan Wu Xie adalah klien. Kebisuan ekstrim menjerat mereka lagi sewaktu Zhang Qiling berdiri dan menuju meja kerjanya, kemudian kembali ke hadapan Wu Xie, nampak sibuk dengan sebuah notes kecil dan ballpoin. Tiba-tiba setelah jeda panjang, dia melontarkan pertanyaan yang tak pernah diduga Wu Xie akan keluar dari bibirnya.
"Apakah kau sungguh-sungguh mencintai tunanganmu?"
Ada bunyi garukan ranting dan dahan pada permukaan jendela, hembusan angin sesaat menjadi kencang seperti memberi kesan dramatis pada percakapan mereka. Sebenarnya itu pertanyaan sederhana. Hanni pernah menanyakannya, Pangzi juga, dan pamannya. Selama itu pula Wu Xie akan menjawab dengan ringan dan santai. Kali ini, setelah hubungan mereka berakhir dengan tragis, Wu Xie tak tahu apakah perasaannya masih penting atau tidak. Dia meletakkan gelas di atas meja, menoleh pada Zhang Qiling untuk mendapati sepasang mata kelam misterius itu tengah menatap lekat padanya. Tiba-tiba dia tidak bisa berkata-kata.
"Uh, aku ... entahlah," dia terbata-bata.
"Mungkin hanya tersisa perasaan sebagai seorang teman yang bersimpati." Dia melanjutkan, penuh kebohongan—dan ia tak tahu mengapa harus menyembunyikan perasaannya.
"Begitu?" gumam Zhang Qiling sangsi.
"Kukira motif yang mendorongmu menyelidiki insiden itu adalah karena egomu terluka, bagaimana menurutmu?"
Wu Xie tercengang. "Aku ... tak mengerti."
"Tunanganmu tewas dalam kecelakaan saat bersama dengan pria lain. Kau tidak ingin tahu seperti apa hubungan mereka, dan seperti apa hubunganmu yang sesungguhnya?"
Mendengar kalimat sarkastis itu, Wu Xie tersentak. Napasnya mulai sesak saat pemikiran baru terkait Hanni menghampiri dirinya.
"Aku tidak ingin menodai kenangan yang tersisa di antara kami dengan mengorek kesalahanku ataupun kesalahannya."
Ada penyangkalan dalam suaranya, dan itu terdengar sangat naif hingga membuat Zhang Qiling menggelengkan kepala.
"Kau meminta jasa seorang detektif swasta. Bersiaplah menerima apa pun kebenaran yang terungkap, sepahit dan sesakit apa pun itu. Kita tidak bisa menahan kebenaran atau mengendalikannya. Itu seperti sinar matahari yang memancar terang pada waktunya."
Tiba-tiba Wu Xie merasa cemas. Menautkan jemarinya yang mulai lembab, pikirannya kembali serumit benang kusut. Dia bertanya sekali lagi pada dirinya apakah penyelidikan ini diperlukan. Namun, semakin ia memikirkan, semakin ia penasaran. Dan sewaktu tatapan mereka bertemu lagi, Wu Xie diselimuti sensasi familiar yang aneh. Mereka pernah berjumpa sebelumnya, walaupun memang tidak direncanakan. Perasaannya mengatakan bahwa kisah mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Akan ada pertemuan lainnya lagi.
"Jadi, dari mana kau akan memulai penyelidikannya?" tanya Wu Xie.
Zhang Qiling mengetukkan ballpoin pada permukaan notes, meliriknya sekilas. "Akan kutentukan sendiri. Langkah awal, kau harus tahu seperti apa tunangan yang sangat kau percayai itu. Dalam waktu dekat aku akan memberikan informasi yang sangat berharga padamu."
Wu Xie menatap Zhang Qiling dan menggelengkan kepalanya dengan sedih. “Aku mengandalkanmu. Nah, mari kita bicarakan tentang pembayaran.”
"Tidak perlu dipikirkan sekarang," tukas Zhang Qiling, meyakinkannya bahwa semua akan dikerjakan dengan baik dan hati-hati sebelum menyangkut uang. Dia tidak ingin membebani kliennya, dia tahu Wu Xie frustrasi.
"Terima kasih, Xiao ge." Matanya berbinar di balik lensa, membuat Zhang Qiling tertegun untuk sesaat. Tanpa membalas ucapan terima kasih Wu Xie, dia mengambil ponsel dari saku celana, mengetik dan mengirim pesan pada seseorang. Lalu ia kembali menatap Wu Xie.
"Kita akan bertemu lagi tiga hari dari sekarang," katanya datar.
"Di mana? Pukul berapa?"
"Akan kuberitahu nanti." Zhang Qiling mengangkat ponselnya sekilas.
"Nomormu?" tanyanya tanpa rasa ingin tahu berlebihan, mencoba bersikap profesional.
Dengan fasih Wu Xie menyebutkan sebaris angka, lantas ia balik bertanya dengan penuh semangat, "Bisakah aku menyimpan nomormu juga?"
Zhang Qiling fokus mengetik nomor ponsel Wu Xie, menggeleng tanpa mengubah ekspresi. "Kau akan tahu sendiri jika aku menghubungimu nanti."
"Baiklah." Wu Xie cemberut, seiring bahunya turun dengan lemas. "Tapi aku memiliki nomor kantormu di kartu nama," lanjutnya.
"Itu tidak efektif. Aku sering keluar rumah."
"Jadi aku harus menunggumu menghubungiku lebih dulu? Ah, bagaimana jika kau mampir ke kafeku setiap hari? Aku akan mentraktirmu, makanan atau minuman."
"Hubungan kita hanya kerja sama antara detektif dan klien. Tidak perlu sebaik itu."
Wu Xie tersenyum kaku, merasa kewalahan dengan sikap sang detektif yang mirip merpati. Terkadang seperti dekat, namun sewaktu-waktu menjauh kembali.
"Oke. Tapi jika kau ada waktu, datanglah ke sana. Aku akan menunggu." Sifat keras kepalanya muncul ke permukaan, didorong oleh rasa penasaran akan sosok sang detektif.
Zhang Qiling melemparkan tatapan kosong, mengangguk sekilas sebagai jawaban.
"Sudah hampir satu jam. Kau boleh kembali pulang. Aku belum mengosongkan kotak makanku," Zhang Qiling berkata hati-hati.
"Ah, kau benar. Maafkan aku karena mengganggu waktu sarapanmu. Sebenarnya ini sudah terlambat." Melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, Wu Xie meringis membayangkan betapa laparnya detektif itu.
"Seharusnya kau bisa makan di depanku tadi. Aku tidak keberatan."
Zhang Qiling menggeleng. "Tidak sopan jika makan sendirian."
"Kita bisa makan bersama di Hanni's Breakfast," sekali lagi Wu Xie menawarkan. Dia berdiri dari duduknya, merapikan mantel dan kemeja, bersiap untuk pamit.
"Akan kupikirkan," akhirnya suara Zhang Qiling melunak. Ikut berdiri bersama tamunya, ia mengulurkan tangan ke arah pintu.
"Biar kuantar kau keluar."
Wu Xie mengangguk, membungkuk ringan sekilas.
"Terima kasih sebelumnya, Xiao ge."
Zhang Qiling mengangguk samar. Mereka berjalan beriringan dan berpisah di depan pintu. Wu Xie merasa setiap langkahnya terasa berat seolah dia tidak rela meninggalkan rumah ini terlalu cepat. Sebelum benar-benar pergi, dia mengedarkan pandangan ke seluruh halaman. Seekor burung gereja meluncur dari balik semak bunga membuat ingatannya melayang pada mimpi buruk semalam.
"Xiao ge." Dia menolehkan wajah pada si detektif.
Zhang Qiling menatapnya, menunggu kalimat lanjutan yang akan diucapkan Wu Xie.
"Aku bermimpi melihat tujuh ekor burung gagak," ia berkata ragu-ragu, khawatir akan keyakinannya atas mimpi justru ditertawakan Zhang Qiling.
"Hmmm."
"Aku pernah mendengar bahwa satu ekor gagak adalah lambang kesedihan. Tetapi tujuh? Aku sempat bertanya-tanya tentang itu. Ah, terdengar kekanak-kanakan, bukan?" Wu Xie tertawa canggung.
"Rahasia," sahut Zhang Qiling datar dan pelan.
"Ya?"
"Tujuh ekor gagak melambangkan rahasia."
"Tapi rahasia apa yang kau maksud?"
Sampai di sini Zhang Qiling mengangkat bahu. "Mungkin hanya waktu yang bisa menjelaskan."
Itu adalah jawaban filosofis yang sulit dibantah, bahkan oleh dewa. Wu Xie hanya mengangguk-angguk meskipun tidak paham.
"Oh, baiklah."
"Dan satu lagi, semua hal yang kita lakukan akan menjadi rahasia. Aku akan tahu jika kau memberi tahu orang lain. Apa pun akibatnya nanti, itu bukan tanggung jawabku."
Senyum tipis Wu Xie merekah. "Terlambat Xiao ge, Pangzi dan Xiao Hua mengetahui pertemuan kita."
"Maksudku, akan ada satu atau dua hal yang perlu dirahasiakan. Kau akan mengetahuinya kelak."
"Oke. Aku berjanji." Wu Xie merasa hal itu tidak masalah.
Zhang Qiling menganggukan kepala.
"Sampai nanti," Wu Xie berkata terakhir kali sebelum melangkah pergi, lantas gerakannya terhenti sejenak. Untuk pertama kali, ia melihat Zhang Qiling tersenyum padanya. Singkat, dan tipis, dan bahaya lain datang mengancam. Ada percikan berkelebat di matanya. Seperti kegembiraan, atau gairah. Entahlah.
Tiba-tiba Wu Xie merasa jantungnya berdebar. Dia bergegas melintasi halaman, mencapai pagar kayu yang berayun. Sekali lagi, menoleh ke arah pintu. Dilihatnya sosok pemuda itu berdiri kaku, dengan aura misteriusnya, mengirimkan perasaan yang aneh di hatinya.
Tiga hari akan terasa sangat lama.
✬✬✬
Please vote and comment ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro