Part 07 : Detective
Pangzi harus tahu ini.
Wajahnya memucat dan kilau matanya menggelap dicekam kepanikan dan rasa cemas. Cara Hanni dirampok dari umur panjang bersama seorang pria lain benar-benar kejam sekaligus sangat romantis, tetapi itu tidaklah terlalu mencekam dibandingkan melihat setangkai mawar dari jenis yang sama, yang pernah dia temukan secara misterius di dashboard mobil yang terkunci. Apakah maksud dari teror bunga-bunga ini?
Semangatnya kini berbaur dengan ketakutan. Kerikil dan gumpalan tanah longsor di bawah pijakan kakinya saat Wu Xie memanjat kembali ke tepi jalan di mana Pangzi tengah menunggunya.
Dia melompat ke arah si gendut, dan mendesis, "Lihat ini!"
Diacungkannya setangkai mawar yang separuh hancur tepat di depan wajah Pangzi.
"Taifian Rose. Apakah kau teringat sesuatu setelah melihat ini?" desak Wu Xie, tidak menyembunyikan rona cemas di wajahnya akibat melihat pertanda buruk.
"Uh, yah. Aku ingat, itu... " Pangzi berpikir sejenak, menunggu ingatan menghampirinya.
"Ya, beberapa malam lalu. Bunga seperti ini tergeletak di mobilmu." Diiringi jentikan jari.
Wu Xie menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. "Aku lelah dengan teror bunga ini," keluhnya.
"Tunggu dulu, sobat! Jangan berpikir terlalu jauh. Kau sering memberi mawar seperti ini pada Hanni, dan ia pun menyukainya. Mungkin saat kecelakaan terjadi, Hanni membawa seikat mawar dalam mobil. Pikirkan itu," Pangzi bicara lambat dan hati-hati agar pemuda yang sedang panik ini bisa mencernanya dengan baik.
"Jangan terlalu dipikirkan. Otakmu sedang kacau, hatimu terguncang. Hal sederhana pun bisa terlihat rumit di matamu. Kisahmu yang berakhir tragis membuatmu waspada dan mencurigai semua hal, semua orang."
Pangzi mendaratkan tepukan lembut di lengan Wu Xie, berusaha terdengar bijaksana.
Lambat laun, ekspresi panik Wu Xie kembali menjadi datar. Tangan yang memegang tangkai bunga mawar jatuh mengayun di sisi tubuhnya, dua kelopak yang tersisa melayang jatuh ke tanah. Pucat dan layu.
"Tapi, bagaimana jika bunga ini ditempatkan di lokasi sebagai pertanda?" prasangkanya melemah namun tidak sepenuhnya hilang. Ia masih bersikeras berkubang dalam kecemasanny sendiri.
"Lantas apa yang bisa kita lakukan?" timpal Pangzi, meraih tangkai mawar itu dari tangan Wu Xie dan memutarnya di antara jemari.
"Polisi setempat telah menutup kasusnya. Kecelakaan ini dinyatakan sebagai murni kecelakaan tunggal akibat cuaca buruk. Tidak ada bukti, tidak ada saksi. Kiriman lily pun berakhir. Teror apa yang akan kau bicarakan?"
Tubuh Wu Xie menggigil hebat saat hembusan angin dingin tiba-tiba bertiup kencang menembus kemeja dan mantelnya. Bersamaan dengan itu, beberapa ekor burung gagak hitam mengepakkan sayap dari balik hutan dan terbang ke angkasa. Rona di wajah Wu Xie kembali pudar dan hanya tersisa ekspresi kosong seperti semula.
"Entahlah, Pangzi. Aku... aku merasa semuanya tidak wajar. Firasatku mengatakan bahwa teror bunga dan kecelakaan ini berkaitan," desahnya di sela keraguan.
"Apa kau ingin mengatakan bahwa kecelakaan Hanni bukan kecelakaan biasa, melainkan upaya pembunuhan?" desak Pangzi, tidak percaya akan pemikiran sahabatnya.
Wu Xie terdiam, tidak tahu bagaimana menjelaskan sebuah firasat. Lagipula, tidak ada yang bisa dilakukan. Polisi tidak bekerja hanya karena asumsi gila dari pemuda shock dan patah hati.
"Sudahlah, Wu Xie. Berdamailah dengan kenyataan, dan dengan dirimu sendiri. Saat ini, sebaiknya kita kembali ke Shanghai untuk mengikuti ritual terakhir tunanganmu yang malang. Doakan agar arwahnhmya beristirahat dengan tenang. Dan untuk bunga mawar ini ... " Pangzi memutar tangkai bunga sekali lagi sebelum melemparkannya kembali ke dasar jurang, "kembalikan bunga ini ke tempat asalnya di dasar jurang, bersama seluruh kenangan yang meyakitkan."
Wu Xie tidak berdebat lagi. Tatapan hampanya hanya mengikuti dengan pasrah ke arah mana tangkai mawar dan kelopaknya yang beterbangan itu akhirnya menghilang.
✬✬✬
Hari demi hari dilewati Wu Xie dengan cukup berat dan sulit. Dia sempat berpikir rasanya tak punya tujuan hidup lagi dan menghabiskan waktu termenung di kantor atau kafenya. Hanni memang bukan wanita yang sempurna. Kadang-kadang ia tidak pengertian, tidak adil, pendendam dan sinis. Tapi kehilangannya dengan cara seperti ini membuatnya tertegun dalam waktu lama mencerna bahwa semua ini nyata. Ketika Wu Xie meletakkan bunga terakhir di samping abu tunangannya, dia mengucapkan doa dalam hati berharap jiwanya damai.
Untungnya, seperti kata Pangzi, teror bunga benar-benar berhenti. Tak ada lagi perasaan cemas dan merasa diincar. Namun kini pikirannya sibuk memikirkan satu langkah besar.
"Apa? Detektif?!" Pangzi meninju meja kerja di hadapannya ketika Wu Xie mengajaknya bicara pada suatu siang di kafe.
"Hmmm." Wu Xie hanya menyeringai santai.
"Apa-apaan?" Pangzi geleng-geleng kepala, diikuti tatapan mata melebar.
"Kau sudah tidak waras? Pikirkan hal lain, masa depanmu, bisnis, apa pun. Tapi lupakan saja insiden kecelakaan itu."
Gelengan kepala Wu Xie mencerminkan sifat keras kepalanya yang terkadang tidak masuk akal.
"Aku telah memikirkan ini berhari-hari," katanya mantap. Penampilannya kini kembali prima, fresh, dan setampan biasanya. Namun saat ia tersenyum, kegetiran itu masih ada.
"Selama aku belum memastikan jawaban dari pertanyaanku, aku tidak bisa tidur dengan tenang."
"Ya ampun, Wu Xie. Kau mulai mengalami delusi." Tatapan Pangzi berubah ngeri, ingin rasanya ia memeriksa suhu tubuh pemuda itu untuk memastikan bahwa dia tidak demam tinggi dan mengigau.
"Nah, izinkan aku menyentuh keningmu." Dia mendekati sahabatnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Wu Xie dengan punggung tangan.
"Eeh, apa yang kau lakukan, sialan?" gerutu Wu Xie sambil menepis tangan gempal itu.
"Aku ingin memastikan bahwa kau tidak sakit."
"Aku baik-baik saja." Sikap dan ucapan Wu Xie terlalu meyakinkan untuk menjadi lelucon. Hingga Pangzi hanya bisa meringis khawatir.
"Ya Dewa, segera sembuhkan pemuda naif ini," ia membuat sikap berdoa dengan dramatis.
"Diam kau! Ini sudah keputusanku. Hanya butuh beberapa hari untuk mengakhiri banyak misteri yang tak terjawab. Karena itu, kemarin aku sudah menghubungi seorang kawan. Dia setuju untuk merekomendasikan seseorang." Wu Xie menatap terheran-heran seraya merapikan jasnya dengan tangan lentur dan gaya anggun. Kemudian melirik jam tangan.
"Dia akan datang siang ini. Nah, mari kita menunggu di luar." Dia berjalan keluar kantor disusul langkah Pangzi yang mengikutinya dengan pasrah.
Selama lima menit, Wu Xie mengawasi kinerja seorang barista dan Pangzi sibuk memeriksa cash register dalam proses penggantian kasir. Suasana kafe cukup ramai di siang menjelang sore yang cerah ini. Saat itu seseorang berjalan anggun menuju pintu utama kafe dan mendorongnya. Sosok itu mengalihkan perhatian Wu Xie. Yang datang adalah seorang pemuda tampan bertubuh tinggi ramping dan mengenakan pakaian serba putih yang menyilaukan. Senyum Wu Xie melebar kemudian melambaikan tangan.
"Xiao Hua! Akhirnya kau datang," sapanya.
"Oh, jadi dia. Hmm, aku tak heran." Pangzi menyeringai, mengangguk sekilas pada Xiao Hua.
"Apa kabar?" Wu Xie berkata penuh semangat sambil bergegas menghampiri pemuda itu, menjabat tangan dan menepuk lengannya.
"Yah, aku baru tiba minggu kemarin dari Hongkong. Maaf, aku tidak bisa datang untuk ritual terakhir Hanni. Aku sangat menyesal."
"Sudah berlalu," suara Wu Xie melayang pelan seolah ragu mengatakannya.
"Semua sudah berlalu."
Xiao Hua mengamati cara Wu Xie menatapnya, cara dia bersikap dan mempersilahkannya duduk. Mereka berhadapan di satu meja yang terisolasi, siap mendiskusikan sesuatu yang penting dan mengesampingkan basa basi lainnya untuk sementara.
"Aku cukup terkejut mendengar permintaanmu," ujar Xiao Hua, memulai pembicaraan mereka.
"Kau sungguh curiga ada upaya pembunuhan di balik insiden kecelakaan itu?"
"Hanya naluri. Aku sudah jelaskan padamu." Wu Xie menekan meja dengan kukunya, mulai membuat garis tak beraturan.
"Aku paham jika kau sangat bersedih. Kenyataan ini terlalu pahit. Namun, kuharap kau tidak membiarkan imajinasi liar mempengaruhimu."
"Beberapa orang mungkin akan sedikit tidak waras jika mengalami kejutan yang menyakitkan. Tapi tenang saja, aku masih waras." Wu Xie tertawa ringan.
Sejenak mereka berhenti saat pelayan menyajikan dua cangkir kopi. Menunggu hingga dia berlalu, Xiao Hua mulai bicara lagi, "Tapi kau ada benarnya juga. Terkadang kita tidak bisa melihat kebenaran hanya sekilas dari luarnya saja. Aku tidak berhak mencampuri keputusanmu, aku hanya cemas jika kau berlarut-larut dalam kesedihan dan mulai mengalami delusi."
"Si gendut Pangzi juga mengatakan itu. Sungguh lucu."
Xiao Hua mengangkat alisnya dan menatap Wu Xie sekilas. "Yah, aku tidak keberatan memberimu informasi tentang detektif yang kau perlukan."
Dia menyeringai penuh pengertian, dan meneruskan, "Tapi saranku, kau tidak perlu menggali terlalu dalam dan membuat pikiranmu kacau. Maksudku, orang bijak tahu kapan harus berhenti. Jangan sampai langkahmu terhenti di sini dan masa depanmu jadi suram."
Menggelengkan kepala sambil tertawa singkat, Wu Xie meneguk kopinya. Rasanya yang manis sesaat menyembunyikan masa lalu yang pahit dan sebuah gambar yang membentang dalam kenangannya.
"Jangan terlalu serius, aku hanya ingin membuktikan apakah firasatku benar atau keliru," jawabnya ringan, meletakkan cangkir kopi di atas pisin. Dia cenderung lupa bahwa semakin banyak yang diketahui seseorang, maka akan semakin mengerikan kebenaran itu.
"Ada yang bilang orang yang terlalu banyak ingin tahu dan keras kepala harus jatuh ke dasar jurang dan membentur batu yang keras sebelum dapat berubah," gurau Xiao Hua, meski tidak sepenuhnya bercanda.
"Jika aku lelah, aku akan berhenti dengan sendirinya. Jangan mengatakan hal mengerikan seperti itu," protes Wu Xie, meringis memegangi kepalanya.
"Kau memang lelah bukan? Pergi tidur memikirkan kematian Hanni, bangun tidur memikirkan kematian Hanni. Memikirkannya saja sudah membuatku letih," kata-kata Xiao Hua selalu tajam dan tepat sasaran, tapi itu tidak berpengaruh besar pada Wu Xie. Pemuda itu hanya tertawa lagi, menyembunyikan suasana hatinya.
"Sudah cukup nasehatnya. Katakan di mana aku bisa menemui detektif swasta yang kau rekomendasikan."
Xiao Hua mengangkat bahu. Dari saku jasnya dia mengeluarkan sehelai kartu nama kemudian menyodorkannya ke depan Wu Xie.
"Ayahku pernah menggunakan jasanya dua tahun lalu. Kami memanggilnya Xiao ge. Dia handal dan bisa dipercaya. Tidak banyak bicara, investigasi tepat sasaran dan ketajamannya luar biasa. Jika kau memiliki masalah dengan pembayaran upahnya, bicara saja padaku."
Tangan Wu Xie bergerak mengambil kartu nama itu. Desainnya sederhana, berwarna hitam pekat dengan tulisan warna perak.
Zhang Qiling
Detektif swasta
Ruijin Road 83, Tian Zhi Fang
Ada sederet nomor kantor di bagian paling bawah. Wu Xie mengulang-ulang nama itu dalam ingatan, bertanya-tanya seperti apa sosok detektif ini. Bisakah dia membantunya menemukan jawaban dari banyak pertanyaan seputar kematian Hanni? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Paling tidak, melalui orang ini, dia akan semakin dekat dengan kebenaran.
"Terima kasih," dia berkata lirih pada Xiao Hua.
"Semoga beruntung, Wu Xie."
Xiao Hua memegang jemari kawannya yang bergetar.
✬✬✬
Please vote and comment if you like this story ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro